Cindya menyambut suaminya dengan senyum yang hangat saat Dharmatio melangkah masuk ke rumah, lelah setelah hari yang panjang. Kecupan di dahinya membuat perasaan Cindya menghangat, mengingatkannya akan cinta sederhana yang mereka miliki. Dharmatio langsung menanyakan keberadaan Arlantio—putra mereka yang selalu menjadi sumber semangat dan pelipur lara di tengah padatnya pekerjaan.
"Dia sedang tidur di kamar," jawab Cindya lembut sambil mengulas senyum kecil. Senang melihat perhatian Dharmatio terhadap Arlantio begitu besar, ia menambahkan, "Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Kamu pasti belum makan, kan?"
Dharmatio hanya mengangguk lelah, membalas senyum istrinya dengan rasa syukur. Ia kemudian menuju kamar untuk melihat putranya yang tertidur pulas, sementara Cindya melangkah ke dapur, sibuk menyiapkan makan malam yang hangat.
Saat memotong sayuran, pikiran Cindya mulai dipenuhi refleksi. Melihat kondisi Dharmatio yang begitu lelah membuatnya merasa bersalah. Perasaannya diliputi oleh penyesalan karena telah berprasangka buruk terhadap suaminya selama beberapa hari terakhir. Ia menarik napas perlahan, berusaha mengendapkan emosi-emosi negatif yang terus mengintainya.
"Aku harus lebih mempercayai Dharmatio," bisiknya dalam hati. Ia sadar, hubungan yang harmonis hanya bisa terjaga jika ia mampu mengendalikan pikirannya yang tidak beralasan. Dia tak ingin pikiran negatif yang tak berdasar merusak hubungan mereka, apalagi Dharmatio telah menunjukkan betapa keras ia bekerja demi keluarganya.
Usai menyiapkan makan malam, Cindya memanggil suaminya ke meja makan. Dharmatio duduk, menikmati aroma masakan yang begitu akrab di indera penciumannya. "Terima kasih, Sayang. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik," ucapnya dengan senyum tulus.
Cindya hanya tersenyum, tetapi kali ini dengan ketenangan yang lebih mendalam. Ia menyadari bahwa cinta tidak hanya berarti percaya pada pasangan, tetapi juga pada niat baik yang mereka bawa. Saat melihat Dharmatio mulai menyantap makan malamnya, rasa hangat di hatinya kembali mengalir, membawa keyakinan bahwa hubungan mereka akan selalu bisa melewati badai kecil seperti ini.
Makan malam itu berlangsung dalam keheningan yang terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Cindya dan Dharmatio fokus pada makanan masing-masing, tetapi pikiran mereka tampaknya melayang ke tempat lain. Setelah piring-piring kosong, Dharmatio bersandar di kursinya sejenak, mengamati istrinya yang mulai mencuci piring di wastafel.
"Cindya," panggil Dharmatio dengan nada lembut, tetapi cukup untuk membuat istrinya menghentikan gerakannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya, suaranya terdengar tulus, penuh perhatian.
Cindya membeku sejenak, tangan yang memegang piring berhenti di bawah aliran air. Ia perlahan menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Dharmatio yang penuh rasa ingin tahu. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Cindya merasa sulit untuk menghindar. Namun, alih-alih menjawab, ia menipiskan bibirnya, lalu melontarkan pertanyaan balik. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
Dharmatio menaikkan sebelah alisnya, sedikit bingung tetapi tetap tenang. Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Cindya yang masih berdiri di depan wastafel. Tanpa peringatan, kedua tangannya melingkar di pinggang istrinya, menariknya ke dalam pelukan yang hangat namun penuh intensitas.
Gerakan itu membuat Cindya membeku seketika. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh suaminya di belakangnya, dan suara Dharmatio yang berat, dengan nada yang sedikit serak, terdengar jelas di telinga kanannya. "Karena aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu," bisiknya, suaranya begitu dekat hingga membuat bulu kuduk Cindya berdiri.
Cindya menelan ludah, mencoba mengendalikan dirinya. "Aku... aku hanya lelah," jawabnya akhirnya, meskipun ia tahu itu bukan jawaban yang sepenuhnya jujur.
Dharmatio tidak segera melepaskannya. Sebaliknya, ia mempererat pelukannya, memberikan rasa aman yang sulit diabaikan. "Cindya, aku suamimu. Kamu bisa berbicara padaku tentang apa pun. Aku di sini untukmu," katanya dengan nada yang begitu tulus, membuat hati Cindya sedikit melunak.
Cindya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia tahu bahwa Dharmatio benar—ia harus belajar untuk lebih terbuka, terutama kepada pria yang telah menjadi pendamping hidupnya. "Aku hanya... terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini," katanya pelan, memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Dharmatio mengangguk, meskipun ia tahu ada lebih banyak hal yang belum diungkapkan oleh istrinya. "Kalau begitu, jangan biarkan pikiran itu membebanimu sendirian. Kita bisa melewati semuanya bersama, Cindya," ujarnya, suaranya penuh keyakinan.
Cindya menganggukkan kepala, “Ya, Mas. Aku coba untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang mungkin berdampak buruk. Selama tidak ada pemicunya.”
*
Pancaran sinar matahari menembus masuk ke dalam kamar melalui jendela yang masih tertutup tirai, cukup mengganggu seorang pria yang masih terlelap di atas ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh pria itu.
Hingga akhirnya Dharmatio terbangun sepenuhnya setelah panggilan itu, pikirannya langsung bekerja dengan waspada. Suara di seberang terdengar ragu saat menyapa, tetapi Dharmatio segera memotong dengan nada tegas. "Aku sudah bilang, jangan hubungi aku pagi-pagi atau saat aku di rumah," ujarnya rendah tapi penuh tekanan. Matanya terus melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada siapapun di luar kamar.
Suara itu berhenti sejenak, seperti seseorang yang tertahan ingin menjelaskan sesuatu, tetapi Dharmatio tidak memberikan kesempatan. "Aku akan menghubungimu nanti kalau ada waktu. Sekarang jangan ganggu aku," lanjutnya sebelum memutus sambungan dengan cepat. Ia meletakkan ponsel kembali ke meja nakas dan menghela napas panjang, memijat pelipisnya sejenak.
Suara pintu yang terbuka membuat Dharmatio mengalihkan atensinya, lalu tersenyum saat melihat sosok bocah laki-laki yang berdiri di ambang pintu dengan pakaian seragam khas anak PAUD.
Langkah kaki kecil Arlantio mendekat kepada Dharmatio yang merentangkan kedua tangan, membuyarkan pikiran Dharmatio yang sempat melayang. Cindya menyusul dari belakang dengan senyum hangat sambil menggandeng tangan putra mereka. "Sarapan sudah siap," katanya, suaranya lembut tapi penuh energi pagi.
Dharmatio segera tersenyum, mencoba menyembunyikan kebingungannya barusan. Ia mengangkat tubuh Arlantio dan memeluknya erat, mencium pipi kecil putranya. "Pagi, Pahlawanku! Sudah siap sekolah?" tanyanya dengan nada ceria.
Arlantio mengangguk antusias, sementara Cindya memperhatikan interaksi mereka dengan penuh kasih sayang. Namun, di dalam dirinya, Dharmatio tahu ia harus segera menghadapi situasi yang mungkin bisa menjadi rumit.
Untuk sekarang, ia hanya berharap bahwa apa pun yang baru saja terjadi tidak akan mengganggu keharmonisan yang telah dibangun dengan susah payah di rumahnya.
“Oh iya, Mas. Nanti siang kamu makan dirumah atau tidak?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, memecahkan keheningan yang terjadi diantara dirinya dan Dharmatio, sedangkan putranya hanya memperhatikan keduanya silih berganti dengan wajahnya yang polos.
Dharmatio bergumam pelan, berfikir sejenak lalu menggelengkan kepala. Kedua matanya menatap sang istri yang tidak mengalihkan atensi sedikitpun darinya. “Sepertinya aku akan makan diluar bersama yang lain. Memangnya kenapa?”
“Aku hari ini ingin mencari tempat les untuk Arlan, sepertinya tidak akan cukup waktunya kalau aku memasak untuk makan siang,” ucap Cindya, ditanggapi dengan ‘oh’ oleh sang suami.
“Kamu tidak perlu mencari tempat les untuk Arlan. Sesuai kesepakatan kita, bukan? Kamu yang akan mengajari Arlan, dan akan menjadi guru pribadi untuk Arlan,” balas Dharmatio, suasana hatinya seketika memburuk.
Cindya mengatupkan bibirnya saat melihat perubahan nada bicara suaminya yang menjadi sedikit ketus, ia menghela nafasnya, lalu berkata, “Oh iya bener. Sesuai kesepakatan yaa … aku lupa.”
Salah satu cara Cindya supaya suasana tidak makin memburuk, ditambah ada Arlantio-putranya- yang tengah memperhatikannya dan Dharmatio berbicara. Mengalah bukan berarti kalah.
“Om beneran ke apartementnya Harena?” tanya Zandi to the point, ia duduk di sisi kanan Hergantara yang menganggukkan kepala santai. Kedua matanya bertemu tatap dengan kedua mata pria setengah paruh baya yang merupakan papa dari sahabatnya-Cindya-.Hergantara memberikan gelas kecil yang berisi alkohol, dan diterima oleh Zandi yang tidak langsung meneguknya. “Kamu tahu darimana pin unit apartement Harena?” tanyanya, menaikkan sebelah alis bingung.Hergantara bisa masuk ke dalam unit apartement yang disewakan oleh Dharmatio untuk Harena berkat Zandi. Ia tidak tahu pinnya, sebelum masuk lebih dahulu bertanya kepada Zandi. Zandi dengan senang hati memberitahukannya.Zandi tersenyum penuh arti, “Aku tahu segalanya, Om. Jadi kalau Om butuh informasi, bisa tanya ke aku. Nanti aku kasih tahu secara detail,” tuturnya menaik-turunkan kedua alisnya lalu terkekeh.Pemuda itu meneguk hingga tandas minuman yang diberikan olehh Hergantara kepadanya. Kebetulan malam ini sedang kosong, dan mendapatkan
Dharmatio melangkahkan kaki mendekati Cindya dan Arlantio yang duduk di salah satu bangku taman, sedangkan Echa berada dalam gendongannya. Bayi perempuan itu sangat tenang, tidak marah-marah atau rewel saat diajak ke taman.“Abang mau ice cream?” tanya Dharmatio, membuat putranya itun mendongak dan bertemu tatap dengannya. “Papa beliin,” lanjutnya.Arlantio menganggukkan kepala, “Aku mau satu. Bunda mau?” tanyanya kepada sang bunda yang bergumam pelan, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban ‘tidak’. Ia mengangguk-anggukkan kepala, kembali memperhatikan papanya yang sedang menatapnya dengan senyum kecil.“Berarti satu, kalau Papa mau, dua. Aku mau rasa coklat,” tuturnya.Dharmatio mengacungkan jempol ke udara, “Oke sebentar. Papa belikan.” Ia segera melenggang pergi bersama dengan Echa yang berada dalam gendongannya tanpa kain atau semacamnya, benar-benar menggendong dengan tangan kosong.Sepeninggalan Dharmatio, kini tinggal Cindya dan Arlantio yang saling menatap satu sama lain. T
PRANG!“ARGHH! SIALANN!”Harena melempar sembarang vas bunga, membuat vas bunga tanpa motif itu terpecah di lantai. Nafasnya naik turun, tangan kanannya menggenggam benda pipih yang dicengkram kuat, bahkan tidak peduli jika nanti benda itu akan rusak dan melukai tangannya.“Cindya lagi … Cindya lagi ….” monolognya, lantas melangkahkan kaki ke arah balkon dan duduk di kursi santai yang sudah tersedia di balkon.Perutnya semakin buncit, sangat terllihat bahwa dirinya sedang hamil. Ini rencananya, tetapi membuatnya kesusahan. Tidak bisa kemanapun yang ia suka, kegiataannya hanya dilakukan di apartement.Bosan di unit apartement? Pergi ke taman, ke kantin, tempat olahraga seperti gym yang ada di lantai satu. Paling jauh? Ke tempat syuting Dharmatio. Jarak yang cukup jauh, ditempuh sendirian olehnya, dan menginap di hotel yang berada di dekat tempat lokasi syuting.“Percuma menjadi istri kedua, kalau tetep menjadi yang kedua,” kesalnya, lalu berdecak.TING TONNGSuara bel membuat perhatian
Arlantio membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mempertajam indra pendengarannya. Ia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah pelan ke arah kamar yang ada sedikit jauh dari kamarnya, terhalang dua kamar darinya.“Iya. Aku ke sana. Tapi nanti yaa, aku baru sampai rumah.”Suara itu semakin jelas ditelinga bocah laki-laki yang saat ini berdiri tepat didepan kamar yang memang tidak ditempati oleh siapapun, terkecuali ada keluarga besar yang datang dan menginap. Kamar itu akan digunakan oleh tamu.“Kita sudah hampir setiap hari bertemu, dan your baby juga sudah aku manja. Kamu nuntut apalagi?”Tubuh Arlantio menegang setelah mendengar penuturan yang baru saja diucapkan oleh papanya itu. Dharmatio tadi malam sudah kembali ke rumah selama satu bulan lebih satu minggu tidak ada di rumah, alasannya ada syuting yang harus dihadiri di luar daerah.Arlantio sudah bisa menebak yang sedang telfonan dengan papanya itu, wanita yang sangat ia tidak sukai sejak pertama kali wanita itu datang. Dir
Hergantara menatap cucunya yang kini tertidur di kedua pahanya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala bocah laki-laki yang sangat terlihat jelas sedang kelelahan. Ia menghela nafasnya perlahan.Setelah obrolannya dengan Arlantio dua jam yang lalu, membuat Hergantara berfikiran untuk mengirim Harena ke luar kota, tetapi jika difikirkan kembali, tidak ada manfaatnya. Dharmatio akan tetap menemui Harena.Hergantara sengaja menutupi informasi ini dari putrinya, lebih tepatnya ingin menjaga mental Cindya. Selalu bersama dengan Cindya dan kedua cucunya, bergantian dengan Arcinta-istrinya- dan Zandi.“Kamu terlalu dini untuk mengetahui urusan orang dewasa, Arlan,” monolognya. Kalimat itu seharusnya ia katakkan beberapa jam yang lalu, tetapi lidahnya kelu, bibirnya terkunci rapat. Syok setelah Arlantio melarangnya untuk tidak membahas Dharmatio kepada Cindya.Tambah terkejut saat bibir cucu pertamanya itu memberikan alasan, sehingga membuatnya benar-benar mengurungkan niat untuk tidak me
Dua bulan berlalu ….Cindya bahagia karena putrinya kini sudah bisa merangkak, dan sudah banyak mengoceh walaupun masih dengan bahasa bayi. Begitupun yang dirasakan oleh Arlantio, sebagai kakak dari Echa ikut turut bahagia melihat tumbuh kembali adik perempuannya itu. Dharmatio? Sama seperti Cindya dan Arlantio, hanya saja waktunya berkurang satu minggu karena ada syuting di luar daerah selama satu bulan.“Adekk ….”Arlantio melangkahkan kaki mendekati Echa yang sedang tengkurap di atas karpet tebal, bayi perempuan itu tidak sendiri, ada sang Bunda yang duduk di sisi kanan sambil terus mengawasi pergerakan Echa.“Halo, Abangg,” ucap Cindya, berusaha menirukan gaya bicara anak kecil, ia terkekeh saat melihat putranya menggeleng-gelengkan kepala. “Pulang bareng Grandma atau Grandpa?” tanyanya, menatap putranya yang kini duduk di hadapan Echa yang mendekat.“Grandpa,” jawab Arlantio, menatap sang bunda yang mengangguk-anggukkan kepala. Lantas atensinya kini tertuju kepada Echa yang menep