Home / Romansa / Adik Angkatku, Istriku / Bab 1 Sebuah Kisah Dari Masa Lalu

Share

Adik Angkatku, Istriku
Adik Angkatku, Istriku
Author: Oase-biru

Bab 1 Sebuah Kisah Dari Masa Lalu

Author: Oase-biru
last update Last Updated: 2023-03-25 15:33:05

"Bagaimana, Tyo?”

Anggukan kecil Tyo membuat aku tersenyum. Akhirnya adik semata wayangku tak akan merengek lagi padaku. Sahabat terbaikku siap membantu, dua bulan waktu yang tersisa hingga sidang skripsi dilaksanakan.

Walaupun aku adalah salah satu komisaris di kampus tempat Alisha kuliah, namun dia harus mengikuti semua aturan seperti mahasiswa lainnya. Semua untuk kebaikannya di masa depan. Agar bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya nanti.

“Bagaimana mau menolak? Semua keinginanmu kan harus terpenuhi,” tanya Tyo beralasan dengan bersungut.

Walau menyetujui, Tyo tetap saja beralasan. Aku hanya tersenyum. Tyo tak bisa menolak jika aku yang meminta bantuan. Kami saling mengenal saat kami mulai merintis usaha hingga akhirnya perusahaan kami menjadi dua perusahaan besar di ibukota dalam bidang yang berbeda.

Tyo memang memiliki banyak pengalaman dalam bidang desain interior. Mulai dari pusat perbelanjaan hingga rumah sakit tak lepas dari desain tenaga-tenaga ahlinya. Hingga perusahaan yang dipegangnya semakin dipercaya oleh beberapa pemilik gedung dan perkantoran.

“Sambil pendekatan juga boleh,” ujarku menyemangati.

Segaris senyuman terlihat di bibir Tyo. Sejak lama Tyo ingin mendekati adikku, Alisha tapi selalu kuhalangi. Kini setelah kuliahnya hampir rampung lampu hijau kuberikan. Keputusan akhir tentu saja tetap di tangan Alisha. Kebahagiaan Alisha tujuan utamaku, karena tanggung jawab sebagai pengganti ayah ada di pundakku sejak Alisha lahir.

Jika mengingat kenangan saat Alsha dilahirkan, sepertinya rasa sayangku tak akan pernah hilang. Tumbuh hanya didampingi bunda dan aku sebagai kakaknya, membuatku ingin melindunginya sampai kapanpun. Bunda selalu menguatkan kami berdua yang tumbuh besar tanpa kasih sayang ayah.

***

Hampir dua bulan berlalu, setiap akhir pekan Tyo membantu Alisha menyelesaikan skripsinya. Siang tadi Alisha menelepon mengabarkan jika semua persyaratan sidang terpenuhi. Kini dia hanya menunggu jadwal yang akan diberikan pekan ini.

Kubayangkan Alisha kecil yang manja memakai toga kelulusannya. Aku tersenyum puas dan berencana mengunjungi makam ayah sore ini. Orang yang telah mengajarkanku banyak hal mengenai kehidupan.

-Sha, mau ikut ke makam ayah?-

-Mau mas, sama bunda juga ya?-

-Iya, siap-siap ya, mas menuju rumah-

Setelah mengirim balasan w****App, kulajukan mobil sport putih menyusuri jalan ibukota yang mulai macet. Ingatanku kembali pada peristiwa kecelakaan 22 tahun lalu.

“Bunda, sabar ya. Sebentar lagi sampai ke puskesmas," ucap ayah menenangkan bunda sambil tangannya tetap memegang kemudi mobil dan fokus ke jalanan di hadapannya.

Bunda yang duduk di sampingku memegangi perutnya dengan wajah yang menahan sakit. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sambil memegangi lengan bunda. Usia 7 tahun, namun aku harus merasakan terusir dari rumah sendiri.

Perusahaan yang dijalankan ayahnya mengalami kebangkrutan. Perusahaan mengalami kerugian, belum lagi ada yang membawa kabur uang kantor. Semua kerugian yang terjadi harus mditanggungnya. Rumah yang mereka tempati disita, hingga mereka berencana kembali ke kampung halaman ayah di Bandung.

“Ayah, awas...”

Sorot lampu tajam dari bus di depan kami menerobos melalui kaca depan. Kurasakan mobil oleng dan bermanuver hingga menabrak pohon besar di pinggir jalan.

“Jaga bunda dan adikmu Angga,” ucap ayah lirih sambil meraih tanganku. Menggenggam kuat dan terlepas perlahan.

Saat tersadar, aku sudah berada di puskesmas. Seorang perawat membawaku ke kamar lainnya. Bunda duduk bersandar pada tempat tidur sedang memberi susu menggunakan botol pada bayi mungil.

“Angga, ini Alisha,” ucapnya mencoba tersenyum padaku.

"Bunda kenapa adik minum susu pakai botol?" tanyaku heran.

Wajah bunda berubah sangat sedih. Saat itu aku tidak tahu mengapa, namun setelah aku semakin besar aku mengerti jika bunda tidak bisa menyusui Alisha. Inilah yang menyebabkan beberapa kali Alisha sakit.

Saat ini aku bersama bunda dan Alisha dalam perjalanan menuju Bandung. Jalan bebas hambatan membuat perjalanan menjadi lebih cepat. Hanya memakan waktu kurang dari dua jam kami tiba di pemakaman.

Pemakaman tampak sepi, hingga kami sampai di sebuah makam dengan batu hitam bertuliskan nama Baskara Nugraha bin H. Usman Nugraha. Bunda berjongkok bersama Alisha. Memanjatkan doa dan menaburkan bunga.

“Ayah, satu tugasku sudah selesai. Alisha sebentar lagi lulus kuliah. Ayah bahagia kan?” batinku berbisik seakan bertanya pada ayah.

Sebuah panggilan telepon membuatku beranjak menjauh. Hendra, asistenku melaporkan perubahan rapat yang pagi tadi aku minta, juga laporan kondisi kantor sepeninggalku siang ini. Alisha dan bunda masih terdiam di sana, bergelayut dengan pikirannya masing-masing. Aku tersenyum melihatnya dan memahami jika mereka pasti merasakan kangen yang sama denganku.

Setelah selesai, kami tak lupa kami mengunjungi Paman Hasan, kakak ayah yang membantu kami mengurus pemakaman dan kehidupan kami selama di Bandung, hingga aku kuliah. Bunda sudah mengabari Paman Hasan yang beberapa kali mengirim pesan ingin bertemu kami.

“Alisha, sebenarnya paman menyimpan sebuah hadiah saat usiamu 17 tahun. Namun saat itu paman lupa menyimpannya. Saat kalian mengabarkan akan datang, paman mencoba mencarinya sambil membersihkan kamar tamu. Akhirnya paman menemukannya,” ucap paman sesampainya kami di teras rumah.

Kami masuk ke dalam ruang tamu. Paman menyodorkan sebuah kotak kayu antik. Sebuah kalung putih dengan sebuah kata Alisha. Aku mengambil dan mengamatinya. Sangat indah dan sempurna. Kupakaikan kalung pada leher jenjang Alisha. Keindahannya semakin memancar.

Alisha mengucapkan terima kasih pada paman. Bunda tersenyum senang melihatnya. Walau sangat terlambat, namun hadiah itu sangat berharga.

“Angga, paman ingin kita bicara berdua di ruang kerja," minta paman dengan nada memerintah seperti biasanya.

Kuikuti paman menuju ruang kerjanya. Ruangan di mana paman mengajarkanku menjadi seorang yang memiliki tanggung jawab di perusahaan, hingga mulai mendirikan perusahaan sendiri.

“Angga, paman menyimpan sebuah rahasia yang sudah saatnya kamu harus tahu. Seharusnya hal ini paman sampaikan saat Alisha berusia 17 tahun. Namun paman belum sanggup menghadapi reaksi yang akan kalian berikan," ucapnya dan sejenak berhenti.

Paman menarik napas panjang sebelum melanjutkannya.

"Alisha, bukan adik kandungmu. Dia putri dari sahabat paman, pemilik Persada Agung Grup. Kalung tadi pemberian sahabat paman, ayah kandung Alisha”

Bagai halilintar menerjang ke dalam ruangan, aku hanya terdiam. Mencoba menelaah ucapan paman dan memahami dengan kebingungan.

"Bayi dalam kandungan ibumu meninggal sebelum dilahirkan. Saat itu, istri sahabat paman juga melahirkan dan meninggal. Bayi yang baru dilahirkan itu hanya memiliki ayah yang saat itu di bui."

"Saat menerima kabar kalian mengalami kecelakaan dan berada di puskesmas yang sama, paman langsung mencari kalian. Kondisi ayahmu di ruang jenazah dan ibumu tak sadarkan diri setelah melahirkan. Paman tak tahu bagaimana harus menjelaskan jika bayi yang dilahirkannya ternyata sudah tak bernyawa, paman tak sampai hati."

“Angga, kesehatan paman mulai tidak baik. Paman takut rahasia ini tak sempat paman sampaikan jika nanti paman tiada.”

“Paman Hasan...”

Paman Hasan membuka laci meja dan mengambil berkas yang sudah di masukkan dalam kotak. Berkas dokumen kepemilikan Persada Agung Grup, diserahkannya padaku. Seharusnya semua ini diserahkan pada Alisha saat menemukan jodohnya, kata Paman sambil menitipkan amanah ini padaku.

Paman menjelaskan sedikit banyak mengenai manajemen di sana. Fariz, putra pertama paman saat ini menjadi direktur utama. Pak Yudha, ayah Alisha kini menjalankan usaha di Singapura. Mengendalikan usahanya dari sana, dengan mempercayakan Paman Hasan dalam penandatanganan kontrak.

Trauma yang didapatkan di Indonesia sangat mempengaruhinya, hingga memutuskan menetap dan memiliki keluarga di sana. Pak Yudha selalu mendapat laporan terkait Alisha dari pamannya.

Setelah makan malam, kami kembali ke Jakarta. Besok banyak pekerjaan yang akan diselesaikan. Sepanjang perjalanan aku tak banyak bicara. Semua yang baru kudengar sangat memeras otak. Bagaimana menyampaikan pada bunda dan Alisha tanpa membuat kembali pada rasa kehilangan di masa lalu.

“Bunda, Angga langsung istirahat ya,” ucapku sesaat kami masuk ke dalam rumah.

“Angga, apa yang paman sampaikan? Mau bicara dengan bunda?”

Sepertinya bunda membaca keresahanku. Namun saat ini aku tak siap berbagi. Kekhawatiran nanti menyebabkan kesedihan dan kekecewaan pada bunda lebih memilihku berdiam.

“Tidak ada bunda, hanya masalah pekerjaan.”

Bunda tak memaksa lebih lanjut, menatapku menghilang dibalik pintu kamar. Bunda dan Alisha juga akhirnya beranjak ke kamar dan beristirahat. Sesaat akan membaringkan tubuhnya. Pesan masuk dari Hendra.

-Pak Angga, Kantor utama kebakaran. Pemadam kebakaran baru saja tiba.-

-Sayap kanan terbakar, semoga cepat dipadamkan.-

Sebuah panggilan dari Tyo, menghentikan ketikan pesan untuk Hendra.

“Angga, kantor jalan Siliwangi...”

“Kamu di sana? Tolong cek kondisinya. Cari Hendra. Aku bersiap.”

“Oke.”

Lekas aku berpakaian dan turun menuju kamar bunda untuk pamit izin menuju kantor. Aku akan mengecek langsung kondisi di sana. Hendra dan Tyo sudah mengamankan situasi, semoga saja api cepat dikuasai dan dipadamkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bagas Jabbar Isnain
bikin next baca,,
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 115 Akhir Sebuah Cerita

    Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 114 Kegelisahan Alisha

    Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 113 Semua Terungkap

    Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 112 Rasa Bersalah

    Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 111 Air Mata Bahagia

    Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 110 Datang dan Pergi

    “Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 109 Kenangan Hati

    Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 108 Saling Memahami

    Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 107 Kemarahan Alisha

    Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status