“Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”
Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”
Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.
“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.
“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”
“Kamu juga punya orangtua, Harena.”
Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.
“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nada sindiran. “Kalau aku mendapatkan perlakuan baik dari mereka, aku gak bakalan lari ke kamu, Mas,” imbuhnya.
Dharmatio terdiam. Sudah hampir tiga tahun dirinya menyempatkan diri untuk bertemu dengan Harena, sudah hampir tiga tahun juga ia menjadi tempat keluh-kesah adik iparnya. Jika diingat lagi, adik iparnya itu diperlakukan dengan baik, lalu sekarang gadis itu mengatakan perlakuan orangtua mereka tidak baik?
“Mas … hamili aku.”
Dharmatio otomatis menoleh. Kedua matanya melotot, syok dan tidak percaya degan apa yang baru saja dikatakan oleh Harena. Dua kata terakhir membuatnya menggeram, dan spontan menjaga jarak dengan adik iparnya itu.
“Aku juga mau seperti Mbak Cindya, Mas. Mendapatkan perhatian kamu, dan kamu selalu ada disaat aku butuhin kamu. Aku mau semuanya yang Mbak Cindya dapetin dari kamu,” lanjut Harena, menatap Dharmatio yang menggelengkan kepala.
Pria itu segera bangkit, membuat Harena mengikutinya. Dharmatio merasa ini sudah diluar batas, mengeraskan rahangnya sehingga membuat kulit wajahnya tertarik.
“Cindya itu istri aku, dan kamu itu adik ipar aku. Tidak sepantasnya kamu mengatakan itu kepadaku yang merupakan kakak ipar kamu, Harena!”
Harena menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh, seperti meremehkan apa yang baru saja diucapkan oleh pria dihadapannya saat ini. “Hanya sebatas itu hubungan kita, Mas?” tanyanya, lantas ia mengangguk-anggukkan kepala.
Dharmatio melangkah mundur ketika Harena melangkah mendekat kearahnya. “Hubungan kita memang sebatas itu, Harena. Dan aku minta sama kamu, mulai sekarang stop mendekatiku,” ucapnya.
Lantas Harena tertawa. “Kamu munafik, Mas. Dan aku suka itu,” kekehnya.
Dhamartio menyugar surai hitamnya, lalu berbalik badan dan memilih untuk pergi dari hadapan Harena yang menurutnya sudah diluar batas. Pagi ini, ia melihat sisi lain dari Harena yang diluar prediksi.
Sebelum hari ini, Dharmatio tidak masalah jika adik iparnya itu mendekatinya, menghabiskan waktu kosong bersamanya, tetapi semua itu disalah artikan oleh Harena yang menganggap hubungan mereka lebih dari sebatas adik dan kakak ipar.
Seketika, hari ini juga kehidupan Dharmatio tidak akan tenang.
“Oke, aku menghargai keputusanmu, Mas,” ucap Harena santai dan tenang, memperhatikan Dharmatio yang menghentikan langkah. Ia menampilkan smirk smile tipis, hanya satu detik karena kakak iparnya itu menoleh.
“Tetapi jangan salahin aku kalau aku sering datang ke rumah kalian, alibi bertemu dengan Arlantio. Kamu tau kan apa yang aku maksud, Mas?” lanjutnya, menaik-turunkan kedua alisnya, diakhiri dengan terkekeh saat melihat ekspresi Dharmatio yang semakin mengeras.
“Selama aku minta baik-baik, jangan pernah pancing sisi gelap aku untuk keluar, Mas Tio.”
Sementara itu ditempat lain, Cindya duduk bersandar diatas kasur bersama dengan putranya yang tidur di kedua pahanya. Mereka saat ini menghabiskan waktu berdua, putranya itu ijin untuk tidak masuk sekolah dengan alasan menjaganya yang sedang tidak fit, sedangkan suaminya pergi ke kantor.
“Bunda … berarti nanti aku akan menjadi abang?” tanya Arlantio dengan gemasnya, menatap sang bunda yang menurunkan pandangan.
Cindya tersenyum manis dengan kepala yang mengangguk. Tangannya bergerak mengusap surai hitam putranya yang halus dan lurus. “Kamu senang punya adik?” tanyanya, diangguki semangat.
Arlantio bangkit, duduk dengan kedua kakinya yang terlipat. Ekspresi wajahnya sangat bahagia, ditambah senyumnya yang lebar, sudah mewakili perasaannya saat ini. “Bukan senang, Bunda. Aku bahagiaa sekali. Jadi, nanti aku ada teman main kalau Papa bekerja, dan Bunda membereskan rumah,” ocehnya, membuat sang bunda terkekeh.
“Gitu ya?’
Arlantio mengangguk. “Kalau adik aku nanti perempuan, aku bakalan jaga supaya tidak ada yang menyakitinya,” ucapnya, menatap Cindya yang mengangguk-anggukkan kepala menanggapi ocehannya.
“Terus kalu laki-laki, kamu tidak menjaganya?”
Arlantio mendesis diiringi dengan kepala yang menggeleng-geleng. “No … bukan seperti itu. Aku tetap jaga pergaulan adik aku, pokoknya aku mau jadi garda terdepan buat adik aku nanti,” celotehnya.
Cindya yang gemas pun memberikan kode untuk duduk di sebelahnya, lalu memeluk dan mengecup kedua pipi putranya. Ia sangat bersyukur karena telah dititipkan sosok malaikat kecil untuknya, dan beberapa bulan lagi akan ada malaikat kecil lainnya.
“Bunda tidak lapar?” tanya Arlantio, menatap bundanya yang bergumam pelan. “Aku lapar,” lanjutnya diakhiri dengan terkekeh, menggaruk ceruk lehernya salah tingkah.
“Mau Bunda masakin apa?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, tersenyum manis dan atensinya hanya terkunci untuk memperhatikan putranya yang mengetuk dagu seolah sedang berfikir.
“Apapun yang Bunda masak, pasti aku makan,” ucap Arlantio dengan suaranya yang menggemaskan, diakhiri dengan terkekeh.
Cindya mencapit kedua pipi putranya sebelum akhirnya turun dari ranjang dengan hati-hati dan dibantu oleh putranya yang siaga menjaganya. Namun seketika suasana hening, panik dan cemas bercampur menjadi satu setelah mendengar suara pecahan kaca di lantai.
PRANG!
“Bunda … are you okay?”
“Boleh Bunda minta tolong?”
“Ya, Bunda?”
“Tolong ambilkan handphone Bunda di meja, Bunda ingin menghubungi Papa. Perasaan Bunda tidak enak ….”
“Mas ….”Cindya mendekati suaminya yang pulang dengan kondisi memprihatinkan, dan beberapa orang yang menemani sang suami membuatnya mengerut kening. Ia memperhatikan kening, siku dan celana suaminya yang robek di bagian lutut, sehingga terlihat luka.“Suami Mbak kecelakaan tunggal menabrak tiang listrik,” ucap salah pemuda, kedua matanya bertemu dengan kedua mata Cindya yang sendu.“Kemungkinan suami mbaknya sedang banyak pikiran, jadi tidak fokus mengendarai motor,” tambahnya.Cindya menghela nafasnya perlahan, lantas ia tersenyum kepada tiga laki-laki yang berdiri dihadapannya saat ini. “Oh iya … makasih abang-abang sudah menolong suami saya,” tuturnya dengan suara lembut, nada bicaranya pun terdengar tulus sehingga membuat keempat pemuda itu menganggukkan kepala dan pamit undur diri.Wanita itu memapah suaminya yang lemas ke dalam rumah. Sesekali Dharmatio meringis kesakitan, tentu saja Cindya ikut meringis, seolah merasakan apa yang dirasakan oleh sang suami. Bagaimanapun juga ia
“Kamu memang sengaja datang ke sini?” tanya Cindya kepada adiknya, menatap perempuan yang duduk dihadapannya dengan kepala yang mengangguk. “Kamu tidak ada kelas memangnya?” tanyanya, ditanggapi bergumam dan kepala yang menggeleng.“Karena itu bingung di apar sendirian. Jadinya aku milih ke sini, kan ada Mbak sama Arlan. Jadinya gak terlalu kesepian,” ucap Harena diiringi dengan senyum manis, menatap kakak perempuannya yang sedang memotong bawang-bawangan.Cindya hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk-angguk, dan kembali fokus dengan pergerakannya. Ia tidak ingin hanya karena kehadiran Harena, membuatnya lambat dalam menyiapkan makan siang untuk suaminya dan putranya.Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, hingga akhirnya keheningan itu dipecah oleh Harena yang bertanya tentang Dharmatio, membuat Cindya menghentikan gerakkannya tangannya yang ingin menyalakan kompor.“Mbak, Mas Tio memangnya darimana? Kok bisa kecelakaan? Bukannya dia harusnya ke kantor?” tanya Harena be
“Papa udah bangun?”Dharmatio menatap datar Harena yang datang bersama putranya, perasaannya masih tidak nyaman jika harus berada diruangan yang sama dengan adik iparnya itu. Ia menghela nafasnya perlahan, harus diingat-ingat ada Arlantio bersamanya.Pria itu tersenyum manis kepada Arlantio yang mendekat, ia menepuk space kosong di sisinya, memberikan isyarat kepada putranya untuk duduk disebelahnya, dan bocah laki-laki itu mengindahkannya tanpa banyak bicara.“Kamu habis bantu Bunda?” tanya Dharmatio dengan lembut dan penuh kasih sayang, menatap putranya yang menggelengkan kepala. “Lalu?” tanyanya lagi, merasa tidak puas dengan jawaban sang putra.“Aku minta ke Bunda untuk bikinin susu, soalnya aku ada tugas dari Bu Guru,” jelas Arlantio, menatap papanya yang mengangguk-anggukkan kepala mengerti.“Susunya tante taruh sini ya.”Suara Harena yang lembut membuat atensi Arlantio dan Dharmatio teralihkan. Arlantio menganggukkan kepala, sedangkan kedua mata Dharmatio meloto saat melihat ba
“Kamu beneran tidak ada kelas hari ini?” tanya Cindya setelah meneguk segelas air, kedua matanya menatap adiknya yang sedang menghabiskan makan siang. “Kalau memang tidak ada kelas, Mbak minta tolong sama kamu untuk jagain Mas Dharma,” lanjutnya.UHUK!Cindya menoleh, tangannya spontan mengusap punggung suaminya dan memberikan segelas air mineral kepada sang suami yang langsung diterima dengan gerakkan tergesa-gesa. Sedangkan Harena memfokuskan atensinya menatap Dharmatio yang duduk disebelah Cindya, pria itu menatap Cindya.“Aku bisa jaga diri aku sendiri, Sayang. Lagipula, Harena pasti menggunakan waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Iya kan, Harena?” ujar Dharmatio, memberikan isyarat melalui tatapannya, seolah berkata ‘jawab iya’.Cindya mengalihkan atensinya, menatap Harena yang tersenyum tipis. “Oh ya tidak apa-apa kalau memang kam–”“Aku bisa, Mbak,” potong Harena, melirik tipis ke arah Dharmatio yang melebarkan kedua mata. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan
Keesokan harinya ….Cindya menaikkan sebelah alisnya saat melihat isi peran yang dikirim oleh adiknya kepada suaminya. Ia melirik kamar mandi yang tertutup, lantas membuatnya menggerakkan tangan untuk melihat pesan-pesan sebelumnya.Kening wanita mengkerut, alis bertaut. Ingatannya kembali pada saat dirinya bertanya kepada Harena, apakah adiknya itu sedang menjalin hubungan dengan seseorang atau tidak, pasalnya saat bersama dengannya kemarin siang, Harena senyam-senyum melihat layar ponsel.Cindya menghela nafasnya perlahan, kembali menyimpan benda pipih itu di atas meja nakas. Ia meraih sebuah jepitan berwarna hitam, lalu dipakai di surai rambut hitamnya. Saat dirinya ingin pergi, satu pesan kembali masuk sehingga membuatnya menoleh.“Sorry, Mas. Salah kirim,” gumamnya sambil membaca satu pesan dari Harena tanpa harus membuka pesan tersebut.Cindya bergeming, ia menoleh saat mendengar suara pintu dibuka, dan berasal dari pintu kamar. Sedetik kemudian, Cindya tersenyum melihat suaminy
Cindya tertegun dengan pemandangan yang terpampang di depan matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Dharmatio—suaminya—dan Harena—adik perempuannya—sedang berpelukan di ruang tamu. Situasi ini membuat otaknya berputar dengan berbagai pertanyaan yang sulit ia abaikan.“Mas Tio ….”Dharmatio dan Harena sama-sama terkejut melihat kehadiran Cindya. Wajah Harena pucat seolah ingin menjelaskan sesuatu, sementara Dharmatio dengan segera melepaskan pelukannya, tetapi tetap memandang Harena dengan ekspresi khawatir. “Kamu baik-baik saja, Harena?” tanya Dharmatio dengan nada lembut, memastikan kondisi Harena.Cindya yang berdiri di ambang pintu memicingkan mata, membuat suasana semakin berat. Ia melangkah mendekati mereka dengan langkah yang mantap namun perlahan, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ekspresi wajahnya sulit dimengerti—gabungan antara kecewa, bingung, dan kesal.“Harena, kenapa kamu ada disini? Dan kamu, ke
Cindya menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada sebuah mobil yang terparkir di basement apartemen itu. Warna dan plat nomor kendaraan tersebut begitu familiar, seolah-olah itu milik suaminya, Dharmatio. Hatinya mulai diliputi berbagai spekulasi, tetapi pikirannya berusaha mencari alasan logis. "Apa yang Mas Tio lakukan di sini? Di apartemen tempat Harena tinggal?" pikirnya dengan gelisah.Bersamaan dengan itu, suara bocah laki-laki kecil yang memanggilnya memecah lamunannya. "Bunda lihat apa?" tanya anak kecil berusia lima tahun dengan rasa ingin tahu yang tulus. Tangannya yang mungil menggenggam erat jari-jari Cindya, memberikan kehangatan yang seolah mengingatkannya untuk tetap tenang.Cindya menoleh, memaksakan senyum pada wajahnya, mencoba menyembunyikan kecamuk di hatinya. "Oh, Bunda cuma kira tadi melihat teman lama Bunda saat kuliah," katanya dengan nada riang yang dibuat-buat, berharap jawaban itu cukup untuk memuaskan rasa penasaran bocah itu.Bocah kecil itu—Arlanti
Cindya menyambut suaminya dengan senyum yang hangat saat Dharmatio melangkah masuk ke rumah, lelah setelah hari yang panjang. Kecupan di dahinya membuat perasaan Cindya menghangat, mengingatkannya akan cinta sederhana yang mereka miliki. Dharmatio langsung menanyakan keberadaan Arlantio—putra mereka yang selalu menjadi sumber semangat dan pelipur lara di tengah padatnya pekerjaan."Dia sedang tidur di kamar," jawab Cindya lembut sambil mengulas senyum kecil. Senang melihat perhatian Dharmatio terhadap Arlantio begitu besar, ia menambahkan, "Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita. Kamu pasti belum makan, kan?"Dharmatio hanya mengangguk lelah, membalas senyum istrinya dengan rasa syukur. Ia kemudian menuju kamar untuk melihat putranya yang tertidur pulas, sementara Cindya melangkah ke dapur, sibuk menyiapkan makan malam yang hangat.Saat memotong sayuran, pikiran Cindya mulai dipenuhi refleksi. Melihat kondisi Dharmatio yang begitu lelah membuatnya merasa bersalah. Perasaannya dili
Keesokan harinya ….Cindya menaikkan sebelah alisnya saat melihat isi peran yang dikirim oleh adiknya kepada suaminya. Ia melirik kamar mandi yang tertutup, lantas membuatnya menggerakkan tangan untuk melihat pesan-pesan sebelumnya.Kening wanita mengkerut, alis bertaut. Ingatannya kembali pada saat dirinya bertanya kepada Harena, apakah adiknya itu sedang menjalin hubungan dengan seseorang atau tidak, pasalnya saat bersama dengannya kemarin siang, Harena senyam-senyum melihat layar ponsel.Cindya menghela nafasnya perlahan, kembali menyimpan benda pipih itu di atas meja nakas. Ia meraih sebuah jepitan berwarna hitam, lalu dipakai di surai rambut hitamnya. Saat dirinya ingin pergi, satu pesan kembali masuk sehingga membuatnya menoleh.“Sorry, Mas. Salah kirim,” gumamnya sambil membaca satu pesan dari Harena tanpa harus membuka pesan tersebut.Cindya bergeming, ia menoleh saat mendengar suara pintu dibuka, dan berasal dari pintu kamar. Sedetik kemudian, Cindya tersenyum melihat suaminy
“Kamu beneran tidak ada kelas hari ini?” tanya Cindya setelah meneguk segelas air, kedua matanya menatap adiknya yang sedang menghabiskan makan siang. “Kalau memang tidak ada kelas, Mbak minta tolong sama kamu untuk jagain Mas Dharma,” lanjutnya.UHUK!Cindya menoleh, tangannya spontan mengusap punggung suaminya dan memberikan segelas air mineral kepada sang suami yang langsung diterima dengan gerakkan tergesa-gesa. Sedangkan Harena memfokuskan atensinya menatap Dharmatio yang duduk disebelah Cindya, pria itu menatap Cindya.“Aku bisa jaga diri aku sendiri, Sayang. Lagipula, Harena pasti menggunakan waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Iya kan, Harena?” ujar Dharmatio, memberikan isyarat melalui tatapannya, seolah berkata ‘jawab iya’.Cindya mengalihkan atensinya, menatap Harena yang tersenyum tipis. “Oh ya tidak apa-apa kalau memang kam–”“Aku bisa, Mbak,” potong Harena, melirik tipis ke arah Dharmatio yang melebarkan kedua mata. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan
“Papa udah bangun?”Dharmatio menatap datar Harena yang datang bersama putranya, perasaannya masih tidak nyaman jika harus berada diruangan yang sama dengan adik iparnya itu. Ia menghela nafasnya perlahan, harus diingat-ingat ada Arlantio bersamanya.Pria itu tersenyum manis kepada Arlantio yang mendekat, ia menepuk space kosong di sisinya, memberikan isyarat kepada putranya untuk duduk disebelahnya, dan bocah laki-laki itu mengindahkannya tanpa banyak bicara.“Kamu habis bantu Bunda?” tanya Dharmatio dengan lembut dan penuh kasih sayang, menatap putranya yang menggelengkan kepala. “Lalu?” tanyanya lagi, merasa tidak puas dengan jawaban sang putra.“Aku minta ke Bunda untuk bikinin susu, soalnya aku ada tugas dari Bu Guru,” jelas Arlantio, menatap papanya yang mengangguk-anggukkan kepala mengerti.“Susunya tante taruh sini ya.”Suara Harena yang lembut membuat atensi Arlantio dan Dharmatio teralihkan. Arlantio menganggukkan kepala, sedangkan kedua mata Dharmatio meloto saat melihat ba
“Kamu memang sengaja datang ke sini?” tanya Cindya kepada adiknya, menatap perempuan yang duduk dihadapannya dengan kepala yang mengangguk. “Kamu tidak ada kelas memangnya?” tanyanya, ditanggapi bergumam dan kepala yang menggeleng.“Karena itu bingung di apar sendirian. Jadinya aku milih ke sini, kan ada Mbak sama Arlan. Jadinya gak terlalu kesepian,” ucap Harena diiringi dengan senyum manis, menatap kakak perempuannya yang sedang memotong bawang-bawangan.Cindya hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk-angguk, dan kembali fokus dengan pergerakannya. Ia tidak ingin hanya karena kehadiran Harena, membuatnya lambat dalam menyiapkan makan siang untuk suaminya dan putranya.Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, hingga akhirnya keheningan itu dipecah oleh Harena yang bertanya tentang Dharmatio, membuat Cindya menghentikan gerakkannya tangannya yang ingin menyalakan kompor.“Mbak, Mas Tio memangnya darimana? Kok bisa kecelakaan? Bukannya dia harusnya ke kantor?” tanya Harena be
“Mas ….”Cindya mendekati suaminya yang pulang dengan kondisi memprihatinkan, dan beberapa orang yang menemani sang suami membuatnya mengerut kening. Ia memperhatikan kening, siku dan celana suaminya yang robek di bagian lutut, sehingga terlihat luka.“Suami Mbak kecelakaan tunggal menabrak tiang listrik,” ucap salah pemuda, kedua matanya bertemu dengan kedua mata Cindya yang sendu.“Kemungkinan suami mbaknya sedang banyak pikiran, jadi tidak fokus mengendarai motor,” tambahnya.Cindya menghela nafasnya perlahan, lantas ia tersenyum kepada tiga laki-laki yang berdiri dihadapannya saat ini. “Oh iya … makasih abang-abang sudah menolong suami saya,” tuturnya dengan suara lembut, nada bicaranya pun terdengar tulus sehingga membuat keempat pemuda itu menganggukkan kepala dan pamit undur diri.Wanita itu memapah suaminya yang lemas ke dalam rumah. Sesekali Dharmatio meringis kesakitan, tentu saja Cindya ikut meringis, seolah merasakan apa yang dirasakan oleh sang suami. Bagaimanapun juga ia
“Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”“Kamu juga punya orangtua, Harena.”Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nad
Beberapa hari kemudian ….Dharmatio mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara keras dari arah kamar mandi yang terbuka, sehingga membuatnya menyikap selimut lalu melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. Semakin dekat, suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya.“Sayang ….”Cindya menoleh setelah mendengar panggilan sang suami. Wajahnya pucat, tersenyum tipis lantas menyalakan air kran untuk membasuh wajah dan berkumur. “Maaf suaraku mengganggu tidurmu, Mas,” tuturnya lemah.Dharmatio memeluk sang istri, menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Kedua matanya memperhatikan wanitanya, perasaannya khawatir saat melihat wajah istrinya yang pucat, dan suara yang melemah.“Kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian, menangkup rahang Cindya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya lagi berada di belakang pinggang Cindya. “Kita ke dokter,” tukasnya tanpa menunggu persetujuan dari wanitanya.Dharmatio menggendong ala bridal style tubuh sang istri, melangkahkan ka
Keesokan harinya …Cindya menutup pintu dengan perlahan setelah memastikan mobil Dharmatio benar-benar menghilang di tikungan jalan. Ia melirik ke bawah, melihat Arlantio yang memegang erat tangannya sambil tersenyum polos. "Ayo, Nak, kita masuk," ujarnya lembut, menuntun putranya kembali ke dalam rumah.Begitu berada di dalam, Arlantio berlari kecil menuju ruang tamu, mencari mainannya yang tertata rapi di sudut ruangan. Cindya memperhatikannya sejenak dengan senyum, merasa bahagia melihat energi anaknya yang tak pernah habis. Namun, di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal—perasaan yang sulit dijelaskan sejak beberapa hari terakhir.Sambil duduk di sofa, ia membiarkan Arlantio bermain dengan mobil-mobilannya, sementara pikirannya melayang. Satu jam lagi ia akan mengantar Arlantio ke PAUD untuk hari keduanya. Pikiran itu membuatnya merasa campur aduk—antara bangga karena putranya tumbuh begitu cepat dan sedikit cemas karena ini adalah langkah baru bagi Arlantio."Bunda, l
Cindya menghabiskan hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang sepenuhnya mengurus Arlantio. Meskipun kadang terasa membosankan, ia mencoba menikmatinya karena itu adalah keputusan yang diambilnya dengan penuh kesadaran. Hari-hari biasanya diisi dengan bermain bersama putranya, seperti hari ini, ketika mereka sedang tertawa-tawa di ruang keluarga, bergurai sambil melempar bola kecil ke arah satu sama lain.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, menginterupsi momen menyenangkan mereka. Cindya bergegas ke pintu, mendapati seorang kurir berdiri di sana dengan sebuah paket berukuran sedang di tangannya. "Paket atas nama Dharmatio," ujar kurir itu sambil tersenyum ramah.Cindya menerima paket tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Namun, sebelum pergi, kurir itu menambahkan, "Sepertinya suaminya Mbak sayang banget sama Mbak, sering pesan paket ke alamat ini, Mbak." Kalimat sederhana itu terasa seperti angin dingin yang menyentuh Cindya. Senyumnya tetap terpaku, tapi pikirannya langsung dihantui