Tak terlihat siapa yang melakukan pembakaran, api muncul setelah tak ada orang dalam ruangan. Pihak kepolisian meminta izin melakukan interogasi pada Pak Hanafi. Sebelum dokumen penyebab kebakaran diterbitkan.
Pihak asuransi juga sudah melakukan penyelidikannya sendiri. Dua sampai tiga hari waktu yang akan digunakan hingga proses klaim asuransi dapat dilakukan. Hendra mencatat semua yang disampaikan pihak kepolisian.“Baik pak, kami pamit dahulu jika begitu. Terima kasih banyak bantuannya.”Aku keluar menuju parkiran diikuti Hendra. Mobil langsung bergerak menuju kantor. Aku meminta Hendra untuk mampir ke restoran terdekat. Rasa lapar membuat konsentrasiku berkurang.Sebuah pesan dari Tyo dibacanya.-Besok Alisha kujemput, mau kuajak rapat divisi.-Tanda ok dan terima kasih kukirim sebagai jawaban. Akhirnya mereka berdua dekat kembali. Semenjak Alisha kuketahui bukan adik kandungku, mengapa ada rasa memiliki yang lebih dari sebelumnya. Terlebih saat Tyo selalu dekat dengannya.Kubuang pikiran yang selalu membuat hatiku gundah. Kucoba menikmati makan siang yang dipesan Hendra. Setelah ini aku harus melanjutkan pekerjaanku, tanpa memikirkan hal yang tak penting itu.***Berita pagi membuat Paman Hasan terkejut. Anugerah Aksara Grup, terbakar. Beruntung api cepat padam. Paman Hasan terdiam dan merenung. Mencoba memahami apa yang disampaikan Fariz dua hari yang lalu.“Ayah, kita harus mencari tambahan modal. Aku sudah mengirim permintaan kerja sama dengan Anugerah Aksara, bantu untuk mendapatkan persetujuan Alisha dan kakaknya,” ucap Fariz pada ayahnya.Permintaan Fariz mengganggu pikirannya. Melakukan akuisisi sebuah pusat perbelanjaan pasti memerlukan banyak modal. Bekerja sama dengan perusahaan lain harus saling menguntungkan. Modal utama Persada Agung kini hanya bisa dicairkan oleh Alisha.Dahulu sebelum Alisha berusia 17 tahun, dia mudah menambahkan modal untuk mengembangkan usahanya, saat ini semua modal sudah di bawah kendali Alisha. Angga pasti belum memberitahukan Alisha terkait kepemilikan perusahaan.Dering telepon menyadarkannya dari lamunan. Fariz, nama yang muncul di layar Hpnya. Digesernya layar untuk menjawab panggilan putra pertamanya.“Ayah, bagaimana? Sudah ada kabar?” tanya Fariz cepat saat mendengar suara ayahnya menjawab salam.“Fariz, coba cari informasi terkait kebakaran di jalan Siliwangi, kantor utama Anugerah Aksara.”Ayah bukan menjawab pertanyaannya, malah meminta untuk mencari informasi. Setelah menjawab dengan sedikit enggan, Fariz memutuskan sambungan telepon. Dicobanya mencari informasi terbaru setelah kebakaran. Dia tak ingin kerja samanya gagal.Pusat perbelanjaan yang diincarnya sudah memasuki tahap negosiasi harga. Kini dia hanya membutuhkan tambahan modal untuk membelinya. Rancangan manajemen baru yang akan mengelola sudah siap. Keuntungan yang ditargetkan juga cukup besar. Dengan begini dia ingin membuktikan kemampuannya memiliki perusahaan sendiri.Saat mulai mencari tahu, sekretarisnya mengirim pesan mengenai kabar dari Anugerah Aksara.-Pak Fariz ada email dari Anugerah Aksara Grup meminta pengajuan kontrak dikirim kembali.-Pesan dari sekretarisnya masuk saat dia mencari informasi yang diminta ayah. Setelah menimbang yang terbaik, di balas pesan sekretarisnya dengan cepat.-Kirimkan yang sudah direvisi kemarin. Sekalian tanya Hanafi bagaimana kondisi di sana?--Baik Pak.--Maaf pak mengingatkan, nanti pukul 10.00 ada rapat dengan pemilik gedung.-Dilemparnya ponsel ke samping. Dibuka kembali kontrak yang sudah direvisi. Semua kebutuhan modal sudah tertulis jelas. Dibolak-balik kembali hingga yakin tak ada kesalahan.Ayah sudah mengajaknya berdiskusi terkait perusahaan yang dipimpinnya saat ini. Secara hukum semua bukan milik keluarganya. Yudha Persada sebagai pemilik, hanya menyerahkan pengelolaan pada ayahnya. Semua keputusan di perusahaannya diambil oleh Dewan Direksi.Sebelum Persada Agung Grup diserahkan pada Alisha, Fariz ingin memiliki usaha sendiri. Dengan modal yang dikumpulkan kini tinggal selangkah lagi berhasil. Sebuah pesan masuk dan dibacanya perlahan.-Laporan Pak Hanafi, kontrak aman. Tanpa jejak.-Fariz tersenyum membayangkan keberhasilan yang sudah di depan mata. Kontrak sebelumnya ada bagian yang merugikannya. Kini sudah dilakukan revisi hingga nanti kerja sama yang dilakukan akan memberikan keuntungan besar.***Selesai juga makan siang yang tertunda. Angga menatap telepon yang berbunyi di sampingnya. Paman Hasan, desahnya pelan. Digesernya layar dan didekatkan telepon pada telinganya.“Assalamualaikum, Angga.”“Waalaikumsalam, Paman.”“Angga, paman melihat berita pagi ini kantormu terbakar? Bagaimana kondisinya? Paman turut prihatin.”Kujawab satu persatu pertanyaan paman. Kondisi pekerjaan yang sudah bisa berjalan normal juga hasil penyelidikan pihak kepolisian.Paman mendengarkan dengan sesekali mengucap syukur. Dititipkan salam untuk bunda dan Alisha. Sesaat kemudian paman menanyakan apakah Alisha sudah mengetahuinya?“Paman, maaf Angga belum bisa menyampaikan amanah paman. Alisha saat ini baru mulai belajar di kantor. Aku takut nanti menambah bebannya,” jawabku singkat.“Paman mengerti Angga. Angga, paman juga ingin menanyakan sesuatu, jika boleh?" tanyanya pelan."Ya paman silakan," jawabku cepat."Bagaimana kontrak yang diajukan Fariz?” tanya paman dengn nada yang berat, sepertinya paman enggan menanyakannya."Sedang kami bahas paman. Kami juga minta maaf karena kebakaran kemarin, kami meminta untuk dikirimkan kembali kontraknya. Secepatnya kami akan kabari keputusannya paman," jawabku sambil tersenyum mencoba memahami posisi paman yang kurang enak menanyakannya.Paman akhirnya menutup telepon setelah mendengar jawabanku jika kontrak tersebut masih dalam pembahasan. Sebelumnya paman juga menitip salam untuk bunda dan Alisha.Sekembalinya ke kantor, Angga menyelesaikan semua pekerjaannya. Memeriksa laporan yang sudah ada di meja semenjak pagi, juga memeriksa agenda untuk besok. Setelah selesai semua pekerjaannya, Angga terdiam. Mengingat kembali beberapa peristiwa terakhir membuatnya kesal.Sepertinya Tyo harus tahu masalah ini. Pemikirannya luas dan tidak menggunakan emosi dalam mengambil keputusan. Kemajuan dalam bisnis perusahaannya juga tak lepas dari campur tangan Tyo.Dahulu mereka mendirikan Anugerah Aksara bersama. Saat ingin mengembangkan sayap dibidang desain, Tyo ingin mencoba mandiri. Akhirnya “Shabra Desain” menjadi perusahaan yang dipimpin Tyo. Kini menjadi perusahaan yang berkembang pesat berkat tangan dinginnya.Kukirim pesan untuk bertemu nanti malam. Sederhana Cafe menjadi tempat diskusi sejak 5 tahun lalu. Tempat yang nyaman dan tanpa banyak berseliweran orang. Kutunggu balasan dari Tyo sambil merapikan tas dan beranjak pulang terlebih dahulu.“Jadi, bagaimana menurutmu? Sebaiknya kapan Alisha harus tahu terkait Persada Agung?” tanyaku setelah kami menyeruput kopi yang belum lama diantar.Tyo menghembuskan napasnya setelah tertahan sejenak saat mendengar penjelasan Angga. Tak disangka masa lalu lebih dua puluh tahun bisa disimpan dengan rapi. Yudha Persada dan Paman Hasan, kunci dari semua peristiwa ini.“Andai Alisha tahu kami bukan keluarganya, apakah dia bisa menerima Pak Yudha sebagai ayah kandungnya? Bunda pasti sudah menyayangi Alisha seperti putri kandungnya. Tapi...”Aku menggantungkan kalimat. Tak tahu jalan pikiran mana yang nanti akan terjadi. Kucoba bertanya pada Tyo yang masih terdiap di hadapannya.“Kamu sama Alisha serius kan? Kalau kamu jadi suami Alisha aku yakin semua aman. Bagaimana? Alisha menerima atau tidak?” tanyaku memastikan.Tyo hanya memandang jauh ke luar jendela. Tak tahu harus menjawab apa. Apalagi memberi saran pada Angga. Hubungannya dengan Alisha baru saja dimulai. Masalah ini sepertinya akan membuat jalan semakin berliku.Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya sebelum menjawab pertanyaan Angga.“Kita selesaikan satu persatu saja. Mengikuti apa yang terbaik. Semoga Allah membantu kita,” ucapnya pasrah."Alisha belum menerimaku, Mungkin ada yang disukainya lebih dari aku menyukai Alisha," desahnya pelan melanjutkan ucapannya yang sempat menggantung.Alisha sedang bersiap. Sesuai janjinya, hari ini akan mulai belajar di kantor Mas Tyo. Blus dipadukan blazer dan rok selutut warna navi dikenakannya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit agar terlihat rapi. Setelah melakukan riasan tipis Alisha turun menuju meja makan. “Aduh, cantik sekali putri bunda. Pangerannya belum datang sepertinya.” Mendengar ucapan bunda, Aku menoleh ke arah tangga. Alisha memang cantik, jika dilihat wajahnya sebenarnya mirip bunda. Kubuang jauh pikiran yang tiba-tiba menyeruak. Hari ini Alisha akan dikenalkan dengan manajemen kantor. Jika sudah siap Angga akan menyerahkan dokumen yang dititipkan Paman Hasan. “Pangeran dari mana bunda? Memangnya ada?” Ucapanku membuat Alisha tersipu, tanpa kuketahui dia mencubit pinggangku sesaat sebelum duduk. "Aww...! Alisha...," teriakku kaget mendapat cubitannya. Alisha tak peduli, membuka piring dan mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan bunda. Bunda tersebyum melihat kelakuan keduanya. “Ada dong Angga, seb
“Sari sekretaris kantor dan sudah dua tahun bekerja. Kemarin memang beberapa kali sedang mendapat tugas ke luar kota," jelasnya sambil menatap Alisha lekat. Mas Tyo lanjut berkata, "Aku lebih senang menceritakan mengapa “Shabra” menjadi nama perusahaan." Ditariknya napas setelah berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya. "Alisha dan Bramantyo disingkat Shabra. Mana yang lebih tertarik? Sari atau Shabra?," tanya Mas Tyo sambil menatapnya tajam. Sesaat menatap matanya yang dingin, akhirnya Alisha tertunduk malu. Tak pernah kukira jika Mas Tyo sudah sejauh itu membuat hubungan yang dia sendiri belum memahaminya. “Sudahlah. Yuk, kembali ke ruangan. Kita diskusikan di ruangan,” ajak Tyo setelah selesai memakannya. Dikirimnya pesan agar Hendra membayarkan makanannnya. Mas Tyo menarik tangan Alisha dan sengaja menggandengnya mesra saat melewati meja Sari dan rekan-rekannya. *** Besok adalah jadwal sidang. Beberapa hari berdiskusi dengan Mas Tyo membuat keraguan Alisha hilang. Kini dia
Selesai sarapan Mas Angga langsung pamit menuju kantor, beberapa pekerjaan harus diselesaikan lebih cepat sebelum ke Bandung. Beberapa hari akan dihabiskan di sana. Karena tak mungkin dia bolak-balik ke Bandung untuk melakukan pengecekan nanti. Mas Angga hanya ditemani Hendra untuk menyelesaikan semua pekerjaan nanti. -Sha, sudah siap? Mau bareng tidak berangkatnya?- Sebuah pesan masuk pada ponselnya, saat dilihat tertera nama Dania. Alisha tersenyum dan dibalas 'sudah'. Setelah lima hari bersama Mas Tyo, kegugupan Alisha menghilang berganti dengan percaya diri jika dia akan melewati semua dengan baik. Bunda juga selalu mendoakannya. Terkadang dia tak sengaja mendengar doa bunda selepas salat. Bunda adalah yang terbaik. Walau ayah sudah pergi meninggalkan mereka. Alisha tak pernah kehilangan kasih sayang ayah, karena Mas Angga selalu memberikannya. -Bareng?- tanya Dania mengulangi. -Sepertinya tidak Dania, kita bertemu di kampus saja ya.- -Ok.- Setelah membantu merapikan meja ma
Dalam perjalanan ke kampus disempatkan membeli buket bunga dan sekotak coklat. Sudah dibayangkan Alisha akan senang sekali menerimanya. Tyo minta diturunkan langsung di kantin dan meminta sopir menjalankan mobil perlahan. Diedarkan pandangan mencari sosok Alisha. Setelah melihatnya Tyo turun dan menghampiri. Seperti ucapannya, mereka berenam dan ada Satria di sana. Dipercepat langkahnya agar segera sampai. Bagaimanapun cara Satria memandang dirasakan berbeda, walau Alisha sudah menjelaskan. Mereka sedang asyik berbincang saat Tyo sampai.“Wah kalau sudah lulus semua bisa kumpul seperti ini tidak ya? Coba tebak, siapa yang bakal nikah dulu?” “Harus bisa dong.” “Satria, kapan mau lamar Shinta?” Mereka menunggu jawaban Satria, sedangkan Shinta hanya tersipu malu. Dania malah meledek Alisha dengan mengatakan akan mendahului Satria. Alisha menutup mulut Dania yang duduk di sampingnya. Hingga sebuah suara meredakan canda di sana. “Sha, sudah selesai? Ayo kita pulang.” “Cie... Sang Pang
Saat makan malam, bunda kembali menanyakan keberangkatanku ke Bandung. Sepertinya rencana pekan depan akan dimajukan. Tak mungkin menunggu hingga pekan depan sedangkan kondisi Paman Hasan sedang sakit. Paling cepat lusa bunda, sekalian aku siapkan semua pekerjaan yang akan ditinggal. Paling tidak ini saatnya memaksa Alisha untuk ke kantor. Selama ini Alisha selalu menghindar jika kuminta ke kantor. Senyumku sesaat terukir membayangkan Alisha tak akan bisa menolaknya. “Bunda, makan apa malam ini?” t anya Alisha sambil menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di sampingku. “Wah tuan putri sudah menemukan pangerannya ya. Sampai lupa pada kakak yang ganteng ini,” sedikit kutekan saat mengucapkan ‘pangerannya’. Alisah mengerucutkan bibirnya ke arahku, tak peduli dengan ucapanku namun langsung menyendok nasi. Tanganku menahan tangannya yang akan memindahkan lauk ke piring. “Bunda... Mas Angga tidak bolehkan Alisha makan.” Bunda datang melerai, menatap tajam padaku hingga aku membiarkan
Rencana kepulangan sore kumajukan, karena penasaran mengapa Hanafi ingin menemuiku. Saat sarapan pagi tadi aku menyampaikan pada bunda disetujuinya. Selesai makan siang aku siapkan mobil. Dua koper dan beberapa tas berisi oleh-oleh sudah masuk dalam mobil. Kami masuk ke dalam kamar paman untuk pamit. Tak lupa bunda menitip pesan untuk berkabar jika ada hal yang penting pada Nia. Aku sudah pamit pada Mas Fariz tadi pagi, dan setelah semua selesai kulajukan mobil menuju Jakarta. Aku sudah mengabari Hendra jika sore nanti Hanafi bisa menemuiku di kantor. Kupesankan untuk tidak memberitahu Alisha tentang kepulanganku. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya. “Bunda, paman terlihat lebih kurus dan pucat. Kondisi sebenarnya bagaimana?” Menurut dokter penyakit paman bergantung pada kondisi psikisnya. Penyakit jantung yang diderita paman sudah menahun dan akan semakin menjadi jika paman banyak beban pikiran. “Bunda, jika ada kesalahan paman yang Angga tahu. Apakah Angga harus memaafkanny
Kuhubungi Tyo agar tidak kembali ke apartemen setelah mengantar Alisha. Ingin berbagi beban pikiran dan berdiskusi mengenai masalah hari ini. Bagaimanapun suatu hari nanti dia adalah bagian dari keluarganya. Walaupun tak ada hubungan darah dengan Alisha? Kuhembuskan napas kasar, saat mengingatnya kembali. Sesampainya di rumah, bunda masih sibuk di dapur. Aku datangi bunda untuk melihatnya. Pesan terakhir tak dibalas bunda. Aku sedikit khawatir. Sesaat melihatku, bunda mencoba tersenyum. Sedikit dipaksakan. Kucium tangannya sambil menanyakan sedang memasak apa untuk makan malam nanti. Bunda hanya menunjukkan wajan yang berisi ayam bumbu merah. “Bunda..., Alisha kangen.” Suara Alisha memecahkan suasana kaku di dapur. Sedikit berlari ditubruknya bunda dan memeluknya. Bunda balas memeluk Alisha, mengelus lembut kepalanya. Kulihat mata bunda berkaca-kaca menahan kesedihan. Bergegas aku ke luar menemui Tyo. Tyo duduk di sofa, menggulung tangan kemeja hingga atas siku agar terlihat lebih
Bunda sudah kuberitahu mengenai kabar dari Mas Fariz. Kuputuskan besok pagi baru berangkat ke Bandung. Malam ini biar Hendra saja ke sana, dia bisa membantu mengurus keperluan keluarga paman. “Iya, Angga. Bunda juga perlu beristirahat,” jawab bunda sambil beranjak meninggalkanku menuju kamar. Sesaat melewati Alisha, bunda tersenyum. Tak lupa bunda pamit pada Tyo, karena tak bisa menemani ngobrol. Mereka berempat kembali duduk di ruang tamu. Angga menyampaikan berita duka. Malam ini sepertinya mereka perlu mengistirahatkan pikiran setelah menerima penjelasan Pak Aditya mengenai masa lalu ayah. “Hendra, kamu langsung berangkat ya. Bantu keluarga paman. Kami akan berangkat besok pagi. Bunda biar beristirahat dahulu. Alisha kamu juga istirahat dan bersiap.” “Besok aku temani Alisha, kamu berangkat dengan bunda saja dahulu. Alisha biar ke kantor untuk koordinasi pekerjaan selama kalian di Bandung. Sekalian aku ada rapat sebentar.” Aku mengangguk tanda setuju. Hendra langsung pamit untu