Share

Part 06: Bingung untuk Mendapatkannya

"Rencana apa yang kamu maksud?" tanya Habib kepada kakak iparnya.

Abizar hanya bergeming dan mematung.

Hening seketika yang tercipta. Padahal masih banyak teka-teki yang harus dipecahkan oleh Habib. Kedua bola matanya terus memperhatikan ponsel yang masih on di atas lantai. Ia melangkah cepat menghampiri Abizar.

[Pokoknya halangi dulu dia agar jangan cepat sampai kemari!]

Ternyata loud speaker benda pipih itu aktif sehingga sangat jelas terdengar suara seorang pria.

Habib mengernyitkan kening. Intonasi suaranya ia mengenal siapa yang bicara, tetapi tidak mau menebak yang tidak pasti.

"Cepat jawab!" bisik Habib dengan sedikit memaksa. Ia menarik kerah baju kakak iparnya dengan sorot mata tajam. "Jangan kamu terbata menjawabnya!" serunya kembali dengan merendahkan volume suara dari biasa.

[Serahkan saja kepadaku. Pokoknya jangan sia-siakan kepercayaanku,] jawab Abizar sembari mengukir senyum terpaksa.

Habib sengaja memutuskan sambungan telepon. Lalu menatap ke arah kakak iparnya. "Rencana apa yang kamu rencanakan wahai bedebah?!" ucap Habib penuh selidik. Abizar hanya membisu. Bola matanya berputar-putar untuk mencari jawaban. Dia sengaja menahan napasnya walaupun terasa sesak. "Cepat katakan sebelum aku mencari tahu semua rencana busukmu!" desak Habib dengan nada mengancam. Netra Abizar sangat enggan menatap manik lawan bicaranya.

Seketika ia teringat kepada istrinya yang sudah lama menunggu di halaman rumah. Habib segera mendorong tubuh kakak iparnya dengan tenaga kuat sampai terjatuh ke atas lantai.

"Jangan kamu kira diamku tidak berani melawanmu! camkan itu!"

'Sial! Sudah berani dia melawan dan membentakku!' umpat Abizar kesal sambil mencoba berdiri. Rasa ngilu lahir di bagian siku lengannya.

***

Di ruang kamar dihiasi dengan warna putih Nabila terisak melihat kondisi tubuh pria yang selama ini dia sayang terbujur kaku. Jarum infus menempel di tangan sebelah kiri. Tetes demi tetes dari botol infus terus menetes. Sudah delapan jam Habib terbaring di atas brangkar belum sadarkan diri.

"Lebih baik kamu istirahat dan mandi ke rumah terlebih dahulu. Habis itu kamu datang kemari menjaga suamimu yang sudah tidak berguna lagi," ucap Abizar dengan mencipta raut wajah senyum simpul. Untung saja Nabila tidak melihat ekspresi yang dilahirkan Abangnya. Kalau tidak, Nabila pasti perih melihat luka yang sudah menganga lalu ditetesi perasan air jeruk nipis. Ngilu dan sakit pasti sudah tidak tertahankan.

"Hentikan ucapanmu, Bang!" bentak Nabila tidak terima kalau suaminya selalu dianggap remeh sama abangnya. "Walau bagaimana pun itu kondisinya, aku tidak bakalan meninggalkannya begitu saja. Cuma dia harta satu-satunya yang kumiliki," imbuhnya sembari menahan Isak tangis agar tidak pecah.

"Aku ini masih ada sebagai abangmu. Aku bisa memberi kebahagiaan kepadamu, Nabila!" balasnya mulai panik. Dia mencoba berpikir jernih agar tidak kelihatan memaksakan diri agar adiknya bisa menerima pendapatnya. "Apa kamu yakin dengan kecelakaan yang menimpa suamimu, kakinya bakalan sembuh total seperti semula?! Kalau iya, masih mending. Kalau tidak, mau makan apa kamu? Mana ada perusahaan yang mau menerima karyawannya yang cacat." Dia menghela napas lalu membuangnya dengan begitu saja. "Kamu harus berpikir dengan matang untuk masa depanmu!" rutuk Abizar seolah lelah menasihati adiknya agar melepas pria itu begitu saja.

"Apapun alasannya, apapun itu masalahnya. Bagaimana pun itu kondisinya, aku tetap bertahan. Walaupun Abang sangat enggan untuk menerimanya," jawab Nabila polos. Dia sudah mulai tegar dan air matanya yang sedari tadi sebak kini mulai kering.

"Ok ... kalau kamu ikhlas dan siap menerima kenyataan pahit itu." Abizar sudah habis kata-kata untuk melumpuhkan rasa kesetiannya kepada Habib. "Kamu tahu tidak?! Aku ini sebagai Abang kandunganmu tidak tega dan ridho melihat kamu menikah begitu tersiksa," imbubnya kembali. Apa kata tetangga kalau aku hidup mewah dan glamor, akan tetapi ada adik kandungku yang hidup tersiksa karena suaminya tidak bertanggungjawab," jelasnya mencoba membuka pikiran dan hati adiknya.

"Kalau Abang masih terus menerus meremehkan Bang Habib-suamiku, lebih baik keluar dari sini. Aku mau menjaga suamiku dengan tenang tanpa ada yang bising dan ngoceh yang tidak berfaedah," sindirku tajam sembari menunjuk pintu keluar memberi kode mengusirnya.

"Baik, tanpa kamu usir, aku segera angkat kaki dari sini,"jawabnya lalu beranjak dan langsung mengayunkan kakinya menuju pintu keluar.

Nabila menghela napas lalu membuangnya dengan sembarang. Dia bangkit dari tempat dusuknya lalu menatap wajah pria yang selama ini membersamainya. Air matanya lirih seketika mengingat kata-kata yang indah dilontarkan suaminya sebelum kecelakaan itu menimpa Habib.

"Mohon maaf sebelumnya," ucap salah satu perawat yang sedang piket malam ini. Nabila terkejut mendengar suara itu. "Ya. Ada yang bisa saya bantu, Sus," jawabnya datar lalu menjauh dari tubuh suaminya.

"Hasil lab memutuskan salah satu kaki pasien harus di operasi. Dan Sanata cukup lumayan banyak. Cuma tindakan ini yang dapat menolong pasien agar bisa pulih seperti biasanya," ujar Suster dengan nada lembut. Dia menyodorkan map batik berwarna coklat kepada Nabila. Silakan dipelajari terlebih dahulu!" imbuhnya lalu mencoba memeriksa kondisi denyut jantung dan lalu mencek keadaan mata pasien. "Jika sudah paham dan menyetujuinya. Maka silakan tanda tangan agar besok pagi dilakukan tindakan agar pasien bisa lebih cepat pulih," tambahnya lagi setelah selesai memeriksa keadaan pasien.

"Apakah harus sekarang ini juga aku menandatangani surat ini? Terus apakah uangnya harus malam ini juga harus ada?" tanya Nabila serak. Melihat angka yang berjejer di dalam kertas putih itu membuat dirinya sangat sulit bernapas dan salivanya terasa getir dan pahit.

"Itu saran dari kami tim medis. Jika tidak disetujui, kami hanya bisa berbuat sesuai standar yang ada. Akan tetapi, jangan pernah menuntut pihak rumah sakit kalau kami tim medis tidak memberikan pelayanan yang baik kepada pasien dan keluarga pasien. Masih ada waktu untuk berpikir. Saya tunggu kabar baiknya sebelum pukul nol-nol Waktu Indonesia Barat."

Perawat itu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Nabila. Dia terkulai layu bahkan tidak berdaya untuk memikirkan uang yang tertera. Tidak mungkin aku minta bantuan kepada Abang Abizar. Lantas ... ke mana kah aku harus menadahkan tangan disaat kondisi seperti ini?' ucapnya dalam hati. Otaknya mulai panas memikirkan jalan keluar dari masalah ini.

Tiba-tiba, ujung jari manis Habib bergerak. Retina Nabila sontak kaget melihat aksi yang dilakukan suaminya. Dia semakin terisak bahkan tergugu sangking nanarnya. Jiwanya nelangsa tidak karuan.

"Tidak ada gunanya kamu meratapi nasib yang tak kunjung reda. Aku tahu menangis karena ketertindasan dana untuk menolong suami benalu seperti Habib 'kan?!"

"Tutup mulutmu itu, Bang! Saat ini kamu ada di atas. Esok kelak kita tidak tahu siapa yang paling menderita antara aku dan kamu!"

"Tidak akan ada kesempatan emas bagi kamu dan Habib untuk mencicipi bahagia dan senang. Walaupun itu hanya sekejap mata. Kamu cam 'kan itu dengan baik-baik," bisiknya tepat di daun telinga Nabila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status