Share

Part 03: Tertangkap Basah

"Habib mengundurkan diri," jawab Fadli lirih. Dia mencoba berkata jujur. Walaupun belum semua diceritakan kepada Leni-SPV di restaurant itu.

"Ayo masuk ke dalam," ajak Leni dengan elegan. Retinanya menyapu ke setiap sudut pojok. Perasaan tidak enak lahir di dalam hatinya melihat pengunjung yang memperhatikan setiap gerak-gerik yang tercipta. Mereka bertiga melangkah gontai menuju loker.

"Tidak mungkin Habib mengundurkan diri kalau tidak ada sebabnya!" ucap Leni tegas setelah sampai di loker. Dia menatap kedua bola mata Fadli dan Gibran bergantian. Namun, tidak ada sepatah kata yang keluar dari sudut bibir kedua pria yang ada di depannya.

"Gibran! Cepat kejar Habib! Jangan sampai dia risaign dari sini!" seru Leni dengan nada tegas. Tanpa buang-buang waktu, Gibran langsung melaksanakan perintah atasannya. Dia tidak mau kena pecat akibat membantah.

Leni menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus memulai dari mana untuk menasihati Fadli yang selalu arogan kepada Habib.

Suasana hening seketika. Leni memijit keningnya yang tidak sakit. Mau tidak mau, dirinya harus berkata jujur.

"Fadli aku terpaksa mengatakan ini semua," ucap Leni mencoba mencairkan suasana.

Fadli mendongak menatap retina wanita di depannya. "Aa-apa itu?" tanya Fadli terbata. Dia menelan salivanya. "Katakan saja!" imbuhnya.

"Kamu tahu siapa Habib sebenarnya?" tanya Leni dengan penuh penekanan.

Fadli hanya menggeleng. Itu pertanda dia tidak mengetahui jati diri seorang Habib yang dianggap selama ini gembel dan hina.

"Dia itu –," ucap Leni terhenti.

"Aku ini adalah gembel yang tidak tahu diuntung," sela Habib. Habib datang di waktu yang tepat. Kalau dia terlambat jati dirinya pasti sudah terbongkar.

"Dia itu siapa, Bu?!" tanya Fadli penuh penasaran. Habib memberikan kode kepada Leni agar tidak membocorkan siapa dia sebenarnya.

"Syukurlah! Kalau Habib sudah mau datang memenuhi panggilanku," ucap Leni sambil mengulum senyum. Bibir ranumnya melahirkan senyum manis. Walaupun itu terpaksa diukir.

"Aku datang kemari bukan karena panggilanmu, Bu Leni." Habib masuk begitu saja tanpa ada sama sekali basa-basi permisi. "Aku datang karena mau megambil dompetku yang ketinggalan. Ada barang berharga di dalam dompet ini," imbuhnya sambil mencari dompet di dalam loker.

"Dompet butut dan berisi KTP saja sudah belagu!" sindir Fadli tidak mau kalah saing akibat mendengar perkataan Habib.

"Alhamdulillah ternyata dompetnya masih di dalam loker," ucap Habib. Dia memeriksa isi dompetnya setelah ketemu. Ide jahat kini lahir di dalam benaknya. "Kartu dan isinya masih utuh," imbuhnya kembali. Dia menyimpan dompetnya ke dalam saku baju. Namun, sebuah kartu ATM sengaja ia jatuhkan tepat di depan Fadli. Habib langsung mengambilnya dengan sigap. Ia tidak mau ketahuan jati dirinya.

"Kartu ATM siapa yang kamu curi?!" tanya Fadli dengan nada menyindir.

"Bukan urusanmu!" balas telak Habib. "Permisi! Waktuku tidak ada meladeni manusia Dajjal seperti Fadli," sindirnya sambil pergi melangkah.

Leni hanya diam dan tidak ikut buka suara begitu juga dengan Gibran. Otaknya Fadli masih saja terus berputar untuk mencari tahu ATM seperti itu kenapa ada di tangan Habib.

"Habib itu anak terkaya di dalam perusahaan ini. Itu sebabnya aku merasa was-was kalau sempat informasi tragedi yang kamu cipta sampai kepada ayahnya. Bisa-bisa kamu jadi gembel dan tidak akan diterima kerja di mana-mana," ucap Leni keceplosan.

Leni sudah terlanjur menceritakan dan bahkan membocorkan identitas Habib dengan blak-blakan. "Maksud aku bukan Habib yang kamu celakai," imbuhnya mencoba mengecoh perhatian Fadli.

"Mana mungkin seorang Habib keturunan orang kaya. Paling kartu ATM tadi hanya tiruan alias palsu," ucap Fadli sambil tertawa terbahak-bahak.

'Untung saja mereka tidak percaya kalau Habib itu anak orang kaya dan dia dibuang dari keluarganya karena kesalahan sepele,' ucap Leni dalam hati.

***

"Abang sangat rindu sama kamu, Nabila," ucap Abizar sambil mengelus pipi Nabila dengan mesra. Mereka berdua sedang duduk di kursi ruang tengah.

"Kan sudah bersua," balas Nabila sambil menepis tangan abangnya. Dia tidak mau terlalu mengumbar kemesraan bersama Abizar. Dirinya sudah menjadi milik orang lain. Kalau masih gadis, dia tidak pernah membantah atau pun melawan sama sekali kepada abangnya.

"Semasa gadismu, kamu tidak pernah merasa risih. Kenapa kamu sekarang berubah?!" tanya Abizar heran. Dia mengerutkan dahi melihat perubahan Nabila yang tidak sama seperti biasanya.

Abizar memang sudah jarang bersua dengan Nabila. Semenjak adiknya menikah dengan Habib. Walaupun ada rasa perih lahir di hatinya ketika menikahkan Nabila dengan Habib.

"Itu masa gadis, ya wajar saja, Bang." Nabila mencoba menjaga jarak, tapi Abizar memepet terus. "Kalau sekarang sudah tidak elok lagi dipandang mata," jawab Nabila mencoba berkelit. Dia tidak mau mengkhianati atau menoreh luka kepada pria yang mempersunting dirinya.

'Apa maksud dan tujuan Kakak iparku?' tanya Habib dalam hati. Ia menguping di belakang pintu dan sengaja mematikan mesin sepeda motor bututnya dari kejauhan. Agar istrinya tidak mengetahui kalau Habib pulang tidak sesuai jam kerja. Rasa penasaran melihat mobil yang sudah terparkir di depan rumah membuat jiwanya meronta-ronta untuk mengetahui siapa pemiliknya.

"Pokoknya aku sangat kangen menciummu, Nabila," jawab Abizar dengan cepat. Nabila mencium aroma yang tidak enak. Retina abangnya sudah menandakan kalau Abizar sedang tidak baik-baik saja.

Perlahan Abizar mengelus punggung tangan adiknya. Tanpa sungkan kini sudah menjalar ke paha. Nabila langsung merasa risih. Dia juga sudah mendapat signal kalau nafsu abangnya lagi naik. Apalagi saat ini posisi di dalam rumah cuma berdua. Dia tidak mau hawa nafsu Abizar mengerayangi otak sehatnya.

Habib masih saja membiarkan istrinya disentuh Abizar. Ia tidak mau memergoki kakak iparnya sebelum terjadi betul-betul apa yang diinginkan Abizar. Walaupun ada rasa cemburu lahir di dalam hati. Habib mencoba bernegoisasi dengan batinnya.

"Astaghfirullah –," teriak Nabila terjeda. Dia menampar keningnya. "Tanpa mengurangi rasa hormat. Aku permisi sebentar ke belakang, Bang," imbuhnya. Dia mencoba mengecoh suasana agar bisa lepas dari terkaman Abangnya.

Ternyata dia melihat suaminya berdiri di balik pintu masuk. Itu sebabnya Nabila mencari celah agar tidak terbawa arus kebejatan abangnya.

"Kamu mau kemana?" tanya Abizar berusaha menarik lengan Nabila. Namun, usahanya gagal. Dia mengukir wajah masam. Tidak cukup sampai di situ. Abizar berdiri lalu melangkah cepat mengekor langkah kaki Nabila.

Perasaan Nabila sudah aman, ternyata abangnya terus mengejar. Dia merasa takut melihat ekspresi pria yang selama ini dia anggap Abang sekaligus ayah tempat berlindung dan mencurahkan keluh kesahnya. Tidak tahu kenapa, laki-laki yang selama ini menjadi pagar untuk melindunginya dari segala macam marabahaya. Kini berubah seekor macan yang siap menerkam mangsanya.

"Kamu kenapa ketakutan seperti itu, Nabila?!" teriak Abizar tanpa henti melangkah mengejar Nabila. "Aku tidak ada niat jahat kepadamu. Aku hanya ingin memberikan kejutan di hari ulang tahunmu yang ke tiga puluh," kelakarnya mencoba meyakinkan wanita yang selama ini dijaga dan dirawat.

Nabila berhenti sekejap lalu mencoba menetralisir rasa was-was yang mengerayangi pikirannya.

"Kamu lupa kalau hari ini tanggal lahirmu," ucap Abizar mencoba meyakinkan Nabila. "Masa suamimu saja tidak ingat ulang tahun istrinya," sindirnya sambil mengukir senyum simpul.

Habib merasa tersindir mendengar perkataan Kakak iparnya. Ia mengikuti langkah istri dan Abizar dengan pelan-pelan agar tidak diketahui mereka berdua. Ia ingin menghantam mulut Abizar. Namun, Habib tidak mau melakukan perbuatan yang sangat fatal. Apalagi dalam keadaan terbakar api cemburu.

Tanpa sengaja, Habib menyenggol sapu yang tergantung di belakang pintu penghubung ruang tengah dengan dapur.

Abizar dan Nabila mengedarkan pandangan ke asal suara itu. Habib terpergok laksana maling yang ketahuan sedang mencuri. Sorot mata Abizar sangat tajam kepada Habib.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status