Terima kasih sudah membaca. Semoga ceritanya bisa berlanjut sesuai harapan.
David dikenalkan sebagai karyawan baru yang akan membantu administrasi kantor di bawah tanggung jawab langsung Pak Yudha. Angga, CEO Anugerah Aksara Grup dan Bramantyo... “Bramantyo, yang akan menggantikan almarhum Hasan. Keputusan penting akan diambil oleh beliau dan Dewan Direksi.” Ucapan Pak Yudha mengagetkan peserta rapat yang hadir. Aku dan David juga tak menyangka akan hal ini. Tyo sedikit terkejut, namun dia cepat menguasai dirinya. “Perkenalkan, saya Bramantyo. Mudah-mudahan kita bisa bekerja sama untuk mengembangkan Persada.” Setelah memperkenalkan diri pada Dewan Direksi, mereka mengambil tempat yang sudah disediakan. Fariz juga kembali ke kursinya. Rapat segera di mulai dengan laporan perkembangan Persada Agung tiga bulan terakhir. Laporan dari semua bagian sangat memuaskan. Tidak ada hal yang dikhawatirkan. Hal ini melegakan kami, apalagi Pak Yudha akan kembali ke Singapura besok. Setelah rapat mereka menemui Pak Ahmad dan rekannya. Menanyakan hasil pencocokan dokumen
Selesai sarapan kami bersiap kembali ke Jakarta. Semua koper sudah masuk dalam bagasi. Kami pamit pada bunda dan keluarga lainnya. “Hati-hati di jalan.” Bunda mengatakannya sambil memeluk Alisha erat. Tyo hanya tersenyum melihatnya. Mereka meninggalkan halaman rumah, menuju jalan bebas hambatan arah Jakarta. Perkiraannya, mereka akan sampai sekitar pukul sembilan. Aku memutuskan langsung ke kantor. Alisha dan Mas Tyo berencana mampir ke toko, terlebih dahulu. Menemui Tante Lisa, baru ke rumah. Alisha meminta izin untuk ke kantor besok. Aku menyetujui sekaligus memintanya beristirahat. “Mas, Alisha boleh bertanya,” tanyanya pada Mas Tyo saat dalam perjalanan menuju rumah. “Boleh.” Diliriknya sekilas ke arah Mas Tyo. Pandangannya lurus ke depan, seakan fokus ke arah jalan. Namun Alisha merasakan ada yang dipikirkannya. “Kenapa mas dijadikan komisaris di kantor Mas Fariz. Mas kan tidak ada hubungan apa-apa dengan mereka?” “Siapa yang bilang tidak ada hubungan?” jawabnya balik bert
Sesampainya di rumah, bunda sudah menunggu di teras. Alisha turun dari mobil, berlari dan memeluk bunda erat. Perjuangan bunda kini membuahkan hasil, dia sudah lulus. Bunda tersenyum, menggandeng tangannya masuk ke dalam. Dia teringat ucapan Mas Angga. dihembuskan napas dan melangkah pelan di samping bunda. Sesaat masuk ke ruang tamu, suara tepuk tangan mengagetkannya. Tante Lisa dan Mas Tyo sudah ada di ruang tamu dengan sebuah buket bunga. Alisha menoleh ke belakang. Aku tersenyum, berjalan melewatinya sambil meledek, “cemburu ya, tadi”. Alisha mencubit lenganku hingga meringis. Aku melanjutkan langkahku sambil mengelus bekas cubitannya. Alisha tersenyum dan melangkah ke arah mereka. Tante Lisa memeluk Alisha dan mengucapkan selamat. “Selamat Alisha, semoga semakin sukses,” ucap Mas Tyo sambil memberikan buket bunga padanya. Alisha tersenyum dan menguapkan terima kasih. Tante Lisa menyampaikan jika Papa Tyo sudah memesan meja untuk makan malam merayakan kelulusannya. Setelah be
Sejak siang tadi pikirannya tak tenang. Berbagai gambaran berkelebat di hadapannya. Kali ini Tyo tak bisa memprediksikan reaksi Alisha jika nanti mengetahui kebenarannya. Sebelum berangkat tadi, disempatkannya berbincang dengan mama dan papa. Tyo membutuhkan dukungan mereka. Semoga yang dilakukannya nanti tak membuat Alisha membenci siapa pun. “Mama mengerti Alisha pasti kecewa. Kalian mengetahui kebenaran dan dia adalah orang terakhir yang mengetahuinya,” ucap mama pelan.Mama juga akan memintanya agar tidak menghakimi mereka. Sebuah masa lalu bisa diperbaiki dengan saling menerima dan mengikhlaskannya. Papa hanya mengangguk menyetujui ucapan mama. “Pa, bagaimana kalau kita ke sana juga. Sekalian berkenalan dengan Papanya Alisha. Kalau perlu sekalian saja kita lamar pa.” “Mama... bikin aku tambah pusing deh,” sergah Tyo cepat.“Tapi mau kan?” ledek mama sambil melempar bantal kursi pada Tyo yang beranjak meninggalkan ruang makan. Dia akan bersiap. dihembuskannya napas kembali set
Tyo kembali tersenyum melihat Alisha menunduk malu. Diambilkan dua gelas air putih saat Mas Tyo membawa mie ke meja makan. Mereka makan seperti orang kelaparan, tak ada kata yang terucap hanya suara sendok dan garpu yang terkadang bersentuhan dengan mangkuk. Dalam sekejap tandas mie dalam mangkuk berpindah dalam perut yang tadi berbunyi. Alisha mengucapkan terima kasih sambil membawa mangkuk ke wastafel untuk dicuci. Mas Tyo menemani sampai Alisha selesai. “Sha, masih mengantuk? Jika tidak bisa temani mas kerja sebentar?” tanyanya sesaat Alisha merapihkan piring yang sudah dicucinya.Alisha mengangguk pelan, tak tega meninggalkannya bergadang sendirian di sini. Diperhatikannya wajah tenang Mas Tyo di hadapannya, menyelesaikan pekerjaannya. Alisha tahu beban pekerjaannya bertambah semenjak diangkat komisaris. Persada Agung perusahaan Pak Yudha, papa kandungnya. Pantas saja Mas Tyo yang diangkat menjadi komisaris bukan Mas Angga. Apakah ini ada hubungannya dengannya? “Mas, boleh Ali
Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit. Mencoba mengingat peristiwa sebelumnya. “Pak Angga sudah sadar?” Sopir sudah berada di samping ranjang. Luka benturan di dahinya sudah diobati. Menanyakan bagaimana kondisiku saat ini. Dia juga mengatakan belum menghubungi bunda atau yang lain. Karena hari ini Alisha sedang diwisuda, khawatir mengganggunya. “Hubungi Hendra, Pak. Segera minta ke sini.” “Baik.” Sambil menunggu Hendra, pikirannya melayang. Sebenarnya tujuan ke Bandung bukan urusan pekerjaan semata. Utamanya dia tak ingin melihat kedekatan Alisha dan Tyo saat wisuda. Perasaanku kacau semenjak mengetahui Alisha bukan adikku dan keluarga Tyo sudah terang-terangan akan melamarnya. Setelah makan siang Hendra sampai. Kutanyakan acara wisuda Alisha apakah berjalan lancar. “Lancar, Pak. Rektor dan beberapa Dekan menanyakan mengapa bapak tidak bisa hadir. Mereka menitip salam.” “Tyo datang?” “Datang sebelum acara prosesi, sekarang mereka mungkin sedang makan siang. Pak Rahard
Tante Lisa tersenyum menatapnya, kehangatan menjalar pada tangan Alisha yang tiba-tiba dingin. “Tyo, jika memang sudah siap. Bunda akan mendukung keputusan kalian. Bunda akan bicarakan dahulu dengan Angga dan Pak Yudha. Bagaimanapun ini harus melalui persetujuannya.” Mendengar nama ayahnya disebut ada rasa sakit di hati Alisha. Seorang ayah tega membiarkannya selama dua puluh dua tahun dan tak mengenalnya. Tak terasa sudut matanya meneteskan bulir bening. Kebahagiaan karena lamaran Mas Tyo beriringan dengan kesedihannya memendam kekecewaan. Walaupun dicoba untuk memahaminya, namun hingga saat ini Alisha belum bisa menerimanya. “Alisha... mama senang sekali mendengarnya sayang.” Tante Lisa memeluknya erat. Alisha membalas pelukannya, mencoba menekan isak tangisnya agar tak terdengar. Tante Lisa merasakan bahu Alisha berguncang sehingga memeluknya lebih erat dan berbisik. “Sayang, apa pun beban yang ada di hatimu, berbagilah dengan kami. Kami semua sayang padamu.” Alisha menganggu
Suara ketukan di pintu menghentikanku. Suara pintu dibuka dan bunda melangkah masuk ke dalam kamar. Aku tersenyum melihatnya. “Loh, sudah siap mau pulang, toh?” “Iya bunda, sudah bosan di sini.” Bunda tersenyum, memberikan sarapan yang sudah disiapkannya dalam kotak makan. Aku menerimanya dan membuka. Harum nasi goreng buatan bunda merasuk dalam hidungku, membuat rasa lapar tiba-tiba datang. Aku langsung menikmati sarapan yang dibawa bunda. Bunda duduk di samping ranjangku. Memperhatikanku menyantap nasi goreng. Bunda menanyakan apakah aku sudah menghubungi Pak Yudha. Aku berjanji akan menghubunginya secepatnya. Selesai sarapan dokter melakukan pemeriksaan dan memberikan resep obat. Menyarankan untuk melakukan terapi hingga amnesia yang dialaminya sembuh. Hendra datang sesaat sebelum dokter mereka meninggalkan kamar. Mengucapkan salam pada bunda dan dokter yang meninggalkan kamar. Dimatikan laptop yang masih terbuka dan menyala, dirapikan, dan dimasukkan dalam tasnya. “Hendra, c