Share

Bab 5 Perasaan Alisha

Alisha sedang bersiap. Sesuai janjinya, hari ini akan mulai belajar di kantor Mas Tyo. Blus dipadukan blazer dan rok selutut warna navi dikenakannya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit agar terlihat rapi. Setelah melakukan riasan tipis Alisha turun menuju meja makan.

“Aduh, cantik sekali putri bunda. Pangerannya belum datang sepertinya.”

Mendengar ucapan bunda, Aku menoleh ke arah tangga. Alisha memang cantik, jika dilihat wajahnya sebenarnya mirip bunda. Kubuang jauh pikiran yang tiba-tiba menyeruak. Hari ini Alisha akan dikenalkan dengan manajemen kantor. Jika sudah siap Angga akan menyerahkan dokumen yang dititipkan Paman Hasan.

“Pangeran dari mana bunda? Memangnya ada?”

Ucapanku membuat Alisha tersipu, tanpa kuketahui dia mencubit pinggangku sesaat sebelum duduk.

"Aww...! Alisha...," teriakku kaget mendapat cubitannya.

Alisha tak peduli, membuka piring dan mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan bunda. Bunda tersebyum melihat kelakuan keduanya.

“Ada dong Angga, sebentar lagi kereta kudanya pasti sampai.”

Jawab bunda sambil tersenyum. Bunda sudah menyiapkan satu piring sarapan tambahan di meja. Pasti sudah tahu jika Mas Tyo akan datang menjemput.

Tak lama terdengar suara mobil berhenti di halaman. Suara langkah kaki menuju ruang makan membuat konsentrasi Alisha terganggu. Huft... semakin diledek pasti, batin Alisha.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, nah pangerannya sudah tiba. Ayo Nak Tyo. sini, sudah bunda siapkan,” jawab bunda sambil menunjuk kursi di sebelahnya.

Tyo memandang Alisha sejenak sebelum duduk di samping bunda. Bunda membuka piring dan mengambilkan nasi goreng untuk Mas Tyo.

“Cukup bun, kebetulan sudah sarapan tadi,” ucap Tyo saat bunda akan mengambilkan sendokan ketiga.

Bunda menghentikan tangannya dan meminta Tyo untuk mencoba nasi goreng buatan Alisha. Aku tersenyum. Pantas pagi tadi bunda memaksa Alisha membantu menyiapkan sarapan.

“Masakan Alisha pasti enak, Yo. Kalau ketagihan bawa saja ke apartemenmu suruh masak di sana. Daripada pesan makanan online terus,” ucapku sambil melirik ke arah Alisha.

“Apa sih Mas Angga. Suruh-suruh tidak jelas.”

Diminumnya susu hingga habis dan beranjak bangun dengan alasan mengambil tas yang masih di kamar. Langkah kakinya sengaja dihentakkan karena kesal. Aku tertawa ringan sambil meledek.

“Mukanya kenapa jadi merah begitu, Sha.”

“Angga!” tegur bunda agar candanya tak berlanjut.

Tyo tetap menikmati nasi goreng di piringnya, seakan tak peduli. Padahal dalam hati ingin sekali tertawa melihat tingkah Alisha pagi ini.

Saat ini mereka sudah dapal perjalanan menuju Shabra Desain, kantor tempatnya menyelesaikan skripsinya dahulu. Alisha mash ingat saat-saat Mas Tyo membentunya, namun mengingat ledekan Mas Angga dia masih menyimpan kekesalannya.

“Kenapa sih? Masih cemberut saja,” tanya Mas Tyo dalam perjalanan ke kantor.

Tatapan matanya tetap fokus ke jalan, namun sesekali melirik pada gadis di sampingnya yang masih bad mood.

“Mas Tyo kenapa sih tidak balas Mas Angga. Pagi-pagi sudah bikin kesel.”

“Balas apa? balas meledek, tidak perlu juga kan meledek calon kakak ipar. Coba kamu senyum deh, masa hari pertama kerja mau cemberut. Nanti yang diajak kerja sama bisa-bisa salah pengertian.”

Alisha masih merengut kesal, Tyo melanjutkan perbincangan mengenai pekerjaan yang nantinya akan dilakukan. Beberapa divisi yang ada serta pekerjaan yang harus diselesaikannya dijelaskan dengan perlahan. Sesekali Alisha mulai bertanya dan mengangguk setelah mengerti.

Alisha mengikuti langkah Tyo yang berjalan di depannya. Beberapa karyawan yang sudah hadir memberikan hormat dan mengucapkan selamat pagi. Mereka langsung menuju ruang CEO. Di meja sudah ada beberapa berkas yang harus diceknya. Alisha sudah memiliki meja di ruang tersebut di samping meja gambar tepatnya.

Sambil menunggu rapat divisi Alisha membuka kembali laptop yang memang masih tersimpan di sana. Membuka fail dan mempelajarinya kembali. Hitung-hitung persiapan sidang nanti. Beberapa hal yang tak dipahami sudah dicatat. Nanti akan ditanyakan setelah rapat.

Saat ini mereka ada di ruangan rapat. Rapat divisi kali ini memakan waktu lebih dari dua jam. Lebih lama dari biasanya. Sepertinya Mas Tyo sengaja agar aku bisa belajar bagaimana proses rapat berlangsung. Beberapa kali Mas Tyo mengulang pertanyaan agar aku fokus pada inti masalahnya.

Memang Mas Tyo bak langit dan bumi dengan Mas Angga. Jika Mas Angga ingin cepat selesai dan hasil sempurna, maka Mas Tyo lebih santai namun hasil akhir selalu menjadi tujuan utama.

“Sha, mau makan siang di mana? Kantin atau mau keluar?” tanya Mas Tyo setelah pekerjaan mereka selesai.

“Kantin saja mas, aku kangen masakan Bu Ida,” jawab Alisha cepat.

Selama menyelesaikan skripsi beberapa kali aku mengerjakan di kantor. Awalnya Mas Tyo memesankan makan siang untuk diantar ke ruangannya, hingga akhirnya aku juga ingin makan di kantin. Di sanalah aku mengenal siapa yang memasak makan siang yang selalu diantar ke ruangan.

“Mas masih mau ke ruangan sebentar, sekalian pesankan ya. Nanti mas menyusul,” ucapnya meminta Alisha ke kantin lebih dahulu.

Alisha mengangguk dan menunggu lift menuju lantai satu. Setelah melewati lobi utama dia melangkah ke arah kantin. Beberapa meja sudah terisi dan aku mencari meja agak ke pojok.

“Yang mana?” sebuah suara di dengar Alisha yang baru duduk di mejanya.

“Beberapa bulan lalu sering ke sini, pagi tadi sepertinya ikut rapat.”

“Alisha, kalau tidak salah. Padahal lebih oke Sari ke mana-mana,” ucapnya sambil melirik Sari yang duduk di depannya.

Sari hanya tersenyum mendengar ucapan rekannya. Sudah dua tahun dia menjadi sekretaris Bramantyo. Sedikit banyak dia sudah memahami sikap dingin dan perfeksionis bosnya apalagi untuk target pekerjaan.

Siapa yang tidak mau menjadi pendamping CEO Shabra Desain. Selain paras yang tampan pasti segala kebutuhan bisa terpenuhi.

“Kalau dilihat wajahnya biasa saja, kalau tidak ada sesuatu tidak mungkin mereka sangat dekat kan?” tanyanya kembali

“Hush... jangan bergosip,” ujar Sari mengingatkan.

“Coba pikir. Meja kerjanya saja ditaruh di dalam ruang CEO, kalau tidak ada hubungan lain mana ada seperti itu,” jelasnya semakin berani.

Mereka semakin jauh menduga-duga. Telinga Alisha sudah tak tahan mendengarnya. Dikepal tangannya untuk meredam emosi yang semakin membuncah. Saat kesabarannya habis dia bangun dan berencana menemui mereka di mejanya.

Belum lagi Alisha melangkah. Tangannya ditarik dengan sedikit paksaan. Ditengoknya pemilik tangan yang menariknya. Mas Tyo malah tersenyum melihat Alisha mengerucutkan bibirnya. Dihempaskan kembali tubuhnya ke kursi. Tak lama pesanan kami datang.

“Jangan di dengar kalau kamu tidak suka. Sebagai orang yang berbeda jangan mengikuti hal yang sama. Itu artinya kita tidak ada bedanya dengan mereka,” ucap Mas Tyo menenangkannya.

“Tapi Mas, ucapannya semakin lama semakin menyakitkan,” sungutnya kesal.

“Memang seperti itu kan. Semakin lama pasti semakin tajam jika diasah,” jawabnya cepat.

Alisha hanya mengangguk menyetujui ucapannya. Mereka mulai menikmati makanan yang sudah terhidang di meja. Masakan Bu Ida memang lezat, yang pasti sesuai dengan lidahku. Walau menu sederhana tapi mereka menyukainya.

Selesai menikmati makan siang, Alisha meraih lemon tea hangat di mejanya. Mas Tyo masih menikmati makanannya tanpa bersuara. Sebenarnya ada yang ingin ditanyakannya, siapa Sari dan rekan-rekannya itu. Namun saat dilihatnya Mas Tyo masih menikmati makan siang, diurungkan niatnya, hingga akhirnya dia penasaran dan bertanya.

“Sari itu sekretaris mas, ya?” tanya Alisha cepat.

Mas Tyo menatap Alisha sejenak dan melanjutkan makannya. Alisha tak berani bertanya lagi, saat dilihatnya Mas Tyo tak tergerak untuk menjawabnya. Dimainkannya sedotan di gelas dengan memutar-mutarnya, hingga sebuah tangan menghentikan kegiatannya.

“Apakah penting mengetahui jawabannya?”

Mas Tyo malah balik bertanya. Hingga aAlisha tambah kesal dan memilih untuk diam menunggu makanannya habis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status