Share

Part 02: Hitam tetap Hitam

"Jelas kamulah!" jawab Fadli dengan percaya diri. Dia mengulas senyum smirk. Lengan kanannya diletak di bahunya Habib sebelah kanan.

"Jangan terlalu sepele kepada orang yang kamu anggap hina dan miskin sepertiku ini," sindir Habib sambil menepiskan lengan Fadli dari bahunya. Dia melayangkan lengannya ke udara seolah merasa jijik Fadli menaruh organ tubuhnya ke badan Habib. "Hina di mata manusia, belum tentu nista di kaca mata Sang Penguasa Alam," imbuhnya sambil menepuk pundak Fadli pelan. Ia memutar tubuhnya lalu mengayunkan langkah kakinya meninggalkan Fadli.

"Dasar manusia tidak tahu diuntung!" berang Fadli sambil melayangkan sebuah pukulan di punggung Habib. Namun, untuk saja Gibran datang menjadi pahlawan kesiangan. Habib memutar tubuhnya lalu mengarahkan ekor matanya ke arah Fadli dan Gibran.

"Sudah berani kamu mencelakaiku ketika aku lengah?! Hah!" seru Habib sambil menarik lengan kanannya Fadli lalu sengaja dia kunci kuat dengan memutar ke belakang. Fadli meraung kesakitan.

"Jangan lakukan itu, Bang!" bela Gibran kepada Habib. Untung saja Gibran sigap melerai perkelahian yang terjadi. "Apapun itu alasannya, kalian berdua pasti kena punishment kalau tragedi ini sampai ke office." Retinanya Gibran terkadang ke wajah Habib dan sebentar ke mukanya Fadli.

"Biarkan saja! Agar si pria brengsek itu menyesal tidak bisa memberi nafkah kepada istrinya yang sedang hamil tua." Fadli merapikan bajunya lalu mencari ide bagaimana caranya agar pukulannya tepat sasaran.

Gibran mengelus dadanya Fadli, "istighfar, Bang! Tidak elok mendoakan orang dengan doa jahat. Kalau dia itu kembali ke kita. Senjata makan tuan, dong," nasihat Gibran.

Fadli terdiam, tetapi otaknya masih traveling untuk mencari celah. "Gibran, maaf jika ada salah selama bergabung di sini. Aku angkat kaki dan bakalan risaign dari resto ini," ujar Habib sambil mengulurkan tangan sebelah kanan.

"Ke-kenapa harus mengambil keputusan ini?" tanya Gibran lirih. Dia tidak menghiraukan uluran tangan itu. Dia meneguk salivanya dengan kasar. Tidak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan Habib baru saja keluar dari sudut bibirnya.

"Ini sudah keputusanku yang bulat. Apapun itu konsekuensinya, aku sudah ikhlas dan pasrah menerimanya." Habib diam sejenak dan memejamkan mata lalu membukanya. Masalah rezeki, Pencipta Alam sudah mengaturnya. Sedangkan seekor cicak melata bisa bertahan hidup. Bagaimana dengan manusia jauh lebih dari sempurna ketimbang hewan melata," imbunya menimpali.

"Kita lihat saja nanti, Gib!" sahut Fadli. Deru napasnya belum stabil. "Paling nanti malam istrinya datang ke kontrakanku untuk mengemis agar suaminya tidak dipecat," imbuhnya kembali.

"Tidak bakalan kuizinkan! Paham!" jawab Habib tegas dengan sorot mata menyalang. Retinanya hampir saja mau keluar dari sarangnya.

"Dasar manusia tidak tahu diuntung! Sudah jelas-jelas ada pekerjaan yang bagus dan enak, malah kamu sia-siakan! Ntar ... makan angin baru nangis dan menyesal," sindirnya tajam.

Habib menampar wajah Fadli diluar batas kontrolnya. Pengunjung yang kebetulan lewat hanya melihat dan tidak berani melerai. Sementara Staff kitchen tidak ada satu orang pun yang datang untuk mengamankan situasi. Orderan yang begitu banyak membuat mereka tidak bisa ikut andil meskipun itu hanya sekedar melerai. Mereka pada fokus menyelesaikan pesanan yang sudah masuk.

"Sudah berani kamu melawan dan bahkan memukulku," balas Fadli sambil mengelus perutnya yang baru saja mendapat pukulan dari Habib. Sangking kuat dan sakitnya dia tersungkur ke lantai.

"Itu belum seberapa dengan apa yang kamu lakukan kepadaku." Habib mengambil posisi jongkok lalu menatap sorot mata Fadli yang sudah terkulai layu di atas lantai. Darah segar kini menetes dari sudut lubang hidungnya. Baju yang dipakai basah akibat keringat yang mengucur deras.

"Kurang ajar sekali kamu!" berang Fadli. Dia mencoba melayangkan sebuah pukulan mengarah ke wajahnya, Habib. Akan tetapi, ia lebih mawas diri dan santai menghindar agar serangan yang diberikan Fadli tidak tepat pada sasaran.

"Habib! Apa yang kamu lakukan?!" tanya Gibran. Dia tidak mau kalau Habib dipecat secara langsung. Apalagi besok masih weekend. Kalau sendirian in charge bisa remuk badannya. Itu sebabnya Gibran mencoba meredam emosinya, Habib.

"Kesabaranku sudah habis. Aku diam bukan berarti rela dan siap diinjak-injak." Habib menatap ke arah Gibran.

"Kamu memang pantas diinjak bahkan dihina. Dasar bajingan!" amuk Fadli sembari me-landing-kan pukulannya ke wajah Habib.

Lagi dan lagi ia menepis dengan elegan. Senyum smirk lahir di wajahnya, Habib membuat muka Gibran pias. Dia takut kalau Habib benar-benar pergi begitu saja karena sudah terlanjur sakit hati.

"Aku tidak akan tinggal diam. Kamu harus berhenti juga besok dan nyawamu kupastikan hilang akibat tidak sanggup beli makan," racau Fadli kembali.

"Aku tidak takut. Sebelum kamu mengajukan form pemecatan, aku lebih duluan angkat kaki dari sini," balas Habib tidak mau kalah sengit dari ancaman Fadli. "Kamu tahu 'kan, kalau hari ini weekend. Kupastikan kamu menyesal atas kepergianku disaat lagi ramai untuk lunch." Habib mengangkat kedua alisnya ke atas. Fadli semakin pucat. Dia tidak menyangka kalau Habib nekat melakukan hal itu.

"Oh, ya. Aku akan memastikan apa yang kamu katakan kembali kepada dirimu," bisik Habib sambil berdiri. Ia membuka apron yang dipakainya lalu membuangnya tepat di wajah Fadli.

"Kamu itu sudah berjanji akan over time hari ini! Kenapa kamu pergi pada saat yang tidak tepat?!" teriak Fadli sambil berusaha berdiri untuk menghalangi langkah kakinya, Habib. Rasa menyesal terlalu arogan kini hadir menyapa dirinya.

"Aku tidak butuh seorang leader seperti kamu! Jangan kamu hiraukan aku dan istriku. Aku tidak takut mati karena kelaparan. Lebih takut makan karena batin tersiksa dan terus diinjak-injak seperti kamu. Kalau aku masih mau berusaha dengan kerja keras dan diiringi dengan doa. Aku yakin pasti ada saja jalan rezeki setiap hamba-Nya. Jangan merasa seperti Tuhan yang hanya bisa mendikte dan harus patuh terhadap perintahmu," imbuhnya sambil menepuk bahu Fadli. Ia sudah membuka mata hatinya kepada Fadli untuk lebih tegas memilih risaign daripada terus terinjak-injak.

Habib terus melangkah tanpa berpikir panjang. Ia yakin dengan ucapannya yang baru saja keluar.

"Kamu mau ke mana?" tanya Leni dengan melihat pemandangan yang tidak sedap. Habib menyapu ke arah Leni lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan perkataan Leni-SPV tempat Habib mengais rezeki.

Leni heran melihat ulahnya, Habib. Tidak biasanya staff kitchen dan service mengacuhkannyya. 'Ada yang tidak beres ini di dapur,' ucapnya dalam hati mencoba menerka. Dia mempercepat langkah kakinya menuju area kitchen. Namun, Fadli dan Gibran masih terdiam di tempat semula di mana ditinggalkan Habib.

"Apa yang terjadi?" tanya Leni heran. Dia jongkok memperhatikan Fadli yang masih meringis kesakitan di atas lantai.

Gibran hanya melihat ke arah Leni dan tidak berani menjawab.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status