Share

Part 04: Mulai Membantah

"Apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Abizar. Dia memutar balikkan pertanyaan sebelum Adik iparnya bertanya duluan.

"Aku tadi mau ke kamar," kelakarnya sambil mencari jawaban yang tepat. "Ada sesuatu hal yang tertinggal dan sangat penting untuk mengurus kelulusan training-ku," jawab Habib mencoba santai. Amarah dan rasa cemburu yang hampir saja meledak sengaja ia pendam.

Nabila hanya diam dan memasang wajah heran. Dia tidak sanggup memandang wajah suaminya. Lebih baik dirinya diam ketimbang buka suara.

"Kenapa menuju dapur?" tanya Abizar heran. Dia melangkah menghampiri Habib. "Maaf kalau kedatanganku tidak kukasih tahu sebelumnya. Aku sengaja memberikan kejutan kepada Nabila-adik kesayanganku," jelasnya mencoba mengukir senyum simpul. "Aku tahu kamu pasti lupa kalau hari ini sangat istimewa buat Nabila," ujarnya lagi. Nabila mendongak menatap Abangnya. "Hari ini tepat tanggal lahir istrimu," sindirnya dengan nada sarkasme. Kedua bola mata Habib dan Abizar saling tertaut. Sengaja tidak ada celah dikasih Abizar kepada Habib untuk buka suara.

"Oh, ya, anu –" jawab Habib tidak rapi dan terhenti. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maafkan aku istriku. Bukannya aku tidak mengingat hari ulang tahunmu. Aku sudah mempersiapkan kejutan yang sangat istimewa bagimu," ucap Habib mencoba berkelit. Padahal dirinya tidak ada sama sekali merencanakan apa pun itu.

"Aku tahu kamu pasti bohong, kan?" tebak Abizar mematikan cakap Adik iparnya. Senyum simpul sengaja dia lahirkan kembali. "Paling ngasih uang lima puluh ribu buat beli ayam untuk lauk nanti malam," ledeknya dengan senang hati. "Itu mah tidak ada istimewanya."

"Bagiku itu sudah sangat spesial, Bang. Aku tidak meminta apa-apa kepada suamiku. Aku tahu kemampuan yang ada di dalam pria yang selama ini aku dambakan. Aku hanya ingin kado spesial darinya yaitu setia." Ekor mata Nabila melirik ke arah Habib. "Dan itu sudah diberikan setiap hari tanpa diminta meskipun di hari spesialku," timpalnya. "Dan rasa cintanya tidak pernah pudar. Itu saja kurasa sudah lebih dari cukup," ujar Nabila spontan. Dia membela suaminya di depan Abang kandungnya.

"Hari gini masih percaya sama cinta! Makan cinta itu," racau Abizar. Dia merasa terbakar api cemburu mendengar perkataan adiknya. "Cinta tidak bisa membuat kita kenyang dan nyaman."

"Tapi mampu membuat sepasang kekasih untuk saling mengerti dan melengkapi segala kekurangan yang ada pada pasangan itu," jawab Nabila tegas.

'Sial! Nabila sudah terlalu bucin kepada Habib. Aku tidak akan membiarkan hal itu.'

"Terima kasih sayang. Kamu masih merawat benih cinta itu sampai sekarang. Walaupun aku belum bisa memberikan setitik kebahagiaan kepadamu," ucap Habib sambil memeluk tubuh istrinya. "Aku sangat senang dan bahkan bersyukur atas kesetiaanmu kepadaku. Walaupun impian yang selama ini kuikrarkan di depan penghulu dan saksi belum tergapai," ujarnya kembali sambil mencium kening istrinya.

Nabila memeluk tubuh suaminya begitu mesra. Tragedi yang ada di depan mata membuat Abizar semakin terbakar api cemburu.

Abizar mulai memikirkan sesuatu agar Habib tidak menjadi penghalang baginya. Kehadiran adik iparnya itu membuat Abizar tidak leluasa untuk bersenda gurau bahkan memadu kasih laksana sepasang kekasih walaupun kenyataannya mereka berdua tidak sedarah dan senasab. Meskipun itu sangat dirahasiakan Abizar kepada Habib dan Nabila.

"Oh, ya, Dik. Bang Abizar 'kan baru sampai. Bagaimana kalau kita ajak makan di luar?" tanya Habib. Ia mencoba bermurah hati. "Jarang-jarang, loh, kita makan di luar," ucapnya lagi.

"Nggak usah kamu sok jadi pahlawan. Makan sehari saja masih morat-marit."

"Momennya begitu pas." Habib masih santai dan tidak terpancing emosi. "Hari ulang tahunmu ditambah kakak iparku datang. Biar sekalian menjamu tamu. Tamu jauh loh yang datang."

Abizar membuang muka. Dia tidak senang melihat adik iparnya.

"Ayo ganti baju sekarang!" ajak Habib. Ia menarik lengan istrinya melangkah menuju kamar.

Kini Abizar tinggal mematung sendirian di dapur. Nasibnya sangat apes. Impiannya untuk mencium dan bahkan ingin mencurahkan rasa rindunya kepada Nabila tidak kesampaian.

Tidak berapa lama, Habib dan Nabila keluar dari dalam kamar. Abizar terkejut melihat penampilan adik iparnya.

"Kalian mau ke mana?" tanya Abizar mengintrogasi. Dia bangkit dari tempat duduknya. Bangku yang dia duduki terbuat dari rotan.

"Mau ke Mall," jawab Habib santai. Dia menarik lengan istrinya. "Kalau Abang mau ikut, boleh saja kok." Habib masih saja mengajak kakak iparnya dengan penuh hormat.

"Apa aku nggak salah dengar?" sindir Abizar memperjelas pendengarannya masih berfungsi atau tidak. Dia mengedarkan pandangan ke arah Habib mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Dengan gaya gembel seperti itu?!" ejeknya lagi tiada henti. Senyum smirk lahir di raut wajahnya. "Aku tidak sudih jalan ke Mall dengan gembel seperti kamu, Bib," ledeknya lagi.

"Kalau ya, kenapa?! Apakah Abang merasa malu penampilan kami seperti ini? Atau ada larangan harus berpakaian brandit baru boleh masuk ke dalam Mall?" balas Nabila tidak mau kalah sengit kalau suaminya selalu dipandang hina oleh Abang kandungnya. Dia juga sudah tidak tahan melihat tingkah abangnya yang selalu dijadikan bahan cemoohan oleh Abizar ketika bersua.

"Apa kamu tidak malu mengenakan pakaian seperti itu pergi ke Mall?!" senyum paksa terlahir di raut wajahnya, Abizar. "Lebih bagus kamu ikut denganku ke Mall. Sesampainya di sana, aku akan traktir kamu beli baju mewah dan makan enak di resto terkenal dan lagi viral saat ini," imbuhnya kembali.

Habib dan Nabila diam membisu sambil memadu pandang. Habib mengedipkan mata memberi kode agar pergi melangkah tanpa menghiraukan kicauaan Abizar-Kakak iparnya.

Abizar menyalang melihat hasutan Habib kepada Nabila. Dia terus melangkah berlari mengekor kedua adiknya.

Sesampainya di depan kontrakan, Habib merogoh kunci motor bututnya lalu naik ke atas. Ia menyalakan mesin, tapi tidak mau hidup.

"Baru saja kamu mereguk setetes kebahagiaan, sudah diuji dengan motor mogok. Bagaimana kalau pergi naik mobilku," tawar Abizar sambil memutar bola matanya. Dia memasang wajah sarkasme. Habib memasang helm lalu merekatkan talinya.

"Nggak usah kamu mengikuti perintah suamimu yang dekil dan miskin itu, Nabila. Lebih baik kamu ikut aku naik mobil. Tidak kena panas matahari bahkan angin nakal," imbuhnya kembali.

"Walau bagaimana pun itu, aku harus taat dan patuh kepada suamiku. Bagaimana bisa aku mengikuti ajakanmu, Bang. Sementara ada Bang Habib di sampingku," jawab Nabila tegas. Nabila juga sebenarnya merasa risih dengan tawaran yang diberikan dan tingkah laku abangnya yang sudah diluar batas.

"Oh, ya." Abizar bertepuk tangan atas jawaban yang diberikan Nabila. Dia tidak menyangka kalau adik yang selama ini patuh dan taat kepada dirinya ternyata sudah berani melawan. "Racun apa yang kamu berikan kepada istrimu sehingga sudah berani membangkang?" tanya Abizar sambil menarik kerah baju adik iparnya. "Apa jangan-jangan kamu telah mencuci otaknya agar melawanku?" amuknya tanpa bisa meredam amarah yang sudah membuncah sejak mengetahui Nabila berubah dan tidak patuh lagi kepadanya.

"Aku tidak ada sama sekali membasuh otaknya sama sekali," balas Habib sambil berusaha meronta. "Jika tidak percaya, silakan saja tanya kepada Nabila."

Abizar melirik ke arah Nabila. Dia melepaskan terkamannya lalu melangkah menghampiri adiknya.

"Apa benar yang dikatakan suamimu?!" seru Abizar dengan nada tinggi dari biasanya. Darahnya mendidih dan ingin rasanya meluapkan larva emosi sekarang juga kepada Nabila yang sudah berani melawan.

"Bukan kah seorang istri harus patuh dan taat kepada suaminya?" sela Nabila tegas.

"Suami seperti apa yang kamu katakan, Nabila?!" Abizar semakin tersulut emosi. Dia sudah naik pitam mendengar jawaban yang sangat menjijikkan. "Kalau pria itu menjerumuskan kamu ke dalam jurang yang nista. Apa kamu tetap taat terhadap titahnya?" sentak Abizar tidak mau kalah.

"Aku rasa suamiku masih wajar dan tidak pernah menjerumuskanku selama kami bersama," balas Nabila. Dia mencoba menjauh dari abangnya. "Aku baru teringat sejak pertama kali calon suamiku datang dan ingin mempersuntingku. Abang selalu berkelit bahkan sejuta alasan untuk bersua dengannya. Aku sempat berpikir kenapa Abang tega dan sampai hati untuk mempersulit urusannya untuk menghalalkanku pada saat itu," ujar Nabila.

Bola mata Abizar berputar-putar. Dia berdecak pinggang lalu membuang napas. Kesal dan kecewa kini mendera dirinya.

"Aku melakukan itu karena bukan tanpa alasan, Nabila. Aku tidak mau pria yang ingin menjadikan dirimu ratu dalam bahtera rumah tangganya menderita ketika kamu menjadi tanggungjawabnya," kelakar Abizar. Dia masih saja berkelit untuk menutupi topengnya.

"Dari segi hal apa Abang bisa menjudge kalau pria yang ingin melamarku bahkan sekarang ini sudah menjadi imamku tidak bisa memberikan nafkah lahir dan batin." Jawaban Nabila membuat Habib melayang. Walaupun Nabila tetap pada pendiriannya untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Habib.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status