Janu terhentak saat suara kereta menusuk indra pendengarannya. Lelaki itu melirik sekitar, ternyata ia tertidur di stasiun kareta yang ia tidak tahu namanya. Buru-buru Janu bangkit, membawa tas berisikan uang dan pakaiannya menuju papan petunjuk arah untuk mencari tahu. “Oh, shit! I miss the train,” umpat Janu begitu menyadari ia terlambat bangun. Lelaki berahang tegas itu memegangi kepalanya yang mendadak pening, merasa frustasi.
Hingga akhirnya seorang gadis berdiri di sampingnya. “Don’t worry, you just need wait for the next train, 40 minute.” Janu memperhatikan penampilan gadis itu yang tampak sama menyedihkan dengan dirinya.
“Gembel juga kali ya,” lirih Janu, memicu gadis di sampingnya menoleh dengan sorot terkejut.
&nb
Sesuai apa yang Javier katakan, Abin menjemputnya untuk menggantikan lelaki itu mengantar Aletta kontrol. Dengan kacamata khas dan senyum tipis, Abin menyambut Aletta dengan membukakan pintu mobilnya. “Silahkan nyonya,” ledek Abin, memicu kekehan singkat dari Aletta. Mereka berdua kini sudah siap di kursi masing-masing, Abin mulai menjalankan mobil merah kesayangannya dengan kecepatan normal. Sembari itu, Aletta bisa merasakan sang pemudi mencuri-curi pandang ke arahnya. “Abis nangis?” tebak Abin, yang langsung diberikan anggukan oleh Aletta. “Janu bakal baik-baik aja, Ta. Percaya deh, Ayahnya juga ngawasin dia ketat banget, kok.”&nb
Jordy menghempaskan tubuhnya ke sandaran sofa, dengan senyuman lebar di wajah. Meeting nya barusan berjalan lancar, perusahaannya akan segera mendapat investasi besar-besaran yang akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan perusahaannya dengan Javier. Namun anehnya, sang patner justru tampak murung. Mimik wajah itu muncul tepat saat mereka keluar dari ruangan, ketika Javier menyalakan ponselnya yang ia matikan sejak keberangkatan mereka tadi pagi. Kini, mereka berada di hotel dan jam masih menujukan pukul delapan. Artinya, mereka masih punya waktu untuk jalan-jalan karena penerbangan mereka masih besok sore. “Jav, mau jalan-jalan, gak? Udah lama nih gua sama lu kagak drink the pain away barengan,” goda Jordy penuh semangat. Namun, harapan Jordy untuk memanfaatkan
Javier terbangun dengan tidak ada Aletta di sampingnya. Sontak ia terbangun dengan buru-buru, mencari keberadaan istrinya yang ternyata tengah sibuk dengan beberapa kegiatan di dapur. Dengan hembusan nafas lega, Javier melepas dasi yang masih terpasang di lehernya sembari mendekat kea rah Aletta. Javier duduk di meja makan, matanya memperhatikan gerak-gerik Aletta yang tampak begitu handal disana. Terlintas ingatan tentang bagaimana Aletta yang membiarkan Javier tetap memeluknya tepat sebelum lelaki itu kehilangan kesadaran. Entah apa artinya, antara Aletta sudah memaafkannya atau justru sebaliknya. Yang jelas, Javier akan memaklumi itu. Ketika berbalik, Aletta tampak terkejut menemukan Javier tengah menopang dagu dengan manik terkunci padanya. Aletta berdeham, sebisa mungkin untuk terlihat tak gugup. “Mandi dulu,” kata Aletta, mendekat ke meja makan dengan sepiring nasi gor
“That was rude.” Jordy melirik Javier yang menjemputnya sore ini. Dengan wajah lelahnya serta pengaruh alcohol yang masih sedikit menguasainya, Jordy dibuat geleng-geleng karena cerita pagi Javier hari ini. Javier, memang lelaki yang tergolong jarang marah. Emosinya selalu berhasil ia olah dengan baik. Namun ketika sekali saja dibuat marah hingga melewati bata, Javier akan menjadi lelaki menyeramkan yang mencerminkan jelas darah Jossepha di tubuhnya. Sore ini, jalanan ibu kota macet seperti biasanya. Memberikan waktu untuk Jordy dan Javier berbincang. Seperti kata Jordy barusan, kelakuan Javier yang sengaja menggunakan Felly padahal Jordylah yang men
Terhitung, sudah tiga hari sejak kejadian itu Aletta tidak kembali ke apartemennya dengan Javier. Aletta pulang ke rumahnya yang dulu, tentu tanpa mengabari siapapun termasuk Abin dan keluarganya. Hatinya sakit. Sangat sakit. Aletta memang berbohong masalah pertikaian Abin karena ia tidak ingin Javier khawatir. Atau, bahkan memaksakan diri untuk mengantarnya hanya karena hinaan yang Aletta dapat. Selama ini, bahkan Aletta berhasil menahannya sendirian. Toh Javier benar, lelaki itu harus fokus pada perusahaan agar mereka bertiga bisa bertahan hidup. Akan tetapi, Javier? Untuk apa kebohongan itu? Kenapa juga Jordy harus membantu kebohongan Javier? Mungkin, ini salah Aletta. Ini salahnya karena te
Javier tau, meminta bantuan Felly itu memiki resiko yang tinggi. Namun, beberapa hari lagi ia akan dihadapkan dengan jadwal yang padat. Masalahnya dengan Aletta harus diselesaikan secepat mungkin agar ia bisa fokus dengan permasalahan perusahaan. Sesuai dugaannya, menjebak Aletta menggunakan Felly akan membuat gadis berperut besar itu marah besar. Sepanjang jalan, Aletta diam. Tidak berbicara maupun sekedar menoleh pada Javier. Gadis itu bahkan dengan terang-terangan membanting pintu mobil dengan keras sebagai pelampiasan rasa kesalnya. “Apa?!” bentak Aletta saat Javier menahan tangannya, ketika ia hendak masuk ke kamar. Javier sempat terkejut mendapati mata Aletta yang basah. Gadis itu mulai terisak, sedangkan Javier masih diam. “Puas mainin aku? Lucu kali ya menurut kaka
Dejavu. Aletta terbangun di samping Javier, dengan tangan lelaki itu melingkar di pinggagnya. Mereka berhadapan, namun kali ini Aletta tidak berniat bangun lebih dulu. Aletta ingin menikmatinya, rasa dilindungi, hangat, serta nyaman karena seseorang berada di jarak sedekat ini. Di perhatikannya dari inci ke inci wajah Javier. Halisnya yang tebal, mata yang indah, bulu mata lentik, dan rahang tegas. Dalam posisi ini, Aletta bisa melihat dengan jelas bahwa Javier memang kakak dari Janu. Mereka sangat mirip, hanya saja Janu tampak lebih garang karena jembatan hidungnya yang tinggi. Javier terkesan lebih manis, cocok dengan pembawaannya yang selalu tenang. Mengingat Janu, perasaan haru langsung menghampiri Aletta. Selama ini Aletta sebisa mungkin mengusir jauh-jauh rasa khawatir dan rasa keponya terhadap keada
“Aga silau ya pagi ini,” ledek Jordy, melihat Javier datang dengan cengiran lebar. Tak seperti dugaannya, setelah pertengkaran kemarin Javier terlihat begitu bahagia pagi ini. Kotak makan yang lelaki itu jinjing juga, menarik perhatian Jordy. Dapat disimpulkan, Javier telah berhasil menenangkan Aletta dan mendapat pengampunan. Jordy ikut bersyukur. Walaupun tidak dapat dipungkiri ada rasa kesal yang ikut menyelimuti, mengingat keadaan Felly jauh berbalik daripada keadaan Javier. Gadis itu bahkan bolos kerja, memilih untuk menyendiri di kamarnya entah melakukan apa. Dengan dalih ingin beristirahat, Jordy yakin Felly akan menangis seharian. Walaupun begitu, situasi ini memang tidak seharusnya juga untuk dihindari.