Home / Rumah Tangga / Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku / 5. Dharmatio Mendatangi Harena

Share

5. Dharmatio Mendatangi Harena

Author: Lapini
last update Last Updated: 2025-03-10 13:55:08

Keesokan harinya …

Cindya menutup pintu dengan perlahan setelah memastikan mobil Dharmatio benar-benar menghilang di tikungan jalan. Ia melirik ke bawah, melihat Arlantio yang memegang erat tangannya sambil tersenyum polos. "Ayo, Nak, kita masuk," ujarnya lembut, menuntun putranya kembali ke dalam rumah.

Begitu berada di dalam, Arlantio berlari kecil menuju ruang tamu, mencari mainannya yang tertata rapi di sudut ruangan. Cindya memperhatikannya sejenak dengan senyum, merasa bahagia melihat energi anaknya yang tak pernah habis. Namun, di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal—perasaan yang sulit dijelaskan sejak beberapa hari terakhir.

Sambil duduk di sofa, ia membiarkan Arlantio bermain dengan mobil-mobilannya, sementara pikirannya melayang. Satu jam lagi ia akan mengantar Arlantio ke PAUD untuk hari keduanya. Pikiran itu membuatnya merasa campur aduk—antara bangga karena putranya tumbuh begitu cepat dan sedikit cemas karena ini adalah langkah baru bagi Arlantio.

"Bunda, lihat ini!" seru Arlantio, menarik perhatian Cindya dari lamunan. Anak itu dengan bangga menunjukkan mainan barunya yang ia susun menjadi formasi unik.

"Wow, pintar sekali anak Bunda!" puji Cindya sambil mengusap kepala putranya. "Setelah ini, kita siap-siap ya. Kamu kan mau ke sekolah hari ini," lanjutnya.

Mendengar itu, Arlantio mengangguk dengan semangat, sementara itu Cindya merasa kehangatan memenuhi hatinya. Setidaknya, meskipun pikirannya penuh dengan hal-hal lain, ia bertekad memberikan yang terbaik untuk putra kecilnya. 

Cindya berdiri di depan meja nakas, matanya masih memandangi permukaan yang kini kosong. Paket yang sebelumnya tergeletak rapi di sana kini sudah tidak ada. Ingatan tentang ucapan kurir kemarin kembali berputar di pikirannya, membuat rasa penasaran tak tertahankan. 

Ia mencoba meredam rasa gelisah yang mulai merayap, tetapi pikiran itu terus menghantuinya. Memutuskan untuk memastikan, Cindya mengambil ponsel dari sakunya dan menekan nomor Dharmatio.

Tidak butuh waktu lama sebelum panggilan itu diangkat. "Halo, Sayang," suara Dharmatio terdengar ramah, meski ada sedikit nada kelelahan.

"Halo," balas Cindya dengan nada tenang, meskipun di dalam dirinya ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan. "Aku cuma mau tanya. Paket yang di meja nakas tadi pagi... kamu ambil?"

"Ya, aku bawa," jawab Dharmatio singkat, terdengar biasa saja seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

Cindya menghela napas pelan, meskipun jawaban itu sedikit melegakannya. "Oh, oke. Aku tadi sempat bingung karena paketnya tiba-tiba hilang. Kupikir ada yang salah atau tercecer."

"Tidak, aku bawa. Memangnya kenapa?" tanya Dharmatio, kini nada suaranya terdengar sedikit lebih waspada, mungkin mencoba membaca suasana hati istrinya.

"Enggak, cuma penasaran aja," jawab Cindya, mencoba terdengar santai. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa ingin tahu tentang isi paket itu semakin menguat. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi memilih untuk menahan diri. “Kamu sudah sampai kantor?” Cindya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Baru mau sampai. Ada yang mau kamu titipkan atau kamu butuh sesuatu?" Dharmatio balik bertanya, suaranya kembali terdengar lebih lembut.

"Enggak, kok. Hati-hati ya kerjanya, Mas," jawab Cindya, mencoba menutup percakapan tanpa membuat Dharmatio curiga.

"Baik, terima kasih. Kamu juga jaga diri dan Arlantio, ya. Love you," ujar Dharmatio sebelum menutup telepon.

"Love you too," jawab Cindya sebelum akhirnya menurunkan ponselnya dari telinga. 

Setelah telepon berakhir, ia tetap berdiri di sana, pikirannya berputar. Meskipun paket itu jelas dibawa oleh Dharmatio, perasaan ganjil itu tak kunjung hilang. "Kenapa dia tidak memberitahu apa isi paket itu?" pikir Cindya sambil kembali ke ruang tamu, menemui Arlantio yang sedang asyik bermain.

"Bunda, kapan kita ke sekolah?" tanya Arlantio dengan suara ceria, mengalihkan pikiran Cindya sejenak.

"Satu jam lagi, Sayang. Kamu sudah siap?" balasnya dengan senyum lembut sambil mengusap kepala putranya.

"Sudah! Aku enggak sabar ketemu teman-teman," jawab Arlantio penuh semangat, membuat Cindya terkekeh pelan.

Meskipun kebahagiaan anaknya membuat suasana sedikit lebih ringan, pikiran tentang paket itu masih menggantung di benaknya. Ia tahu rasa penasaran itu tidak akan hilang begitu saja, tetapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk fokus pada hari kedua sekolah Arlantio. "Semua ini bisa kutanyakan nanti," pikirnya sambil mencoba menenangkan dirinya.

Sementara itu ditempat lain ….

Dharmatio berdiri tegak di depan pintu apartemen, matanya melirik ke sekeliling koridor yang sepi, hanya terdengar dengung mesin lift di kejauhan. Saat tombol bel yang ia tekan mengeluarkan bunyi pendek, ia memperbaiki posisi paket di lengannya, menunggu dengan sabar, meskipun ada kegelisahan yang tersembunyi di balik raut wajahnya yang tegas.

Beberapa detik kemudian, pintu apartemen terbuka. Harena, adik iparnya, berdiri di sana dengan ekspresi terkejut yang segera berubah menjadi senyum samar. Ia mengenakan sweater longgar dan celana pendek, seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur siangnya.

“Mas Tio?” Harena bertanya, nadanya terdengar bingung. Matanya turun ke arah paket di tangan Dharmatio. "Kenapa Mas Tio ke sini? Ada apa?" lanjutnya dengan nada hati-hati.

Dharmatio mendesah pelan, mencoba meredam segala tanda kegelisahan. Ia menyerahkan paket itu ke tangan Harena tanpa berbasa-basi. "Ini. Aku bawakan paket yang kamu kirim ke rumah," ucapnya singkat. Pandangannya tetap pada wajah Harena, mencoba mencari sesuatu—mungkin kejelasan, mungkin jawaban atas apa yang tak ingin ia katakan langsung.

Harena memegang paket itu dengan kedua tangannya, bibirnya menipis. "Maaf, aku lupa mengganti alamat pengiriman. Aku tidak bermaksud bikin repot," jawabnya pelan, tetapi ada ketegangan di nadanya yang seolah menyiratkan lebih dari sekadar kesalahan kecil.

Dharmatio mengangguk singkat, lalu mengambil langkah mundur. “Pastikan lain kali tidak ada yang seperti ini lagi,” katanya dengan nada datar tetapi tegas, matanya masih mengawasi reaksi Harena.

Harena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil memeluk paket itu erat-erat. Setelah beberapa detik hening yang terasa canggung, Dharmatio berbalik tanpa menunggu jawaban lebih jauh dan melangkah menuju lift. Wajahnya kembali kaku, matanya lurus memandang ke depan seolah-olah ingin segera meninggalkan tempat itu.

Di dalam lift, Dharmatio bersandar ke dinding, menghela napas panjang. Pikiran-pikirannya berputar dengan cepat, tetapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tangannya merogoh saku untuk memeriksa ponselnya. Ia melirik layar, ada pesan masuk—tetapi ia memilih untuk tidak membukanya. Ia hanya ingin momen ini berlalu, meski kesadarannya berkata bahwa ada sesuatu yang lambat laun tak mungkin lagi ia hindari.

Dharmatio duduk diam di kursi pengemudi, kedua tangannya menggenggam stir dengan erat. Pandangannya lurus menatap mobil berwarna hitam di depannya, yang seolah menjadi pengingat akan semua kebingungan yang membelit dirinya saat ini. Pikirannya kacau, sementara dada terasa berat oleh beban yang sulit ia ungkapkan.

"Sial!" umpatnya pelan tetapi penuh penekanan, kepalanya terjatuh ke atas stir. Suara benturan itu membuat perasaan frustrasinya semakin memuncak. Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas, tetapi bayangan dari segala hal yang ia sembunyikan terus menghantui pikirannya.

Dharmatio mendesah keras, mencoba mengusir pikiran itu. Ia melirik ke arah pintu masuk basement, menyadari bahwa terlalu lama berada di sini bisa memancing kecurigaan—apalagi jika mertuanya mengetahui keberadaannya di tempat ini. "Aku tidak boleh bikin semuanya tambah berantakan," katanya pada dirinya sendiri, kali ini dengan suara lebih tegas.

Menghidupkan mesin mobil, Dharmatio melemparkan satu pandangan terakhir pada mobil hitam di depannya sebelum menginjak pedal gas, meninggalkan basement dengan rasa cemas yang masih menggantung. Tujuannya jelas: kantor tempat ia bekerja, tempat ia bisa sejenak mengalihkan diri dari kekacauan yang mengintai kehidupannya. Tetapi di balik ketenangan wajahnya, pikirannya tidak berhenti bergejolak, mencari cara untuk menyelesaikan apa yang tak bisa ia hindari lebih lama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   59. Tempat Singgah Dharmatio

    “Mas, diminum dulu.”Cindya memberikan minuman coklat hangat kepada suaminya yang sangat lesu pada malam ini, ia memilih untuk duduk di kursi sebelah kanan Dharmatio yang meneguk sedikit demi sedikit coklat yang dibuatkan olehnya.Saat Dharmatio datang beberapa menit yang lalu dengan wajah lesu, lelah dan letih, membuat Cindya mengambil inisiatif atas gerakan hatinya yang berkata ‘dia itu suamimu’. Cindya menyarankan suaminya untuk membersihkan diri, setelahnya baru di ajak ke ruang makan untuk dibuatkan minuman hangat.Echa? Di jaga oleh Arlantio yang happy karena bisa berinteraksi dengan adik perempuannya itu, tidak ada paksaan. Arlantio melakukannya karena suka.“Kerjaan lagi berat di kantor?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, mengusap punggung Dharmatio dengan penuh perasaan, kedua matanya memperhatikan wajah sang suami yang tidak bersemangat dari sebelum-sebelumnya.Cindya hanya terdiam setelah pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban dari sang suami, ia cukup sadar diri d

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   58. Halusinasi Dharmatio

    Dharmatio membaringkan tubuhnya pada sofa berwarna putih, menutup setengahh wajahnya dengan lengannya. Ini bukan di rumahnya, ia sangat sadar saat ini sedang di apartement milik Harena yang ia sewa selama lima bulan. Hanya lima bulan.“Loh, Mas? Sudah pulang?” Harena melangkahkan kaki ke dapur untuk mengambil minum, tenggorokannya sangat kering karena baru bangun dari tidur siangnya. Kedua matanya memperhatikan Dharmatio yang sepertinya sedang mencoba untuk tertidur.“Mau makan apa? Aku mau pesan makan buat makan malam,” ujarnya memecahkan keheningan, pertanyaannya tidak membuat Dharmatio bergerak sedikitpun.“Tidak perlu, aku nanti makan di rumah,” jawab Dharmatio tanpa mengalihkan tangannya yang sengaja menutupi kedua matanya, lebih tepatnya menutup pandangannya untuk tidak melihat wujud Harena.Sedangkan Harena menghela nafasnya perlahan, merogoh saku celana pendeknya, lalu membuka aplikasi pesan-antar makanan. “Aku pesenin cemilin sama kopi,” tuturnya, dan hanya ditanggapi dengan

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   57. Kedekatan Ibu dan Anak Pertamanya

    “Maaf ya, baby. Kemaren istriku tidak bisa ditinggal, sepertinnya saat ini juga aku tidak bisa lama-lama, ada meeting dan aku harus hadir,” ujar Dharmatio dengan suara pelan, memainkan rambut wanita yang sedang bersamanya saat ini.“Mas baru dateng loh, aku masih kangen,” ucap wanita itu dengan nada bicaranya yang manja, mendongak untuk bertemu tatap dengan kedua mata Dharmatio yang sedang menatapnya. “Memangnya tidak bisa diundur jadwalnya?” lanjutnya, kedua matanya seolah berbicara ‘please’.Sayangnya, Dharmatio bukan pria yang menyalurkan seluruhnya untuk wanita. Ia bisa tegas, dan tahu mana yang harus diprioritaskan. Bujuk rayu, tatapan yang seperti anak kucing itu tidak akan membuatnya mengindahkan atau meng-iya-kan.Pria itu menggelengkan kepala, “Maaf ya, Harena. Tidak bisa. Meeting ini penting, dan sudah dijadwalkan dari seminggu yang lalu. Jadi tidak bisa diundur seenaknya, lagipula Mommy ikut andil.”Harena berdecak kesal setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Dharmatio, i

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   56. Cindya Berbohong

    Dharmatio menggigit bibirnya, melangkah mondar mandir di kamarnya dengan kening yang mengkerut, alis bertaut. Obrolannya dengan Arlantio tadi siang benar-benar membuatnya terus berpikir hingga tengah malam.Kedua matanya memperhatikan wanita yang tertidur menghadap ke box bayi yang berada di celah antara ranjang dan lemari.“Kecerdasan kamu nurun ke Arlan, Cindya. Tidak mudah untuk dibohongi, tetapi aku harus melakukannya. Maaf kalau nanti kamu tersakiti,” monolognya dengan suara pelan, menghela nafas lalu menyugar surai panjangnya.Pria itu memilih untuk pergi dari kamar, ia melangkahkan kakinya ke rooftop rumahnya yang jarang disinggahi olehnya. Ruang terbuka, tanpa orang lain yang menemani, memang itu yang diinginkan oleh Dharmatio supaya pikirannya lebih terbuka dan tidak terburu-buru dalam bertindak.Dharmatio duduk di salah satu bangku yang ada di rooftop, mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus rokok yang ia simpan dalam saku. Entah sejak kapan dirinya menjadi perokok aktif, ya

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   55. "Panikk?"

    “Di block? Sialann. Dharma sialann. Kamu sedang mempermainkanku?”Harena mengerang kesal, ia melempar benda pipih itu ke atas ranjang, ke sisi kirinya. Nomornya baru saja diblokir oleh Dharmatio, setelah dirinya mengirim pesan kepada kakak iparnya itu terkait pertemuan besok.Wanita itu duduk di ujung ranjang dengan kedua mata yang menatap tajam cermin yang memantulkan dirinya. Alis bertaut, bibir merah menyala itu menyunggingkan senyum villain, tangan yang mencengkram kuat ujung ranjang, dress berwarna putih yang sengaja memperlihatkan bahunya.Harena tidak tahu jika Dharmatio akanj menghabiskan waktu dengan keluarga kecil pria itu, ia hanya tahu Dharmatio akan menemuinya hari ini setelah dua hari kemarin intens, bahkan dirinya dan kakak iparnya itu melakukan hubungan layaknya suami-istri.Jika mengingat itu, senyum di kedua sudut bibir wanita tidak bisa ditahan. “Memang, pesona aku lebih menggoda dibandingkan istrimu yang tidak seberapa itu,” monolognya, seolah cermin itu adalah Dha

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   54. "Pesan dari Pak Budi."

    Cindya menaikkan sebelah alisnya saat Dharmatio berdiri setelah menerima panggilan suara. Kecurigaannya mulai muncul, sebelumnya sang suami tidak pernah menjauh darinya kalau mendapatkan telfon.Suara Arlan yang sedang terkekeh membuat perhatian wanita itu teralihkan, setidaknya masih ada Arlantio dan Echa yang membuat isi kepalanya buyar. Benar kata Bunda, apapun yang terjadi dalam rumah tangganya, anak harus tetap menjadi prioritas.“Abang senang banget sepertinya. Memangnya adek ngapain tadi?” tanyanya, membuat putranya menaikkan pandangan dan bertemu dengannya. Ia mengulas senyum saat kedua mata Arlantio tertuju kepadanya.“Tidak. Adek sedang tidur, tetapi bibirnya bergerak, jadinya terlihat lucu,” oceh Arlantio, menoleh memperhatikan bayi perempuan yang sedang tertidur di box bayi.Sesuai dengan permintaan bocah laki-laki itu, mereka hanya menghabiskan waktu di rumah, setidaknya kehangatan dan kebahagiaan tetap didapatkan oleh mereka. Bahagia tidak harus keluar rumah, menghabiska

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status