Share

Adik Angkatku, Istriku
Adik Angkatku, Istriku
Penulis: Oase-biru

Bab 1 Sebuah Kisah Dari Masa Lalu

"Bagaimana, Tyo?”

Anggukan kecil Tyo membuat aku tersenyum. Akhirnya adik semata wayangku tak akan merengek lagi padaku. Sahabat terbaikku siap membantu, dua bulan waktu yang tersisa hingga sidang skripsi dilaksanakan.

Walaupun aku adalah salah satu komisaris di kampus tempat Alisha kuliah, namun dia harus mengikuti semua aturan seperti mahasiswa lainnya. Semua untuk kebaikannya di masa depan. Agar bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya nanti.

“Bagaimana mau menolak? Semua keinginanmu kan harus terpenuhi,” tanya Tyo beralasan dengan bersungut.

Walau menyetujui, Tyo tetap saja beralasan. Aku hanya tersenyum. Tyo tak bisa menolak jika aku yang meminta bantuan. Kami saling mengenal saat kami mulai merintis usaha hingga akhirnya perusahaan kami menjadi dua perusahaan besar di ibukota dalam bidang yang berbeda.

Tyo memang memiliki banyak pengalaman dalam bidang desain interior. Mulai dari pusat perbelanjaan hingga rumah sakit tak lepas dari desain tenaga-tenaga ahlinya. Hingga perusahaan yang dipegangnya semakin dipercaya oleh beberapa pemilik gedung dan perkantoran.

“Sambil pendekatan juga boleh,” ujarku menyemangati.

Segaris senyuman terlihat di bibir Tyo. Sejak lama Tyo ingin mendekati adikku, Alisha tapi selalu kuhalangi. Kini setelah kuliahnya hampir rampung lampu hijau kuberikan. Keputusan akhir tentu saja tetap di tangan Alisha. Kebahagiaan Alisha tujuan utamaku, karena tanggung jawab sebagai pengganti ayah ada di pundakku sejak Alisha lahir.

Jika mengingat kenangan saat Alsha dilahirkan, sepertinya rasa sayangku tak akan pernah hilang. Tumbuh hanya didampingi bunda dan aku sebagai kakaknya, membuatku ingin melindunginya sampai kapanpun. Bunda selalu menguatkan kami berdua yang tumbuh besar tanpa kasih sayang ayah.

***

Hampir dua bulan berlalu, setiap akhir pekan Tyo membantu Alisha menyelesaikan skripsinya. Siang tadi Alisha menelepon mengabarkan jika semua persyaratan sidang terpenuhi. Kini dia hanya menunggu jadwal yang akan diberikan pekan ini.

Kubayangkan Alisha kecil yang manja memakai toga kelulusannya. Aku tersenyum puas dan berencana mengunjungi makam ayah sore ini. Orang yang telah mengajarkanku banyak hal mengenai kehidupan.

-Sha, mau ikut ke makam ayah?-

-Mau mas, sama bunda juga ya?-

-Iya, siap-siap ya, mas menuju rumah-

Setelah mengirim balasan w****App, kulajukan mobil sport putih menyusuri jalan ibukota yang mulai macet. Ingatanku kembali pada peristiwa kecelakaan 22 tahun lalu.

“Bunda, sabar ya. Sebentar lagi sampai ke puskesmas," ucap ayah menenangkan bunda sambil tangannya tetap memegang kemudi mobil dan fokus ke jalanan di hadapannya.

Bunda yang duduk di sampingku memegangi perutnya dengan wajah yang menahan sakit. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sambil memegangi lengan bunda. Usia 7 tahun, namun aku harus merasakan terusir dari rumah sendiri.

Perusahaan yang dijalankan ayahnya mengalami kebangkrutan. Perusahaan mengalami kerugian, belum lagi ada yang membawa kabur uang kantor. Semua kerugian yang terjadi harus mditanggungnya. Rumah yang mereka tempati disita, hingga mereka berencana kembali ke kampung halaman ayah di Bandung.

“Ayah, awas...”

Sorot lampu tajam dari bus di depan kami menerobos melalui kaca depan. Kurasakan mobil oleng dan bermanuver hingga menabrak pohon besar di pinggir jalan.

“Jaga bunda dan adikmu Angga,” ucap ayah lirih sambil meraih tanganku. Menggenggam kuat dan terlepas perlahan.

Saat tersadar, aku sudah berada di puskesmas. Seorang perawat membawaku ke kamar lainnya. Bunda duduk bersandar pada tempat tidur sedang memberi susu menggunakan botol pada bayi mungil.

“Angga, ini Alisha,” ucapnya mencoba tersenyum padaku.

"Bunda kenapa adik minum susu pakai botol?" tanyaku heran.

Wajah bunda berubah sangat sedih. Saat itu aku tidak tahu mengapa, namun setelah aku semakin besar aku mengerti jika bunda tidak bisa menyusui Alisha. Inilah yang menyebabkan beberapa kali Alisha sakit.

Saat ini aku bersama bunda dan Alisha dalam perjalanan menuju Bandung. Jalan bebas hambatan membuat perjalanan menjadi lebih cepat. Hanya memakan waktu kurang dari dua jam kami tiba di pemakaman.

Pemakaman tampak sepi, hingga kami sampai di sebuah makam dengan batu hitam bertuliskan nama Baskara Nugraha bin H. Usman Nugraha. Bunda berjongkok bersama Alisha. Memanjatkan doa dan menaburkan bunga.

“Ayah, satu tugasku sudah selesai. Alisha sebentar lagi lulus kuliah. Ayah bahagia kan?” batinku berbisik seakan bertanya pada ayah.

Sebuah panggilan telepon membuatku beranjak menjauh. Hendra, asistenku melaporkan perubahan rapat yang pagi tadi aku minta, juga laporan kondisi kantor sepeninggalku siang ini. Alisha dan bunda masih terdiam di sana, bergelayut dengan pikirannya masing-masing. Aku tersenyum melihatnya dan memahami jika mereka pasti merasakan kangen yang sama denganku.

Setelah selesai, kami tak lupa kami mengunjungi Paman Hasan, kakak ayah yang membantu kami mengurus pemakaman dan kehidupan kami selama di Bandung, hingga aku kuliah. Bunda sudah mengabari Paman Hasan yang beberapa kali mengirim pesan ingin bertemu kami.

“Alisha, sebenarnya paman menyimpan sebuah hadiah saat usiamu 17 tahun. Namun saat itu paman lupa menyimpannya. Saat kalian mengabarkan akan datang, paman mencoba mencarinya sambil membersihkan kamar tamu. Akhirnya paman menemukannya,” ucap paman sesampainya kami di teras rumah.

Kami masuk ke dalam ruang tamu. Paman menyodorkan sebuah kotak kayu antik. Sebuah kalung putih dengan sebuah kata Alisha. Aku mengambil dan mengamatinya. Sangat indah dan sempurna. Kupakaikan kalung pada leher jenjang Alisha. Keindahannya semakin memancar.

Alisha mengucapkan terima kasih pada paman. Bunda tersenyum senang melihatnya. Walau sangat terlambat, namun hadiah itu sangat berharga.

“Angga, paman ingin kita bicara berdua di ruang kerja," minta paman dengan nada memerintah seperti biasanya.

Kuikuti paman menuju ruang kerjanya. Ruangan di mana paman mengajarkanku menjadi seorang yang memiliki tanggung jawab di perusahaan, hingga mulai mendirikan perusahaan sendiri.

“Angga, paman menyimpan sebuah rahasia yang sudah saatnya kamu harus tahu. Seharusnya hal ini paman sampaikan saat Alisha berusia 17 tahun. Namun paman belum sanggup menghadapi reaksi yang akan kalian berikan," ucapnya dan sejenak berhenti.

Paman menarik napas panjang sebelum melanjutkannya.

"Alisha, bukan adik kandungmu. Dia putri dari sahabat paman, pemilik Persada Agung Grup. Kalung tadi pemberian sahabat paman, ayah kandung Alisha”

Bagai halilintar menerjang ke dalam ruangan, aku hanya terdiam. Mencoba menelaah ucapan paman dan memahami dengan kebingungan.

"Bayi dalam kandungan ibumu meninggal sebelum dilahirkan. Saat itu, istri sahabat paman juga melahirkan dan meninggal. Bayi yang baru dilahirkan itu hanya memiliki ayah yang saat itu di bui."

"Saat menerima kabar kalian mengalami kecelakaan dan berada di puskesmas yang sama, paman langsung mencari kalian. Kondisi ayahmu di ruang jenazah dan ibumu tak sadarkan diri setelah melahirkan. Paman tak tahu bagaimana harus menjelaskan jika bayi yang dilahirkannya ternyata sudah tak bernyawa, paman tak sampai hati."

“Angga, kesehatan paman mulai tidak baik. Paman takut rahasia ini tak sempat paman sampaikan jika nanti paman tiada.”

“Paman Hasan...”

Paman Hasan membuka laci meja dan mengambil berkas yang sudah di masukkan dalam kotak. Berkas dokumen kepemilikan Persada Agung Grup, diserahkannya padaku. Seharusnya semua ini diserahkan pada Alisha saat menemukan jodohnya, kata Paman sambil menitipkan amanah ini padaku.

Paman menjelaskan sedikit banyak mengenai manajemen di sana. Fariz, putra pertama paman saat ini menjadi direktur utama. Pak Yudha, ayah Alisha kini menjalankan usaha di Singapura. Mengendalikan usahanya dari sana, dengan mempercayakan Paman Hasan dalam penandatanganan kontrak.

Trauma yang didapatkan di Indonesia sangat mempengaruhinya, hingga memutuskan menetap dan memiliki keluarga di sana. Pak Yudha selalu mendapat laporan terkait Alisha dari pamannya.

Setelah makan malam, kami kembali ke Jakarta. Besok banyak pekerjaan yang akan diselesaikan. Sepanjang perjalanan aku tak banyak bicara. Semua yang baru kudengar sangat memeras otak. Bagaimana menyampaikan pada bunda dan Alisha tanpa membuat kembali pada rasa kehilangan di masa lalu.

“Bunda, Angga langsung istirahat ya,” ucapku sesaat kami masuk ke dalam rumah.

“Angga, apa yang paman sampaikan? Mau bicara dengan bunda?”

Sepertinya bunda membaca keresahanku. Namun saat ini aku tak siap berbagi. Kekhawatiran nanti menyebabkan kesedihan dan kekecewaan pada bunda lebih memilihku berdiam.

“Tidak ada bunda, hanya masalah pekerjaan.”

Bunda tak memaksa lebih lanjut, menatapku menghilang dibalik pintu kamar. Bunda dan Alisha juga akhirnya beranjak ke kamar dan beristirahat. Sesaat akan membaringkan tubuhnya. Pesan masuk dari Hendra.

-Pak Angga, Kantor utama kebakaran. Pemadam kebakaran baru saja tiba.-

-Sayap kanan terbakar, semoga cepat dipadamkan.-

Sebuah panggilan dari Tyo, menghentikan ketikan pesan untuk Hendra.

“Angga, kantor jalan Siliwangi...”

“Kamu di sana? Tolong cek kondisinya. Cari Hendra. Aku bersiap.”

“Oke.”

Lekas aku berpakaian dan turun menuju kamar bunda untuk pamit izin menuju kantor. Aku akan mengecek langsung kondisi di sana. Hendra dan Tyo sudah mengamankan situasi, semoga saja api cepat dikuasai dan dipadamkan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bagas Jabbar Isnain
bikin next baca,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status