Home / Urban / Adik Ipar Terkaya / Part 02: Hitam tetap Hitam

Share

Part 02: Hitam tetap Hitam

last update Last Updated: 2023-05-19 21:36:24

"Jelas kamulah!" jawab Fadli dengan percaya diri. Dia mengulas senyum smirk. Lengan kanannya diletak di bahunya Habib sebelah kanan.

"Jangan terlalu sepele kepada orang yang kamu anggap hina dan miskin sepertiku ini," sindir Habib sambil menepiskan lengan Fadli dari bahunya. Dia melayangkan lengannya ke udara seolah merasa jijik Fadli menaruh organ tubuhnya ke badan Habib. "Hina di mata manusia, belum tentu nista di kaca mata Sang Penguasa Alam," imbuhnya sambil menepuk pundak Fadli pelan. Ia memutar tubuhnya lalu mengayunkan langkah kakinya meninggalkan Fadli.

"Dasar manusia tidak tahu diuntung!" berang Fadli sambil melayangkan sebuah pukulan di punggung Habib. Namun, untuk saja Gibran datang menjadi pahlawan kesiangan. Habib memutar tubuhnya lalu mengarahkan ekor matanya ke arah Fadli dan Gibran.

"Sudah berani kamu mencelakaiku ketika aku lengah?! Hah!" seru Habib sambil menarik lengan kanannya Fadli lalu sengaja dia kunci kuat dengan memutar ke belakang. Fadli meraung kesakitan.

"Jangan lakukan itu, Bang!" bela Gibran kepada Habib. Untung saja Gibran sigap melerai perkelahian yang terjadi. "Apapun itu alasannya, kalian berdua pasti kena punishment kalau tragedi ini sampai ke office." Retinanya Gibran terkadang ke wajah Habib dan sebentar ke mukanya Fadli.

"Biarkan saja! Agar si pria brengsek itu menyesal tidak bisa memberi nafkah kepada istrinya yang sedang hamil tua." Fadli merapikan bajunya lalu mencari ide bagaimana caranya agar pukulannya tepat sasaran.

Gibran mengelus dadanya Fadli, "istighfar, Bang! Tidak elok mendoakan orang dengan doa jahat. Kalau dia itu kembali ke kita. Senjata makan tuan, dong," nasihat Gibran.

Fadli terdiam, tetapi otaknya masih traveling untuk mencari celah. "Gibran, maaf jika ada salah selama bergabung di sini. Aku angkat kaki dan bakalan risaign dari resto ini," ujar Habib sambil mengulurkan tangan sebelah kanan.

"Ke-kenapa harus mengambil keputusan ini?" tanya Gibran lirih. Dia tidak menghiraukan uluran tangan itu. Dia meneguk salivanya dengan kasar. Tidak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan Habib baru saja keluar dari sudut bibirnya.

"Ini sudah keputusanku yang bulat. Apapun itu konsekuensinya, aku sudah ikhlas dan pasrah menerimanya." Habib diam sejenak dan memejamkan mata lalu membukanya. Masalah rezeki, Pencipta Alam sudah mengaturnya. Sedangkan seekor cicak melata bisa bertahan hidup. Bagaimana dengan manusia jauh lebih dari sempurna ketimbang hewan melata," imbunya menimpali.

"Kita lihat saja nanti, Gib!" sahut Fadli. Deru napasnya belum stabil. "Paling nanti malam istrinya datang ke kontrakanku untuk mengemis agar suaminya tidak dipecat," imbuhnya kembali.

"Tidak bakalan kuizinkan! Paham!" jawab Habib tegas dengan sorot mata menyalang. Retinanya hampir saja mau keluar dari sarangnya.

"Dasar manusia tidak tahu diuntung! Sudah jelas-jelas ada pekerjaan yang bagus dan enak, malah kamu sia-siakan! Ntar ... makan angin baru nangis dan menyesal," sindirnya tajam.

Habib menampar wajah Fadli diluar batas kontrolnya. Pengunjung yang kebetulan lewat hanya melihat dan tidak berani melerai. Sementara Staff kitchen tidak ada satu orang pun yang datang untuk mengamankan situasi. Orderan yang begitu banyak membuat mereka tidak bisa ikut andil meskipun itu hanya sekedar melerai. Mereka pada fokus menyelesaikan pesanan yang sudah masuk.

"Sudah berani kamu melawan dan bahkan memukulku," balas Fadli sambil mengelus perutnya yang baru saja mendapat pukulan dari Habib. Sangking kuat dan sakitnya dia tersungkur ke lantai.

"Itu belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan kepadaku." Habib mengambil posisi jongkok lalu menatap sorot mata Fadli yang sudah terkulai layu di atas lantai. Darah segar kini menetes dari sudut lubang hidungnya. Baju yang dipakai basah akibat keringat yang mengucur deras.

"Kurang ajar sekali kamu!" berang Fadli. Dia mencoba melayangkan sebuah pukulan mengarah ke wajahnya, Habib. Akan tetapi, ia lebih mawas diri dan santai menghindar agar serangan yang diberikan Fadli tidak tepat pada sasaran.

"Habib! Apa yang kamu lakukan?!" tanya Gibran. Dia tidak mau kalau Habib dipecat secara langsung. Apalagi besok masih weekend. Kalau sendirian in charge bisa remuk badannya. Itu sebabnya Gibran mencoba meredam emosinya, Habib.

"Kesabaranku sudah habis. Aku diam bukan berarti rela dan siap diinjak-injak." Habib menatap ke arah Gibran.

"Kamu memang pantas diinjak bahkan dihina. Dasar bajingan!" amuk Fadli sembari me-landing-kan pukulannya ke wajah Habib.

Lagi dan lagi ia menepis dengan elegan. Senyum smirk lahir di wajahnya, Habib membuat muka Gibran pias. Dia takut kalau Habib benar-benar pergi begitu saja karena sudah terlanjur sakit hati.

"Aku tidak akan tinggal diam. Kamu harus berhenti juga besok dan nyawamu kupastikan hilang akibat tidak sanggup beli makan," racau Fadli kembali.

"Aku tidak takut. Sebelum kamu mengajukan form pemecatan, aku lebih duluan angkat kaki dari sini," balas Habib tidak mau kalah sengit dari ancaman Fadli. "Kamu tahu 'kan, kalau hari ini weekend. Kupastikan kamu menyesal atas kepergianku disaat lagi ramai untuk lunch." Habib mengangkat kedua alisnya ke atas. Fadli semakin pucat. Dia tidak menyangka kalau Habib nekat melakukan hal itu.

"Oh, ya. Aku akan memastikan apa yang kamu katakan kembali kepada dirimu," bisik Habib sambil berdiri. Ia membuka apron yang dipakainya lalu membuangnya tepat di wajah Fadli.

"Kamu itu sudah berjanji akan over time hari ini! Kenapa kamu pergi pada saat yang tidak tepat?!" teriak Fadli sambil berusaha berdiri untuk menghalangi langkah kakinya, Habib. Rasa menyesal terlalu arogan kini hadir menyapa dirinya.

"Aku tidak butuh seorang leader seperti kamu! Jangan kamu hiraukan aku dan istriku. Aku tidak takut mati karena kelaparan. Lebih takut makan karena batin tersiksa dan terus diinjak-injak seperti kamu. Kalau aku masih mau berusaha dengan kerja keras dan diiringi dengan doa. Aku yakin pasti ada saja jalan rezeki setiap hamba-Nya. Jangan merasa seperti Tuhan yang hanya bisa mendikte dan harus patuh terhadap perintahmu," imbuhnya sambil menepuk bahu Fadli. Ia sudah membuka mata hatinya kepada Fadli untuk lebih tegas memilih risaign daripada terus terinjak-injak.

Habib terus melangkah tanpa berpikir panjang. Ia yakin dengan ucapannya yang baru saja keluar.

"Kamu mau ke mana?" tanya Leni dengan melihat pemandangan yang tidak sedap. Habib menyapu ke arah Leni lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan perkataan Leni-SPV tempat Habib mengais rezeki.

Leni heran melihat ulahnya, Habib. Tidak biasanya staff kitchen dan service mengacuhkannyya. 'Ada yang tidak beres ini di dapur,' ucapnya dalam hati mencoba menerka. Dia mempercepat langkah kakinya menuju area kitchen. Namun, Fadli dan Gibran masih terdiam di tempat semula di mana ditinggalkan Habib.

"Apa yang terjadi?" tanya Leni heran. Dia jongkok memperhatikan Fadli yang masih meringis kesakitan di atas lantai.

Gibran hanya melihat ke arah Leni dan tidak berani menjawab.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Ipar Terkaya   Part 37B: Apa yang Terjadi

    Suasana semakin memanas. Manusia mana yang mau terlahir ke dunia dengan cara tidak sah di mata hukum negara dan juga di mata hukum Islam. 'Kalau boleh memilih, aku juga tidak mau lahir dari cara yang salah,' ucap Abizar bermonolog.Suasana hening seketika. Habib mengulas senyum bahagia. Ia merasa menang atas perdebatan yang sangat alot itu."Wajar saja tingkah lakumu seperti ibumu!" ejek Abizar sponta dengan ekspersi datar. Dia memutar balikkan fakta.Habib tertawa terbahak-bahak tanpa peduli dengan sang ayah. Sementara Abizar dan Hermawan saling adu pandang. Mereka kira Habib sudah gila."Apa aku tidak salah dengar?!" tanya Habib memperjelas perkataan Abizar. Retinanya mengarah ke arah Hermawan. "Apakah aku wajar dan pantas dikatakan gila?" imbuhnya meyakinkan apa yang baru saja dikatakan Abizar kepadanya.Hermawan hanya diam membisu. Dia tidak berani menjawab. Walau bagaimanapun itu Habib dan Abizar anak kandung alias darah dagingnya sendiri. Walaupun itu Abizar tidak dalam alam sa

  • Adik Ipar Terkaya   Part 37: Terkulai Layu

    "Secepatnya!" balasnya menimpali.Rossa memang istri sirinya, Hermawan. Dia sempat tanam saham duluan daripada menikahi ibunya, Habib. Namun, itu tidak terendus alias semua tersimpan rapi tanpa ada yang tahu.Seketika Habib mengulas senyum melihat Abizar. "Betapa malangnya nasibmu," sindir Habib kepada Abizar. Ternyata kamu anak yang tidak diinginkan." Ledekan Habib membuat Abizar semakin marah.Biasanya dia yang selalu menghina dan mengolok-olok Habib. Sekarang malah terbalik seratus delapan puluh derajat Celcius. Api amarah kini terpaut di wajahnya. Dia ingin sekali membungkam mulut adik tirinya agar bisa diam. Namun, dia sadar akan kesehatan Hermawan. Walaupun dia tidak pernah memanggil ayah atau pun bapak kepada pria yang terbaring lemas di atas brangkar."Kenapa kamu diam?!" pancing Habib kembali. Wajahmu nggak usah ditekuk seperti itu. Coba deh berkaca, kamu laksana menahan berak," ujar Habib terus mengejek."Persetan!" Akhirnya, Abizar tidak sanggup menahan gejolak larva amarah

  • Adik Ipar Terkaya   Part 36B

    Abizar melepaskan cengkeramannya lalu membuang napas kasar."Ceritanya seperti ini," ucap Hermawan lirih. Dia memejamkan mata sekejap sembari menghela napas. Setelah jiwa dan raganya sudah merasa tenang. Barulah dia mulai buka suara. "Sayang, aku hamil!" ucap Rossa kepada Hermawan ketika mereka berdua janjian ketemuan di waktu makan siang."Tidak mungkin! Aku selalu memakai pengaman dan jika pun itu tidak. Aku tidak pernah mengeluarkannya di dalam. Jangan mengada-ada kamu, Rossa!" tolak Hermawan atas perkataan Rossa yang baru saja dia dengar.Rossa terisak mendengar perkataan calon suaminya. Dia sudah merelakan perawannya direguk oleh Hermawan. Ternyata apa yang dia harapkan telah sirna menjadi suami seorang pria kaya raya. Tidak peduli semua mata tertuju kepadanya. Isaknya semakin kuat dan semakin membuat retina pengunjung cafe semakin penasaran."Kamu tega, sayang!" ucap Rossa terisak. Dia memukul-mukul dada Hermawan sekuat hati sangking kesalnya. "Jangan coba-coba mengganggu hidup

  • Adik Ipar Terkaya   Part 36: Minta Tanggungjawab

    Part 36: Minta TanggungjawabSiska baru saja tersadar ketika dirinya sudah ada di atas brangkar rumah sakit. Padahal dia baru saja merasa di atas motor dan terprental dari atas lalu meringis kesakitan."Aa-aku ada di mana?!" racaunya sesekali menyapu ruangan sekitar. Di samping kanan ada Abizar. Dia terkejut dan terbangun dari tidurnya. Ternyata sudah pukul dua puluh tiga lewat lima belas menit. Sangking lelahnya Abizar, dia tertidur pada saat menjaga Siska yang baru saja kecelakaan."Di rumah sakit," jawab Abizar sambil menguap. Setelah selesai menguap, dia mengucek terinya dan kembali meneruskan perkataannya, "tadi kamu kecelakaan.""Ini pasti gara-gara, Habib," umpatnya dengan menekuk wajah kesal. "Bisa kamu kasih pelajaran agar dia tidak semena-mena kepadaku, Bang?!" ucapnya lirih. Di sebelah kanan bagian betis terasa sakit akibat ditimpa motor pada saat dirinya terseret."Kasih pelajaran seperti apa? Dia saja telah menang telak dan sudah mengetahui sisi kelemahanku," jelas Abizar

  • Adik Ipar Terkaya   Part 35: Sudah Kutransfer

    "Kenapa kamu malah diam saja tua bangka! Seharusnya kamu ngoceh membela aku sebagai anakmu. Bukan hanya meratap seperti anak TK meminta mainan tidak dikasih sama ibunya." Siska benar-benar tidak ada akhlak ngatain Hermawan tua bangka. Padahal selama ini dia hidup hedon dan glamour karena uang yang dikasih Hermawan kepadanya."Hentikan ucapanmu!" bentak Hermawan dengan menaikkan suaranya dari biasanya. Dia mencoba duduk dan bersandar ke dinding ruangan. Habib membantu sang ayah. Namun, Hermawan tidak mau dibantu sang anak. "Aku bisa sendiri, kok," imbuhnya membuat Siska tersenyum puas."Siska! Mulai dari sekarang kamu harus angkat kaki dari rumahku!" racau Hermawan setelah dadanya tenang. Dan kamu tidak boleh menggunakan fasilitas yang aku berikan kepadamu!" desisnya menimpali.Raut wajahnya terlihat memerah seolah tidak suka atas informasi yang dia dapatkan barusan."Tidak bisa begitu, Yah!" bujuknya agar Hermawan menarik ucapannya. Aku mau tidur di mana kalau tidak boleh tinggal di r

  • Adik Ipar Terkaya   Part 34: Jangan Berharap Lebih

    Habib mengindahkan ide suster dengan cepat. Kini semua sudah aman dan terkendali."Kenapa sudah tidak ada orang?! tanya Siska ketika sudah di depan kamar mayat. "Pasti ada yang tidak beres ini," imbuhnya memasang wajah heran. Mau bertanya pun sudah tidak ada orang. Akhirnya dia kembali ke ruang informasi untuk mencari tahu keberadaan jenazah ayahnya.***Di kamar yang berbeda masih di lokasi rumah sakit. Habib menyuap Hermawan dengan lembut. Sang ayah yang selama ini ia rindukan kasih sayangnya kini sudah terkulai layu di atas brangkar rumah sakit."Ayah harus kuat makan agar ada tenaga," ucap Habib parau. Suaranya terasa serak menahan Isak tangis. Andai saja sang ayah mendengar apa katanya dulu sebelum menikah dengan Rossa. Mungkin beliau tidak menderita seperti ini. Bukan kebahagiaan yang dia dapat, hanya derita yang tercipta selama bersama dengan Rossa."Sudah!" tolak Hermawan. Dia tidak mau lagi menghabiskan makanan yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. "Ayah sudah kenyang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status