05.11
Fokus Aletta tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Bahkan ketika cahaya mulai menyelinap masuk melalui sela sela gorden di kamarnya. Gadis itu masih setia menunggu Janu untuk melakukan usaha, sekecil apapun bentuknya.
Sepeninggalnya Janu tadi malam, Aletta sedikit melunak. Ia ingin menghubungi Janu namun rasanya enggan. Entah atas dasar apa hingga ia sengaja menjadi bodoh, untuk terus berharap pada lelaki seperti Janu. Setelah dua kali lelaki itu mengecewakannya. Setelah dua kali lelaki itu berkata bahwa ia tidak bisa menjanjikan apapun pada Aletta.
Iya, bodoh dan juga naif. Hal ini juga bisa saja menjadi alasan mengapa Janu tidak berbuat banyak. Karena lelaki itu tau, Aletta akan selalu menerimanya. Aletta akan rela mempertaruhkan kewarasannya demi Janu walau lelaki itu bertingkah seenaknya. Walau lelaki itu tidak menjanjikan apapun atau bahkan jika lelaki itu lari dari jangkauan Aletta.
Pada akhirnya, Aletta akan tetap kekeuh akan perannya sebagai rumah. Walau dirinya sendiri hampir ambruk di makan rasa sakit. Ia akan tetap berdiri, untuk menjadi tempat Janu kembali.
“Dasar bego,” maki Aletta, pada bayangannya sendiri depan cermin.
Terlalu banyak yang berubah dalam kurun waktu sebulan. Tidak ada lagi Aletta si primadona sekolah yang selalu di puji oleh semua orang. Tidak ada lagi rona di pipinya, dan aura menyenangkan yang selama ini menjadi suatu daya tarik. Tidak ada lagi rambut indah yang selalu di buat bergelombang. Tidak ada lagi tatapan penuh kesenangan, tidak ada lagi Aletta yang seperti itu.
Rasanya, Aletta yang lama itu seperti mati. Terkubur tepat di dalam diri Aletta yang bahkan lubangnya tidak bisa ia tutup. Dan Aletta, tidak bisa melarikan diri. Kini ia hanya bisa berangan angan, merindukan dirinya yang lama. Membuatnya enggan menerima masa kini, yang dari hari keharinya memakan kewarasan Aletta yang tersisa.
Aletta berada di ambang menuju gila. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah dukungan dari orang orang yang ia sayang, terutama Janu. Hidup sendiri selama bertahun tahun tidak membuatnya terbiasa dalam kesendirian yang menyesakan. Justru, karena terlalu lama bersandar pada diri sendiri. Aletta benar benar haus akan afeksi. Ia haus akan pelukan yang seharusnya ia terima, selayaknya remaja pada umumnya. Ia juga haus akan pujian, ia juga ingin di marahi, di tuntun karena di usianya. Membuat pilihan adalah hal yang tersulit.
Kadang, menilai seseorang itu lebih mudah daripada menilai diri sendiri. Seperti Aletta menilai kelabilan Janu. Ia lupa akan fakta, bahwa ia dan Janu sama sama remaja. Aletta juga labil. Aletta juga masih sulit menentukan mana hal yang tepat untuk ia pilih sebagai keputusan terbaik.
Kemarin, ia berfikir untuk tidak bergantung pada Janu. Ia berfikir untuk mendesak lelaki itu dengan banyak bukti yang akan ia buat. Namun, malam harinya hingga pagi datang. Pikirannya berubah. Persetan akan pengakuan, persetan akan bayi di perutnya. Ia hanya ingin Janu berada di sisinya. Menemani Aletta, menjalani hari hari penuh tawa seperti sebelumnya.
Menyesal, bukan perasaan yang seharusnya Aletta besar besarkan saat ini. Ia tidak punya cukup waktu untuk terus menangis di kamar dan menunggu Janu datang dengan sendirinya. Perut Aletta akan semakin membesar setiap harinya. Pusing, sering munta, bahkan ngidam, perlahan mulai bermunculan.
Dan Aletta tidak bisa mengatasi itu semua sendiri. Ayahnya juga pasti enggan membantu. Abin mungkin sahabatnya, namun gadis itu harus sekolah. Satu satunya harapan Aletta adalah Janu.
Atau mungkin, Kakak Janu yang selama ini terkadang bertukar pesan dengan Aletta. Javier Yodea Jossepha. Lelaki berbadan tegap, kulit putih susu, juga dua lesung pipi yang menjadi ciri khas. Lelaki yang notabenya adalah kakak semata wayang Janu itu juga, pintar dan mapan. Janu pernah bercerita bahwa Javier tengah sekolah di luar negri dan merintis sebuah perusahaan kecil secara bersamaan.
Kira kira, apa reaksi lelaki itu jika mengetahui kehamilannya?
*****
Janu hampir saja kehilangan detak jantungnya, saat melihat keberadaan seorang lelaki di ruang tamu. Berbeda dengan Janu yang mematung dengan seragam lengkap di tubuhnya, lelaki itu justru merentangkan kedua tangannya lebar lebar. Tak lupa juga senyuman lebar yang menjadi penyebab munculnya dua lesung di kedua pipi lelaki tersebut.
“Hey? lo gak seneng Abang pulang?” tanya lelaki itu, sekali lagi menepuk dadanya. Sebagai isyarat bahwa ia ingin di peluk oleh Janu. Walau dengan gerakan kaku, Janu mengikuti mau lelaki yang tidak lain adalah Javier itu. “Yaampun adik Abang makin berotot aja, rajin nge gym nih?” sindir Javier, diiringi kekehan.
“Abang bukannya pulang tiga hari lagi?” tanya Janu, pelukan keduanya refleks Javier akhiri.
“Kenapa emang? Bukannya lo harusnya seneng Abang pulang lebih cepet?” ulang Javier, menatap Janu curiga.
Mereka berdua itu, bagaikan sesuatu yang orang orang biasa sebut dengan ‘sibling goals’. Mereka jarang bertengkar. Kasih sayang Javier pada Janu begitu besar, sehingga sejak kecil ia selalu mengalah pada adik lelakinya. Kedekatan mereka membuat Javier maupun Janu sangat memahi satu sama lain. Sekecil apapun itu, mereka bisa merasakan ke anehan atau bahkan kebohongan salah satu dari mereka.
Karena itulah, wajah Janu mendadak pucat pasi. Berbohong pada Javier adalah hal yang paling Janu hindari karena sekeras apapun ia berusaha, ia tidak akan pernah berhasil. Buru buru ia mengatur wajahnya untuk terlihat biasa saja, walau tentu saja itu sia sia.
“Welcome back, big brother!” kata Janu, dengan senyuman lebar yang di paksakan. “Kita ngobrol nanti aja ya, bang? Janu udah telat.” lanjut Janu, menepuk bahu Javier lalu hendak berlalu berlalu pergi.
Namun belum sempat Janu melangkah, Javier menarik tangan lelaki itu. “Sebentar,” sela Javier, terdengar curiga.
Janu menelan salivanya susah payah. Baru setelahnya ia berbalik. “Kenapa, bang?” balas Janu.
“Lo lagi ada masalah?” tanya Javier, tepat sasaran. Lelaki itu menangkap jelas perubahaan Janu yang mendatar walau hanya seperkian detik.
“Bang, Janu udah telat,” dalih Janu, yang justru membuat rasa curiga Javier semakin besar.
“Lo tau bohong ke gue itu suatu hal yang sia sia?” peringat Javier. Kali ini, senyum terpaksa Janu sukses di buat luntur. Lelaki dengan rahang tegas itu, berubah sendu. “Berat?” tanya Javier, karena Janu tak kunjung membuka suara.
Namun tanpa di duga, Janu justru menghentakan tangan Javier yang berada di bahunya. Lelaki itu lalu berlari ke keluar secepat mungkin. Meninggalkan Javier yang berusaha berfikir masalah masalah yang besar kemungkinannya sedang Janu hadapi. Walaupun pertanyaanya tidak Janu jawab, Javier yakin kalau masalahnya sangat berat.
Tak lama dari itu, lamunan Javier di buyarkan oleh getaran dari ponsel di saku celananya. Yang lalu ia ambil, menampilkan pesan dari seseorang yang sukses membuat dahinya menyerit.
Aletta Janu gf : Hi, Kak sorry ganggu. Kata Janu, Kak Javier pulang ke indo ya? Kalau aku minta ketemu, Kakak berserdia?
Tanpa menunggu lagi, Javier langsung mengiyakan ajakan Aletta detik itu juga. Sepanjang perjalanan menuju sebuah kafe yang Aletta usulkan. Isi kepala Javier tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan Aletta bersangkut pautan dengan masalah yang sedang Janu hadapi. Terlebih fakta bahwa Aletta kini mengajaknya bertemu di hari sekolah. Hanya butuh tujuh menit dari sepuluh menit yang seharusnya Javier tempuh untuk sampai ke tempat tersebut. Dengan buru buru, Javier turun dari mobilnya. Matanya celingkungan menatap beberapa meja yang ada di ruangan bernuansa kayu tersebut. “Kak!” sapa seorang gadis dengan seragam sekolah yang ia tutupi dengan sebuah jaket hitam yang tanpa gadis itu ketahui, bahwa itu jaket itu milik Javier yang tertinggal. Bahkan saat baru sampai di rumah, Javier sempat mencari keberadaannya.
“Jav, lo denger gua gak, sih?”Javier terhentak saat suara Jordy meninggi. Ia buru-buru menggeleng, mengeluarkan fokusnya dari lamunan.Di hadapannya, Jodry menyerit curiga. Tak biasanya manusia yang selalu perfectionist seperti Javier melamun di saat seperti ini. Pasalnya, mereka tengah membahas perencanaan yang cukup penting untuk pembukaan perusahaan rintisan mereka yang akan di berlangsungkan dalam kurun waktu kurang dari seminggu lagi. Perasaan Jordy begitu menggebu-gebu, dan Javierpun harusnya seperti itu.Perusahaan yang akan Jordy dan Javier dirikan ini, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, saat mereka menyandang status sarjana. Namun karena tidak mendapat izin dari Kala –Ayah Javier- mereka memutuskan melanjutkan pendidikan alih-alih memulai. Walaupun begitu, mereka menyicil beberapa aspek yang bisa mereka lakukan selagi berkuliah. Tak jarang mereka kewalahan, tidak tidur, juga merugi karena mencoba-coba b
Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Aletta akan menjadi Istri Javier. Tubuhnya sudah terbalut gaun putih dengan potongan simple, namun elegant. Di percantik dengan riasan tipis, Aletta tampak jauh lebih dewasa dari umurnya. Acara pernikahan keduanya diadakan secara sederhana dan tertutup di sebuah hotel ternama. Aletta kini sedang menunggu gilirannya untuk keluar. Selama bersiap, para perias juga beberapa keluarga terdekat Javier banyak mengatakan bahwa Aletta beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Javier. Mereka juga berkata, Aletta pasti sangat gugup. Padahal hanya dari mimik datarnya saja, mereka seharusnya bisa menebak kalau Aletta tidak menginginkan pernikahan ini. Ia terpaksa, marah, juga malas harus mengikuti rentetan acara yang telah di susun.  
Kedua kelopak mata Javier terbuka secara perlahan. Ia berbalik, alisnya terangkat menyadari Aletta sudah tidak ada disana. Mereka memang tidur di ranjang yang sama tadi malam. Javier maupun Aletta sama-sama lelah, karena itu mereka yakin tidak akan ada yang terjadi. Javier baru sadar, tubuhnya masih terbalut tuxedo hitam yang sama seperti kemarin. Buru-buru ia bangkit, bergerak ke arah kamar mandi dengan handuk putih yang ia ambil dari koper. Setelah selesai, pemandangan Aletta yang sedang memakan roti di sofa menyambut kedatangannya. Lelaki itu memasang senyun, mencoba menyapa gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dengan ramah. Namun Aletta hanya melirik Javier sekilas tanpa minat, kemudia b