"Tanggal kematian, 05 November 2023 pukul 16.00 WIB"
Ucapan itu membuat semua keluarga luruh sekitar. Tangis kesedihan pecah. Tidak ada yang menyangka jika Humaira akan pergi.
"Dokter bohong! Istri saya tidak mungkin pergi."
Gibran melangkah mendekat. Lelaki itu menatap sang istri yang memejamkan mata, lalu memegang bahu dan menggoyangkan pelan. Lelaki itu tak putus asa untuk memanggil sang istri, berharap panggilan itu mendapatkan respon. Sayang, harapan Gibran tidak terjadi. Istrinya benar-benar telah tiada.
"Humaira …."
"Zahra, bisa tolong ke dapur sebentar?"
Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Zahra pada lamunan. Ingatan menyakitkan di rumah sakit itu tidak bisa hilang dari memori otak Zahra.
Tidak ada yang tahu Takdir yang Tuhan gariskan ke depannya. Baik jodoh, maut, kebahagiaan, itu semua hanya takdir Tuhan. Mau marah? Tidak bisa. Kita tidak ada hak untuk marah. Kecewa memang wajar dirasakan saat menerima itu semua. Namun, kembali lagi pada bagaimana cara
kita menyikapi.
Kejadian tadi memang tidak diduga sama sekali oleh keluarga besar Zahra dan Gibran. Mereka, akhirnya kehilangan Humaira. Wanita itu mengembuskan nafas terakhir, sesaat setelah ijab kabul selesai. Wanita itu seolah memang menunggu pernikahan Gibran dan Zahra untuk pergi dengan tenang.
“Huma ...”
Suara serak nan sendu itu terdengar dari mulut Mama Nadia. Wanita paruh baya itu beberapa kali pingsan. Ia tak kuasa melihat tubuh anak pertamanya terbujur kaku. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat anak yang dikandung pergi terlebih dahulu.
Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh orang tua Nadia. Ghibran, lelaki itu terlihat sama hancurnya. Kekasih hatinya pergi untuk selama-lamanya. Tatapannya begitu kosong menatap wajah ayu milik istrinya yang kini terlihat sangat pucat. Tidak ada lagi rona merah saat dirinya melemparkan pujian.
“Mas, ma– makan dulu, ya,” pinta Zahra dengan hati-hati.
Di saat semua dilanda kesedihan teramat dalam, Zahra berusaha untuk tegar. Ia bukannya tidak sedih. Hanya saja, rumah ini memerlukan paling tidak satu orang yang tetap waras dan tegar untuk mengurus semuanya.
“Saya tidak lapar!”
Jawaban itu membuat Zahra membeku. Sampai di sini saja, Zahra menyadari pernikahannya tidak semudah yang ia pikirkan. Ada banyak tantangan yang harus ia lewati, terutama menaklukkan hati seorang Gibran.
“Ya sudah. Paling tidak, Mas minum dulu supaya tidak dehidrasi,” pinta Zahra sambil memberikan satu gelas air putih, ia tak bisa memaksa Gibran untuk makan. Beruntung, kali ini Ghibran tidak menolak. Lelaki itu membasahi tenggorokan dengan lima teguk air putih.
Setelah selesai mengurus Gibran dan Mama Nadia, Zahra menghampiri Papa Alwa. Perempuan itu mendampingi sang Papa menyambut kerabat dan tetangga yang berdatangan untuk melayat. Suasana duka sangat tergambar jelas saat ini.
Oeeekkkk …..
Suara tangis bayi itu membuat Zahra yang tengah di dapur langsung menolehkan kepala. Ia sangat khawatir dan ingin tahu apa yang terjadi dengan Nazira. Hanya saja, situasi dapur tidak memungkinkan. Masih banyak keperluan yang belum Zahra pastikan untuk acara tahlil nanti malam.
“Kamu ke atas saja, Ra. Biar Bude yang mempersiapkan semuanya,” ujar Bude Narti pada Zahra. Wanita paruh baya itu adalah Kakak dari Mama Nadia yang sejak kemarin datang dari Malang.
“Nggak apa-apa, Bude?” tanya Zahra sambil menggigit bibir bawahnya. Ia sedikit sungkan dengan snag Bude jika harus melimpahkan semua urusan dapur.
Bude Narti tersenyum. Tangannya terulur untuk mengusap puncak tangan Zahra. Jujur, dia sangat kasihan dengan Zahra. Keponakannya ini sejak pagi tidak istirahat sama sekali. Bahkan, kantung mata dan wajah lelahnya terlihat sangat jelas.
“Ke ataslah, Zahra. Nazira lebih membutuhkan kamu," sahut seseorang yang tak lain adalah Mama Nadia.
"Mama."
Mama Nadia maju, memeluk anak keduanya. Ia yakin Zahra sama bersedihnya dengan dirinya dan yang lain. Namun, anak keduanya ini memilih menebalkan hati untuk semua orang, terutama Nazira yang sangat membutuhkan sosok ibu dalam diri Zahra.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Sayang.” Mama Nadia mengecup kening sang anak. “Mama bangga sama kamu, Sayang. Sabar ya, Mama juga berusaha menabahkan hati,” sambung Mama Nadia sambil memeluk anak perempuannya. Hanya ini yang bisa Mama Nadia lakukan untuk anaknya.
Mata Zahra rasanya panas dipenuhi air mata yang mulai menggenang. Ia hanya bisa menganggukkan kepala dalam pelukan Mama Nadia. Inilah yang ia perlukan sejak kemarin. Dia perlu pelukan, tapi dia sadar Mama Nadia tengah dilanda kesedihan yang jauh lebih besar.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Mama Nadia memberikan apresiasi atas semua yang Zahra lakukan. "Temui Nazira. Dia pasti merasakan kesedihan, meskipun masih kecil. Ikatan ibu dan anak itu nyata adanya," sambung Mama Nadia sambil mengusap pipi anaknya.
Zahra mengangguk. “Zahra ke atas dulu, Mah.”
Setelah memastikan keadaan dapat terkendali, Zahra berlari menaiki tangga. Namun, langkahnya berhenti di depan ambang pintu. Di depan sana, ada Gibran yang tengah berusaha menenangkan Nazira. Lelaki itu hanya diam, tapi tangannya bergerak menimang Nazira. Sungguh, pemandandangan yang membuat siapa saja merasakan sesak.
Zahra kira, Gibran akan membenci Nazira atau bahkan menyalahkan Nazira atas kepergian Humaira. Ternyata, ia salah. Gibran tak sepicik itu hingga melimpahkan semua yang terjadi pada bayi mungil yang tak berdosa.
"Mas."
Panggilan itu membuat Gibran menoleh. Gibran terpaku. Dia sadar wanita yang di depannya adalah orang yang berbeda. Namun, Gibran justru melihat Humaira dalam diri Zahra.
Sesaat kemudian, Gibran memalingkan wajah. Melihat Zahra membuat dirinya kembali mengingat Humaira. Wajah mereka benar-benar serupa hingga orang luar pasti sulit membedakan.
'Allah,' sebut Gibran dalam hati sambil memejamkan mata. Ia kembali berdoa untuk ditunjukkan jalan yang benar. ‘Dia bukan Humairaku, dia wanita yang berbeda,’ ucapnya masih dalam hati.
"Biar aku saja yang menenangkan Nazira," ucap Zahra saat Nazira masih menangis. Bayi kecil itu nampak gelisah, mungkin merasakan ibunya telah pergi.
"Saya bisa sendiri." Gibran kembali menimang pelan tubuh kecil Nazira.
“Mas, kasihan Nazira.” Zahra tak tenang ditempatnya saat Nazira tak berhenti menangis. “Mas, biar aku yang nenangin Nazira ya. Kasihan kalau dia terus-terusan nangis.” Zahra kembali membuka mulut. Kali ini, perkataannya jauh lebih lembut dari sebelumnya.
“Kamu meragukan saya?”
“Bukan begitu maksud aku.” Zahra terdiam, lalu berkata dengan hati-hati, "Mas lebih baik ke depan. Masih banyak tamu dan sebentar lagi, jenazah Almh. Mbak Humaira akan segera dikebumikan."
Sorot mata Gibran tiba-tiba menajam. "Kamu tidak perlu mengatur saya! Ini anak saya dan Humaira. Saya yang lebih berhak dari kamu! Jangan pernah memiliki pikiran menggantikan posisi Humaira di hidup saya dan Nazira!”
Bohong bila Zahra mengatakan ucapan Gibran tidak melukai hatinya. Wanita itu bahkan terdiam seketika. Tidak, ia tak bermaksud. Yang dikatakan Gibran sama sekali tidak benar sama sekali. Ia bermaksud baik, bukan bertujuan menggantikan siapa pun, terutama Humaira.
"Mas, bukan maksud Zahra seperti itu." Meski begitu, Zahra menekan hati supaya tetap berbicara pelan. Mau bagaimana pun, Gibran sudah menjadi suaminya. "Zahra sadar posisi, kok. Bukankah Mas lebih baik ke depan menemani Mbak Humaira?" Pada akhirnya, Zahra tetap melibatkan Humaira untuk membujuk Gibran.
"Lagi pula, masih banyak tamu yang lebih membutuhkan Mas, daripada Zahra," sambung Zahra. Wanita itu memaksakan senyum dibalik hatinya yang terluka. "Tenang, Zahra tidak akan melakukan semua yang Mas takutkan. Zahra ikhlas menerima semua ini."
Hening beberapa saat di antara mereka. Gibran tetap menimang Nazira yang mulai tenang. Sementara itu, Zahra masih berdiri di belakang Gibran, menyaksikan kepedulian dan kasih sayang lelaki itu pada sang anak. Ia tahu bahwa suaminya tengah rapuh saat ini.
Setelah memastikan Nazira kembali tertidur, Gibran beranjak dari ranjang. Lelaki itu meninggalkan satu kecupan di kening sang anak. Hatinya memang terluka, jiwanya memang hilang sebagian, tetapi ia sadar masih memiliki tanggung jawab pada Nazira—buah cintanya bersama Humaira.
"Tolong jaga dia!" pinta Gibran dengan mata menatap lekat sang anak.
Zahra langsung mengangguk. Tanpa diminta pun, ia akan menjaga Nazira dengan baik, seperti amanah Humaira dan kasih sayang tulusnya.
"Pasti, Mas."
Gibran akhirnya melangkah. Ia tak repot-repot menatap Zahra yang berdiri tepat di depannya. Namun, saat sampai di ambang pintu, Ia menghentikan langkah.
"Ingat Zahra. Kamu hanya istri pengganti. Sampai kapan pun, Humaira tetap akan menjadi permaisurinya. Satu lagi, jangan pernah memiliki niat menggantikan dan menyingkirkan sosok Humaira dalam kehidupan saya, terlebih Nazira!"
Peringatan keras itu membuat Zahra kembali terdiam. Tanpa sadar, sebutir air mata menetes, membasahi kedua pipinya. Mengapa sesakit ini Tuhan? Sanggupkah dia menjalankan wasiat dan amanah yang ditinggalkan Humaira.
"Allah," ucap Zahra dengan suara bergetar. ‘Aku ikhlas Ya Allah. Kuatkan hamba menjalankan amanah ini.’
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah