Home / Rumah Tangga / Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku / 6. Kabar Baik atau Kabar Buruk?

Share

6. Kabar Baik atau Kabar Buruk?

Author: Lapini
last update Last Updated: 2025-04-30 11:24:04

Beberapa hari kemudian ….

Dharmatio mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara keras dari arah kamar mandi yang terbuka, sehingga membuatnya menyikap selimut lalu melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. Semakin dekat, suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya.

“Sayang ….”

Cindya menoleh setelah mendengar panggilan sang suami. Wajahnya pucat, tersenyum tipis lantas menyalakan air kran untuk membasuh wajah dan berkumur. “Maaf suaraku mengganggu tidurmu, Mas,” tuturnya lemah.

Dharmatio memeluk sang istri, menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Kedua matanya memperhatikan wanitanya, perasaannya khawatir saat melihat wajah istrinya yang pucat, dan suara yang melemah.

“Kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian, menangkup rahang Cindya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya lagi berada di belakang pinggang Cindya. “Kita ke dokter,” tukasnya tanpa menunggu persetujuan dari wanitanya.

Dharmatio menggendong ala bridal style tubuh sang istri, melangkahkan kaki keluar dari kamar dan berpapasan dengan putra kecilnya yang berdiri di depan kamar. Arlantio mengerjapkan kedua matanya, wajahnya polos menatap Dharmatio yang berdiri dihadapannya.

“Bunda kenapa?” tanya Arlantio polos, ia bingung kenapa sang bunda digendong demikian oleh papanya. “Papa … Bunda sakit?” tanyanya lagi, mendesak Dharmatio untuk segera memberitahunya tentang apa yang terjadi terhadap bundanya.

Dharmatio menganggukkan kepala. “Ya. Papa ingin membawa Bunda ke rumah sakit,” tuturnya dengan lembut, sangat hati-hati supaya putranya itu tidak terkejut dengan apa yang terjadi.

Benar saja.Wajah polos dan kebingungan itu berubah seketika menjadi panik dan sedih. “Aku ikut!” serunya, lalu mengikuti langkah Dharmatio setelah sang papa menganggukkan kepala, meng-iya-kan apa yang dikatakan olehnya.

Arlantio membuka pintu tengah, segera masuk setelah Dharmatio mendudukkan Cindya yang lemas di kursi tengah. Ia menggenggam tangan sang bunda cukup erat, tanpa disadari olehnya, airmata turun membasahi kedua matanya.

“Bunda ….” panggilnya lirih, bahkan suaranya bergetar. Sementara itu, Cindya menoleh dengan kedua mata yang sayu.

Wanita itu tersenyum tipis, tangannya terangkat menangkup tangan mungil putranya, sehingga membuat Arlantio menatapnya. Cindya terkekeh melihat hidung Arlantio yang merah. “Bunda gapapa, Sayang. Jangan nangis gitu dong,” tuturnya, mengatur suaranya untuk tetap stabil, tetapi tetap terdengar lirih di kedua telinga Arlantio dan Dharmatio.

Dharmatio yang sedang menyetir hanya sesekali melirik cermin kecil yang menggantung untuk memastikan kondisi istrinya tetap baik-baik saja. Berbeda dengan Arlantio yang sudah menangis sesegukan karena sedih melihat kondisi Cindya yang lemah tak bersemangat, tidak seperti biasanya.

“Bohong. Bunda gak baik-baik aja. Bunda sakit,” oceh Arlantio, lagi-lagi membuat Cindya terkekeh. Ocehan bocah laki-laki itu sangat menghibur Cindya yang sedang merasakan sakit kepala, mual, dan mood yang berantakan.

“Bunda beneran gapapa,” balas Cindya. Wanita itu menegakkan tubuhnya, lalu mengangkat tubuh Arlantio dan mendudukkannya di kedua pahanya. “Lihat … Bunda kuat pangku kamu seperti ini,” imbuhnya.

“Sayang ….” panggil Dharmatio dengan penuh penekanan, memberikan peringatan melalui tatapan mata saat kendaraan roda empatnya berhenti di traffic light berwarna merah.

Cindya tersenyum menatap suaminya yang kini menatapnya dengan tatapan tegas. “Aku hanya pusing kepala sama mual, Mas. Gapapa kok,” tuturnya lembut, berusaha untuk tetap kuat disaat perutnya bergejolak.

Wanita itu mengulum bibir, menurunkan putranya yang hanya bergeming dengan kedua yang memerah. Tangannya bergerak mencari sesuatu, setelah mendapatkannya ….

HUEK!

Dharmatio segera menginjak pedal gas, menambah laju kecepatannya, bahkan menyalip beberapa kendaraan yang mencoba untuk menghalangi jalannya. Ia benar-benar khawatir dengan kondisi sang istri, karena tidak biasanya Cindya mual seperti ini.

Tidak butuh waktu lama untuk Dharmatio tiba di sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, pria itu segera turun dan membuka pintu tengah. Dengan perlahan, menggenggam lengan Cindya dan membawanya keluar dari dalam mobil, diikut oleh Arlantio yang tidak luput dari perhatian Dharmatio. Pria itu memastikan keduanya aman, tidak terluka atau lecet sedikitpun.

 “Arlan sebelah kiri Papa,” titah Dharmatio, memberikan kode kepada putranya untuk berpindah posisi, namun ditolak oleh bocah laki-laki itu.

“Tidak mau. Aku mau disebelah Bunda,” tukasnya, menggenggam erat tangan Cindya. Memang batin ibu dan anak, membuatnya tidak ingin berjauhan dengan sang bunda, ditambah bundanya sedang dalam kondisi tidak sehat.

Dharmatio menghela nafasnya, tidak lagi mempermasalahkannya. Ia melangkahkan kaki beriringan dengan sang istri dan putranya. Mereka memasuki lobby rumah sakit, Dharmatio pergi ke bagian administrasi, sedangkan Arlantio dan Cindya duduk di kursi ruang tunggu.

“Bunda bener tidak apa-apa?” tanya bocah laki-laki itu, menatap Cindya yang mengulas senyum dengan kepala yang mengangguk.

“Bunda gapapa, Nak. Aman,” balas Cindya, tangannya terangkat mengusap puncak kepala putranya, lalu mengecupnya.

“Kita ke depan ruang dokter kandungan,” ujar Dharmatio setelah menyelesaikan administrasi dan mendapatkan nomor antrian. Saat dirinya ingin membantu Cindya, ditolak dengan lembut.

Cindya tersenyum kepada suaminya, lalu berkata, “Tidak apa-apa, Mas. Aku bisa kok.” Ia bangkit dengan perlahan. Entah keajaiban darimana, wanita itu sudah lebih baik dari sebelumnya.

Dharmatio menghela nafasnya perlahan, tidak mempermasalahkan keputusan istrinya. Pertama, karena mereka sedang di rumah sakit. Kedua, karena ramai. Dharmatio tidak menginginkan adanya keributan.

10 menit berlalu, kini nama Cindya dipanggil oleh perawat yang berdiri di depan pintu bertuliskan ‘Dokter Kandungan’. Dharmatio setia membantu Cindya, dan Arlantio yang tidak bisa berjauhan dengan sang bunda.

“Keluhannya kenapa, Bu Cindya?” tanya dokter perempuan bernama ‘Airfana Ferania’, tersenyum manis kepada Cindya yang duduk berhadapan dengannya.

“Mual dan sakit kepala, Dok. Sudah hampir empat hari,” jawab Cindya, menatap Dokter Airfana yang memicingkan mata tipis.

“Kapan terakhir datang bulan?”

Cindya terdiam, mengingat kembali kapan terakhir dirinya datang bulan. Selama beberapa hati ini, ia tidak menyadari karena isi kepala yang penuh dan kecurigaannya terhadap sang suami, sangat menyita perhatian dan waktunya.

“Satu bulan yang lalu, sepertinya,” jawab Cindya dengan ragu, ia menipiskan bibirnya saat terdengar suara helaan nafas dari Dokter Airfana.

“Kita lakukan USG ya, Bu Cindya. Silahkan ….” ujar Dokter Airfana, beranjak dan memberikan isyarat kepada Cindya untuk berbaring di brankar rumah sakit.

Cindya hanya mengindahkannya tanpa protes. Sedangkan Arlantio yang berada dalam gendongan Dharmatio hanya terdiam, memperhatikan sang bunda yang sedang dicek perutnya oleh Dokter. Sementara itu Dharmatio memperhatikan monitor yang memperlihatkan isi dalam perut istrinya.

“Masih kecil, diperkirakan usia janinnya baru berusia dua bulan,” ujar Dokter Airfana. Ia menatap Cindya yang kini menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “Ini bukan kehamilan yang pertama, tetapi Bu Cindya tidak menyadarinya?” lanjutnya.

“Saran saya, jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting yang mungkin akan berakibat kepada janin. Baik itu Ibu maupun ayahnya. Mengingat kondisi Bu Cindya saat ini, saya akan memberikan vitamin supaya ibu dan janinnya tetap sehat,” jelasnya, tersenyum kepada Cindya yang masih tidak percaya dengan informasi yang baru saja dikatakan olehnya.

“Jadi, saya hamil, Dok?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   27. Pertemuan disengaja atau tidak disengaja?

    Cindya menatap layar sebuah tab yang sedang memperlihatkan rekaman CCTV, rekaman seorang perempuan yang duduk berhadapan dengan seorang laki-laki berpenampilan serba hitam.Laki-laki itu mengenakan topi sehingga membuatnya hanya bisa memperhatikan hidung mancung dan bibir tipis tiap kali laki-laki itu berbicara.Cindya menoleh, menatap seorang laki-laki yang berdiri di sisinya saat ini. “Gak ada rekaman CCTV dari arah lain? Aku gak bisa liat mukanya dengan jelas,” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala tegas.“Saya rasa pria itu sudah profesional, karena jika dilihat dari sudut lain tetap tidak terlihat sepenuhnya. Dia selalu berusaha menutupi sebagian wajahnya,” jelas laki-laki mengenakan jas dan kacamata hitam yang bertengger di hidung.Cindya menghela nafas pelan, ia melihat ponselnya yang menampilkan sebuah maps, bukan maps pada umumnya, tetapi pergerakkan sang suami yang sudah dekat dengan tempatnya saat ini.Dengan cepat Cindya memberikan tab itu kepada pria di sisinya, dan di

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   26. Apa yang direncanakan Harena?

    Dharmatio melangkah masuk ke dalam rumahnya yang kosong, keningnya mengkerut karena tidak menemukan istri dan anaknya. Seingatnya sebelum dirinya mengabarkan sedang dijalan pulang, dua puluh menit yang lalu, istrinya membalas akan menunggu dirumah.Dharmatio merogoh saku celananya untuk melihat kembali balasan pesan yang dikirim oleh sang istri. Ternyata itu pesan baru yang diterima olehnya, lima menit yang lalu. “Mas maaf yaa, aku ada janji mendadak sama Arens di kedai kuenya,” gumamnya.Ibu jarinya menekan icon telfon, menempelkan benda pipih itu ke telinga kanannya, menunggu dengan sabar panggilan suaranya diterima oleh seseorang disebrang sana, sambil melangkahkan kaki ke arah kamarnya yang ada di lantai dua.“Kenapa tidak menunggu aku sampai di rumah? Pasti aku anterin kamu ke tempat Arens,” ucap Dharmatio sesaat setelah istrinya itu menyapanya.“Maaf, Mas. Buru-buru, dia bilang banyak pelanggan, dan tiba-tiba saja pegawainya jatuh di kamar mandi. Jadinya dia panik, aku juga pani

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   25. Perbincangan Papa & Cindya

    Cindya menghela nafasnya perlahan, menatap papanya yang menaikkan sebelah alis. “Ini alasan Papa gak setuju sama ide aku?” tanyanya, dijawab dengan anggukkan kepala dengan bergumam pelan.Papa menegakkan tubuhnya, menatap serius putrinya yang duduk bersebrangan dengannya. “Harena itu lebih baik ditegasin, bukan cuma rencana jelek kamu itu,” tuturnya diakhiri dengan tertawa saat melihat kedua mata Cindya melebar.“Rencana aku itu baguss yaa,” ucap Cindya, membela diri karena tidak terima dengan apa yang baru saja dikatakan oleh papanya itu. “Aku yakin, berhasil kok kalau Papa setujuin waktu itu,” tambahnya.Papa mengangguk-anggukkan kepala, “Baru dijalanin satu hari, mereka langsung bikin anak,” celetuknya tanpa perasaan, lagi-lagi tertawa santai, berbeda dengan putrinya yang mendesis kesal.“Papa senang kalau aku sama Mas Tio kenapa-kenapa?” tanya Cindya, ditanggapi dengan kedua bahu yang naik. “Lagian yaa, aku tuh bingung sama Harena. Kenapa dia kaya gitu ya?” imbuhnya.“Apalagi kala

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   24. Diintrogasi Bunda

    Dharmatio menatap ibu mertuanya yang duduk dihadapannya, sedangkan di sisi kirinya terdapat Harena yang menunduk. Suasana tegang menyelimuti mereka, tatapan datar tetapi penuh intimidasi diberikan oleh Arcinta Aurelia Yasmin-Bunda Cindya dan Bunda Angkat Harena-.Arcinta menatap kedua insan dihadapannya saat ini silih berganti, ia menghela nafas perlahan. Tidak heran jika melihat tingkah putri angkatnya yang semakin hari semakin liar, walaupun tidak tiap hari bertemu, tetapi ia tahu segala aktifitas Harena di luar sana.“Besok ikut Bunda, Bunda kenalkan dengan seseorang. Dia ini lulusan kedokteran, dan cumlaude. Dia juga lebih muda satu tahun dibawah Tio,” ucap Arcinta, membuat Harena mengangkat kepala dan bertemu tatapan dengannya.“Yang benar saja, Bun. Aku gak mau, lagian aku bisa cari sendiri kok,” balas Harena, ia tidak setuju dengan keputusan sepihak sang bunda.Arcinta mengangguk-anggukkan kepala, ia masih bisa bersikap baik kepada Harena, selain karena Cindya, ada hal lain yan

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   23. Harena Semakin Liar

    Cindya memperhatikan pakaian Harena dari atas hingga bawah, ia memicingkan mata. Piyama berbahan satin berwarna putih, benar-benar pakaian yang niat untuk menggoda Dharmatio.Sedangkan Harena bergeming memperhatikan pakaiannya, lalu meringis pelan karena menyadari kebodohannya yang tidak sempat berganti pakaian karena terlalu antusias menyambut kedatangan Dharmatio.Cindya tersenyum manis kepada adiknya yang kini menatapnya, “Kamu baru bangun?” tanyanya, dijawab dengan cengiran bodoh yang mendukung kebodohan adiknya itu. “Belum sarapan berarti? Mau Mbak buatkan sesuatu?” tanyanya.Harena tersenyum lebar, kedua matanya berbinar dan kepalanya mengangguk antusias. “Mauuu, nasi goreng yaa … aku kangen masakan Mbak,” ucapnya dengan semangat.Cindya hanya bergumam malas, tetapi kedua kakinya melangkah ke arah dapur, tentu saja diikuti oleh Harena. Hanya saja, Harena memilih untuk duduk di kursi bar, memperhatikan Cindya yang sedang memakai afron berwarna biru.“Arlan gak Mbak ajak?” tanya H

  • Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku   22. Perasaan Seperti Bunglon

    Dharmatio menipiskan bibirnya, mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan apa yang terjadi tadi malam. Sedangkan Cindya hanya duduk tenang memperhatikan suaminya yang menunduk, entah kenapa perasaannya semakin sakit melihat suaminya yang hanya terdiam.“Kalau emang gak ada yang mau dibicarakan, gak usah dipaksa,” ujar Cindya setelah beberapa menit terdiam, kedua matanya bertemu dengan kedua mata sang suami. “Aku gak maksa, tapi perlu kamu ingat. Hubungan itu bakal hancur kalau ada kebohongan setitik,” lanjutnya.“Aku tidak bohong,” tukas Dharmatio dengan cepat, menatap istrinya yang menipiskan bibir dengan kepala yang mengangguk-angguk. “Di divisi aku memang ada yang ulang tahun, dan kamu bisa tanyain ke dia,” tambahnya.Cindya mengendikkan kedua bahu, ekpresi wajahnya sulit diartikan oleh Dharmatio yang saat ini sedikit panik. “Kalau emang gak ada yang ditutupi, biasa aja kali, Mas,” balasnya diakhiri dengan tertawa.Dharmatio meringis pelan, ia memejamkan kedua matanya untuk mengon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status