Share

BAB 5

Tanpa menunggu lagi, Javier langsung mengiyakan ajakan Aletta detik itu juga. Sepanjang perjalanan menuju sebuah kafe yang Aletta usulkan. Isi kepala Javier tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan Aletta bersangkut pautan dengan masalah yang sedang Janu hadapi. Terlebih fakta bahwa Aletta kini mengajaknya bertemu di hari sekolah.

              Hanya butuh tujuh menit dari sepuluh menit yang seharusnya Javier tempuh untuk sampai ke tempat tersebut. Dengan buru buru, Javier turun dari mobilnya. Matanya celingkungan menatap beberapa meja yang ada di ruangan bernuansa kayu tersebut.

              “Kak!” sapa seorang gadis dengan seragam sekolah yang ia tutupi dengan sebuah jaket hitam yang tanpa gadis itu ketahui, bahwa itu jaket itu milik Javier yang tertinggal. Bahkan saat baru sampai di rumah, Javier sempat mencari keberadaannya.

              Javier langsung mengambil tempat di hadapan Aletta. Gadis yang pertama kali ia temui itu, terlihat sangat berbeda dari beberapa foto yang Janu pernah kirimkan. Aletta di hadapannya, lebih pucat. Matanya hitam, dan rambut gadis itu di cepol asal asalan. Berbeda dengan Aletta di foto, yang terlihat begitu cantik dengan make up tipis serta rambut panjang yang berkilau. Walaupun mereka sering berbincang di whatsup, pertemuan ini tetap terasa canggung.

              “Em… Sebelumnya kenalin Kak, aku Aletta. Kita baru pertama kali ketemu, kan?” kata Aletta, mengulurkan tangannya ke arah Javier. Gadis itu tampak gugup.

              “Javier,” sahut Javier, menyambut uluran tangan Aletta. Ia sempat terkejut merasakan dinginnya tangan gadis tersebut.

              “Kakak, mau pesen dulu-“

              “Saya orang sibuk,” sergah Javier memotong ucapan Aletta, enggan berbasa basi. “Bisa langsung ke intinya?” pinta Javier, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Selain karena Javier memang memiliki janji temu lain,  ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.

              Alih alih menjawab, Aletta justru melirik ponselnya dengan cemas. Seakan gadis itu tidak yakin untuk menyampaikannya kepada Javier. Aletta bahkan menghindari tatapan Javier secara terang-terangan. Tidak berhenti di situ, gadis itu bahkan izin untuk ke toilet seraya memanggil seseorang di ponselnya.

              Javier yakin, Aletta menelfon adiknya, Janu. Hal itu membuat rasanya penasaran Javier semakin besar. Seberapa besar masalah mereka, hingga Aletta memanggilnya tanpa izin Janu? Apa mereka bertengkar? Atau justru, masalah yang sebenarnya hanyalah sebatas mereka putus? Mungkin Janu selingkuh, hingga Aletta menghubungi Javier untuk mengadu? Iya, Javier harap masalahnya hanya sebatas itu.  

              Namun, semakin besar keinginan Javier percaya bahwa ini hanya masalah kecil. Fakta Janu yang tiba tiba muncul dari arah pintu, membuat harapan Javier itu musnah. Lelaki itu sontak bangkit, menarik perhatian Janu yang sedari tadi celingukan. Lelaki dengan seragam lengkap itu sontak mendekat.

Detik kemudian, sesuatu yang aneh dan sulit di percaya terjadi. Dunia Javier seakan melambat. Langkah demi langkah, semakin dekat Janu, semakin Javier bisa melihat keresahan di sorot matanya. Javier bahkan dapat melihat secara jelas, keringat di pelipis Janu menetes hingga ke leher.

              “Abang, ngapain disini?” tanya Janu, mengembalikan dunia Javier seperti semula.

              Alisnya terangkat, begitu menyadari mata lawan bicaranya tampak panik seraya mengedar ke sekitar. “Aletta nyuruh Abang kesini,” jawab Javier, jujur.     

              Mata Janu seketika membulat. “Bang, Abang gak percaya kan sama omongan Aletta? Abang tau kan Janu kayak gimana? Janu gamungkin kayak gitu, bang.” erang Janu, terdengar begitu frustasi. Javier semakin di buat bingung mendengar perkataan Janu. Adiknya itu tampak begitu gusar, “Bang, Janu jelasin di rumah. Kita pulang aja, Aletta biar naik taxi.” tambah Janu, mencoba menarik Javier keluar yang langsung Javier tangkis.

              “Lo kenapa, sih?” tanya Javier, karena Janu kini berkeringat hebat, “Aletta lagi ke WC, dia bahkan belum ngomong apapun ke gue!” sambungnya.

              Janu mematung di tempat. Seakan mengisyaratkan, bahwa ia telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak Javier dengar.

              “Kayak gitu yang lo maksud itu apa?”  ujar Javier. Namun Janu masih tidak berkutik. Hingga akhirnya Aletta datang, berdiri tepat di hadapan Janu.

              Untuk beberapa saat, Aletta hanya diam seraya menatap Janu tepat di maniknya. Memberikan sorot frustasi, yang menggambarkan perasaannya saat ini. Jika saja lelaki itu mengirim pesan atau menelfon Aletta. Walaupun hanya sekali, walaupun hanya semenit. Janu tiba tiba menggeleng lemah, ikut memohon pada Aletta lewat matanya yang mulai berkaca kaca.

              “Kalian kenapa?” intrupsi Javier, semakin kebingungan. Dengan sigap, Janu meraih tangan Aletta yang hendak membuka suara. Genggaman itu terlihat begitu kuat, “Janu?!” tegur Javier, sekaligus memperingati adiknya untuk tidak mengintimidasi Aletta.

              Janu menjambak rambut bagian belakangnya. Lelaki itu mengambil nafas dalam dalam, meredam gejolak emosinya yang hampir meledak. “Bang, Janu harus sama Aletta harus sekolah. Kita ngobrol lain kali aja-“

              “Engga,” sergah Javir, dengan tegas. Lelaki itu kini mulai menyimpulkan satu kemungkinan yang besar benar terjadinya di antara Janu dan Aletta. “Abang, mau kita ngobrol sekarang,” tandas Javier.

              Janu menggeleng cepat, “Gabisa, bang. Kita ada ujian,” decak Janu, “Abang mau Janu nilanya jelek? atau Janu ketinggalan pelajaran? Ayah bisa ngamuk, bang, kalau sampe dia denger Janu bolos,” papar Janu. Di sampingnya, Aletta menunduk. Menggigit bibir bawahnya, menahan sakit karena genggaman Janu yang terlalu erat.

              “Lo bisa bohongin semua orang, tapi gue engga, Januar,” timpal Javier, menekan nama adiknya di akhir kalimat. Janu hendak bersuara, namun Javier lebih cepat, “Lo hamilin Aletta?” celetuk Javier.

              Janu maupun Aletta sama sama terkejut akan pertanyaan Javier yang tiba tiba. Bahkan lelaki itu sendiri, ikut terkejut karena perubahan wajah kedua lawan bicaranya. “Beneran?” tanya Javier, hampir tersedak.

              “B-bang, Janu-“

              Selanjutnya, tidak ada yang bicara. Javier menjatuhkan pantatnya ke kursi, karena tak kuasa menahan kakinya yang mendadak terasa lemas. Hanya dengan gelagat Janu, pernyataan Javier sudah di pastikan tepat sasaran. Janu sendiri juga sudah enggan berkelit. Seperti yang di katakan lelaki itu, Janu tidak bisa berbohong di hadapan Javier.

              Janu melepaskan genggaman pada Aletta, untuk mengusap wajahnya kasar. Lalu, ia menarik Aletta yang masih menunduk untuk duduk. “Maaf,” gumam Janu, di balas anggukan lemah oleh Aletta.

              “S-siapa aja yang tau masalah ini?” tanya Javier dengan suara tersendat. Kepalanya mendadak beku, seakan menolak untuk mencerna kenyataan yang baru saja ia ketahui.

              “Aletta, Janu­­, Fatan, Hanan, terus… ,” Janu menelan ludahnya susah payah, “ … sama Abin, bang,” sambungnya.

              Mata Javier spontan terpejam. Selamat lah Janu, karena mereka sedang berada di tempat umum. Jika tidak, mungkin Javier sudah melayangkan bogeman tangannya yang kini sudah terkepal kuat. Di barengi dengan makian yang Javier tahan kuat-kuat untuk tetap berada di kepala. Ia tidak peduli tentang Hanan dan Fatan, mereka sahabat Janu, Javier yakin masalah ini akan aman di tangan mereka.

              Tapi, Abin? gadis baik, dan penurut itu pasti akan dengan mudah mengatakan segalanya jika di tanya oleh Ayahnya, atau Ayah dari Janu dan Javier. Mengingat gadis itu penakut. Tidak suka membantah, dan ekspresinya mudah di tebak seperti Janu. Gadis itu pembohong yang payah.

              Dengan kata lain, Javier harus membereskan masalah ini sebelum Ayahnya mencium gelagat aneh dari Janu. Kira-kira apa yang akan Javier lakukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status