“Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”
Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”
Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.
“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.
“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”
“Kamu juga punya orangtua, Harena.”
Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.
“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nada sindiran. “Kalau aku mendapatkan perlakuan baik dari mereka, aku gak bakalan lari ke kamu, Mas,” imbuhnya.
Dharmatio terdiam. Sudah hampir tiga tahun dirinya menyempatkan diri untuk bertemu dengan Harena, sudah hampir tiga tahun juga ia menjadi tempat keluh-kesah adik iparnya. Jika diingat lagi, adik iparnya itu diperlakukan dengan baik, lalu sekarang gadis itu mengatakan perlakuan orangtua mereka tidak baik?
“Mas … hamili aku.”
Dharmatio otomatis menoleh. Kedua matanya melotot, syok dan tidak percaya degan apa yang baru saja dikatakan oleh Harena. Dua kata terakhir membuatnya menggeram, dan spontan menjaga jarak dengan adik iparnya itu.
“Aku juga mau seperti Mbak Cindya, Mas. Mendapatkan perhatian kamu, dan kamu selalu ada disaat aku butuhin kamu. Aku mau semuanya yang Mbak Cindya dapetin dari kamu,” lanjut Harena, menatap Dharmatio yang menggelengkan kepala.
Pria itu segera bangkit, membuat Harena mengikutinya. Dharmatio merasa ini sudah diluar batas, mengeraskan rahangnya sehingga membuat kulit wajahnya tertarik.
“Cindya itu istri aku, dan kamu itu adik ipar aku. Tidak sepantasnya kamu mengatakan itu kepadaku yang merupakan kakak ipar kamu, Harena!”
Harena menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh, seperti meremehkan apa yang baru saja diucapkan oleh pria dihadapannya saat ini. “Hanya sebatas itu hubungan kita, Mas?” tanyanya, lantas ia mengangguk-anggukkan kepala.
Dharmatio melangkah mundur ketika Harena melangkah mendekat kearahnya. “Hubungan kita memang sebatas itu, Harena. Dan aku minta sama kamu, mulai sekarang stop mendekatiku,” ucapnya.
Lantas Harena tertawa. “Kamu munafik, Mas. Dan aku suka itu,” kekehnya.
Dhamartio menyugar surai hitamnya, lalu berbalik badan dan memilih untuk pergi dari hadapan Harena yang menurutnya sudah diluar batas. Pagi ini, ia melihat sisi lain dari Harena yang diluar prediksi.
Sebelum hari ini, Dharmatio tidak masalah jika adik iparnya itu mendekatinya, menghabiskan waktu kosong bersamanya, tetapi semua itu disalah artikan oleh Harena yang menganggap hubungan mereka lebih dari sebatas adik dan kakak ipar.
Seketika, hari ini juga kehidupan Dharmatio tidak akan tenang.
“Oke, aku menghargai keputusanmu, Mas,” ucap Harena santai dan tenang, memperhatikan Dharmatio yang menghentikan langkah. Ia menampilkan smirk smile tipis, hanya satu detik karena kakak iparnya itu menoleh.
“Tetapi jangan salahin aku kalau aku sering datang ke rumah kalian, alibi bertemu dengan Arlantio. Kamu tau kan apa yang aku maksud, Mas?” lanjutnya, menaik-turunkan kedua alisnya, diakhiri dengan terkekeh saat melihat ekspresi Dharmatio yang semakin mengeras.
“Selama aku minta baik-baik, jangan pernah pancing sisi gelap aku untuk keluar, Mas Tio.”
Sementara itu ditempat lain, Cindya duduk bersandar diatas kasur bersama dengan putranya yang tidur di kedua pahanya. Mereka saat ini menghabiskan waktu berdua, putranya itu ijin untuk tidak masuk sekolah dengan alasan menjaganya yang sedang tidak fit, sedangkan suaminya pergi ke kantor.
“Bunda … berarti nanti aku akan menjadi abang?” tanya Arlantio dengan gemasnya, menatap sang bunda yang menurunkan pandangan.
Cindya tersenyum manis dengan kepala yang mengangguk. Tangannya bergerak mengusap surai hitam putranya yang halus dan lurus. “Kamu senang punya adik?” tanyanya, diangguki semangat.
Arlantio bangkit, duduk dengan kedua kakinya yang terlipat. Ekspresi wajahnya sangat bahagia, ditambah senyumnya yang lebar, sudah mewakili perasaannya saat ini. “Bukan senang, Bunda. Aku bahagiaa sekali. Jadi, nanti aku ada teman main kalau Papa bekerja, dan Bunda membereskan rumah,” ocehnya, membuat sang bunda terkekeh.
“Gitu ya?’
Arlantio mengangguk. “Kalau adik aku nanti perempuan, aku bakalan jaga supaya tidak ada yang menyakitinya,” ucapnya, menatap Cindya yang mengangguk-anggukkan kepala menanggapi ocehannya.
“Terus kalu laki-laki, kamu tidak menjaganya?”
Arlantio mendesis diiringi dengan kepala yang menggeleng-geleng. “No … bukan seperti itu. Aku tetap jaga pergaulan adik aku, pokoknya aku mau jadi garda terdepan buat adik aku nanti,” celotehnya.
Cindya yang gemas pun memberikan kode untuk duduk di sebelahnya, lalu memeluk dan mengecup kedua pipi putranya. Ia sangat bersyukur karena telah dititipkan sosok malaikat kecil untuknya, dan beberapa bulan lagi akan ada malaikat kecil lainnya.
“Bunda tidak lapar?” tanya Arlantio, menatap bundanya yang bergumam pelan. “Aku lapar,” lanjutnya diakhiri dengan terkekeh, menggaruk ceruk lehernya salah tingkah.
“Mau Bunda masakin apa?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, tersenyum manis dan atensinya hanya terkunci untuk memperhatikan putranya yang mengetuk dagu seolah sedang berfikir.
“Apapun yang Bunda masak, pasti aku makan,” ucap Arlantio dengan suaranya yang menggemaskan, diakhiri dengan terkekeh.
Cindya mencapit kedua pipi putranya sebelum akhirnya turun dari ranjang dengan hati-hati dan dibantu oleh putranya yang siaga menjaganya. Namun seketika suasana hening, panik dan cemas bercampur menjadi satu setelah mendengar suara pecahan kaca di lantai.
PRANG!
“Bunda … are you okay?”
“Boleh Bunda minta tolong?”
“Ya, Bunda?”
“Tolong ambilkan handphone Bunda di meja, Bunda ingin menghubungi Papa. Perasaan Bunda tidak enak ….”
“Om beneran ke apartementnya Harena?” tanya Zandi to the point, ia duduk di sisi kanan Hergantara yang menganggukkan kepala santai. Kedua matanya bertemu tatap dengan kedua mata pria setengah paruh baya yang merupakan papa dari sahabatnya-Cindya-.Hergantara memberikan gelas kecil yang berisi alkohol, dan diterima oleh Zandi yang tidak langsung meneguknya. “Kamu tahu darimana pin unit apartement Harena?” tanyanya, menaikkan sebelah alis bingung.Hergantara bisa masuk ke dalam unit apartement yang disewakan oleh Dharmatio untuk Harena berkat Zandi. Ia tidak tahu pinnya, sebelum masuk lebih dahulu bertanya kepada Zandi. Zandi dengan senang hati memberitahukannya.Zandi tersenyum penuh arti, “Aku tahu segalanya, Om. Jadi kalau Om butuh informasi, bisa tanya ke aku. Nanti aku kasih tahu secara detail,” tuturnya menaik-turunkan kedua alisnya lalu terkekeh.Pemuda itu meneguk hingga tandas minuman yang diberikan olehh Hergantara kepadanya. Kebetulan malam ini sedang kosong, dan mendapatkan
Dharmatio melangkahkan kaki mendekati Cindya dan Arlantio yang duduk di salah satu bangku taman, sedangkan Echa berada dalam gendongannya. Bayi perempuan itu sangat tenang, tidak marah-marah atau rewel saat diajak ke taman.“Abang mau ice cream?” tanya Dharmatio, membuat putranya itun mendongak dan bertemu tatap dengannya. “Papa beliin,” lanjutnya.Arlantio menganggukkan kepala, “Aku mau satu. Bunda mau?” tanyanya kepada sang bunda yang bergumam pelan, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban ‘tidak’. Ia mengangguk-anggukkan kepala, kembali memperhatikan papanya yang sedang menatapnya dengan senyum kecil.“Berarti satu, kalau Papa mau, dua. Aku mau rasa coklat,” tuturnya.Dharmatio mengacungkan jempol ke udara, “Oke sebentar. Papa belikan.” Ia segera melenggang pergi bersama dengan Echa yang berada dalam gendongannya tanpa kain atau semacamnya, benar-benar menggendong dengan tangan kosong.Sepeninggalan Dharmatio, kini tinggal Cindya dan Arlantio yang saling menatap satu sama lain. T
PRANG!“ARGHH! SIALANN!”Harena melempar sembarang vas bunga, membuat vas bunga tanpa motif itu terpecah di lantai. Nafasnya naik turun, tangan kanannya menggenggam benda pipih yang dicengkram kuat, bahkan tidak peduli jika nanti benda itu akan rusak dan melukai tangannya.“Cindya lagi … Cindya lagi ….” monolognya, lantas melangkahkan kaki ke arah balkon dan duduk di kursi santai yang sudah tersedia di balkon.Perutnya semakin buncit, sangat terllihat bahwa dirinya sedang hamil. Ini rencananya, tetapi membuatnya kesusahan. Tidak bisa kemanapun yang ia suka, kegiataannya hanya dilakukan di apartement.Bosan di unit apartement? Pergi ke taman, ke kantin, tempat olahraga seperti gym yang ada di lantai satu. Paling jauh? Ke tempat syuting Dharmatio. Jarak yang cukup jauh, ditempuh sendirian olehnya, dan menginap di hotel yang berada di dekat tempat lokasi syuting.“Percuma menjadi istri kedua, kalau tetep menjadi yang kedua,” kesalnya, lalu berdecak.TING TONNGSuara bel membuat perhatian
Arlantio membuka pintu kamarnya dengan perlahan, mempertajam indra pendengarannya. Ia melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah pelan ke arah kamar yang ada sedikit jauh dari kamarnya, terhalang dua kamar darinya.“Iya. Aku ke sana. Tapi nanti yaa, aku baru sampai rumah.”Suara itu semakin jelas ditelinga bocah laki-laki yang saat ini berdiri tepat didepan kamar yang memang tidak ditempati oleh siapapun, terkecuali ada keluarga besar yang datang dan menginap. Kamar itu akan digunakan oleh tamu.“Kita sudah hampir setiap hari bertemu, dan your baby juga sudah aku manja. Kamu nuntut apalagi?”Tubuh Arlantio menegang setelah mendengar penuturan yang baru saja diucapkan oleh papanya itu. Dharmatio tadi malam sudah kembali ke rumah selama satu bulan lebih satu minggu tidak ada di rumah, alasannya ada syuting yang harus dihadiri di luar daerah.Arlantio sudah bisa menebak yang sedang telfonan dengan papanya itu, wanita yang sangat ia tidak sukai sejak pertama kali wanita itu datang. Dir
Hergantara menatap cucunya yang kini tertidur di kedua pahanya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala bocah laki-laki yang sangat terlihat jelas sedang kelelahan. Ia menghela nafasnya perlahan.Setelah obrolannya dengan Arlantio dua jam yang lalu, membuat Hergantara berfikiran untuk mengirim Harena ke luar kota, tetapi jika difikirkan kembali, tidak ada manfaatnya. Dharmatio akan tetap menemui Harena.Hergantara sengaja menutupi informasi ini dari putrinya, lebih tepatnya ingin menjaga mental Cindya. Selalu bersama dengan Cindya dan kedua cucunya, bergantian dengan Arcinta-istrinya- dan Zandi.“Kamu terlalu dini untuk mengetahui urusan orang dewasa, Arlan,” monolognya. Kalimat itu seharusnya ia katakkan beberapa jam yang lalu, tetapi lidahnya kelu, bibirnya terkunci rapat. Syok setelah Arlantio melarangnya untuk tidak membahas Dharmatio kepada Cindya.Tambah terkejut saat bibir cucu pertamanya itu memberikan alasan, sehingga membuatnya benar-benar mengurungkan niat untuk tidak me
Dua bulan berlalu ….Cindya bahagia karena putrinya kini sudah bisa merangkak, dan sudah banyak mengoceh walaupun masih dengan bahasa bayi. Begitupun yang dirasakan oleh Arlantio, sebagai kakak dari Echa ikut turut bahagia melihat tumbuh kembali adik perempuannya itu. Dharmatio? Sama seperti Cindya dan Arlantio, hanya saja waktunya berkurang satu minggu karena ada syuting di luar daerah selama satu bulan.“Adekk ….”Arlantio melangkahkan kaki mendekati Echa yang sedang tengkurap di atas karpet tebal, bayi perempuan itu tidak sendiri, ada sang Bunda yang duduk di sisi kanan sambil terus mengawasi pergerakan Echa.“Halo, Abangg,” ucap Cindya, berusaha menirukan gaya bicara anak kecil, ia terkekeh saat melihat putranya menggeleng-gelengkan kepala. “Pulang bareng Grandma atau Grandpa?” tanyanya, menatap putranya yang kini duduk di hadapan Echa yang mendekat.“Grandpa,” jawab Arlantio, menatap sang bunda yang mengangguk-anggukkan kepala. Lantas atensinya kini tertuju kepada Echa yang menep