Beberapa hari kemudian ….
Dharmatio mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara keras dari arah kamar mandi yang terbuka, sehingga membuatnya menyikap selimut lalu melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. Semakin dekat, suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya.
“Sayang ….”
Cindya menoleh setelah mendengar panggilan sang suami. Wajahnya pucat, tersenyum tipis lantas menyalakan air kran untuk membasuh wajah dan berkumur. “Maaf suaraku mengganggu tidurmu, Mas,” tuturnya lemah.
Dharmatio memeluk sang istri, menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Kedua matanya memperhatikan wanitanya, perasaannya khawatir saat melihat wajah istrinya yang pucat, dan suara yang melemah.
“Kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian, menangkup rahang Cindya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya lagi berada di belakang pinggang Cindya. “Kita ke dokter,” tukasnya tanpa menunggu persetujuan dari wanitanya.
Dharmatio menggendong ala bridal style tubuh sang istri, melangkahkan kaki keluar dari kamar dan berpapasan dengan putra kecilnya yang berdiri di depan kamar. Arlantio mengerjapkan kedua matanya, wajahnya polos menatap Dharmatio yang berdiri dihadapannya.
“Bunda kenapa?” tanya Arlantio polos, ia bingung kenapa sang bunda digendong demikian oleh papanya. “Papa … Bunda sakit?” tanyanya lagi, mendesak Dharmatio untuk segera memberitahunya tentang apa yang terjadi terhadap bundanya.
Dharmatio menganggukkan kepala. “Ya. Papa ingin membawa Bunda ke rumah sakit,” tuturnya dengan lembut, sangat hati-hati supaya putranya itu tidak terkejut dengan apa yang terjadi.
Benar saja.Wajah polos dan kebingungan itu berubah seketika menjadi panik dan sedih. “Aku ikut!” serunya, lalu mengikuti langkah Dharmatio setelah sang papa menganggukkan kepala, meng-iya-kan apa yang dikatakan olehnya.
Arlantio membuka pintu tengah, segera masuk setelah Dharmatio mendudukkan Cindya yang lemas di kursi tengah. Ia menggenggam tangan sang bunda cukup erat, tanpa disadari olehnya, airmata turun membasahi kedua matanya.
“Bunda ….” panggilnya lirih, bahkan suaranya bergetar. Sementara itu, Cindya menoleh dengan kedua mata yang sayu.
Wanita itu tersenyum tipis, tangannya terangkat menangkup tangan mungil putranya, sehingga membuat Arlantio menatapnya. Cindya terkekeh melihat hidung Arlantio yang merah. “Bunda gapapa, Sayang. Jangan nangis gitu dong,” tuturnya, mengatur suaranya untuk tetap stabil, tetapi tetap terdengar lirih di kedua telinga Arlantio dan Dharmatio.
Dharmatio yang sedang menyetir hanya sesekali melirik cermin kecil yang menggantung untuk memastikan kondisi istrinya tetap baik-baik saja. Berbeda dengan Arlantio yang sudah menangis sesegukan karena sedih melihat kondisi Cindya yang lemah tak bersemangat, tidak seperti biasanya.
“Bohong. Bunda gak baik-baik aja. Bunda sakit,” oceh Arlantio, lagi-lagi membuat Cindya terkekeh. Ocehan bocah laki-laki itu sangat menghibur Cindya yang sedang merasakan sakit kepala, mual, dan mood yang berantakan.
“Bunda beneran gapapa,” balas Cindya. Wanita itu menegakkan tubuhnya, lalu mengangkat tubuh Arlantio dan mendudukkannya di kedua pahanya. “Lihat … Bunda kuat pangku kamu seperti ini,” imbuhnya.
“Sayang ….” panggil Dharmatio dengan penuh penekanan, memberikan peringatan melalui tatapan mata saat kendaraan roda empatnya berhenti di traffic light berwarna merah.
Cindya tersenyum menatap suaminya yang kini menatapnya dengan tatapan tegas. “Aku hanya pusing kepala sama mual, Mas. Gapapa kok,” tuturnya lembut, berusaha untuk tetap kuat disaat perutnya bergejolak.
Wanita itu mengulum bibir, menurunkan putranya yang hanya bergeming dengan kedua yang memerah. Tangannya bergerak mencari sesuatu, setelah mendapatkannya ….
HUEK!
Dharmatio segera menginjak pedal gas, menambah laju kecepatannya, bahkan menyalip beberapa kendaraan yang mencoba untuk menghalangi jalannya. Ia benar-benar khawatir dengan kondisi sang istri, karena tidak biasanya Cindya mual seperti ini.
Tidak butuh waktu lama untuk Dharmatio tiba di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, pria itu segera turun dan membuka pintu tengah. Dengan perlahan, menggenggam lengan Cindya dan membawanya keluar dari dalam mobil, diikut oleh Arlantio yang tidak luput dari perhatian Dharmatio. Pria itu memastikan keduanya aman, tidak terluka atau lecet sedikitpun.
“Arlan sebelah kiri Papa,” titah Dharmatio, memberikan kode kepada putranya untuk berpindah posisi, namun ditolak oleh bocah laki-laki itu.
“Tidak mau. Aku mau disebelah Bunda,” tukasnya, menggenggam erat tangan Cindya. Memang batin ibu dan anak, membuatnya tidak ingin berjauhan dengan sang bunda, ditambah bundanya sedang dalam kondisi tidak sehat.
Dharmatio menghela nafasnya, tidak lagi mempermasalahkannya. Ia melangkahkan kaki beriringan dengan sang istri dan putranya. Mereka memasuki lobby rumah sakit, Dharmatio pergi ke bagian administrasi, sedangkan Arlantio dan Cindya duduk di kursi ruang tunggu.
“Bunda bener tidak apa-apa?” tanya bocah laki-laki itu, menatap Cindya yang mengulas senyum dengan kepala yang mengangguk.
“Bunda gapapa, Nak. Aman,” balas Cindya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala putranya, lalu mengecupnya.
“Kita ke depan ruang dokter kandungan,” ujar Dharmatio setelah menyelesaikan administrasi dan mendapatkan nomor antrian. Saat dirinya ingin membantu Cindya, ditolak dengan lembut.
Cindya tersenyum kepada suaminya, lalu berkata, “Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa kok.” Ia bangkit dengan perlahan. Entah keajaiban darimana, wanita itu sudah lebih baik dari sebelumnya.
Dharmatio menghela nafasnya perlahan, tidak mempermasalahkan keputusan istrinya. Pertama, karena mereka sedang di rumah sakit. Kedua, karena ramai. Dharmatio tidak menginginkan adanya keributan.
10 menit berlalu, kini nama Cindya dipanggil oleh perawat yang berdiri di depan pintu bertuliskan ‘Dokter Kandungan’. Dharmatio setia membantu Cindya, dan Arlantio yang tidak bisa berjauhan dengan sang bunda.
“Keluhannya kenapa, Bu Cindya?” tanya dokter perempuan bernama ‘Airfana Ferania’, tersenyum manis kepada Cindya yang duduk berhadapan dengannya.
“Mual dan sakit kepala, Dok. Sudah hampir empat hari,” jawab Cindya, menatap Dokter Airfana yang memicingkan mata tipis.
“Kapan terakhir datang bulan?”
Cindya terdiam, mengingat kembali kapan terakhir dirinya datang bulan. Selama beberapa hati ini, ia tidak menyadari karena isi kepala yang penuh dan kecurigaannya terhadap sang suami, sangat menyita perhatian dan waktunya.
“Satu bulan yang lalu, sepertinya,” jawab Cindya dengan ragu, ia menipiskan bibirnya saat terdengar suara helaan nafas dari Dokter Airfana.
“Kita lakukan USG ya, Bu Cindya. Silahkan ….” ujar Dokter Airfana, beranjak dan memberikan isyarat kepada Cindya untuk berbaring di brankar rumah sakit.
Cindya hanya mengindahkannya tanpa protes. Sedangkan Arlantio yang berada dalam gendongan Dharmatio hanya terdiam, memperhatikan sang bunda yang sedang dicek perutnya oleh Dokter. Sementara itu Dharmatio memperhatikan monitor yang memperlihatkan isi dalam perut istrinya.
“Masih kecil, diperkirakan usia janinnya baru berusia dua bulan,” ujar Dokter Airfana. Ia menatap Cindya yang kini menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “Ini bukan kehamilan yang pertama, tetapi Bu Cindya tidak menyadarinya?” lanjutnya.
“Saran saya, jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting yang mungkin akan berakibat kepada janin. Baik itu Ibu maupun ayahnya. Mengingat kondisi Bu Cindya saat ini, saya akan memberikan vitamin supaya ibu dan janinnya tetap sehat,” jelasnya, tersenyum kepada Cindya yang masih tidak percaya dengan informasi yang baru saja dikatakan olehnya.
“Jadi, saya hamil, Dok?”
Dharmatio menggigit bibirnya, melangkah mondar mandir di kamarnya dengan kening yang mengkerut, alis bertaut. Obrolannya dengan Arlantio tadi siang benar-benar membuatnya terus berpikir hingga tengah malam.Kedua matanya memperhatikan wanita yang tertidur menghadap ke box bayi yang berada di celah antara ranjang dan lemari.“Kecerdasan kamu nurun ke Arlan, Cindya. Tidak mudah untuk dibohongi, tetapi aku harus melakukannya. Maaf kalau nanti kamu tersakiti,” monolognya dengan suara pelan, menghela nafas lalu menyugar surai panjangnya.Pria itu memilih untuk pergi dari kamar, ia melangkahkan kakinya ke rooftop rumahnya yang jarang disinggahi olehnya. Ruang terbuka, tanpa orang lain yang menemani, memang itu yang diinginkan oleh Dharmatio supaya pikirannya lebih terbuka dan tidak terburu-buru dalam bertindak.Dharmatio duduk di salah satu bangku yang ada di rooftop, mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus rokok yang ia simpan dalam saku. Entah sejak kapan dirinya menjadi perokok aktif, y
“Di block? Sialann. Dharma sialann. Kamu sedang mempermainkanku?”Harena mengerang kesal, ia melempar benda pipih itu ke atas ranjang, ke sisi kirinya. Nomornya baru saja diblokir oleh Dharmatio, setelah dirinya mengirim pesan kepada kakak iparnya itu terkait pertemuan besok.Wanita itu duduk di ujung ranjang dengan kedua mata yang menatap tajam cermin yang memantulkan dirinya. Alis bertaut, bibir merah menyala itu menyunggingkan senyum villain, tangan yang mencengkram kuat ujung ranjang, dress berwarna putih yang sengaja memperlihatkan bahunya.Harena tidak tahu jika Dharmatio akanj menghabiskan waktu dengan keluarga kecil pria itu, ia hanya tahu Dharmatio akan menemuinya hari ini setelah dua hari kemarin intens, bahkan dirinya dan kakak iparnya itu melakukan hubungan layaknya suami-istri.Jika mengingat itu, senyum di kedua sudut bibir wanita tidak bisa ditahan. “Memang, pesona aku lebih menggoda dibandingkan istrimu yang tidak seberapa itu,” monolognya, seolah cermin itu adalah Dha
Cindya menaikkan sebelah alisnya saat Dharmatio berdiri setelah menerima panggilan suara. Kecurigaannya mulai muncul, sebelumnya sang suami tidak pernah menjauh darinya kalau mendapatkan telfon.Suara Arlan yang sedang terkekeh membuat perhatian wanita itu teralihkan, setidaknya masih ada Arlantio dan Echa yang membuat isi kepalanya buyar. Benar kata Bunda, apapun yang terjadi dalam rumah tangganya, anak harus tetap menjadi prioritas.“Abang senang banget sepertinya. Memangnya adek ngapain tadi?” tanyanya, membuat putranya menaikkan pandangan dan bertemu dengannya. Ia mengulas senyum saat kedua mata Arlantio tertuju kepadanya.“Tidak. Adek sedang tidur, tetapi bibirnya bergerak, jadinya terlihat lucu,” oceh Arlantio, menoleh memperhatikan bayi perempuan yang sedang tertidur di box bayi.Sesuai dengan permintaan bocah laki-laki itu, mereka hanya menghabiskan waktu di rumah, setidaknya kehangatan dan kebahagiaan tetap didapatkan oleh mereka. Bahagia tidak harus keluar rumah, menghabiska
Cindya memperhatikan layar tabnya, hanya bersama dengan putrinya yang sedang tertidur di box bayi. Ia sedang memperhatikan sebuah video yang memperlihatkan suaminya menarik Harena pergi dari lobby kantor, hingga suaminya itu masuk ke dalam mobil yang sama dengan Harena.Video itu ia dapatkan dua hari yang lalu, satu jam setelah kejadian.Clek!Suara knop pintu kamar mandi yang digerakkan, membuat Cindya segera mematikan layar tabnya dan menyimpannya di dalam laci meja nakas sisi kirinya. Wanita itu tersenyum kepada seorang pria yang mendekat kepadanya hanya dengan handuk yang melilit di pinggang.“Kamu wangi banget, mau ketemu sama talent?” tanya Cindya setelah indra penciumannya mengendus aroma sabun yang masih menempel pada tubuh suaminya.“Aku hari ini dirumah, jagain kamu, Echa sama Arlan,” ucap Dharmatio, mengecup puncak kepala istrinya sebelum akhirnya memilih baju yang akan digunakan saat ini.Cindya memperhatikan punggung suaminya yang lebar, kalau kata genz ‘punggung peluk-ab
Harena tersenyum menatap Dharmatio yang berdiri dengan wajah dingin dan datar, tetapi itu tidak membuatnya ketakutan, justru membuatnya semakin terpesona.Harena menopang tubuhnya dengan kedua tangan ke belakang tubuh, berpose seperti wanita nakal yang siap untuk disantap oleh tuannya.Memang gila.“Kamu bawa aku ke sini karena kamu tergoda sama aku kan, Mas?” ucap wanita itu dengan senyum menggoda, menatap kedua mata Dharmatio yang sedang menatapnya.“Maumu apa?” Pertanyaan singkat yang diberikan oleh Dharmatio senakin membuat Harena menyunggingkan senyum nakal.Harena beranjak, lalu berdiri dihadapan Dharmatio yang hanya terpaku memperhatikannya, bahkan sekalipun ia mengalungkan kedua tangan di leher Dharmatio, pria itu tetap hanya terdiam.“Mau kamu, Mas,” ucap Harena dengan suaranya yang sexy, menyunggingkan senyumnya, lantas menurunkan pandangannya menatap bibir Dharmatio yang sangat menggoda.“Aku gapapa kok kalau dijadikan yang kedua,” tambahnya.Dharmatio tersenyum miring, ked
Cindya menatap layar tabnya yang menyala, ia masih bersama dengan Teno yang tidak beranjak dari sofa, tetapi tetap memperhatikannya. Mereka saat ini sedang dalam situasi yang sedikit serius setelah topik pembicaraan mereka terakhir.“Menurutku, Zandi bukan ayah dari anak yang dikandung Harena, itupun kalau Harena hamil,” ucap Cindya setelah 10 menit terdiam, ia menaikkan pandangan dan bertemu tatap dengan Teno.Pria bertato ular itu menaikkan sebelah alisnya, “Kamu sebegitu yakinnya?” Teno beranjak, melangkahkan kaki mendekati jendela dan berdiri di balkon. “Dia sama seperti kita, dia juga manusia yang tidak luput dari kesalahan, entah itu disengaja maupun tidak,” tambahnya.Cindya menghela nafasnya perlahan, ia memijat keningnya yang terasa pusing. Baru melahirkan Echa satu minggu yang lalu, tetapi permasalahan itu kembali datang, dan pemeran utamanya tetap Harena.Kali ini, Cindya merasakan bahwa membawa Harena masuk ke dalam kehidupannya itu salah besar, seharusnya ia mendengarkan