“Hai, Sha. Kok wajahmu merah begitu sih, kenapa?” tanya Dania sambil tersenyum.
Sapaan Dania dan senyumannya membuat Alisha salah tingkah. Wajahnya kini terasa tambah memerah lagi. Dihampiri Dania dan memeluknya. Sambil memberikannya peringatan dengan suara pelan.“Dania, jangan macam-macam ya,” bisik Alisha dekat telinganya.Senyuman di wajah Dania semakin merekah. "Dania, kenalkan ini Mas Tyo," ucap Alisha meminta Dania berkenalan. Diulurkan tangan Dania pada Mas Tyo yang masih berdiri di sampingnya.“Dania.”“Tyo.”Dania mempersilakan Alisha dan Mas Tyo untuk duduk. Sambil memesan makanan, Dania menanyakan apakah Mas Angga akan ikut bergabung. Suara dering ponsel mengisi keheningan. Mas Tyo menggeser layar dan menjawab panggilan.“Iya, sudah.”“Oke, aku sampaikan nanti. Kabari jika memerlukan bantuan.”Mas Tyo menyampaikan salam dari Mas Angga. Meminta maaf tidak bisa bergabung karena harus ke kantor polisi terkait penyelidikan kebakaran kemarin. Dania mengangguk dan memahami jika hasil penyelidikan sangat ditunggu oleh banyak pihak.Selama makan berlangsung Alisha dan Dania banyak berbincang. Mulai dari jadwal sidang hingga cerita dari teman-teman yang belum bisa menyelesaikan skripsinya. Mas Tyo hanya menikmati makanannya sambil sesekali mengomentari obrolan kami.Setelah selesai makan, Dania ingin mengajaknya jalan ke pusat perbelanjaan. Saat mencoba meminta persetujuan Mas Tyo, tatap matanya seakan enggan. Akhirnya Alisha menolak dengan halus dan akan berjanji akan menemaninya di lain waktu.Kami berpisah di halaman parkir. Mas Tyo sedikit menarik tangan Alisha untuk mengikuti langkahnya. Dihembuskan napasnya pelan sambil mencoba menyeimbangi langkah panjang Mas Tyo.“Besok, aku jemput pukul 07.30. Agenda rapat divisi pukul 10.00,” ucap Mas Tyo tiba-tiba.Alisha hanya mengangguk, terkejut dengan sikap dingin Mas Tyo. Biasanya walau tak banyak bicara, sikapnya tak sedingin ini.“Mas, biasanya mas tidak sedingin ini sama Alisha. Maaf mas kalau ada salah," ucap Alisha sambil menunduk.“Hmm”Alisha tak melanjutkan ucapannya. Sebuah pesan masuk dari Mas Angga. Alisha membacanya perlahan.-Bagaimana makan siangnya? Aman?--Aman sih mas, tapi Mas Tyo kenapa sih? Dingin banget sama Alisha.-Mas Angga mengirimkan foto saat dia dan beberapa teman makan di kantin kampus. Saat itu Alisha dan Satria duduk berdampingan dan tertulis “Adikku dan jagoannya?”-Tyo mengambil foto dari somed mas, dan bertanya laki-laki di samping kamu. Mas hanya menyebutkan nama saja. Kamu saja yang jelaskan.-Alisha tersenyum setelah mengetahui sebabnya Mas Tyo bersikap dingin padanya. Ditengoknya Mas Tyo yang sedang menatap lurus ke depan. Sepertinya pikirannya tidak hanya fokus ke jalan, ucap Alisha dalam hati.Rasa penasaran menggelayuti pikiran Tyo saat mendapat informasi dari orang yang dipercaya jika kantor utama Anugerah Aksara Grup yang terbakar bukanlah kesengajaan. Ada yang mulai bermain api di sana hingga terbakar, untungnya sistem pengamanan berfungsi dengan baik.Jika ada yang sengaja melakukannya, pasti ada alasan yang menyertainya. Dibukanya sosmed Angga mencari informasi. Tak ada isi atau gambar yang menyinggung orang atau perusahaan lain. Sebuah foto yang membuatnya kesal dan membelalakkan mata terpampang dengan jelas. Dikirimkan gambar tersebut pada Angga untuk menanyakan siapa dan apa hubungannya dengan Alisha.-Teman Alisha, Satria namanya.--Pacar?--Tanya sendiri, nanti Alisha ada janji makan siang dengan sahabatnya, Dania. Kita diundang. Aku kirim alamatnya.-Daerah Kemang, rapat kali ini dipercepat dan meminta dilanjutkan dengan laporan tertulis yang diserahkan sebelum jam kantor berakhir. Dia sudah tak sabar ingin menanyakan pada Alisha, siapa Satria?Ternyata kekesalan yang dirasakan tak membuatnya bisa langsung bertanya pada Alisha. Mencoba bersikap ramah saat bunda menyambutnya di ruang tamu hingga dilihatnya Alisha yang turun menuju ruang tamu. Sangat cantik dengan dress selutut berwarna merah muda.Riasan tipis juga membuatnya tambah segar. Kekagetannya saat melihat dia sudah ada di ruang tamu membuatnya ingin tersenyum. Namun mengingat foto tadi, dihilangkannya senyum itu.Hingga berakhirnya makan siang, masih tak bisa menemukan cara menanyakannya. Putus asa dirasakan hingga akhirnya dia memilih diam sepanjang perjalanan. Separuh perjalanan sudah terlewati, di beranikan diri untuk mulai percakapan.“Sha, mau tanya sesuatu boleh?” tannyanya sambil melirik ke arah Alisha.Alisha hanya mengangguk menjawab permintaannya. Ditariknya napas panjang sebelum melanjutkan bertanya.“Siapa Satria?” tanya Mas Tyo melanjutkan.Alisha tersenyum saat menyebut nama Satria. Alisha mulai menjelaskan dan disimaknya dengan baik. Kami berenam teman dekat mas, tapi Alisha paling dekat dengan Dania. Satria itu pacarnya Shinta.Di foto itu tidak kelihatan. Duduknya di sebelah kirinya Satria. Foto itu diambil Mas Angga kebetulan lewat mau rapat di kampus. Langsung posting tanpa tanya Alisha. Penjelasan Alisha membuat kekesalan sirna.Tyo tersenyum dan melirik pada Alisha. Saat yang sama Alisha tengah menatapnya tajam. Dialihkannya pandangan kembali fokus ke jalan. Rasa malu menyelimuti karena Alisha akhirnya mengetahui penyebab dinginnya sikapnya hari ini.Sebenarnya Alisha juga tak salah. Kami belum ada hubungan yang lebih serius. Kedekatan ini karena Alisha adalah adik sahabatnya. Huft... sulit sekali menyatakan rasa suka pada Alisha.“Mas Tyo sudah tidak marah kan?” tanya Alisha pelan.“Tidak, Sha. Mas tidak marah kok.”Dicobanya menjawab dengan suara yang biasa saja, namun tetap saja rasa gugup menghampiri. Sejenak keheningan kembali tercipta.“Sha..., jika memang belum ada yang dekat. Apakah boleh mas yang mendekati kamu? Mas mau jadi pendamping kamu nanti saat wisuda.”“Benar mas bisa dampingi Alisha nanti?” tanyanya cepat.Tyo hanya mengangguk. Diraihnya tangan Alisha dan menggenggamnya erat. Alisha tak menarik tangannya. Itu artinya Alisha menyetujuinya. Tyo tersenyum, menatap gadis di sampingnya yang kini menunduk malu.“Terima kasih, Sha.”***"Hasil penyelidikan kebakaran sudah ada Pak Angga. Api muncul dari tempat sampah yang berisi kertas. Kemungkinan kertas yang sengaja dibakar. Apakah ini kesengajaan atau lupa mematikannya, hingga apinya kian membesar. Hal itulah yang akan kami buktikan," ucap seorang petugas kepolisian.Aku mengangguk tanda memahaminya. dokumen-dokumen penting yang terbakar hanya kontrak yang baru masuk. Hendra juga sudah meminta pengajuan kembali kontrak tersebut. Pembahasan lanjutan akan dilakukan awal bulan depan.“Apakah rekaman CCTV saat kejadian bisa diputar pak. Mungkin saya dan Hendra bisa membantu mengenali jika ada yang mencurigakan?” tanyaku memastikan.“Bisa Pak Angga sebentar, kami siapkan dahulu.”Tak lama Penyelidik memutarkan rekaman CCTV sesaat sebelum kejadian kebakaran. Aku didampingi Hendra fokus melihat ke layar monitor.Terlihat semua ruangan mulai sepi. Seseorang terlihat mengambil dokumen di atas meja. Membuangnya ke tempat sampah. Kemudian terlihat keluar ruangan.“Itu... bukannya Pak Hanafi?”Tak lama dari bagian belakang asap membumbung dibarengi jilatan api yang sudah mulai membesar.Tak terlihat siapa yang melakukan pembakaran, api muncul setelah tak ada orang dalam ruangan. Pihak kepolisian meminta izin melakukan interogasi pada Pak Hanafi. Sebelum dokumen penyebab kebakaran diterbitkan. Pihak asuransi juga sudah melakukan penyelidikannya sendiri. Dua sampai tiga hari waktu yang akan digunakan hingga proses klaim asuransi dapat dilakukan. Hendra mencatat semua yang disampaikan pihak kepolisian. “Baik pak, kami pamit dahulu jika begitu. Terima kasih banyak bantuannya.” Aku keluar menuju parkiran diikuti Hendra. Mobil langsung bergerak menuju kantor. Aku meminta Hendra untuk mampir ke restoran terdekat. Rasa lapar membuat konsentrasiku berkurang. Sebuah pesan dari Tyo dibacanya. -Besok Alisha kujemput, mau kuajak rapat divisi.- Tanda ok dan terima kasih kukirim sebagai jawaban. Akhirnya mereka berdua dekat kembali. Semenjak Alisha kuketahui bukan adik kandungku, mengapa ada rasa memiliki yang lebih dari sebelumnya. Terlebih saat Tyo selalu dekat dengannya. K
Alisha sedang bersiap. Sesuai janjinya, hari ini akan mulai belajar di kantor Mas Tyo. Blus dipadukan blazer dan rok selutut warna navi dikenakannya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepit agar terlihat rapi. Setelah melakukan riasan tipis Alisha turun menuju meja makan. “Aduh, cantik sekali putri bunda. Pangerannya belum datang sepertinya.” Mendengar ucapan bunda, Aku menoleh ke arah tangga. Alisha memang cantik, jika dilihat wajahnya sebenarnya mirip bunda. Kubuang jauh pikiran yang tiba-tiba menyeruak. Hari ini Alisha akan dikenalkan dengan manajemen kantor. Jika sudah siap Angga akan menyerahkan dokumen yang dititipkan Paman Hasan. “Pangeran dari mana bunda? Memangnya ada?” Ucapanku membuat Alisha tersipu, tanpa kuketahui dia mencubit pinggangku sesaat sebelum duduk. "Aww...! Alisha...," teriakku kaget mendapat cubitannya. Alisha tak peduli, membuka piring dan mengambil nasi goreng yang sudah disiapkan bunda. Bunda tersebyum melihat kelakuan keduanya. “Ada dong Angga, seb
“Sari sekretaris kantor dan sudah dua tahun bekerja. Kemarin memang beberapa kali sedang mendapat tugas ke luar kota," jelasnya sambil menatap Alisha lekat. Mas Tyo lanjut berkata, "Aku lebih senang menceritakan mengapa “Shabra” menjadi nama perusahaan." Ditariknya napas setelah berhenti sejenak dan melanjutkan ucapannya. "Alisha dan Bramantyo disingkat Shabra. Mana yang lebih tertarik? Sari atau Shabra?," tanya Mas Tyo sambil menatapnya tajam. Sesaat menatap matanya yang dingin, akhirnya Alisha tertunduk malu. Tak pernah kukira jika Mas Tyo sudah sejauh itu membuat hubungan yang dia sendiri belum memahaminya. “Sudahlah. Yuk, kembali ke ruangan. Kita diskusikan di ruangan,” ajak Tyo setelah selesai memakannya. Dikirimnya pesan agar Hendra membayarkan makanannnya. Mas Tyo menarik tangan Alisha dan sengaja menggandengnya mesra saat melewati meja Sari dan rekan-rekannya. *** Besok adalah jadwal sidang. Beberapa hari berdiskusi dengan Mas Tyo membuat keraguan Alisha hilang. Kini dia
Selesai sarapan Mas Angga langsung pamit menuju kantor, beberapa pekerjaan harus diselesaikan lebih cepat sebelum ke Bandung. Beberapa hari akan dihabiskan di sana. Karena tak mungkin dia bolak-balik ke Bandung untuk melakukan pengecekan nanti. Mas Angga hanya ditemani Hendra untuk menyelesaikan semua pekerjaan nanti. -Sha, sudah siap? Mau bareng tidak berangkatnya?- Sebuah pesan masuk pada ponselnya, saat dilihat tertera nama Dania. Alisha tersenyum dan dibalas 'sudah'. Setelah lima hari bersama Mas Tyo, kegugupan Alisha menghilang berganti dengan percaya diri jika dia akan melewati semua dengan baik. Bunda juga selalu mendoakannya. Terkadang dia tak sengaja mendengar doa bunda selepas salat. Bunda adalah yang terbaik. Walau ayah sudah pergi meninggalkan mereka. Alisha tak pernah kehilangan kasih sayang ayah, karena Mas Angga selalu memberikannya. -Bareng?- tanya Dania mengulangi. -Sepertinya tidak Dania, kita bertemu di kampus saja ya.- -Ok.- Setelah membantu merapikan meja ma
Dalam perjalanan ke kampus disempatkan membeli buket bunga dan sekotak coklat. Sudah dibayangkan Alisha akan senang sekali menerimanya. Tyo minta diturunkan langsung di kantin dan meminta sopir menjalankan mobil perlahan. Diedarkan pandangan mencari sosok Alisha. Setelah melihatnya Tyo turun dan menghampiri. Seperti ucapannya, mereka berenam dan ada Satria di sana. Dipercepat langkahnya agar segera sampai. Bagaimanapun cara Satria memandang dirasakan berbeda, walau Alisha sudah menjelaskan. Mereka sedang asyik berbincang saat Tyo sampai.“Wah kalau sudah lulus semua bisa kumpul seperti ini tidak ya? Coba tebak, siapa yang bakal nikah dulu?” “Harus bisa dong.” “Satria, kapan mau lamar Shinta?” Mereka menunggu jawaban Satria, sedangkan Shinta hanya tersipu malu. Dania malah meledek Alisha dengan mengatakan akan mendahului Satria. Alisha menutup mulut Dania yang duduk di sampingnya. Hingga sebuah suara meredakan canda di sana. “Sha, sudah selesai? Ayo kita pulang.” “Cie... Sang Pang
Saat makan malam, bunda kembali menanyakan keberangkatanku ke Bandung. Sepertinya rencana pekan depan akan dimajukan. Tak mungkin menunggu hingga pekan depan sedangkan kondisi Paman Hasan sedang sakit. Paling cepat lusa bunda, sekalian aku siapkan semua pekerjaan yang akan ditinggal. Paling tidak ini saatnya memaksa Alisha untuk ke kantor. Selama ini Alisha selalu menghindar jika kuminta ke kantor. Senyumku sesaat terukir membayangkan Alisha tak akan bisa menolaknya. “Bunda, makan apa malam ini?” t anya Alisha sambil menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di sampingku. “Wah tuan putri sudah menemukan pangerannya ya. Sampai lupa pada kakak yang ganteng ini,” sedikit kutekan saat mengucapkan ‘pangerannya’. Alisah mengerucutkan bibirnya ke arahku, tak peduli dengan ucapanku namun langsung menyendok nasi. Tanganku menahan tangannya yang akan memindahkan lauk ke piring. “Bunda... Mas Angga tidak bolehkan Alisha makan.” Bunda datang melerai, menatap tajam padaku hingga aku membiarkan
Rencana kepulangan sore kumajukan, karena penasaran mengapa Hanafi ingin menemuiku. Saat sarapan pagi tadi aku menyampaikan pada bunda disetujuinya. Selesai makan siang aku siapkan mobil. Dua koper dan beberapa tas berisi oleh-oleh sudah masuk dalam mobil. Kami masuk ke dalam kamar paman untuk pamit. Tak lupa bunda menitip pesan untuk berkabar jika ada hal yang penting pada Nia. Aku sudah pamit pada Mas Fariz tadi pagi, dan setelah semua selesai kulajukan mobil menuju Jakarta. Aku sudah mengabari Hendra jika sore nanti Hanafi bisa menemuiku di kantor. Kupesankan untuk tidak memberitahu Alisha tentang kepulanganku. Aku ingin membuat kejutan kecil untuknya. “Bunda, paman terlihat lebih kurus dan pucat. Kondisi sebenarnya bagaimana?” Menurut dokter penyakit paman bergantung pada kondisi psikisnya. Penyakit jantung yang diderita paman sudah menahun dan akan semakin menjadi jika paman banyak beban pikiran. “Bunda, jika ada kesalahan paman yang Angga tahu. Apakah Angga harus memaafkanny
Kuhubungi Tyo agar tidak kembali ke apartemen setelah mengantar Alisha. Ingin berbagi beban pikiran dan berdiskusi mengenai masalah hari ini. Bagaimanapun suatu hari nanti dia adalah bagian dari keluarganya. Walaupun tak ada hubungan darah dengan Alisha? Kuhembuskan napas kasar, saat mengingatnya kembali. Sesampainya di rumah, bunda masih sibuk di dapur. Aku datangi bunda untuk melihatnya. Pesan terakhir tak dibalas bunda. Aku sedikit khawatir. Sesaat melihatku, bunda mencoba tersenyum. Sedikit dipaksakan. Kucium tangannya sambil menanyakan sedang memasak apa untuk makan malam nanti. Bunda hanya menunjukkan wajan yang berisi ayam bumbu merah. “Bunda..., Alisha kangen.” Suara Alisha memecahkan suasana kaku di dapur. Sedikit berlari ditubruknya bunda dan memeluknya. Bunda balas memeluk Alisha, mengelus lembut kepalanya. Kulihat mata bunda berkaca-kaca menahan kesedihan. Bergegas aku ke luar menemui Tyo. Tyo duduk di sofa, menggulung tangan kemeja hingga atas siku agar terlihat lebih