Share

BAB 4

05.11

Fokus Aletta tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Bahkan ketika cahaya mulai menyelinap masuk melalui sela sela gorden di kamarnya. Gadis itu masih setia menunggu Janu untuk melakukan usaha, sekecil apapun bentuknya.

Sepeninggalnya Janu tadi malam, Aletta sedikit melunak. Ia ingin menghubungi Janu namun rasanya enggan. Entah atas dasar apa hingga ia sengaja menjadi bodoh, untuk terus berharap pada lelaki seperti Janu. Setelah dua kali lelaki itu mengecewakannya. Setelah dua kali lelaki itu berkata bahwa ia tidak bisa menjanjikan apapun pada Aletta.

Iya, bodoh dan juga naif. Hal ini juga bisa saja menjadi alasan mengapa Janu tidak berbuat banyak. Karena lelaki itu tau, Aletta akan selalu menerimanya. Aletta akan rela mempertaruhkan kewarasannya demi Janu walau lelaki itu bertingkah seenaknya. Walau lelaki itu tidak menjanjikan apapun atau bahkan jika lelaki itu lari dari jangkauan Aletta.

Pada akhirnya, Aletta akan tetap kekeuh akan perannya sebagai rumah. Walau dirinya sendiri hampir ambruk di makan rasa sakit. Ia akan tetap berdiri, untuk menjadi tempat Janu kembali.

“Dasar bego,” maki Aletta, pada bayangannya sendiri depan cermin.

Terlalu banyak yang berubah dalam kurun waktu sebulan. Tidak ada lagi Aletta si primadona sekolah yang selalu di puji oleh semua orang. Tidak ada lagi rona di pipinya, dan aura menyenangkan yang selama ini menjadi suatu daya tarik. Tidak ada lagi rambut indah yang selalu di buat bergelombang. Tidak ada lagi tatapan penuh kesenangan, tidak ada lagi Aletta yang seperti itu.

Rasanya, Aletta yang lama itu seperti mati. Terkubur tepat di dalam diri Aletta yang bahkan lubangnya tidak bisa ia tutup. Dan Aletta, tidak bisa melarikan diri. Kini ia hanya bisa berangan angan, merindukan dirinya yang lama. Membuatnya enggan menerima masa kini, yang dari hari keharinya memakan kewarasan Aletta yang tersisa.

Aletta berada di ambang menuju gila. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah dukungan dari orang orang yang ia sayang, terutama Janu. Hidup sendiri selama bertahun tahun tidak membuatnya terbiasa dalam kesendirian yang menyesakan. Justru, karena terlalu lama bersandar pada diri sendiri. Aletta benar benar haus akan afeksi. Ia haus akan pelukan yang seharusnya ia terima, selayaknya remaja pada umumnya. Ia juga haus akan pujian, ia juga ingin di marahi, di tuntun karena di usianya. Membuat pilihan adalah hal yang tersulit.

Kadang, menilai seseorang itu lebih mudah daripada menilai diri sendiri. Seperti Aletta menilai kelabilan Janu. Ia lupa akan fakta, bahwa ia dan Janu sama sama remaja. Aletta juga labil. Aletta juga masih sulit menentukan mana hal yang tepat untuk ia pilih sebagai keputusan terbaik.

Kemarin, ia berfikir untuk tidak bergantung pada Janu. Ia berfikir untuk mendesak lelaki itu dengan banyak bukti yang akan ia buat. Namun, malam harinya hingga pagi datang. Pikirannya berubah. Persetan akan pengakuan, persetan akan bayi di perutnya. Ia hanya ingin Janu berada di sisinya. Menemani Aletta, menjalani hari hari penuh tawa seperti sebelumnya.

Menyesal, bukan perasaan yang seharusnya Aletta besar besarkan saat ini. Ia tidak punya cukup waktu untuk terus menangis di kamar dan menunggu Janu datang dengan sendirinya. Perut Aletta akan semakin membesar setiap harinya. Pusing, sering munta, bahkan ngidam, perlahan mulai bermunculan.

Dan Aletta tidak bisa mengatasi itu semua sendiri. Ayahnya juga pasti enggan membantu. Abin mungkin sahabatnya, namun gadis itu harus sekolah. Satu satunya harapan Aletta adalah Janu.

Atau mungkin, Kakak Janu yang selama ini terkadang bertukar pesan dengan Aletta. Javier Yodea Jossepha. Lelaki berbadan tegap, kulit putih susu, juga dua lesung pipi yang menjadi ciri khas. Lelaki yang notabenya adalah kakak semata wayang Janu itu juga, pintar dan mapan. Janu pernah bercerita bahwa Javier tengah sekolah di luar negri dan merintis sebuah perusahaan kecil secara bersamaan.

Kira kira, apa reaksi lelaki itu jika mengetahui kehamilannya?

*****

Janu hampir saja kehilangan detak jantungnya, saat melihat keberadaan seorang lelaki di ruang tamu. Berbeda dengan Janu yang mematung dengan seragam lengkap di tubuhnya, lelaki itu justru merentangkan kedua tangannya lebar lebar. Tak lupa juga senyuman lebar yang menjadi penyebab munculnya dua lesung di kedua pipi lelaki tersebut.

“Hey? lo gak seneng Abang pulang?” tanya lelaki itu, sekali lagi menepuk dadanya. Sebagai isyarat bahwa ia ingin di peluk oleh Janu. Walau dengan gerakan kaku, Janu mengikuti mau lelaki yang tidak lain adalah Javier itu. “Yaampun adik Abang makin berotot aja, rajin nge gym nih?” sindir Javier, diiringi kekehan.

“Abang bukannya pulang tiga hari lagi?” tanya Janu, pelukan keduanya refleks Javier akhiri.

“Kenapa emang? Bukannya lo harusnya seneng Abang pulang lebih cepet?” ulang Javier, menatap Janu curiga.

Mereka berdua itu, bagaikan sesuatu yang orang orang biasa sebut dengan ‘sibling goals’. Mereka jarang bertengkar. Kasih sayang Javier pada Janu begitu besar, sehingga sejak kecil ia selalu mengalah pada adik lelakinya. Kedekatan mereka membuat Javier maupun Janu sangat memahi satu sama lain. Sekecil apapun itu, mereka bisa merasakan ke anehan atau bahkan kebohongan salah satu dari mereka.

Karena itulah, wajah Janu mendadak pucat pasi. Berbohong pada Javier adalah hal yang paling Janu hindari karena sekeras apapun ia berusaha, ia tidak akan pernah berhasil. Buru buru ia mengatur wajahnya untuk terlihat biasa saja, walau tentu saja itu sia sia.

Welcome back, big brother!” kata Janu, dengan senyuman lebar yang di paksakan. “Kita ngobrol nanti aja ya, bang? Janu udah telat.” lanjut Janu, menepuk bahu Javier lalu hendak berlalu berlalu pergi.

Namun belum sempat Janu melangkah, Javier menarik tangan lelaki itu. “Sebentar,” sela Javier, terdengar curiga.

Janu menelan salivanya susah payah. Baru setelahnya ia berbalik. “Kenapa, bang?” balas Janu.

“Lo lagi ada masalah?” tanya Javier, tepat sasaran. Lelaki itu menangkap jelas perubahaan Janu yang mendatar walau hanya seperkian detik.

“Bang, Janu udah telat,” dalih Janu, yang justru membuat rasa curiga Javier semakin besar.

“Lo tau bohong ke gue itu suatu hal yang sia sia?” peringat Javier. Kali ini, senyum terpaksa Janu sukses di buat luntur. Lelaki dengan rahang tegas itu, berubah sendu. “Berat?” tanya Javier, karena Janu tak kunjung membuka suara.

Namun tanpa di duga, Janu justru menghentakan tangan Javier yang berada di bahunya. Lelaki itu lalu berlari ke keluar secepat mungkin. Meninggalkan Javier yang berusaha berfikir masalah masalah yang besar kemungkinannya sedang Janu hadapi. Walaupun pertanyaanya tidak Janu jawab, Javier yakin kalau masalahnya sangat berat.

Tak lama dari itu, lamunan Javier di buyarkan oleh getaran dari ponsel di saku celananya. Yang lalu ia ambil, menampilkan pesan dari seseorang yang sukses membuat dahinya menyerit.

Aletta Janu gf : Hi, Kak sorry ganggu. Kata Janu, Kak Javier pulang ke indo ya? Kalau aku minta ketemu, Kakak berserdia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status