"Rencana apa yang kamu maksud?" tanya Habib kepada kakak iparnya.Abizar hanya bergeming dan mematung. Hening seketika yang tercipta. Padahal masih banyak teka-teki yang harus dipecahkan oleh Habib. Kedua bola matanya terus memperhatikan ponsel yang masih on di atas lantai. Ia melangkah cepat menghampiri Abizar.[Pokoknya halangi dulu dia agar jangan cepat sampai kemari!] Ternyata loud speaker benda pipih itu aktif sehingga sangat jelas terdengar suara seorang pria.Habib mengernyitkan kening. Intonasi suaranya ia mengenal siapa yang bicara, tetapi tidak mau menebak yang tidak pasti."Cepat jawab!" bisik Habib dengan sedikit memaksa. Ia menarik kerah baju kakak iparnya dengan sorot mata tajam. "Jangan kamu terbata menjawabnya!" serunya kembali dengan merendahkan volume suara dari biasa.[Serahkan saja kepadaku. Pokoknya jangan sia-siakan kepercayaanku,] jawab Abizar sembari mengukir senyum terpaksa.Habib sengaja memutuskan sambungan telepon. Lalu menatap ke arah kakak iparnya. "Renc
Nabila terus gelisah laksana hilang akal sehat. Dari tadi dia asik mondar-mandir dari kursi samping brangkar ke sopa dekat pintu kamar. Otaknya mau pecah memikirkan dari mana dia dapat uang segitu banyaknya."Na-Nabila, sayang. Aa-aku ada di mana?" tanya Habib terbata. Pandangannya buram membuat dirinya tidak tahu sedang di mana dan lagi ngapain.Nabila tersontak kaget melihat ke arah asal suara itu. Tangan Habib meraba-raba mengudara seolah mencari keberadaan istrinya. "Aa-aku ada di sini, Bang," jawab Nabila panik. Dia berlari menghampiri suaminya yang sedang berbaring lemas di atas brangkar."Aku ada di mana? Kenapa ada selang yang menyentuh kulit tanganku?" cecarnya terus dan ia ingin mencopot jarum yang menempel di tangan.Aa-Abang kemarin siang kecelakaan. Sekarang ini lagi di rumah sakit, sayang," bisiknya di daun telinga suaminya. Dia sengaja menunduk agar mulutnya pas dan dekat ke telinga suaminya. Setelah dia berkata, Nabila kembali berdiri tegak. Rasa teriris dan tersayat
"Akhirnya aktingku berhasil untuk membongkar semua akal dan niat busukmu, wahai Abang iparku," imbuhnya membuat mata Abizar tidak berkedip dan mulutnya menganga. Ia mengulas senyum seolah merasa puas dan bahagia rahasia Abang iparnya selama ini terbongkar sudah. Habib yakin tidak akan ada lagi senjata Abang iparnya untuk menghina dan merusak surga yang selama ini ia bangun bersama Nabila. "Kamu belum percaya kalau aku pura-pura sakit?!" Ia langsung menyandarkan punggungnya ke dinding lalu mencabut infus yang melekat di tangan.Kedua bola mata Abizar hampir saja mau lepas sari sarangnya. "Ke-kenapa bisa?!" tanya Abizar ragu dan tidak percaya.Habib mengukir senyum lalu berkata, "apa yang tidak bisa di dunia ini," jawabnya sarkasme dengan mengukir senyum smirk."Ini tidak mungkin. Kamu pasti sudah gila!""Ya aku memang sudah gila." Habib tidak mau kalah dengan Abizar. Tiba-tiba, seorang perawat masuk ke dalam ruangan membuat Habib dan Abizar diam sejenak. Sorot mata Abizar menatap Hab
"Kamu siapa?! Terus kenapa kamu bisa memakai seragam tim medis rumah sakit ini? Kenapa kamu bisa mendapat itu semua?!" tanya Hendra sebagai dokter yang menangani Habib.Perawat itu gemetar dan tidak tahu harus menjawab apa. Dia menatap ke arah wajah Abizar. "Sejak awal aku sudah curiga dengan perawat ini," sela Habib dengan ekor mata mendelik. Ia ingin sekali membungkam mulut Abizar. Namun, belum ada waktu yang tepat dan alasan yang cocok."Makanya kalau masuk rumah sakit itu jangan swasta. Ke rumah sakit umum, kek," kelakar Abizar. Dia berkata seperti itu seolah mengecoh konsentrasi Hendra. "Begini kalau rumah sakit swasta. Orang lain yang bukan tim medis bisa lewat dan hendak mencelakai pasien," imbuhnya mengejek."Hentikan ucapanmu! Kami pihak rumah sakit bisa membongkar siapa dalang dari otak perawat gadungan ini. Suster! Cepat panggil sekuriti sebelum perawat gadungan ini pergi melarikan diri!" berang Hendra tidak terima kalau rumah sakit tempat dia bekerja dijelek-jelekkan."Da
Abizar kini telah menyesal setelah membayar wanita untuk menghabisi nyawa adik iparnya. Dia terkulai layu setelah perawat gadungan itu berkata jujur."Sayang," ucap Habib memecah keheningan di dalam ruangan. Apakah kamu sudah percaya kalau Abizar ini bukan manusia, melainkan iblis," hina Habib menimpali. Kali ini Abizar tidak berkutik lagi."Motivasi apa yang membuat kamu gelap mata, Bang?!" tanya Nabila. Dia tidak menyangka kalau pria yang selama ini dia anggap Abang kandung ternyata orang jauh. "Pantas saja kamu selalu menghalangi aku dengan Bang Habib. Ternyata kamu itu tidak sedarah dan senasab denganku." Nabila tergugu dan bahkan tersaruk pilu. Andai dia dari awal termakan atas ucapan Abizar. Mungkin dia sudah menyesal telah berkhianat kepada pria yang selama ini berusaha sabar dan tegar meghadapi hinaan yang dipahat Abizar. "Sekarang aku baru sadar dan tahu. Abang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkanku." ucap Nabila dengan suara serak. Semua sudah terbongkar kejahata
"Ja-jangan lakukan itu! Aku mohon dengan sangat," jawab Rasti istrinya Abizar. Ya ... nama istri Abizar adalah Rasti. Dia sebenarnya tidak tahu terlalu banyak masalah yang sengaja dicipta Abizar. Dia hanya fokus mengurus anak dan usaha kerbau di kampung yang diserahkan Abizar kepadanya."Kalau begitu cepat angkat kaki dari rumahku ini!" hardik Habib dengan sorot mata menyalang. Seketika darahnya mendidih akibat tamu tidak diundang datang ke rumahnya.Tidak lama kemudian, punggung Rasti sama sekali tidak kelihatan. Habib menutup daun pintu kembali lalu ia dan Nabila melangkah ke menuju ruang makan. Selera makannya Habib sudah hilang. Akan tetapi, Nabila memaksa agar tetap menghabiskan nasi yang ada di piringnya."Tidak elok membuang-buang makanan, Bang," ucap Nabila lembut. Habib langsung menghabiskan sisa makanannya walaupun dalam keadaan terpaksa. ***Hari ini cuaca sangat bagus. Tiba-tiba, perut Nabila mules dan keram membuat dirinya merasa perih dan sakit. Sesekali dia mengelus pe
"Beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu," ucap Habib mencoba meyakinkan istrinya-Nabila."Mau sampai kapan?" tanya Nabila menolak.Nabila melangkah masuk ke dalam kamar. Dia sudah lelah dan capek menghadapi cobaan hidup bertubi-tubi. Habib mengekor begitu saja. Ia terkejut melihat apa yang dilakukan Nabila. "Kamu mau ke mana?!" tanya Habib pelan. Ia mencoba mencegah aktivitas yang dilakukan Nabila. "Kamu jangan gegabah mengambil keputusan mau angkat kaki dari rumah ini?" bujuk Habib pelan."Aku sudah tidak cinta dan sayang lagi kepada pria yang selalu bergantung kepadaku. Aku lelah, aku muak dan aku sudah tidak bisa bersabar lagi," balasnya menepis lengan suaminya."Kamu kenapa berubah seperti ini?! Walaupun aku tetap dihina, aku tidak melepas tanggungjawabku begitu saja kepadamu. Aku masih bisa memberi nafkah walaupun masih sebatas lepas makan.""Aku tahu itu," jawabnya spontan dan diam begitu saja tanpa bergerak. Bulir bening jatuh begitu saja tanpa pamit dari sudut ekor matanya.
"Kenapa kamu masih bingung dan berdiri di sini!" sindir Rasti. Dia melipat kedua tangan lalu dia letak sejajar dengan dada. "Lebih baik angkat kaki dari sini sebelum diseret paksa sama satpam," imbuhnya memperingatkan Habib. "Bagaimana bisa kalian mengganti nama ibuku menjadi nama kalian?!" sela Habib tidak terima. "Apa yang tidak bisa di dunia ini? Aku bisa melakukan apa saja apapun itu yang aku mau.""Benar-benar manusia berhati iblis! Aku tidak akan membiarkan rumah semegah ini jatuh kepada tangan yang salah!" racau Habib semakin tersulut emosi. Ia melangkah menghampiri ayahnya yang diam dan tidak berdaya duduk di kursi roda.***Habib pergi pulang dengan penuh hinaan. Ia datang ke rumah peninggalan almarhum ibunya untuk melihat keadaan sang ayah. Hatinya mencelos melihat ayahnya yang sudah tidak berdaya. Mempunyai harta berlimpah tidak menjamin senang dan bahagia. Itulah yang dirasakan Habib. Harapan untuk membahagiakan ayahnya sudah pupus di tengah jalan. Harta yang paling berha