Selesainya masalah kalung, Javier jadi bisa kembali fokus pada pekerjaannya. Lima tumpukan kertas di mejanya, sudah menunggu untuk dibuka. Dengan kepalanya yang dingin, Javier menyidak semua satu persatu kertas itu dengan teliti.
Di posisinya, yang bersebelahan dengan meja Jordy. Ia merasa diperhatikan. Tapi ia memilih acuh, menenggelamkan seluruh fokusnya pada deretan kalimat di kertas yang ia pegang dengan kedua tangannya.
Hingga tiba waktu istirahat, Jordy menarik Javier secara paksa untuk mengisi perut di sebuah restoran depan kantor.
“Simpen dulu kali kertasnya, semangat ama lu,” ejek Jordy, karea Javier menyuap tanpa mengalihkan sorotnya dari kertas yang ia bawa.
Javier mengerjapkan matanya beberapa kali. Memastikan pemandangan yang indra penglihatannya tangkap, bukan sebuah halusinasi. Masih dengan baju tidur, wajah bantal, serta rambutnya yang acak-acakan. Javier mendekati meja makan. “Udah bangun?” Sapaan itu membuat Javier semakin merasa bahwa ia masih bermimpi. Alih-alih merespon, Javier justru mengangkat jari telunjuknya untuk menyentuh pipi Aletta yang memakai celemek di hadapannya. “Kak?” panggil Aletta, gadis itu terlihat kebingungan melihat tingkah Javier. Detik selanjutnya, Javier baru yakin kalau semua ini nyata. Aletta dan celemek di tubuhnya, harum sop ayam yang bisa Javier cium, pemandangan dapur yang berantakan, dan beberapa masaka
Javier memandang pintu di hadapannya dengan ragu. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tagan kirinya, jam sebilan malam. Satua hembusan berat terdengar dari sang empu. Tadi siang setelah Felly menyahut, Aletta berlalu pergi begitu saja. Javier hendak mengejar, tetapi Jody menahannya karena pekerjaan mereka yang menumpuk. Katanya, terlalu menumpuk untuk ditinggalkan hanya karena sifat kekanakak-kanakan Aletta. Tentu Felly tidak setuju. Gadis dewasa itu terus mendorong Javier untuk mengejar sang istri. Ia bahkan menawarkan diri, karena keterlibatannya yang spontan. Tapi terlambat, Aletta sudah lebih cepat masuk ke dalam Taxi. Javier mencoba menghubungi Aletta berkali-kali di sela kesibukannya. Nihil, tidak ada satupun dari panggilan Javier yang Aletta jawab.
“Mau gak mau, kita harus ke singapure lusa nanti.” Javier termenung mendengar penuturan Jordy, setelah membahas suatu masalah mengenai salah satu kerja sama perusahaan mereka dengan perusahaan besar di sana. Beberapa hari yang lalu, mereka melakukan persentasi secara online. Mereka bilang, meeting kemarin terasa kurang dan tak pantas untuk sebuah perusahaan kecil. Mereka menuntut Jordy dan Javier untuk melakukan persentasi secara layak secepatnya atau tidak ada kerja sama, sama sekali. Jordy tentu tidak masalah dengan permintaan tersebut. Ia bahkan sudah memesan tiketnya sendiri serta mempersiapkan beberapa hal yang harus ia bawa. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi pada Jav
Janu terhentak saat suara kereta menusuk indra pendengarannya. Lelaki itu melirik sekitar, ternyata ia tertidur di stasiun kareta yang ia tidak tahu namanya. Buru-buru Janu bangkit, membawa tas berisikan uang dan pakaiannya menuju papan petunjuk arah untuk mencari tahu. “Oh, shit! I miss the train,” umpat Janu begitu menyadari ia terlambat bangun. Lelaki berahang tegas itu memegangi kepalanya yang mendadak pening, merasa frustasi. Hingga akhirnya seorang gadis berdiri di sampingnya. “Don’t worry, you just need wait for the next train, 40 minute.” Janu memperhatikan penampilan gadis itu yang tampak sama menyedihkan dengan dirinya. “Gembel juga kali ya,” lirih Janu, memicu gadis di sampingnya menoleh dengan sorot terkejut.&nb
Sesuai apa yang Javier katakan, Abin menjemputnya untuk menggantikan lelaki itu mengantar Aletta kontrol. Dengan kacamata khas dan senyum tipis, Abin menyambut Aletta dengan membukakan pintu mobilnya. “Silahkan nyonya,” ledek Abin, memicu kekehan singkat dari Aletta. Mereka berdua kini sudah siap di kursi masing-masing, Abin mulai menjalankan mobil merah kesayangannya dengan kecepatan normal. Sembari itu, Aletta bisa merasakan sang pemudi mencuri-curi pandang ke arahnya. “Abis nangis?” tebak Abin, yang langsung diberikan anggukan oleh Aletta. “Janu bakal baik-baik aja, Ta. Percaya deh, Ayahnya juga ngawasin dia ketat banget, kok.”&nb
Jordy menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa, dengan senyuman lebar di wajah. Meeting nya barusan berjalan lancar, perusahaannya akan segera mendapat investasi besar-besaran yang akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan perusahaannya dengan Javier. Namun anehnya, sang patner justru tampak murung. Mimik wajah itu muncul tepat saat mereka keluar dari ruangan, ketika Javier menyalakan ponselnya yang ia matikan sejak keberangkatan mereka tadi pagi. Kini, mereka berada di hotel dan jam masih menujukan pukul delapan. Artinya, mereka masih punya waktu untuk jalan-jalan karena penerbangan mereka masih besok sore. “Jav, mau jalan-jalan, gak? Udah lama nih gua sama lu kagak drink the pain away barengan,” goda Jordy penuh semangat. Namun, harapan Jordy untuk memanfaatkan
Javier terbangun dengan tidak ada Aletta di sampingnya. Sontak ia terbangun dengan buru-buru, mencari keberadaan istrinya yang ternyata tengah sibuk dengan beberapa kegiatan di dapur. Dengan hembusan nafas lega, Javier melepas dasi yang masih terpasang di lehernya sembari mendekat kea rah Aletta. Javier duduk di meja makan, matanya memperhatikan gerak-gerik Aletta yang tampak begitu handal disana. Terlintas ingatan tentang bagaimana Aletta yang membiarkan Javier tetap memeluknya tepat sebelum lelaki itu kehilangan kesadaran. Entah apa artinya, antara Aletta sudah memaafkannya atau justru sebaliknya. Yang jelas, Javier akan memaklumi itu. Ketika berbalik, Aletta tampak terkejut menemukan Javier tengah menopang dagu dengan manik terkunci padanya. Aletta berdeham, sebisa mungkin untuk terlihat tak gugup. “Mandi dulu,” kata Aletta, mendekat ke meja makan dengan sepiring nasi gor
“That was rude.” Jordy melirik Javier yang menjemputnya sore ini. Dengan wajah lelahnya serta pengaruh alcohol yang masih sedikit menguasainya, Jordy dibuat geleng-geleng karena cerita pagi Javier hari ini. Javier, memang lelaki yang tergolong jarang marah. Emosinya selalu berhasil ia olah dengan baik. Namun ketika sekali saja dibuat marah hingga melewati bata, Javier akan menjadi lelaki menyeramkan yang mencerminkan jelas darah Jossepha di tubuhnya. Sore ini, jalanan ibu kota macet seperti biasanya. Memberikan waktu untuk Jordy dan Javier berbincang. Seperti kata Jordy barusan, kelakuan Javier yang sengaja menggunakan Felly padahal Jordylah yang men