Share

3. Tentang Dharmatio

Author: Lapini
last update Huling Na-update: 2025-03-10 13:35:00

Cindya menyambut suaminya dengan senyum yang hangat saat Dharmatio melangkah masuk ke rumah, lelah setelah hari yang panjang. Kecupan di dahinya membuat perasaan Cindya menghangat, mengingatkannya akan cinta sederhana yang mereka miliki. Dharmatio langsung menanyakan keberadaan Arlantio—putra mereka yang selalu menjadi sumber semangat dan pelipur lara di tengah padatnya pekerjaan.

"Dia sedang tidur di kamar," jawab Cindya lembut sambil mengulas senyum kecil. Senang melihat perhatian Dharmatio terhadap Arlantio begitu besar, ia menambahkan, "Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Kamu pasti belum makan, kan?"

Dharmatio hanya mengangguk lelah, membalas senyum istrinya dengan rasa syukur. Ia kemudian menuju kamar untuk melihat putranya yang tertidur pulas, sementara Cindya melangkah ke dapur, sibuk menyiapkan makan malam yang hangat.

Saat memotong sayuran, pikiran Cindya mulai dipenuhi refleksi. Melihat kondisi Dharmatio yang begitu lelah membuatnya merasa bersalah. Perasaannya diliputi oleh penyesalan karena telah berprasangka buruk terhadap suaminya selama beberapa hari terakhir. Ia menarik napas perlahan, berusaha mengendapkan emosi-emosi negatif yang terus mengintainya.

"Aku harus lebih mempercayai Dharmatio," bisiknya dalam hati. Ia sadar, hubungan yang harmonis hanya bisa terjaga jika ia mampu mengendalikan pikirannya yang tidak beralasan. Dia tak ingin pikiran negatif yang tak berdasar merusak hubungan mereka, apalagi Dharmatio telah menunjukkan betapa keras ia bekerja demi keluarganya.

Usai menyiapkan makan malam, Cindya memanggil suaminya ke meja makan. Dharmatio duduk, menikmati aroma masakan yang begitu akrab di indera penciumannya. "Terima kasih, Sayang. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik," ucapnya dengan senyum tulus.

Cindya hanya tersenyum, tetapi kali ini dengan ketenangan yang lebih mendalam. Ia menyadari bahwa cinta tidak hanya berarti percaya pada pasangan, tetapi juga pada niat baik yang mereka bawa. Saat melihat Dharmatio mulai menyantap makan malamnya, rasa hangat di hatinya kembali mengalir, membawa keyakinan bahwa hubungan mereka akan selalu bisa melewati badai kecil seperti ini.

Makan malam itu berlangsung dalam keheningan yang terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Cindya dan Dharmatio fokus pada makanan masing-masing, tetapi pikiran mereka tampaknya melayang ke tempat lain. Setelah piring-piring kosong, Dharmatio bersandar di kursinya sejenak, mengamati istrinya yang mulai mencuci piring di wastafel.

"Cindya," panggil Dharmatio dengan nada lembut, tetapi cukup untuk membuat istrinya menghentikan gerakannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya, suaranya terdengar tulus, penuh perhatian.

Cindya membeku sejenak, tangan yang memegang piring berhenti di bawah aliran air. Ia perlahan menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Dharmatio yang penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Cindya merasa sulit untuk menghindar. Namun, alih-alih menjawab, ia menipiskan bibirnya, lalu melontarkan pertanyaan balik. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Dharmatio menaikkan sebelah alisnya, sedikit bingung tetapi tetap tenang. Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Cindya yang masih berdiri di depan wastafel. Tanpa peringatan, kedua tangannya melingkar di pinggang istrinya, menariknya ke dalam pelukan yang hangat namun penuh intensitas.

Gerakan itu membuat Cindya membeku seketika. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh suaminya di belakangnya, dan suara Dharmatio yang berat, dengan nada yang sedikit serak, terdengar jelas di telinga kanannya. "Karena aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu," bisiknya, suaranya begitu dekat hingga membuat bulu kuduk Cindya berdiri.

Cindya menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. "Aku... aku hanya lelah," jawabnya akhirnya, meskipun ia tahu itu bukan jawaban yang sepenuhnya jujur.

Dharmatio tidak segera melepaskannya. Sebaliknya, ia mempererat pelukannya, memberikan rasa aman yang sulit diabaikan. "Cindya, aku suamimu. Kamu bisa berbicara padaku tentang apa pun. Aku di sini untukmu," katanya dengan nada yang begitu tulus, membuat hati Cindya sedikit melunak.

Cindya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia tahu bahwa Dharmatio benar—ia harus belajar untuk lebih terbuka, terutama kepada pria yang telah menjadi pendamping hidupnya. "Aku hanya... terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini," katanya pelan, memilih kata-katanya dengan hati-hati.

Dharmatio mengangguk, meskipun ia tahu ada lebih banyak hal yang belum diungkapkan oleh istrinya. "Kalau begitu, jangan biarkan pikiran itu membebanimu sendirian. Kita bisa melewati semuanya bersama, Cindya," ujarnya, suaranya penuh keyakinan.

Cindya menganggukkan kepala, “Ya, Mas. Aku coba untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang mungkin berdampak buruk. Selama tidak ada pemicunya.”

*

Pancaran sinar matahari menembus masuk ke dalam kamar melalui jendela yang masih tertutup tirai, cukup mengganggu seorang pria yang masih terlelap di atas ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh pria itu. 

Hingga akhirnya Dharmatio terbangun sepenuhnya setelah panggilan itu, pikirannya langsung bekerja dengan waspada. Suara di seberang terdengar ragu saat menyapa, tetapi Dharmatio segera memotong dengan nada tegas. "Aku sudah bilang, jangan hubungi aku pagi-pagi atau saat aku di rumah," ujarnya rendah tapi penuh tekanan. Matanya terus melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada siapapun di luar kamar.

Suara itu berhenti sejenak, seperti seseorang yang tertahan ingin menjelaskan sesuatu, tetapi Dharmatio tidak memberikan kesempatan. "Aku akan menghubungimu nanti kalau ada waktu. Sekarang jangan ganggu aku," lanjutnya sebelum memutus sambungan dengan cepat. Ia meletakkan ponsel kembali ke meja nakas dan menghela napas panjang, memijat pelipisnya sejenak.

Suara pintu yang terbuka membuat Dharmatio mengalihkan atensinya, lalu tersenyum saat melihat sosok bocah laki-laki yang berdiri di ambang pintu dengan pakaian seragam khas anak PAUD.

Langkah kaki kecil Arlantio mendekat kepada Dharmatio yang merentangkan kedua tangan, membuyarkan pikiran Dharmatio yang sempat melayang. Cindya menyusul dari belakang dengan senyum hangat sambil menggandeng tangan putra mereka. "Sarapan sudah siap," katanya, suaranya lembut tapi penuh energi pagi.

Dharmatio segera tersenyum, mencoba menyembunyikan kebingungannya barusan. Ia mengangkat tubuh Arlantio dan memeluknya erat, mencium pipi kecil putranya. "Pagi, Pahlawanku! Sudah siap sekolah?" tanyanya dengan nada ceria.

Arlantio mengangguk antusias, sementara Cindya memperhatikan interaksi mereka dengan penuh kasih sayang. Namun, di dalam dirinya, Dharmatio tahu ia harus segera menghadapi situasi yang mungkin bisa menjadi rumit. 

Untuk sekarang, ia hanya berharap bahwa apa pun yang baru saja terjadi tidak akan mengganggu keharmonisan yang telah dibangun dengan susah payah di rumahnya.

“Oh iya, Mas. Nanti siang kamu makan dirumah atau tidak?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, memecahkan keheningan yang terjadi diantara dirinya dan Dharmatio, sedangkan putranya hanya memperhatikan keduanya silih berganti dengan wajahnya yang polos.

Dharmatio bergumam pelan, berfikir sejenak lalu menggelengkan kepala. Kedua matanya menatap sang istri yang tidak mengalihkan atensi sedikitpun darinya. “Sepertinya aku akan makan diluar bersama yang lain. Memangnya kenapa?”

“Aku hari ini ingin mencari tempat les untuk Arlan, sepertinya tidak akan cukup waktunya kalau aku memasak untuk makan siang,” ucap Cindya, ditanggapi dengan ‘oh’ oleh sang suami.

“Kamu tidak perlu mencari tempat les untuk Arlan. Sesuai kesepakatan kita, bukan? Kamu yang akan mengajari Arlan, dan akan menjadi guru pribadi untuk Arlan,” balas Dharmatio, suasana hatinya seketika memburuk.

Cindya mengatupkan bibirnya saat melihat perubahan nada bicara suaminya yang menjadi sedikit ketus, ia menghela nafasnya, lalu berkata, “Oh iya bener. Sesuai kesepakatan yaa … aku lupa.”

Salah satu cara Cindya supaya suasana tidak makin memburuk, ditambah ada Arlantio-putranya- yang tengah memperhatikannya dan Dharmatio berbicara. Mengalah bukan berarti kalah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   4. Ponsel Berdering!

    Cindya menghabiskan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya mengurus Arlantio. Meskipun kadang terasa membosankan, ia mencoba menikmatinya karena itu adalah keputusan yang diambilnya dengan penuh kesadaran. Hari-hari biasanya diisi dengan bermain bersama putranya, seperti hari ini, ketika mereka sedang tertawa-tawa di ruang keluarga, bergurai sambil melempar bola kecil ke arah satu sama lain.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, menginterupsi momen menyenangkan mereka. Cindya bergegas ke pintu, mendapati seorang kurir berdiri di sana dengan sebuah paket berukuran sedang di tangannya. "Paket atas nama Dharmatio," ujar kurir itu sambil tersenyum ramah.Cindya menerima paket tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Namun, sebelum pergi, kurir itu menambahkan, "Sepertinya suaminya Mbak sayang banget sama Mbak, sering pesan paket ke alamat ini, Mbak." Kalimat sederhana itu terasa seperti angin dingin yang menyentuh Cindya. Senyumnya tetap terpaku, tapi pikirannya langsung dihantui

    Huling Na-update : 2025-03-10
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   5. Dharmatio Mendatangi Harena

    Keesokan harinya …Cindya menutup pintu dengan perlahan setelah memastikan mobil Dharmatio benar-benar menghilang di tikungan jalan. Ia melirik ke bawah, melihat Arlantio yang memegang erat tangannya sambil tersenyum polos. "Ayo, Nak, kita masuk," ujarnya lembut, menuntun putranya kembali ke dalam rumah.Begitu berada di dalam, Arlantio berlari kecil menuju ruang tamu, mencari mainannya yang tertata rapi di sudut ruangan. Cindya memperhatikannya sejenak dengan senyum, merasa bahagia melihat energi anaknya yang tak pernah habis. Namun, di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal—perasaan yang sulit dijelaskan sejak beberapa hari terakhir.Sambil duduk di sofa, ia membiarkan Arlantio bermain dengan mobil-mobilannya, sementara pikirannya melayang. Satu jam lagi ia akan mengantar Arlantio ke PAUD untuk hari keduanya. Pikiran itu membuatnya merasa campur aduk—antara bangga karena putranya tumbuh begitu cepat dan sedikit cemas karena ini adalah langkah baru bagi Arlantio."Bunda, l

    Huling Na-update : 2025-03-10
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   6. Kabar Baik atau Kabar Buruk?

    Beberapa hari kemudian ….Dharmatio mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara keras dari arah kamar mandi yang terbuka, sehingga membuatnya menyikap selimut lalu melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. Semakin dekat, suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya.“Sayang ….”Cindya menoleh setelah mendengar panggilan sang suami. Wajahnya pucat, tersenyum tipis lantas menyalakan air kran untuk membasuh wajah dan berkumur. “Maaf suaraku mengganggu tidurmu, Mas,” tuturnya lemah.Dharmatio memeluk sang istri, menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Kedua matanya memperhatikan wanitanya, perasaannya khawatir saat melihat wajah istrinya yang pucat, dan suara yang melemah.“Kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian, menangkup rahang Cindya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya lagi berada di belakang pinggang Cindya. “Kita ke dokter,” tukasnya tanpa menunggu persetujuan dari wanitanya.Dharmatio menggendong ala bridal style tubuh sang istri, melangkahkan ka

    Huling Na-update : 2025-04-30
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   7. Suara Pecahan Gelas!

    “Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”“Kamu juga punya orangtua, Harena.”Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nad

    Huling Na-update : 2025-05-02
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   8. Apakah ini ulah Harena?

    “Mas ….”Cindya mendekati suaminya yang pulang dengan kondisi memprihatinkan, dan beberapa orang yang menemani sang suami membuatnya mengerut kening. Ia memperhatikan kening, siku dan celana suaminya yang robek di bagian lutut, sehingga terlihat luka.“Suami Mbak kecelakaan tunggal menabrak tiang listrik,” ucap salah pemuda, kedua matanya bertemu dengan kedua mata Cindya yang sendu.“Kemungkinan suami mbaknya sedang banyak pikiran, jadi tidak fokus mengendarai motor,” tambahnya.Cindya menghela nafasnya perlahan, lantas ia tersenyum kepada tiga laki-laki yang berdiri dihadapannya saat ini. “Oh iya … makasih abang-abang sudah menolong suami saya,” tuturnya dengan suara lembut, nada bicaranya pun terdengar tulus sehingga membuat keempat pemuda itu menganggukkan kepala dan pamit undur diri.Wanita itu memapah suaminya yang lemas ke dalam rumah. Sesekali Dharmatio meringis kesakitan, tentu saja Cindya ikut meringis, seolah merasakan apa yang dirasakan oleh sang suami. Bagaimanapun juga ia

    Huling Na-update : 2025-05-03
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   9. Sebuah Penyesalan

    “Kamu memang sengaja datang ke sini?” tanya Cindya kepada adiknya, menatap perempuan yang duduk dihadapannya dengan kepala yang mengangguk. “Kamu tidak ada kelas memangnya?” tanyanya, ditanggapi bergumam dan kepala yang menggeleng.“Karena itu bingung di apar sendirian. Jadinya aku milih ke sini, kan ada Mbak sama Arlan. Jadinya gak terlalu kesepian,” ucap Harena diiringi dengan senyum manis, menatap kakak perempuannya yang sedang memotong bawang-bawangan.Cindya hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk-angguk, dan kembali fokus dengan pergerakannya. Ia tidak ingin hanya karena kehadiran Harena, membuatnya lambat dalam menyiapkan makan siang untuk suaminya dan putranya.Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, hingga akhirnya keheningan itu dipecah oleh Harena yang bertanya tentang Dharmatio, membuat Cindya menghentikan gerakkannya tangannya yang ingin menyalakan kompor.“Mbak, Mas Tio memangnya darimana? Kok bisa kecelakaan? Bukannya dia harusnya ke kantor?” tanya Harena be

    Huling Na-update : 2025-05-04
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   1. Cindya Memergoki Suami & Adiknya

    Cindya tertegun dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Dharmatio—suaminya—dan Harena—adik perempuannya—sedang berpelukan di ruang tamu. Situasi ini membuat otaknya berputar dengan berbagai pertanyaan yang sulit ia abaikan.“Mas Tio ….”Dharmatio dan Harena sama-sama terkejut melihat kehadiran Cindya. Wajah Harena pucat seolah ingin menjelaskan sesuatu, sementara Dharmatio dengan segera melepaskan pelukannya, tetapi tetap memandang Harena dengan ekspresi khawatir. “Kamu baik-baik saja, Harena?” tanya Dharmatio dengan nada lembut, memastikan kondisi Harena.Cindya yang berdiri di ambang pintu memicingkan mata, membuat suasana semakin berat. Ia melangkah mendekati mereka dengan langkah yang mantap namun perlahan, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ekspresi wajahnya sulit dimengerti—gabungan antara kecewa, bingung, dan kesal.“Harena, kenapa kamu ada disini? Dan kamu, ke

    Huling Na-update : 2025-03-10
  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   2. Kedatangan Cindya ke Apartement Harena

    Cindya menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada sebuah mobil yang terparkir di basement apartemen itu. Warna dan plat nomor kendaraan tersebut begitu familiar, seolah-olah itu milik suaminya, Dharmatio. Hatinya mulai diliputi berbagai spekulasi, tetapi pikirannya berusaha mencari alasan logis. "Apa yang Mas Tio lakukan di sini? Di apartemen tempat Harena tinggal?" pikirnya dengan gelisah.Bersamaan dengan itu, suara bocah laki-laki kecil yang memanggilnya memecah lamunannya. "Bunda lihat apa?" tanya anak kecil berusia lima tahun dengan rasa ingin tahu yang tulus. Tangannya yang mungil menggenggam erat jari-jari Cindya, memberikan kehangatan yang seolah mengingatkannya untuk tetap tenang.Cindya menoleh, memaksakan senyum pada wajahnya, mencoba menyembunyikan kecamuk di hatinya. "Oh, Bunda cuma kira tadi melihat teman lama Bunda saat kuliah," katanya dengan nada riang yang dibuat-buat, berharap jawaban itu cukup untuk memuaskan rasa penasaran bocah itu.Bocah kecil itu—Arlanti

    Huling Na-update : 2025-03-10

Pinakabagong kabanata

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   9. Sebuah Penyesalan

    “Kamu memang sengaja datang ke sini?” tanya Cindya kepada adiknya, menatap perempuan yang duduk dihadapannya dengan kepala yang mengangguk. “Kamu tidak ada kelas memangnya?” tanyanya, ditanggapi bergumam dan kepala yang menggeleng.“Karena itu bingung di apar sendirian. Jadinya aku milih ke sini, kan ada Mbak sama Arlan. Jadinya gak terlalu kesepian,” ucap Harena diiringi dengan senyum manis, menatap kakak perempuannya yang sedang memotong bawang-bawangan.Cindya hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk-angguk, dan kembali fokus dengan pergerakannya. Ia tidak ingin hanya karena kehadiran Harena, membuatnya lambat dalam menyiapkan makan siang untuk suaminya dan putranya.Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, hingga akhirnya keheningan itu dipecah oleh Harena yang bertanya tentang Dharmatio, membuat Cindya menghentikan gerakkannya tangannya yang ingin menyalakan kompor.“Mbak, Mas Tio memangnya darimana? Kok bisa kecelakaan? Bukannya dia harusnya ke kantor?” tanya Harena be

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   8. Apakah ini ulah Harena?

    “Mas ….”Cindya mendekati suaminya yang pulang dengan kondisi memprihatinkan, dan beberapa orang yang menemani sang suami membuatnya mengerut kening. Ia memperhatikan kening, siku dan celana suaminya yang robek di bagian lutut, sehingga terlihat luka.“Suami Mbak kecelakaan tunggal menabrak tiang listrik,” ucap salah pemuda, kedua matanya bertemu dengan kedua mata Cindya yang sendu.“Kemungkinan suami mbaknya sedang banyak pikiran, jadi tidak fokus mengendarai motor,” tambahnya.Cindya menghela nafasnya perlahan, lantas ia tersenyum kepada tiga laki-laki yang berdiri dihadapannya saat ini. “Oh iya … makasih abang-abang sudah menolong suami saya,” tuturnya dengan suara lembut, nada bicaranya pun terdengar tulus sehingga membuat keempat pemuda itu menganggukkan kepala dan pamit undur diri.Wanita itu memapah suaminya yang lemas ke dalam rumah. Sesekali Dharmatio meringis kesakitan, tentu saja Cindya ikut meringis, seolah merasakan apa yang dirasakan oleh sang suami. Bagaimanapun juga ia

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   7. Suara Pecahan Gelas!

    “Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”“Kamu juga punya orangtua, Harena.”Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nad

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   6. Kabar Baik atau Kabar Buruk?

    Beberapa hari kemudian ….Dharmatio mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara keras dari arah kamar mandi yang terbuka, sehingga membuatnya menyikap selimut lalu melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. Semakin dekat, suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya.“Sayang ….”Cindya menoleh setelah mendengar panggilan sang suami. Wajahnya pucat, tersenyum tipis lantas menyalakan air kran untuk membasuh wajah dan berkumur. “Maaf suaraku mengganggu tidurmu, Mas,” tuturnya lemah.Dharmatio memeluk sang istri, menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Kedua matanya memperhatikan wanitanya, perasaannya khawatir saat melihat wajah istrinya yang pucat, dan suara yang melemah.“Kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian, menangkup rahang Cindya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya lagi berada di belakang pinggang Cindya. “Kita ke dokter,” tukasnya tanpa menunggu persetujuan dari wanitanya.Dharmatio menggendong ala bridal style tubuh sang istri, melangkahkan ka

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   5. Dharmatio Mendatangi Harena

    Keesokan harinya …Cindya menutup pintu dengan perlahan setelah memastikan mobil Dharmatio benar-benar menghilang di tikungan jalan. Ia melirik ke bawah, melihat Arlantio yang memegang erat tangannya sambil tersenyum polos. "Ayo, Nak, kita masuk," ujarnya lembut, menuntun putranya kembali ke dalam rumah.Begitu berada di dalam, Arlantio berlari kecil menuju ruang tamu, mencari mainannya yang tertata rapi di sudut ruangan. Cindya memperhatikannya sejenak dengan senyum, merasa bahagia melihat energi anaknya yang tak pernah habis. Namun, di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal—perasaan yang sulit dijelaskan sejak beberapa hari terakhir.Sambil duduk di sofa, ia membiarkan Arlantio bermain dengan mobil-mobilannya, sementara pikirannya melayang. Satu jam lagi ia akan mengantar Arlantio ke PAUD untuk hari keduanya. Pikiran itu membuatnya merasa campur aduk—antara bangga karena putranya tumbuh begitu cepat dan sedikit cemas karena ini adalah langkah baru bagi Arlantio."Bunda, l

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   4. Ponsel Berdering!

    Cindya menghabiskan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya mengurus Arlantio. Meskipun kadang terasa membosankan, ia mencoba menikmatinya karena itu adalah keputusan yang diambilnya dengan penuh kesadaran. Hari-hari biasanya diisi dengan bermain bersama putranya, seperti hari ini, ketika mereka sedang tertawa-tawa di ruang keluarga, bergurai sambil melempar bola kecil ke arah satu sama lain.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, menginterupsi momen menyenangkan mereka. Cindya bergegas ke pintu, mendapati seorang kurir berdiri di sana dengan sebuah paket berukuran sedang di tangannya. "Paket atas nama Dharmatio," ujar kurir itu sambil tersenyum ramah.Cindya menerima paket tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Namun, sebelum pergi, kurir itu menambahkan, "Sepertinya suaminya Mbak sayang banget sama Mbak, sering pesan paket ke alamat ini, Mbak." Kalimat sederhana itu terasa seperti angin dingin yang menyentuh Cindya. Senyumnya tetap terpaku, tapi pikirannya langsung dihantui

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   3. Tentang Dharmatio

    Cindya menyambut suaminya dengan senyum yang hangat saat Dharmatio melangkah masuk ke rumah, lelah setelah hari yang panjang. Kecupan di dahinya membuat perasaan Cindya menghangat, mengingatkannya akan cinta sederhana yang mereka miliki. Dharmatio langsung menanyakan keberadaan Arlantio—putra mereka yang selalu menjadi sumber semangat dan pelipur lara di tengah padatnya pekerjaan."Dia sedang tidur di kamar," jawab Cindya lembut sambil mengulas senyum kecil. Senang melihat perhatian Dharmatio terhadap Arlantio begitu besar, ia menambahkan, "Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Kamu pasti belum makan, kan?"Dharmatio hanya mengangguk lelah, membalas senyum istrinya dengan rasa syukur. Ia kemudian menuju kamar untuk melihat putranya yang tertidur pulas, sementara Cindya melangkah ke dapur, sibuk menyiapkan makan malam yang hangat.Saat memotong sayuran, pikiran Cindya mulai dipenuhi refleksi. Melihat kondisi Dharmatio yang begitu lelah membuatnya merasa bersalah. Perasaannya dili

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   2. Kedatangan Cindya ke Apartement Harena

    Cindya menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada sebuah mobil yang terparkir di basement apartemen itu. Warna dan plat nomor kendaraan tersebut begitu familiar, seolah-olah itu milik suaminya, Dharmatio. Hatinya mulai diliputi berbagai spekulasi, tetapi pikirannya berusaha mencari alasan logis. "Apa yang Mas Tio lakukan di sini? Di apartemen tempat Harena tinggal?" pikirnya dengan gelisah.Bersamaan dengan itu, suara bocah laki-laki kecil yang memanggilnya memecah lamunannya. "Bunda lihat apa?" tanya anak kecil berusia lima tahun dengan rasa ingin tahu yang tulus. Tangannya yang mungil menggenggam erat jari-jari Cindya, memberikan kehangatan yang seolah mengingatkannya untuk tetap tenang.Cindya menoleh, memaksakan senyum pada wajahnya, mencoba menyembunyikan kecamuk di hatinya. "Oh, Bunda cuma kira tadi melihat teman lama Bunda saat kuliah," katanya dengan nada riang yang dibuat-buat, berharap jawaban itu cukup untuk memuaskan rasa penasaran bocah itu.Bocah kecil itu—Arlanti

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   1. Cindya Memergoki Suami & Adiknya

    Cindya tertegun dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Dharmatio—suaminya—dan Harena—adik perempuannya—sedang berpelukan di ruang tamu. Situasi ini membuat otaknya berputar dengan berbagai pertanyaan yang sulit ia abaikan.“Mas Tio ….”Dharmatio dan Harena sama-sama terkejut melihat kehadiran Cindya. Wajah Harena pucat seolah ingin menjelaskan sesuatu, sementara Dharmatio dengan segera melepaskan pelukannya, tetapi tetap memandang Harena dengan ekspresi khawatir. “Kamu baik-baik saja, Harena?” tanya Dharmatio dengan nada lembut, memastikan kondisi Harena.Cindya yang berdiri di ambang pintu memicingkan mata, membuat suasana semakin berat. Ia melangkah mendekati mereka dengan langkah yang mantap namun perlahan, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ekspresi wajahnya sulit dimengerti—gabungan antara kecewa, bingung, dan kesal.“Harena, kenapa kamu ada disini? Dan kamu, ke

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status