Share

7. Suara Pecahan Gelas!

Author: Lapini
last update Last Updated: 2025-05-02 11:59:15

“Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”

Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”

Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.

“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.

“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”

“Kamu juga punya orangtua, Harena.”

Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.

“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nada sindiran. “Kalau aku mendapatkan perlakuan baik dari mereka, aku gak bakalan lari ke kamu, Mas,” imbuhnya.

Dharmatio terdiam. Sudah hampir tiga tahun dirinya menyempatkan diri untuk bertemu dengan Harena, sudah hampir tiga tahun juga ia menjadi tempat keluh-kesah adik iparnya. Jika diingat lagi, adik iparnya itu diperlakukan dengan baik, lalu sekarang gadis itu mengatakan perlakuan orangtua mereka tidak baik?

“Mas … hamili aku.”

Dharmatio otomatis menoleh. Kedua matanya melotot, syok dan tidak percaya degan apa yang baru saja dikatakan oleh Harena. Dua kata terakhir membuatnya menggeram, dan spontan menjaga jarak dengan adik iparnya itu.

“Aku juga mau seperti Mbak Cindya, Mas. Mendapatkan perhatian kamu, dan kamu selalu ada disaat aku butuhin kamu. Aku mau semuanya yang Mbak Cindya dapetin dari kamu,” lanjut Harena, menatap Dharmatio yang menggelengkan kepala.

Pria itu segera bangkit, membuat Harena mengikutinya. Dharmatio merasa ini sudah diluar batas, mengeraskan rahangnya sehingga membuat kulit wajahnya tertarik.

“Cindya itu istri aku, dan kamu itu adik ipar aku. Tidak sepantasnya kamu mengatakan itu kepadaku yang merupakan kakak ipar kamu, Harena!” 

Harena menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh, seperti meremehkan apa yang baru saja diucapkan oleh pria dihadapannya saat ini. “Hanya sebatas itu hubungan kita, Mas?” tanyanya, lantas ia mengangguk-anggukkan kepala.

Dharmatio melangkah mundur ketika Harena melangkah mendekat kearahnya. “Hubungan kita memang sebatas itu, Harena. Dan aku minta sama kamu, mulai sekarang stop mendekatiku,” ucapnya.

Lantas Harena tertawa. “Kamu munafik, Mas. Dan aku suka itu,” kekehnya.

Dhamartio menyugar surai hitamnya, lalu berbalik badan dan memilih untuk pergi dari hadapan Harena yang menurutnya sudah diluar batas. Pagi ini, ia melihat sisi lain dari Harena yang diluar prediksi.

Sebelum hari ini, Dharmatio tidak masalah jika adik iparnya itu mendekatinya, menghabiskan waktu kosong bersamanya, tetapi semua itu disalah artikan oleh Harena yang menganggap hubungan mereka lebih dari sebatas adik dan kakak ipar.

Seketika, hari ini juga kehidupan Dharmatio tidak akan tenang.

“Oke, aku menghargai keputusanmu, Mas,” ucap Harena santai dan tenang, memperhatikan Dharmatio yang menghentikan langkah. Ia menampilkan smirk smile tipis, hanya satu detik karena kakak iparnya itu menoleh.

“Tetapi jangan salahin aku kalau aku sering datang ke rumah kalian, alibi bertemu dengan Arlantio. Kamu tau kan apa yang aku maksud, Mas?” lanjutnya, menaik-turunkan kedua alisnya, diakhiri dengan terkekeh saat melihat ekspresi Dharmatio yang semakin mengeras.

“Selama aku minta baik-baik, jangan pernah pancing sisi gelap aku untuk keluar, Mas Tio.”

Sementara itu ditempat lain, Cindya duduk bersandar diatas kasur bersama dengan putranya yang tidur di kedua pahanya. Mereka saat ini menghabiskan waktu berdua, putranya itu ijin untuk tidak masuk sekolah dengan alasan menjaganya yang sedang tidak fit, sedangkan suaminya pergi ke kantor.

“Bunda … berarti nanti aku akan menjadi abang?” tanya Arlantio dengan gemasnya, menatap sang bunda yang menurunkan pandangan.

Cindya tersenyum manis dengan kepala yang mengangguk. Tangannya bergerak mengusap surai hitam putranya yang halus dan lurus. “Kamu senang punya adik?” tanyanya, diangguki semangat.

Arlantio bangkit, duduk dengan kedua kakinya yang terlipat. Ekspresi wajahnya sangat bahagia, ditambah senyumnya yang lebar, sudah mewakili perasaannya saat ini. “Bukan senang, Bunda. Aku bahagiaa sekali. Jadi, nanti aku ada teman main kalau Papa bekerja, dan Bunda membereskan rumah,” ocehnya, membuat sang bunda terkekeh.

“Gitu ya?’

Arlantio mengangguk. “Kalau adik aku nanti perempuan, aku bakalan jaga supaya tidak ada yang menyakitinya,” ucapnya, menatap Cindya yang mengangguk-anggukkan kepala menanggapi ocehannya.

“Terus kalu laki-laki, kamu tidak menjaganya?”

Arlantio mendesis diiringi dengan kepala yang menggeleng-geleng. “No … bukan seperti itu. Aku tetap jaga pergaulan adik aku, pokoknya aku mau jadi garda terdepan buat adik aku nanti,” celotehnya.

Cindya yang gemas pun memberikan kode untuk duduk di sebelahnya, lalu memeluk dan mengecup kedua pipi putranya. Ia sangat bersyukur karena telah dititipkan sosok malaikat kecil untuknya, dan beberapa bulan lagi akan ada malaikat kecil lainnya.

“Bunda tidak lapar?” tanya Arlantio, menatap bundanya yang bergumam pelan. “Aku lapar,” lanjutnya diakhiri dengan terkekeh, menggaruk ceruk lehernya salah tingkah.

“Mau Bunda masakin apa?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, tersenyum manis dan atensinya hanya terkunci untuk memperhatikan putranya yang mengetuk dagu seolah sedang berfikir.

“Apapun yang Bunda masak, pasti aku makan,” ucap Arlantio dengan suaranya yang menggemaskan, diakhiri dengan terkekeh.

Cindya mencapit kedua pipi putranya sebelum akhirnya turun dari ranjang dengan hati-hati dan dibantu oleh putranya yang siaga menjaganya. Namun seketika suasana hening, panik dan cemas bercampur menjadi satu setelah mendengar suara pecahan kaca di lantai.

PRANG!

“Bunda … are you okay?”

“Boleh Bunda minta tolong?”

“Ya, Bunda?”

“Tolong ambilkan handphone Bunda di meja, Bunda ingin menghubungi Papa. Perasaan Bunda tidak enak ….”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   85. Deeptalk with Zandi

    Cindya menatap sang bunda yang duduk tenang memperhatikannya di ruang keluarga, ia tidak perlu khawatir tentang kedua anaknya yang sedang dijaga dan diajak main oleh Zandi dan sang papa.“Kamu serius tentang itu? Kamu mau kerja di kantor Papa?” tanya Arcinta, mencoba untuk mencari tahu apakah putrinya itu sudah sangat yakin atau belum dengan keputusan tersebut. “Kamu tetap akan bertemu dengan Dharma,” lanjutnya.Cindya tersenyum tipis, “Aku yakin, Bunda. Dan untuk itu, aku bisa membuat semua karyawan Papa itu tutup mulut. Dengan begitu, mereka tidak akan ada yang membocorkan aku kerja di kantor papa.”“Kamu tidak takut kalau kamu dipandang memanfaatkan kekuasaan papa?”Cindya bergumam pelan, mencoba untuk membuat tubuhnya rileks dengan bersandar dan melipat keduanya. Atensinya menatap sang bunda yang tidak mengalihkan atensi kepadanya. Jujur saja, pemikiran itu tidak menjadi beban untuknya.“Selama aku kerja dengan baik, sangat baik, dan membawa perubahan terhadap kantor Papa, kenapa

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   84. Kapan hari itu tiba?

    Cindya menghela nafasnya perlahan, ia memperhatikan kamarnya yang dahulu ditempati olehnya sebelum menikah. Tidak ada yang berubah, furniture dan barang-barang miliknya masih pada tempatnya.Sesuai dengan pembicaraannya dengan kedua orangnya satu jam yang lalu, papanya yang tegas, memaksanya untuk kembali ke rumah ini, tanpa memberitahu Dharmatio-suaminya-.Suara bayi yang ada di troli bayi membuat perhatian Cindya teralihkan. Wanita itu melangkahkan kaki ke depan, berjongkok lantas tersenyum manis menatap Echa yang bergerak minta untuk dilepaskan.“Gak mau. Adek diem aja ya di situ, Bunda mau tidur,” ucap Cindya, memperhatikan ekspresi Echa yang berubah menjadi cemberut, keningnya mengkerut.Wanita itu beranjak, berbalik badan, lantas saat ingin melangkahkan kedua kaki jenjangnya, suara tangis Echa memenuhi kamar ini. Sehingga membuat Cindya berbalik badan, lalu melepaskan tali yang menahan Echa untuk tidak bergerak banyak, dan menggendongnya.“Anak cantik, gak boleh nangis,” ucap C

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   83. Obrolan antara Papa dan Cindya

    Hergantara memperhatikan putrinya yang semakin hari semakin kurus, “Kamu tidak makan atau gimana?” tanyanya sarkas, membuat Cindya mengulum bibir dan hanya terdiam. “Kalau seperti ini terus menerus, Papa yang akan ambil alih semuanya,” lanjutnya tegas.“Pah … gak usah sampai sejauh itu,” ujar Cindya sedikit keras. Sekarang, dirinya bisa bebas berekspresi, karena hanya dirinya dan Hergantara. Putri kecilnya dan putranya sedang bersama dengan Arcinta-Bundanya-.Hergantara menegakkan tubuhnya, menatap dalam kedua mata putrinya yang sayu. Putrinya itu bisa berkata ‘baik-baik saja’, tetapi tatapan dan tubuh yang semakin kurus, menandakan bahwa putrinya itu sedang kelelahan, dan tidak baik-baik saja.“Kamu mau kaya gini terus? Sedangkan mereka diluar sana sangat bahagia, mereka tidak memikirkanmu? Are you seriously?”Cindya menghela nafasnnya, memijat pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Apa yang dikatakan oleh papanya itu seperti pedang yang menusuk otaknya, melukai kepalanya, ben

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   82. Kebenaran itu perlahan terungkap

    Cindya tersenyum lebar melihat tingkah putrinya yang tengkurap, mencoba untuk merangkak, tetapi belum bisa, dan membuat bayi perempuan itu terlihat sangat menggemaskan.“Adek mau merangkak? Coba lagi yukk ….” Cindya menyemangati Echa, naluri seorang ibu yang mendukung tumbuh kembang anak.Sementara bayi perempuan itu tersenyum lebar, mencoba untuk terus merangkak walaupun tidak menghasilkan apapun, alias hanya diam ditempat.Cindya terkekeh pelan, mengangguk-anggukkan kepala, “Gapapa, dicoba lagi. Yukk Adek pasti bisa,” tuturnya dengan penuh semangatt.Kalau bayi perempuan itu sudah bisa ngomong dan mengerti apa yang dilakukannya sekarang, sudah dipastikan akan mengoceh panjang, melampiaskan rasa kesalnya karena tidak bisa melakukannya.Sementara Cindya hanya memperhatikan putri kecilnya yang terus bergerak di kasur, sedangkan dirinya duduk bersandar dengan kedua kaki terlipat.Lagi-lagi Cindya dibuat gemas oleh Echa, walaupun putri kecilnya itu hanya menatapnya dengan kedua mata bula

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   81. Echa Menangis Didekat Dharmatio

    Cindya mengerjapkan kedua matanya saat merasakan kecupan di pelipisnya, samar-samar melihat sosok Dharmatio yang tersenyum kepadanya. Cahaya yang masuk melalui celah jendela, berhasil mengusik indra penglihatannya.“Mas, kamu baru pulang?” tanya Cindya dengan suaranya yang serak, bangkit lantas duduk bersandar. Kini kedua matanya melihat jelas sosok tinggi yang berdiri di sisinya setelah tangannya menyentuh saklar untuk menyalakan lampu kamarnya .Dharmatio menganggukkan kepala, ia mengecup bibir sang istri cukup lama, dan istrinya mengikuti permainannya saat ini. Tiba-tiba saja aktivitas mereka harus terhenti karena terdengar suara tangisan bayi dari dalam box bayi.Dharmatio berdecak kesal, sedangkan Cindya hanya tertawa melihat Dharmatio yang melangkahkan kaki mendekati box bayi untuk melihat Echa-putri kecil mereka-.“Anak cantik sudah bangun?” monolog Dharmatio, kedua tangannya mengangkat tubuh Echa, lalu menggendongnya dengan mengusap punggung bayi perempuan itu. “Mau susu?” tan

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   80. Semua punya rencana

    Harena memperhatikan tubuhnya pada cermin full body dihadapannya saat ini, kedua tangannya mengusap perutnya yang terbuka, karena saat ini dirinya memakai kaos croptop. “Mas, menurutmu anak kita nanti perempuan atau laki-laki?” tanyanya menoleh ke belakang.Dharmatio, pria itu terbaring dengan selimut yang menutupi setengah bawah tubuhnya. Kedua mata menatap datar Harena yang tersenyum kepadanya. “Kamu serius bertanya kepadakuu? Kalau kamu penasaran, kenapa tidak check ke dokter kandungan?” balasnya sedikit sarkasme, sehingga membuat Harena mengalihkan atensi.Wanita hamil itu menahan diri untuk tidak menangis dihadapan Dharmatio, sejujurnya ia sangat benci menangis. Saat dirinya menangis, kejadian dimasa kelam teringat kembali. Saat tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari orangtuanya, hingga sampai akhirnya wanita itu di kirim ke panti asuhan.Sedangkan Dharmatio menyibak selimut, bangkit dan duduk bersandar dengan kedua kaki yang terlipat. Aura panas sedang dihalau olehnya, benar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status