Home / Romansa / Adik Angkatku, Istriku / Bab 4 Persada Agung Grup

Share

Bab 4 Persada Agung Grup

Author: Oase-biru
last update Last Updated: 2023-03-25 15:33:24

Tak terlihat siapa yang melakukan pembakaran, api muncul setelah tak ada orang dalam ruangan. Pihak kepolisian meminta izin melakukan interogasi pada Pak Hanafi. Sebelum dokumen penyebab kebakaran diterbitkan.

Pihak asuransi juga sudah melakukan penyelidikannya sendiri. Dua sampai tiga hari waktu yang akan digunakan hingga proses klaim asuransi dapat dilakukan. Hendra mencatat semua yang disampaikan pihak kepolisian.

“Baik pak, kami pamit dahulu jika begitu. Terima kasih banyak bantuannya.”

Aku keluar menuju parkiran diikuti Hendra. Mobil langsung bergerak menuju kantor. Aku meminta Hendra untuk mampir ke restoran terdekat. Rasa lapar membuat konsentrasiku berkurang.

Sebuah pesan dari Tyo dibacanya.

-Besok Alisha kujemput, mau kuajak rapat divisi.-

Tanda ok dan terima kasih kukirim sebagai jawaban. Akhirnya mereka berdua dekat kembali. Semenjak Alisha kuketahui bukan adik kandungku, mengapa ada rasa memiliki yang lebih dari sebelumnya. Terlebih saat Tyo selalu dekat dengannya.

Kubuang pikiran yang selalu membuat hatiku gundah. Kucoba menikmati makan siang yang dipesan Hendra. Setelah ini aku harus melanjutkan pekerjaanku, tanpa memikirkan hal yang tak penting itu.

***

Berita pagi membuat Paman Hasan terkejut. Anugerah Aksara Grup, terbakar. Beruntung api cepat padam. Paman Hasan terdiam dan merenung. Mencoba memahami apa yang disampaikan Fariz dua hari yang lalu.

“Ayah, kita harus mencari tambahan modal. Aku sudah mengirim permintaan kerja sama dengan Anugerah Aksara, bantu untuk mendapatkan persetujuan Alisha dan kakaknya,” ucap Fariz pada ayahnya.

Permintaan Fariz mengganggu pikirannya. Melakukan akuisisi sebuah pusat perbelanjaan pasti memerlukan banyak modal. Bekerja sama dengan perusahaan lain harus saling menguntungkan. Modal utama Persada Agung kini hanya bisa dicairkan oleh Alisha.

Dahulu sebelum Alisha berusia 17 tahun, dia mudah menambahkan modal untuk mengembangkan usahanya, saat ini semua modal sudah di bawah kendali Alisha. Angga pasti belum memberitahukan Alisha terkait kepemilikan perusahaan.

Dering telepon menyadarkannya dari lamunan. Fariz, nama yang muncul di layar Hpnya. Digesernya layar untuk menjawab panggilan putra pertamanya.

“Ayah, bagaimana? Sudah ada kabar?” tanya Fariz cepat saat mendengar suara ayahnya menjawab salam.

“Fariz, coba cari informasi terkait kebakaran di jalan Siliwangi, kantor utama Anugerah Aksara.”

Ayah bukan menjawab pertanyaannya, malah meminta untuk mencari informasi. Setelah menjawab dengan sedikit enggan, Fariz memutuskan sambungan telepon. Dicobanya mencari informasi terbaru setelah kebakaran. Dia tak ingin kerja samanya gagal.

Pusat perbelanjaan yang diincarnya sudah memasuki tahap negosiasi harga. Kini dia hanya membutuhkan tambahan modal untuk membelinya. Rancangan manajemen baru yang akan mengelola sudah siap. Keuntungan yang ditargetkan juga cukup besar. Dengan begini dia ingin membuktikan kemampuannya memiliki perusahaan sendiri.

Saat mulai mencari tahu, sekretarisnya mengirim pesan mengenai kabar dari Anugerah Aksara.

-Pak Fariz ada email dari Anugerah Aksara Grup meminta pengajuan kontrak dikirim kembali.-

Pesan dari sekretarisnya masuk saat dia mencari informasi yang diminta ayah. Setelah menimbang yang terbaik, di balas pesan sekretarisnya dengan cepat.

-Kirimkan yang sudah direvisi kemarin. Sekalian tanya Hanafi bagaimana kondisi di sana?-

-Baik Pak.-

-Maaf pak mengingatkan, nanti pukul 10.00 ada rapat dengan pemilik gedung.-

Dilemparnya ponsel ke samping. Dibuka kembali kontrak yang sudah direvisi. Semua kebutuhan modal sudah tertulis jelas. Dibolak-balik kembali hingga yakin tak ada kesalahan.

Ayah sudah mengajaknya berdiskusi terkait perusahaan yang dipimpinnya saat ini. Secara hukum semua bukan milik keluarganya. Yudha Persada sebagai pemilik, hanya menyerahkan pengelolaan pada ayahnya. Semua keputusan di perusahaannya diambil oleh Dewan Direksi.

Sebelum Persada Agung Grup diserahkan pada Alisha, Fariz ingin memiliki usaha sendiri. Dengan modal yang dikumpulkan kini tinggal selangkah lagi berhasil. Sebuah pesan masuk dan dibacanya perlahan.

-Laporan Pak Hanafi, kontrak aman. Tanpa jejak.-

Fariz tersenyum membayangkan keberhasilan yang sudah di depan mata. Kontrak sebelumnya ada bagian yang merugikannya. Kini sudah dilakukan revisi hingga nanti kerja sama yang dilakukan akan memberikan keuntungan besar.

***

Selesai juga makan siang yang tertunda. Angga menatap telepon yang berbunyi di sampingnya. Paman Hasan, desahnya pelan. Digesernya layar dan didekatkan telepon pada telinganya.

“Assalamualaikum, Angga.”

“Waalaikumsalam, Paman.”

“Angga, paman melihat berita pagi ini kantormu terbakar? Bagaimana kondisinya? Paman turut prihatin.”

Kujawab satu persatu pertanyaan paman. Kondisi pekerjaan yang sudah bisa berjalan normal juga hasil penyelidikan pihak kepolisian.

Paman mendengarkan dengan sesekali mengucap syukur. Dititipkan salam untuk bunda dan Alisha. Sesaat kemudian paman menanyakan apakah Alisha sudah mengetahuinya?

“Paman, maaf Angga belum bisa menyampaikan amanah paman. Alisha saat ini baru mulai belajar di kantor. Aku takut nanti menambah bebannya,” jawabku singkat.

“Paman mengerti Angga. Angga, paman juga ingin menanyakan sesuatu, jika boleh?" tanyanya pelan.

"Ya paman silakan," jawabku cepat.

"Bagaimana kontrak yang diajukan Fariz?” tanya paman dengn nada yang berat, sepertinya paman enggan menanyakannya.

"Sedang kami bahas paman. Kami juga minta maaf karena kebakaran kemarin, kami meminta untuk dikirimkan kembali kontraknya. Secepatnya kami akan kabari keputusannya paman," jawabku sambil tersenyum mencoba memahami posisi paman yang kurang enak menanyakannya.

Paman akhirnya menutup telepon setelah mendengar jawabanku jika kontrak tersebut masih dalam pembahasan. Sebelumnya paman juga menitip salam untuk bunda dan Alisha.

Sekembalinya ke kantor, Angga menyelesaikan semua pekerjaannya. Memeriksa laporan yang sudah ada di meja semenjak pagi, juga memeriksa agenda untuk besok. Setelah selesai semua pekerjaannya, Angga terdiam. Mengingat kembali beberapa peristiwa terakhir membuatnya kesal.

Sepertinya Tyo harus tahu masalah ini. Pemikirannya luas dan tidak menggunakan emosi dalam mengambil keputusan. Kemajuan dalam bisnis perusahaannya juga tak lepas dari campur tangan Tyo.

Dahulu mereka mendirikan Anugerah Aksara bersama. Saat ingin mengembangkan sayap dibidang desain, Tyo ingin mencoba mandiri. Akhirnya “Shabra Desain” menjadi perusahaan yang dipimpin Tyo. Kini menjadi perusahaan yang berkembang pesat berkat tangan dinginnya.

Kukirim pesan untuk bertemu nanti malam. Sederhana Cafe menjadi tempat diskusi sejak 5 tahun lalu. Tempat yang nyaman dan tanpa banyak berseliweran orang. Kutunggu balasan dari Tyo sambil merapikan tas dan beranjak pulang terlebih dahulu.

“Jadi, bagaimana menurutmu? Sebaiknya kapan Alisha harus tahu terkait Persada Agung?” tanyaku setelah kami menyeruput kopi yang belum lama diantar.

Tyo menghembuskan napasnya setelah tertahan sejenak saat mendengar penjelasan Angga. Tak disangka masa lalu lebih dua puluh tahun bisa disimpan dengan rapi. Yudha Persada dan Paman Hasan, kunci dari semua peristiwa ini.

“Andai Alisha tahu kami bukan keluarganya, apakah dia bisa menerima Pak Yudha sebagai ayah kandungnya? Bunda pasti sudah menyayangi Alisha seperti putri kandungnya. Tapi...”

Aku menggantungkan kalimat. Tak tahu jalan pikiran mana yang nanti akan terjadi. Kucoba bertanya pada Tyo yang masih terdiap di hadapannya.

“Kamu sama Alisha serius kan? Kalau kamu jadi suami Alisha aku yakin semua aman. Bagaimana? Alisha menerima atau tidak?” tanyaku memastikan.

Tyo hanya memandang jauh ke luar jendela. Tak tahu harus menjawab apa. Apalagi memberi saran pada Angga. Hubungannya dengan Alisha baru saja dimulai. Masalah ini sepertinya akan membuat jalan semakin berliku.

Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya sebelum menjawab pertanyaan Angga.

“Kita selesaikan satu persatu saja. Mengikuti apa yang terbaik. Semoga Allah membantu kita,” ucapnya pasrah.

"Alisha belum menerimaku, Mungkin ada yang disukainya lebih dari aku menyukai Alisha," desahnya pelan melanjutkan ucapannya yang sempat menggantung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 115 Akhir Sebuah Cerita

    Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 114 Kegelisahan Alisha

    Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 113 Semua Terungkap

    Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 112 Rasa Bersalah

    Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 111 Air Mata Bahagia

    Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku

  • Adik Angkatku, Istriku   Bab 110 Datang dan Pergi

    “Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status