Keesokan harinya …
Cindya menutup pintu dengan perlahan setelah memastikan mobil Dharmatio benar-benar menghilang di tikungan jalan. Ia melirik ke bawah, melihat Arlantio yang memegang erat tangannya sambil tersenyum polos. "Ayo, Nak, kita masuk," ujarnya lembut, menuntun putranya kembali ke dalam rumah.
Begitu berada di dalam, Arlantio berlari kecil menuju ruang tamu, mencari mainannya yang tertata rapi di sudut ruangan. Cindya memperhatikannya sejenak dengan senyum, merasa bahagia melihat energi anaknya yang tak pernah habis. Namun, di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal—perasaan yang sulit dijelaskan sejak beberapa hari terakhir.
Sambil duduk di sofa, ia membiarkan Arlantio bermain dengan mobil-mobilannya, sementara pikirannya melayang. Satu jam lagi ia akan mengantar Arlantio ke PAUD untuk hari keduanya. Pikiran itu membuatnya merasa campur aduk—antara bangga karena putranya tumbuh begitu cepat dan sedikit cemas karena ini adalah langkah baru bagi Arlantio.
"Bunda, lihat ini!" seru Arlantio, menarik perhatian Cindya dari lamunan. Anak itu dengan bangga menunjukkan mainan barunya yang ia susun menjadi formasi unik.
"Wow, pintar sekali anak Bunda!" puji Cindya sambil mengusap kepala putranya. "Setelah ini, kita siap-siap ya. Kamu kan mau ke sekolah hari ini," lanjutnya.
Mendengar itu, Arlantio mengangguk dengan semangat, sementara itu Cindya merasa kehangatan memenuhi hatinya. Setidaknya, meskipun pikirannya penuh dengan hal-hal lain, ia bertekad memberikan yang terbaik untuk putra kecilnya.
Cindya berdiri di depan meja nakas, matanya masih memandangi permukaan yang kini kosong. Paket yang sebelumnya tergeletak rapi di sana kini sudah tidak ada. Ingatan tentang ucapan kurir kemarin kembali berputar di pikirannya, membuat rasa penasaran tak tertahankan.
Ia mencoba meredam rasa gelisah yang mulai merayap, tetapi pikiran itu terus menghantuinya. Memutuskan untuk memastikan, Cindya mengambil ponsel dari sakunya dan menekan nomor Dharmatio.
Tidak butuh waktu lama sebelum panggilan itu diangkat. "Halo, Sayang," suara Dharmatio terdengar ramah, meski ada sedikit nada kelelahan.
"Halo," balas Cindya dengan nada tenang, meskipun di dalam dirinya ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan. "Aku cuma mau tanya. Paket yang di meja nakas tadi pagi... kamu ambil?"
"Ya, aku bawa," jawab Dharmatio singkat, terdengar biasa saja seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Cindya menghela napas pelan, meskipun jawaban itu sedikit melegakannya. "Oh, oke. Aku tadi sempat bingung karena paketnya tiba-tiba hilang. Kupikir ada yang salah atau tercecer."
"Tidak, aku bawa. Memangnya kenapa?" tanya Dharmatio, kini nada suaranya terdengar sedikit lebih waspada, mungkin mencoba membaca suasana hati istrinya.
"Enggak, cuma penasaran aja," jawab Cindya, mencoba terdengar santai. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa ingin tahu tentang isi paket itu semakin menguat. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi memilih untuk menahan diri. “Kamu sudah sampai kantor?” Cindya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baru mau sampai. Ada yang mau kamu titipkan atau kamu butuh sesuatu?" Dharmatio balik bertanya, suaranya kembali terdengar lebih lembut.
"Enggak, kok. Hati-hati ya kerjanya, Mas," jawab Cindya, mencoba menutup percakapan tanpa membuat Dharmatio curiga.
"Baik, terima kasih. Kamu juga jaga diri dan Arlantio, ya. Love you," ujar Dharmatio sebelum menutup telepon.
"Love you too," jawab Cindya sebelum akhirnya menurunkan ponselnya dari telinga.
Setelah telepon berakhir, ia tetap berdiri di sana, pikirannya berputar. Meskipun paket itu jelas dibawa oleh Dharmatio, perasaan ganjil itu tak kunjung hilang. "Kenapa dia tidak memberitahu apa isi paket itu?" pikir Cindya sambil kembali ke ruang tamu, menemui Arlantio yang sedang asyik bermain.
"Bunda, kapan kita ke sekolah?" tanya Arlantio dengan suara ceria, mengalihkan pikiran Cindya sejenak.
"Satu jam lagi, Sayang. Kamu sudah siap?" balasnya dengan senyum lembut sambil mengusap kepala putranya.
"Sudah! Aku enggak sabar ketemu teman-teman," jawab Arlantio penuh semangat, membuat Cindya terkekeh pelan.
Meskipun kebahagiaan anaknya membuat suasana sedikit lebih ringan, pikiran tentang paket itu masih menggantung di benaknya. Ia tahu rasa penasaran itu tidak akan hilang begitu saja, tetapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk fokus pada hari kedua sekolah Arlantio. "Semua ini bisa kutanyakan nanti," pikirnya sambil mencoba menenangkan dirinya.
Sementara itu ditempat lain ….
Dharmatio berdiri tegak di depan pintu apartemen, matanya melirik ke sekeliling koridor yang sepi, hanya terdengar dengung mesin lift di kejauhan. Saat tombol bel yang ia tekan mengeluarkan bunyi pendek, ia memperbaiki posisi paket di lengannya, menunggu dengan sabar, meskipun ada kegelisahan yang tersembunyi di balik raut wajahnya yang tegas.
Beberapa detik kemudian, pintu apartemen terbuka. Harena, adik iparnya, berdiri di sana dengan ekspresi terkejut yang segera berubah menjadi senyum samar. Ia mengenakan sweater longgar dan celana pendek, seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur siangnya.
“Mas Tio?” Harena bertanya, nadanya terdengar bingung. Matanya turun ke arah paket di tangan Dharmatio. "Kenapa Mas Tio ke sini? Ada apa?" lanjutnya dengan nada hati-hati.
Dharmatio mendesah pelan, mencoba meredam segala tanda kegelisahan. Ia menyerahkan paket itu ke tangan Harena tanpa berbasa-basi. "Ini. Aku bawakan paket yang kamu kirim ke rumah," ucapnya singkat. Pandangannya tetap pada wajah Harena, mencoba mencari sesuatu—mungkin kejelasan, mungkin jawaban atas apa yang tak ingin ia katakan langsung.
Harena memegang paket itu dengan kedua tangannya, bibirnya menipis. "Maaf, aku lupa mengganti alamat pengiriman. Aku tidak bermaksud bikin repot," jawabnya pelan, tetapi ada ketegangan di nadanya yang seolah menyiratkan lebih dari sekadar kesalahan kecil.
Dharmatio mengangguk singkat, lalu mengambil langkah mundur. “Pastikan lain kali tidak ada yang seperti ini lagi,” katanya dengan nada datar tetapi tegas, matanya masih mengawasi reaksi Harena.
Harena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil memeluk paket itu erat-erat. Setelah beberapa detik hening yang terasa canggung, Dharmatio berbalik tanpa menunggu jawaban lebih jauh dan melangkah menuju lift. Wajahnya kembali kaku, matanya lurus memandang ke depan seolah-olah ingin segera meninggalkan tempat itu.
Di dalam lift, Dharmatio bersandar ke dinding, menghela napas panjang. Pikiran-pikirannya berputar dengan cepat, tetapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tangannya merogoh saku untuk memeriksa ponselnya. Ia melirik layar, ada pesan masuk—tetapi ia memilih untuk tidak membukanya. Ia hanya ingin momen ini berlalu, meski kesadarannya berkata bahwa ada sesuatu yang lambat laun tak mungkin lagi ia hindari.
Dharmatio duduk diam di kursi pengemudi, kedua tangannya menggenggam stir dengan erat. Pandangannya lurus menatap mobil berwarna hitam di depannya, yang seolah menjadi pengingat akan semua kebingungan yang membelit dirinya saat ini. Pikirannya kacau, sementara dada terasa berat oleh beban yang sulit ia ungkapkan.
"Sial!" umpatnya pelan tetapi penuh penekanan, kepalanya terjatuh ke atas stir. Suara benturan itu membuat perasaan frustrasinya semakin memuncak. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas, tetapi bayangan dari segala hal yang ia sembunyikan terus menghantui pikirannya.
Dharmatio mendesah keras, mencoba mengusir pikiran itu. Ia melirik ke arah pintu masuk basement, menyadari bahwa terlalu lama berada di sini bisa memancing kecurigaan—apalagi jika mertuanya mengetahui keberadaannya di tempat ini. "Aku tidak boleh bikin semuanya tambah berantakan," katanya pada dirinya sendiri, kali ini dengan suara lebih tegas.
Menghidupkan mesin mobil, Dharmatio melemparkan satu pandangan terakhir pada mobil hitam di depannya sebelum menginjak pedal gas, meninggalkan basement dengan rasa cemas yang masih menggantung. Tujuannya jelas: kantor tempat ia bekerja, tempat ia bisa sejenak mengalihkan diri dari kekacauan yang mengintai kehidupannya. Tetapi di balik ketenangan wajahnya, pikirannya tidak berhenti bergejolak, mencari cara untuk menyelesaikan apa yang tak bisa ia hindari lebih lama.
Cindya menatap sang bunda yang duduk tenang memperhatikannya di ruang keluarga, ia tidak perlu khawatir tentang kedua anaknya yang sedang dijaga dan diajak main oleh Zandi dan sang papa.“Kamu serius tentang itu? Kamu mau kerja di kantor Papa?” tanya Arcinta, mencoba untuk mencari tahu apakah putrinya itu sudah sangat yakin atau belum dengan keputusan tersebut. “Kamu tetap akan bertemu dengan Dharma,” lanjutnya.Cindya tersenyum tipis, “Aku yakin, Bunda. Dan untuk itu, aku bisa membuat semua karyawan Papa itu tutup mulut. Dengan begitu, mereka tidak akan ada yang membocorkan aku kerja di kantor papa.”“Kamu tidak takut kalau kamu dipandang memanfaatkan kekuasaan papa?”Cindya bergumam pelan, mencoba untuk membuat tubuhnya rileks dengan bersandar dan melipat keduanya. Atensinya menatap sang bunda yang tidak mengalihkan atensi kepadanya. Jujur saja, pemikiran itu tidak menjadi beban untuknya.“Selama aku kerja dengan baik, sangat baik, dan membawa perubahan terhadap kantor Papa, kenapa
Cindya menghela nafasnya perlahan, ia memperhatikan kamarnya yang dahulu ditempati olehnya sebelum menikah. Tidak ada yang berubah, furniture dan barang-barang miliknya masih pada tempatnya.Sesuai dengan pembicaraannya dengan kedua orangnya satu jam yang lalu, papanya yang tegas, memaksanya untuk kembali ke rumah ini, tanpa memberitahu Dharmatio-suaminya-.Suara bayi yang ada di troli bayi membuat perhatian Cindya teralihkan. Wanita itu melangkahkan kaki ke depan, berjongkok lantas tersenyum manis menatap Echa yang bergerak minta untuk dilepaskan.“Gak mau. Adek diem aja ya di situ, Bunda mau tidur,” ucap Cindya, memperhatikan ekspresi Echa yang berubah menjadi cemberut, keningnya mengkerut.Wanita itu beranjak, berbalik badan, lantas saat ingin melangkahkan kedua kaki jenjangnya, suara tangis Echa memenuhi kamar ini. Sehingga membuat Cindya berbalik badan, lalu melepaskan tali yang menahan Echa untuk tidak bergerak banyak, dan menggendongnya.“Anak cantik, gak boleh nangis,” ucap C
Hergantara memperhatikan putrinya yang semakin hari semakin kurus, “Kamu tidak makan atau gimana?” tanyanya sarkas, membuat Cindya mengulum bibir dan hanya terdiam. “Kalau seperti ini terus menerus, Papa yang akan ambil alih semuanya,” lanjutnya tegas.“Pah … gak usah sampai sejauh itu,” ujar Cindya sedikit keras. Sekarang, dirinya bisa bebas berekspresi, karena hanya dirinya dan Hergantara. Putri kecilnya dan putranya sedang bersama dengan Arcinta-Bundanya-.Hergantara menegakkan tubuhnya, menatap dalam kedua mata putrinya yang sayu. Putrinya itu bisa berkata ‘baik-baik saja’, tetapi tatapan dan tubuh yang semakin kurus, menandakan bahwa putrinya itu sedang kelelahan, dan tidak baik-baik saja.“Kamu mau kaya gini terus? Sedangkan mereka diluar sana sangat bahagia, mereka tidak memikirkanmu? Are you seriously?”Cindya menghela nafasnnya, memijat pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Apa yang dikatakan oleh papanya itu seperti pedang yang menusuk otaknya, melukai kepalanya, ben
Cindya tersenyum lebar melihat tingkah putrinya yang tengkurap, mencoba untuk merangkak, tetapi belum bisa, dan membuat bayi perempuan itu terlihat sangat menggemaskan.“Adek mau merangkak? Coba lagi yukk ….” Cindya menyemangati Echa, naluri seorang ibu yang mendukung tumbuh kembang anak.Sementara bayi perempuan itu tersenyum lebar, mencoba untuk terus merangkak walaupun tidak menghasilkan apapun, alias hanya diam ditempat.Cindya terkekeh pelan, mengangguk-anggukkan kepala, “Gapapa, dicoba lagi. Yukk Adek pasti bisa,” tuturnya dengan penuh semangatt.Kalau bayi perempuan itu sudah bisa ngomong dan mengerti apa yang dilakukannya sekarang, sudah dipastikan akan mengoceh panjang, melampiaskan rasa kesalnya karena tidak bisa melakukannya.Sementara Cindya hanya memperhatikan putri kecilnya yang terus bergerak di kasur, sedangkan dirinya duduk bersandar dengan kedua kaki terlipat.Lagi-lagi Cindya dibuat gemas oleh Echa, walaupun putri kecilnya itu hanya menatapnya dengan kedua mata bula
Cindya mengerjapkan kedua matanya saat merasakan kecupan di pelipisnya, samar-samar melihat sosok Dharmatio yang tersenyum kepadanya. Cahaya yang masuk melalui celah jendela, berhasil mengusik indra penglihatannya.“Mas, kamu baru pulang?” tanya Cindya dengan suaranya yang serak, bangkit lantas duduk bersandar. Kini kedua matanya melihat jelas sosok tinggi yang berdiri di sisinya setelah tangannya menyentuh saklar untuk menyalakan lampu kamarnya .Dharmatio menganggukkan kepala, ia mengecup bibir sang istri cukup lama, dan istrinya mengikuti permainannya saat ini. Tiba-tiba saja aktivitas mereka harus terhenti karena terdengar suara tangisan bayi dari dalam box bayi.Dharmatio berdecak kesal, sedangkan Cindya hanya tertawa melihat Dharmatio yang melangkahkan kaki mendekati box bayi untuk melihat Echa-putri kecil mereka-.“Anak cantik sudah bangun?” monolog Dharmatio, kedua tangannya mengangkat tubuh Echa, lalu menggendongnya dengan mengusap punggung bayi perempuan itu. “Mau susu?” tan
Harena memperhatikan tubuhnya pada cermin full body dihadapannya saat ini, kedua tangannya mengusap perutnya yang terbuka, karena saat ini dirinya memakai kaos croptop. “Mas, menurutmu anak kita nanti perempuan atau laki-laki?” tanyanya menoleh ke belakang.Dharmatio, pria itu terbaring dengan selimut yang menutupi setengah bawah tubuhnya. Kedua mata menatap datar Harena yang tersenyum kepadanya. “Kamu serius bertanya kepadakuu? Kalau kamu penasaran, kenapa tidak check ke dokter kandungan?” balasnya sedikit sarkasme, sehingga membuat Harena mengalihkan atensi.Wanita hamil itu menahan diri untuk tidak menangis dihadapan Dharmatio, sejujurnya ia sangat benci menangis. Saat dirinya menangis, kejadian dimasa kelam teringat kembali. Saat tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari orangtuanya, hingga sampai akhirnya wanita itu di kirim ke panti asuhan.Sedangkan Dharmatio menyibak selimut, bangkit dan duduk bersandar dengan kedua kaki yang terlipat. Aura panas sedang dihalau olehnya, benar