Abizar melepaskan cengkeramannya lalu membuang napas kasar."Ceritanya seperti ini," ucap Hermawan lirih. Dia memejamkan mata sekejap sembari menghela napas. Setelah jiwa dan raganya sudah merasa tenang. Barulah dia mulai buka suara. "Sayang, aku hamil!" ucap Rossa kepada Hermawan ketika mereka berdua janjian ketemuan di waktu makan siang."Tidak mungkin! Aku selalu memakai pengaman dan jika pun itu tidak. Aku tidak pernah mengeluarkannya di dalam. Jangan mengada-ada kamu, Rossa!" tolak Hermawan atas perkataan Rossa yang baru saja dia dengar.Rossa terisak mendengar perkataan calon suaminya. Dia sudah merelakan perawannya direguk oleh Hermawan. Ternyata apa yang dia harapkan telah sirna menjadi suami seorang pria kaya raya. Tidak peduli semua mata tertuju kepadanya. Isaknya semakin kuat dan semakin membuat retina pengunjung cafe semakin penasaran."Kamu tega, sayang!" ucap Rossa terisak. Dia memukul-mukul dada Hermawan sekuat hati sangking kesalnya. "Jangan coba-coba mengganggu hidup
"Secepatnya!" balasnya menimpali.Rossa memang istri sirinya, Hermawan. Dia sempat tanam saham duluan daripada menikahi ibunya, Habib. Namun, itu tidak terendus alias semua tersimpan rapi tanpa ada yang tahu.Seketika Habib mengulas senyum melihat Abizar. "Betapa malangnya nasibmu," sindir Habib kepada Abizar. Ternyata kamu anak yang tidak diinginkan." Ledekan Habib membuat Abizar semakin marah.Biasanya dia yang selalu menghina dan mengolok-olok Habib. Sekarang malah terbalik seratus delapan puluh derajat Celcius. Api amarah kini terpaut di wajahnya. Dia ingin sekali membungkam mulut adik tirinya agar bisa diam. Namun, dia sadar akan kesehatan Hermawan. Walaupun dia tidak pernah memanggil ayah atau pun bapak kepada pria yang terbaring lemas di atas brangkar."Kenapa kamu diam?!" pancing Habib kembali. Wajahmu nggak usah ditekuk seperti itu. Coba deh berkaca, kamu laksana menahan berak," ujar Habib terus mengejek."Persetan!" Akhirnya, Abizar tidak sanggup menahan gejolak larva amarah
Suasana semakin memanas. Manusia mana yang mau terlahir ke dunia dengan cara tidak sah di mata hukum negara dan juga di mata hukum Islam. 'Kalau boleh memilih, aku juga tidak mau lahir dari cara yang salah,' ucap Abizar bermonolog.Suasana hening seketika. Habib mengulas senyum bahagia. Ia merasa menang atas perdebatan yang sangat alot itu."Wajar saja tingkah lakumu seperti ibumu!" ejek Abizar sponta dengan ekspersi datar. Dia memutar balikkan fakta.Habib tertawa terbahak-bahak tanpa peduli dengan sang ayah. Sementara Abizar dan Hermawan saling adu pandang. Mereka kira Habib sudah gila."Apa aku tidak salah dengar?!" tanya Habib memperjelas perkataan Abizar. Retinanya mengarah ke arah Hermawan. "Apakah aku wajar dan pantas dikatakan gila?" imbuhnya meyakinkan apa yang baru saja dikatakan Abizar kepadanya.Hermawan hanya diam membisu. Dia tidak berani menjawab. Walau bagaimanapun itu Habib dan Abizar anak kandung alias darah dagingnya sendiri. Walaupun itu Abizar tidak dalam alam sa
"I need small pan," teriak Fadli sambil nge-baked tiger prawn. Sudah berulang kali dia meminta small pan, tapi Habib belum sempat mengantarnya. Cucian piring kotor yang menggunung membuatnya kewalahan untuk menuruti permintaan staff kitchen dan staff service. Ia mengusap keringat yang menggelinding di kening."Sudah berapa kali kubilang ... aku butuh small pan," hardik Fadli dengan wajah memerah. Dia sudah berdiri tepat di sampingnya. "Setiap kali briefing, apa yang selalu urgent itu dulu yang harus dituruti. Walaupun pekerjaan kita menumpuk. Itu bisa saja nanti dibantu sama staff yang lain." Fadli masih saja menahan gejolak amarah yang sudah meronta untuk segera diluapkan. "Apa kamu sanggup mendenda makanan yang sudah lama menunggu antrian?!" bentaknya lagi tidak peduli dengan staff lain. "Kamu di sini bekerja untuk mencari duit, bukan bekerja untuk mengeluarkan duit akibat mendenda makanan yang terlambat keluar karena pekerjaanmu lambat seperti keong mas!" racaunya sambil berdecak p
"Jelas kamulah!" jawab Fadli dengan percaya diri. Dia mengulas senyum smirk. Lengan kanannya diletak di bahunya Habib sebelah kanan."Jangan terlalu sepele kepada orang yang kamu anggap hina dan miskin sepertiku ini," sindir Habib sambil menepiskan lengan Fadli dari bahunya. Dia melayangkan lengannya ke udara seolah merasa jijik Fadli menaruh organ tubuhnya ke badan Habib. "Hina di mata manusia, belum tentu nista di kaca mata Sang Penguasa Alam," imbuhnya sambil menepuk pundak Fadli pelan. Ia memutar tubuhnya lalu mengayunkan langkah kakinya meninggalkan Fadli."Dasar manusia tidak tahu diuntung!" berang Fadli sambil melayangkan sebuah pukulan di punggung Habib. Namun, untuk saja Gibran datang menjadi pahlawan kesiangan. Habib memutar tubuhnya lalu mengarahkan ekor matanya ke arah Fadli dan Gibran."Sudah berani kamu mencelakaiku ketika aku lengah?! Hah!" seru Habib sambil menarik lengan kanannya Fadli lalu sengaja dia kunci kuat dengan memutar ke belakang. Fadli meraung kesakitan. "
"Habib mengundurkan diri," jawab Fadli lirih. Dia mencoba berkata jujur. Walaupun belum semua diceritakan kepada Leni-SPV di restaurant itu."Ayo masuk ke dalam," ajak Leni dengan elegan. Retinanya menyapu ke setiap sudut pojok. Perasaan tidak enak lahir di dalam hatinya melihat pengunjung yang memperhatikan setiap gerak-gerik yang tercipta. Mereka bertiga melangkah gontai menuju loker."Tidak mungkin Habib mengundurkan diri kalau tidak ada sebabnya!" ucap Leni tegas setelah sampai di loker. Dia menatap kedua bola mata Fadli dan Gibran bergantian. Namun, tidak ada sepatah kata yang keluar dari sudut bibir kedua pria yang ada di depannya."Gibran! Cepat kejar Habib! Jangan sampai dia risaign dari sini!" seru Leni dengan nada tegas. Tanpa buang-buang waktu, Gibran langsung melaksanakan perintah atasannya. Dia tidak mau kena pecat akibat membantah.Leni menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus memulai dari mana untuk menasihati Fadli yang selalu arogan kepada Habib.Suasana hening se
"Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Abizar. Dia memutar balikkan pertanyaan sebelum Adik iparnya bertanya duluan."Aku tadi mau ke kamar," kelakarnya sambil mencari jawaban yang tepat. "Ada sesuatu hal yang tertinggal dan sangat penting untuk mengurus kelulusan training-ku," jawab Habib mencoba santai. Amarah dan rasa cemburu yang hampir saja meledak sengaja ia pendam.Nabila hanya diam dan memasang wajah heran. Dia tidak sanggup memandang wajah suaminya. Lebih baik dirinya diam ketimbang buka suara."Kenapa menuju dapur?" tanya Abizar heran. Dia melangkah menghampiri Habib. "Maaf kalau kedatanganku tidak kukasih tahu sebelumnya. Aku sengaja memberikan kejutan kepada Nabila-adik kesayanganku," jelasnya mencoba mengukir senyum simpul. "Aku tahu kamu pasti lupa kalau hari ini sangat istimewa buat Nabila," ujarnya lagi. Nabila mendongak menatap Abangnya. "Hari ini tepat tanggal lahir istrimu," sindirnya dengan nada sarkasme. Kedua bola mata Habib dan Abizar saling tertaut. Sengaja tid
"Hewan melata saja masih bisa bertahan hidup. Padahal dia sangat dibenci Tuhan karena ikut mengobarkan api pada saat nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup. Begitu juga dengan binatang haram masih terus bisa berkeliaran," seru Nabila untuk menyangkal perkataan abangnya yang selalu menyepelekan Habib. "Itu artinya setiap makhluk hidup sudah ada rezekinya masing-masing," jelasnya lagi sambil menghela napas. "Bagaimana dengan manusia yang jauh lebih sempurna. Selagi hamba-Nya masih mau berusaha dan berdoa, pasti ada jalan rezekinya." Nabila sudah tidak habis pikir untuk menjelaskannya kepada Abangnya. "Tolong buka mata, ketok hati. Dan tolong untuk yakin dan percaya atas keagungan Sang Pencipta Alam Semesta." Nabila membuang napas lalu mencoba menenangkan pikiran agar hati dan jiwanya bisa tenang. "Aku yakin, in sya Allah pasti ada jalan rezeki setiap ciptaan Tuhan.""Buktinya saja kamu makin kurus dan raut wajahmu lecek," balasnya menyeringai. "Belum lagi tempat tinggal yang tidak layak huni,