Share

Part 05: Rencana Apa?

"Hewan melata saja masih bisa bertahan hidup. Padahal dia sangat dibenci Tuhan karena ikut mengobarkan api pada saat nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup. Begitu juga dengan binatang haram masih terus bisa berkeliaran," seru Nabila untuk menyangkal perkataan abangnya yang selalu menyepelekan Habib. "Itu artinya setiap makhluk hidup sudah ada rezekinya masing-masing," jelasnya lagi sambil menghela napas. "Bagaimana dengan manusia yang jauh lebih sempurna. Selagi hamba-Nya masih mau berusaha dan berdoa, pasti ada jalan rezekinya." Nabila sudah tidak habis pikir untuk menjelaskannya kepada Abangnya. "Tolong buka mata, ketok hati. Dan tolong untuk yakin dan percaya atas keagungan Sang Pencipta Alam Semesta." Nabila membuang napas lalu mencoba menenangkan pikiran agar hati dan jiwanya bisa tenang. "Aku yakin, in sya Allah pasti ada jalan rezeki setiap ciptaan Tuhan."

"Buktinya saja kamu makin kurus dan raut wajahmu lecek," balasnya menyeringai. "Belum lagi tempat tinggal yang tidak layak huni," sindirnya. Tiada hari yang indah tanpa mencemooh Habib.

"Buat apa hidup mewah bergelimang harta kalau hasil ngutang," jawab Nabila lantang dan memutar balikkan fakta. "Kalau sudah seperti itu, aku rasa tidur pun tak kenyang, makan pun tak lelap." Nabila tidak mau kalah. Namun, dia sengaja menyelipkan lelucon agar abangnya tidak terlalu tegang. Ternyata lelucon itu dijadikan sebuah senjata untuk melumpuhkan Nabila.

"Itu buktinya kamu tidak baik-baik saja, Nabila. Ucapanmu saja sudah belepotan. Aku banting tulang mencari nafkah untuk membiayaimu bahkan menyisihkan waktuku untuk tetap bisa menjaga dan merawatmu semasa kecil." Abizar sudah tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menjelaskan kepada adiknya. "Semenjak menjadi wanita pria sampah ini yang menyebarkan virus kepada kamu. Kamu sudah terpapar virus gila," ujar Abizar sambil menunjuk ke arah Habib. Dia tidak habis pikir kalau adik kandungnya benar-benar gila. "Aku tidak mau kalau kamu semakin gila gegara pria tidak berguna itu."

"Ya ... aku sudah gila. Itu semua karena ulahmu, Bang."

"Ini nih, efek tidak pernah dikasih makanan bergizi sama suaminya. Otaknya sudah korslet." Abizar tertawa lepas. "Kekhawatiranku kini mulai terbongkar."

"Kenapa Abang bisa khawatir kalau suamiku tidak mampu memberiku makan?!" sanggahnya semakin tidak terima. "Suamiku manusia, sama seperti Abang. Sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang begitu sempurna." Nabila menelan ludahnya dengan terpaksa. "Apakah masih meragukan keagungan-Nya sehingga rasa kekhawatiran itu berlebih."

"Sudahlah! Tidak ada gunanya meluapkan emosi untuk membalas. Abaikan saja cemoohan Bang Abizar," bela Habib. "Ayo kita pergi sebelum Mall tutup," imbuhnya kembali sambil menarik lengan istrinya.

Kali ini Abizar tidak tinggal diam. Dia mengepalkan tangan dengan keras. Urat nadi terlihat jelas di pergelangan tangan. Gemertak gigi yang putih dan rapi membuat rahangnya mengeras.

"Dasar manusia laknat!" Sebuah pukulan telak mengudara. Namun, Nabila menepis sehingga wajahnya kena. Wajah Abizar memerah melihat pukulannya mendarat tidak tepat pada sasaran. "Adikku sayang," ucap Abizar lirih.

Nabila meringis kesakitan. Rasa panas lahir di pipinya membuat Nabila terus menempelkan tangannya di wajah. Habib tidak menyangka kalau kakak iparnya suka main tangan.

"Istriku!" teriak Habib sambil memeriksa pipi Nabila. "Apakah kamu masih pantas dikatakan sebagai pahlawan bagi adiknya?! Seharusnya kamu tidak gegabah untuk menuruti amarah seperti ini!" imbuhnya lagi sambil menghembus pipi istrinya. Sorot matanya menyalang melihat kakak iparnya.

Tidak terasa bulir bening sebak tanpa pamit dari ekor matanya. "Te-terima kasih atas pukulannya, Bang," ucap Nabila tersaruk pilu. "Luka suamiku, juga lukaku." Nabila menelan ludah dengan kasar. "Seharusnya Abang tidak pantas memukul pria yang selama ini bertanggungjawab kepadaku."

"Maafkan aku, sayang. Aku terlalu sayang dan cinta kepadamu sehingga tidak tega melihat kehidupanmu jauh lebih buruk setelah menikah," ucap Abizar spontan.

'Apa maksudnya berkata seperti itu?' tanya Habib dalam hati. Ia menepis pikiran negatif kepada abangnya dan fokus kepada istrinya.

"Aku tidak kenapa-napa, Bang. Hanya luka memar sedikit. Esok juga pasti sembuh," ujar Nabila parau. Dia sengaja menutupi apa yang dia rasakan. Rasa sakit begitu perih tidak sebanding dengan cacian yang diberikan Abizar kepada suaminya.

"Bo-boleh kah aku meminta sesuatu kepadamu?" tanya Nabila sambil memegang telapak tangan suaminya. Dia mengarahkan pandangannya sesekali ke arah Abizar yang sudah berdecak pinggang lalu membuang napas kasar. Umpatan demi umpatan dia lontarkan. Bahkan teriak sekuat tenaga atas kesalahan yang dia perbuat.

"Minta apa, sayang," sahut Habib dengan mata sendu. 'Seharusnya aku yang berhak menerima tamparan itu, sayang,' ucap Habib dalam hati. Ia mencium kening istrinya yang terbujur kaku di atas lantai.

"Tolong beri aku hadiah terbaik menurutmu dan tidak merepotkan siapapun itu!" Nabila menatap ke arah samping kiri untuk menyembunyikan bulir bening yang terus meronta dan akhirnya luruh.

Ide kotor lahir di benak Abizar. Dia duduk di atas kursi rotan sambil memperhatikan percakapan Nabila dan Habib.

"Aku akan mengajakmu makan di mana aku bekerja," jelas Habib menautkan manik matanya tepat di retina istrinya. "Apakah kamu tidak keberatan hal itu?" tanyanya kembali. Ia takut rasa sakit yang diberikan Abizar membuat dirinya tidak bisa melangkah atau malu karena bekas tamparan yang diberikan abangnya.

"Mimpi itu yang selalu aku impikan," balasnya melahirkam garis bibir melengkung membuat Habib merasa senang.

"Palingan karena ada dapat voucher gratis. Itu makanya bisa mengajak istrinya makan enak di sana," ledek Abizar. Nabila dan Habib menautkan pandangan untuk mencerna perkataan pria yang selalu mengundang emosi. "Setiap kali aku datang kemari, tidak pernah disuguhin gulai rendang ayam, ikan asap, atau makanan enak dan bergizi," ledeknya kembali. Abizar tidak henti menghujat adik iparnya.

"Kalau begitu ayo berangkat," ajak Habib sambil membantu istrinya berdiri. "Aku sudah menyiapkan kado yang jauh lebih spesial dari makan siang." Nabila menatap wajah suaminya. "Sungguh?!" tanya Nabila meyakinkan perkataan pria yang selama ini menuntunnya ke jalan yang benar.

"Ya," bisik Habib pelan. Dia sengaja membuat kakak iparnya penasaran.

'Kira-kira kado apa yang akan diberikan Habib kepada Nabila?' tanya Abizar dalam hati dengan ekspresi penasaran.

Habib menuntun istrinya melangkah menuju halaman rumah. Sesampainya di depan rumah tempat kuda besinya parkir. Ia merogoh kunci di saku celana. Wajah panik kini menyapa dirinya.

"Cari apa?" tanya Nabila parau.

"Tunggu sebentar. Kuncinya ketinggalan di dalam," bisik Habib tepat di daun telinga istrinya.

Nabila mengangguk sambil mengedipkan mata menyatakan setuju. Tanpa membuang-buang waktu, Habib melangkah pergi masuk ke dalam rumah.

[Pokoknya aku tidak mau kalau rencana ini gagal lagi,] ucap Abizar sambil membulatkan kedua bola matanya ketika retina kami berdua sudah saling tertaut.

Ponsel yang masih menempel di daun telinganya kini jatuh menggelinding di atas lantai. Mulutnya masih menganga dan sangat enggan untuk mengatup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status