Alisha sedang bersiap. Sesuai janjinya, hari ini akan mulai belajar di kantor Mas Tyo. Blus dipadukan blazer dan rok selutut warna navi dikenakannya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit agar terlihat rapi. Setelah melakukan riasan tipis Alisha turun menuju meja makan.
“Aduh, cantik sekali putri bunda. Pangerannya belum datang sepertinya.”Mendengar ucapan bunda, Aku menoleh ke arah tangga. Alisha memang cantik, jika dilihat wajahnya sebenarnya mirip bunda. Kubuang jauh pikiran yang tiba-tiba menyeruak. Hari ini Alisha akan dikenalkan dengan manajemen kantor. Jika sudah siap Angga akan menyerahkan dokumen yang dititipkan Paman Hasan.“Pangeran dari mana bunda? Memangnya ada?”Ucapanku membuat Alisha tersipu, tanpa kuketahui dia mencubit pinggangku sesaat sebelum duduk."Aww...! Alisha...," teriakku kaget mendapat cubitannya.Alisha tak peduli, membuka piring dan mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan bunda. Bunda tersebyum melihat kelakuan keduanya.“Ada dong Angga, sebentar lagi kereta kudanya pasti sampai.”Jawab bunda sambil tersenyum. Bunda sudah menyiapkan satu piring sarapan tambahan di meja. Pasti sudah tahu jika Mas Tyo akan datang menjemput.Tak lama terdengar suara mobil berhenti di halaman. Suara langkah kaki menuju ruang makan membuat konsentrasi Alisha terganggu. Huft... semakin diledek pasti, batin Alisha.“Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, nah pangerannya sudah tiba. Ayo Nak Tyo. sini, sudah bunda siapkan,” jawab bunda sambil menunjuk kursi di sebelahnya.Tyo memandang Alisha sejenak sebelum duduk di samping bunda. Bunda membuka piring dan mengambilkan nasi goreng untuk Mas Tyo.“Cukup bun, kebetulan sudah sarapan tadi,” ucap Tyo saat bunda akan mengambilkan sendokan ketiga.Bunda menghentikan tangannya dan meminta Tyo untuk mencoba nasi goreng buatan Alisha. Aku tersenyum. Pantas pagi tadi bunda memaksa Alisha membantu menyiapkan sarapan. “Masakan Alisha pasti enak, Yo. Kalau ketagihan bawa saja ke apartemenmu suruh masak di sana. Daripada pesan makanan online terus,” ucapku sambil melirik ke arah Alisha.“Apa sih Mas Angga. Suruh-suruh tidak jelas.”Diminumnya susu hingga habis dan beranjak bangun dengan alasan mengambil tas yang masih di kamar. Langkah kakinya sengaja dihentakkan karena kesal. Aku tertawa ringan sambil meledek.“Mukanya kenapa jadi merah begitu, Sha.”“Angga!” tegur bunda agar candanya tak berlanjut.Tyo tetap menikmati nasi goreng di piringnya, seakan tak peduli. Padahal dalam hati ingin sekali tertawa melihat tingkah Alisha pagi ini.Saat ini mereka sudah dapal perjalanan menuju Shabra Desain, kantor tempatnya menyelesaikan skripsinya dahulu. Alisha mash ingat saat-saat Mas Tyo membentunya, namun mengingat ledekan Mas Angga dia masih menyimpan kekesalannya.“Kenapa sih? Masih cemberut saja,” tanya Mas Tyo dalam perjalanan ke kantor.Tatapan matanya tetap fokus ke jalan, namun sesekali melirik pada gadis di sampingnya yang masih bad mood.“Mas Tyo kenapa sih tidak balas Mas Angga. Pagi-pagi sudah bikin kesel.”“Balas apa? balas meledek, tidak perlu juga kan meledek calon kakak ipar. Coba kamu senyum deh, masa hari pertama kerja mau cemberut. Nanti yang diajak kerja sama bisa-bisa salah pengertian.”Alisha masih merengut kesal, Tyo melanjutkan perbincangan mengenai pekerjaan yang nantinya akan dilakukan. Beberapa divisi yang ada serta pekerjaan yang harus diselesaikannya dijelaskan dengan perlahan. Sesekali Alisha mulai bertanya dan mengangguk setelah mengerti.Alisha mengikuti langkah Tyo yang berjalan di depannya. Beberapa karyawan yang sudah hadir memberikan hormat dan mengucapkan selamat pagi. Mereka langsung menuju ruang CEO. Di meja sudah ada beberapa berkas yang harus diceknya. Alisha sudah memiliki meja di ruang tersebut di samping meja gambar tepatnya.Sambil menunggu rapat divisi Alisha membuka kembali laptop yang memang masih tersimpan di sana. Membuka fail dan mempelajarinya kembali. Hitung-hitung persiapan sidang nanti. Beberapa hal yang tak dipahami sudah dicatat. Nanti akan ditanyakan setelah rapat.Saat ini mereka ada di ruangan rapat. Rapat divisi kali ini memakan waktu lebih dari dua jam. Lebih lama dari biasanya. Sepertinya Mas Tyo sengaja agar aku bisa belajar bagaimana proses rapat berlangsung. Beberapa kali Mas Tyo mengulang pertanyaan agar aku fokus pada inti masalahnya.Memang Mas Tyo bak langit dan bumi dengan Mas Angga. Jika Mas Angga ingin cepat selesai dan hasil sempurna, maka Mas Tyo lebih santai namun hasil akhir selalu menjadi tujuan utama.“Sha, mau makan siang di mana? Kantin atau mau keluar?” tanya Mas Tyo setelah pekerjaan mereka selesai.“Kantin saja mas, aku kangen masakan Bu Ida,” jawab Alisha cepat.Selama menyelesaikan skripsi beberapa kali aku mengerjakan di kantor. Awalnya Mas Tyo memesankan makan siang untuk diantar ke ruangannya, hingga akhirnya aku juga ingin makan di kantin. Di sanalah aku mengenal siapa yang memasak makan siang yang selalu diantar ke ruangan.“Mas masih mau ke ruangan sebentar, sekalian pesankan ya. Nanti mas menyusul,” ucapnya meminta Alisha ke kantin lebih dahulu.Alisha mengangguk dan menunggu lift menuju lantai satu. Setelah melewati lobi utama dia melangkah ke arah kantin. Beberapa meja sudah terisi dan aku mencari meja agak ke pojok.“Yang mana?” sebuah suara di dengar Alisha yang baru duduk di mejanya.“Beberapa bulan lalu sering ke sini, pagi tadi sepertinya ikut rapat.”“Alisha, kalau tidak salah. Padahal lebih oke Sari ke mana-mana,” ucapnya sambil melirik Sari yang duduk di depannya.Sari hanya tersenyum mendengar ucapan rekannya. Sudah dua tahun dia menjadi sekretaris Bramantyo. Sedikit banyak dia sudah memahami sikap dingin dan perfeksionis bosnya apalagi untuk target pekerjaan.Siapa yang tidak mau menjadi pendamping CEO Shabra Desain. Selain paras yang tampan pasti segala kebutuhan bisa terpenuhi.“Kalau dilihat wajahnya biasa saja, kalau tidak ada sesuatu tidak mungkin mereka sangat dekat kan?” tanyanya kembali“Hush... jangan bergosip,” ujar Sari mengingatkan.“Coba pikir. Meja kerjanya saja ditaruh di dalam ruang CEO, kalau tidak ada hubungan lain mana ada seperti itu,” jelasnya semakin berani.Mereka semakin jauh menduga-duga. Telinga Alisha sudah tak tahan mendengarnya. Dikepal tangannya untuk meredam emosi yang semakin membuncah. Saat kesabarannya habis dia bangun dan berencana menemui mereka di mejanya.Belum lagi Alisha melangkah. Tangannya ditarik dengan sedikit paksaan. Ditengoknya pemilik tangan yang menariknya. Mas Tyo malah tersenyum melihat Alisha mengerucutkan bibirnya. Dihempaskan kembali tubuhnya ke kursi. Tak lama pesanan kami datang.“Jangan di dengar kalau kamu tidak suka. Sebagai orang yang berbeda jangan mengikuti hal yang sama. Itu artinya kita tidak ada bedanya dengan mereka,” ucap Mas Tyo menenangkannya.“Tapi Mas, ucapannya semakin lama semakin menyakitkan,” sungutnya kesal.“Memang seperti itu kan. Semakin lama pasti semakin tajam jika diasah,” jawabnya cepat.Alisha hanya mengangguk menyetujui ucapannya. Mereka mulai menikmati makanan yang sudah terhidang di meja. Masakan Bu Ida memang lezat, yang pasti sesuai dengan lidahku. Walau menu sederhana tapi mereka menyukainya.Selesai menikmati makan siang, Alisha meraih lemon tea hangat di mejanya. Mas Tyo masih menikmati makanannya tanpa bersuara. Sebenarnya ada yang ingin ditanyakannya, siapa Sari dan rekan-rekannya itu. Namun saat dilihatnya Mas Tyo masih menikmati makan siang, diurungkan niatnya, hingga akhirnya dia penasaran dan bertanya.“Sari itu sekretaris mas, ya?” tanya Alisha cepat.Mas Tyo menatap Alisha sejenak dan melanjutkan makannya. Alisha tak berani bertanya lagi, saat dilihatnya Mas Tyo tak tergerak untuk menjawabnya. Dimainkannya sedotan di gelas dengan memutar-mutarnya, hingga sebuah tangan menghentikan kegiatannya.“Apakah penting mengetahui jawabannya?”Mas Tyo malah balik bertanya. Hingga aAlisha tambah kesal dan memilih untuk diam menunggu makanannya habis.“Sari sekretaris kantor dan sudah dua tahun bekerja. Kemarin memang beberapa kali sedang mendapat tugas ke luar kota," jelasnya sambil menatap Alisha lekat. Mas Tyo lanjut berkata, "Aku lebih senang menceritakan mengapa “Shabra” menjadi nama perusahaan." Ditariknya napas setelah berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya. "Alisha dan Bramantyo disingkat Shabra. Mana yang lebih tertarik? Sari atau Shabra?," tanya Mas Tyo sambil menatapnya tajam. Sesaat menatap matanya yang dingin, akhirnya Alisha tertunduk malu. Tak pernah kukira jika Mas Tyo sudah sejauh itu membuat hubungan yang dia sendiri belum memahaminya. “Sudahlah. Yuk, kembali ke ruangan. Kita diskusikan di ruangan,” ajak Tyo setelah selesai memakannya. Dikirimnya pesan agar Hendra membayarkan makanannnya. Mas Tyo menarik tangan Alisha dan sengaja menggandengnya mesra saat melewati meja Sari dan rekan-rekannya. *** Besok adalah jadwal sidang. Beberapa hari berdiskusi dengan Mas Tyo membuat keraguan Alisha hilang. Kini dia
Selesai sarapan Mas Angga langsung pamit menuju kantor, beberapa pekerjaan harus diselesaikan lebih cepat sebelum ke Bandung. Beberapa hari akan dihabiskan di sana. Karena tak mungkin dia bolak-balik ke Bandung untuk melakukan pengecekan nanti. Mas Angga hanya ditemani Hendra untuk menyelesaikan semua pekerjaan nanti. -Sha, sudah siap? Mau bareng tidak berangkatnya?- Sebuah pesan masuk pada ponselnya, saat dilihat tertera nama Dania. Alisha tersenyum dan dibalas 'sudah'. Setelah lima hari bersama Mas Tyo, kegugupan Alisha menghilang berganti dengan percaya diri jika dia akan melewati semua dengan baik. Bunda juga selalu mendoakannya. Terkadang dia tak sengaja mendengar doa bunda selepas salat. Bunda adalah yang terbaik. Walau ayah sudah pergi meninggalkan mereka. Alisha tak pernah kehilangan kasih sayang ayah, karena Mas Angga selalu memberikannya. -Bareng?- tanya Dania mengulangi. -Sepertinya tidak Dania, kita bertemu di kampus saja ya.- -Ok.- Setelah membantu merapikan meja ma
Dalam perjalanan ke kampus disempatkan membeli buket bunga dan sekotak coklat. Sudah dibayangkan Alisha akan senang sekali menerimanya. Tyo minta diturunkan langsung di kantin dan meminta sopir menjalankan mobil perlahan. Diedarkan pandangan mencari sosok Alisha. Setelah melihatnya Tyo turun dan menghampiri. Seperti ucapannya, mereka berenam dan ada Satria di sana. Dipercepat langkahnya agar segera sampai. Bagaimanapun cara Satria memandang dirasakan berbeda, walau Alisha sudah menjelaskan. Mereka sedang asyik berbincang saat Tyo sampai.“Wah kalau sudah lulus semua bisa kumpul seperti ini tidak ya? Coba tebak, siapa yang bakal nikah dulu?” “Harus bisa dong.” “Satria, kapan mau lamar Shinta?” Mereka menunggu jawaban Satria, sedangkan Shinta hanya tersipu malu. Dania malah meledek Alisha dengan mengatakan akan mendahului Satria. Alisha menutup mulut Dania yang duduk di sampingnya. Hingga sebuah suara meredakan canda di sana. “Sha, sudah selesai? Ayo kita pulang.” “Cie... Sang Pang
Saat makan malam, bunda kembali menanyakan keberangkatanku ke Bandung. Sepertinya rencana pekan depan akan dimajukan. Tak mungkin menunggu hingga pekan depan sedangkan kondisi Paman Hasan sedang sakit. Paling cepat lusa bunda, sekalian aku siapkan semua pekerjaan yang akan ditinggal. Paling tidak ini saatnya memaksa Alisha untuk ke kantor. Selama ini Alisha selalu menghindar jika kuminta ke kantor. Senyumku sesaat terukir membayangkan Alisha tak akan bisa menolaknya. “Bunda, makan apa malam ini?” t anya Alisha sambil menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di sampingku. “Wah tuan putri sudah menemukan pangerannya ya. Sampai lupa pada kakak yang ganteng ini,” sedikit kutekan saat mengucapkan ‘pangerannya’. Alisah mengerucutkan bibirnya ke arahku, tak peduli dengan ucapanku namun langsung menyendok nasi. Tanganku menahan tangannya yang akan memindahkan lauk ke piring. “Bunda... Mas Angga tidak bolehkan Alisha makan.” Bunda datang melerai, menatap tajam padaku hingga aku membiarkan
Rencana kepulangan sore kumajukan, karena penasaran mengapa Hanafi ingin menemuiku. Saat sarapan pagi tadi aku menyampaikan pada bunda disetujuinya. Selesai makan siang aku siapkan mobil. Dua koper dan beberapa tas berisi oleh-oleh sudah masuk dalam mobil. Kami masuk ke dalam kamar paman untuk pamit. Tak lupa bunda menitip pesan untuk berkabar jika ada hal yang penting pada Nia. Aku sudah pamit pada Mas Fariz tadi pagi, dan setelah semua selesai kulajukan mobil menuju Jakarta. Aku sudah mengabari Hendra jika sore nanti Hanafi bisa menemuiku di kantor. Kupesankan untuk tidak memberitahu Alisha tentang kepulanganku. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya. “Bunda, paman terlihat lebih kurus dan pucat. Kondisi sebenarnya bagaimana?” Menurut dokter penyakit paman bergantung pada kondisi psikisnya. Penyakit jantung yang diderita paman sudah menahun dan akan semakin menjadi jika paman banyak beban pikiran. “Bunda, jika ada kesalahan paman yang Angga tahu. Apakah Angga harus memaafkanny
Kuhubungi Tyo agar tidak kembali ke apartemen setelah mengantar Alisha. Ingin berbagi beban pikiran dan berdiskusi mengenai masalah hari ini. Bagaimanapun suatu hari nanti dia adalah bagian dari keluarganya. Walaupun tak ada hubungan darah dengan Alisha? Kuhembuskan napas kasar, saat mengingatnya kembali. Sesampainya di rumah, bunda masih sibuk di dapur. Aku datangi bunda untuk melihatnya. Pesan terakhir tak dibalas bunda. Aku sedikit khawatir. Sesaat melihatku, bunda mencoba tersenyum. Sedikit dipaksakan. Kucium tangannya sambil menanyakan sedang memasak apa untuk makan malam nanti. Bunda hanya menunjukkan wajan yang berisi ayam bumbu merah. “Bunda..., Alisha kangen.” Suara Alisha memecahkan suasana kaku di dapur. Sedikit berlari ditubruknya bunda dan memeluknya. Bunda balas memeluk Alisha, mengelus lembut kepalanya. Kulihat mata bunda berkaca-kaca menahan kesedihan. Bergegas aku ke luar menemui Tyo. Tyo duduk di sofa, menggulung tangan kemeja hingga atas siku agar terlihat lebih
Bunda sudah kuberitahu mengenai kabar dari Mas Fariz. Kuputuskan besok pagi baru berangkat ke Bandung. Malam ini biar Hendra saja ke sana, dia bisa membantu mengurus keperluan keluarga paman. “Iya, Angga. Bunda juga perlu beristirahat,” jawab bunda sambil beranjak meninggalkanku menuju kamar. Sesaat melewati Alisha, bunda tersenyum. Tak lupa bunda pamit pada Tyo, karena tak bisa menemani ngobrol. Mereka berempat kembali duduk di ruang tamu. Angga menyampaikan berita duka. Malam ini sepertinya mereka perlu mengistirahatkan pikiran setelah menerima penjelasan Pak Aditya mengenai masa lalu ayah. “Hendra, kamu langsung berangkat ya. Bantu keluarga paman. Kami akan berangkat besok pagi. Bunda biar beristirahat dahulu. Alisha kamu juga istirahat dan bersiap.” “Besok aku temani Alisha, kamu berangkat dengan bunda saja dahulu. Alisha biar ke kantor untuk koordinasi pekerjaan selama kalian di Bandung. Sekalian aku ada rapat sebentar.” Aku mengangguk tanda setuju. Hendra langsung pamit untu
Alisha dan bunda sudah selesai berbelanja. Semua keperluan dapur sudah dibeli. Kue untuk pengajian nanti malam juga sudah di pesan. Akan diantar menjelang sore nanti. “Bunda kita jadi ke makam?” tanyanya pada bunda. “Jadi, Sha. Kita beli bunga dulu," jawab bunda pelan.Mereka berjalan menuju penjaja bunga, membeli beberapa bungkus bunga untuk ditaburkan di makam ayah dan paman. Di kejauhan tanpa mereka sadari, ada beberapa orang yang mengamati dan memberi laporan melalui telepon. “Mereka akan ke makam, pak. Saat ini mereka sudah menuju mobil yang akan membawanya.” “Oke, kita bertemu di makam. Ikuti terus, jaga keamanan mereka," balas Pak Yudha di seberang telepon.“Baik pak. Saat ini kami tidak melihat ada yang mencurigakan.” Setelah menaburkan bunga di kedua makam, bunda cukup lama bersimpuh di makam ayah. Sesekali bunda mengusap ujung matanya. Alisha tahu tamu malam itu membuka luka lama bunda. Kepergian ayah sulit dilupakan, apalagi saat itu bunda melahirkanku. Kondisi yang mem