Untung perama kalinya, Aletta terkejut akan harapannya yang menjadi kenyataan. Yaitu, Abin benar. Tak lama dari Aletta sampai di rumah, Janu tiba tiba datang dengan sorot penuh penyesalan. Tanpa basa basi, lelaki itu membawa Aletta ke dalam pelukannya. Ia menangis. Hatinya teriris melihat betapa berantakannya Aletta, dengan mata sembabnya. Belum lagi karena rasa sesal yang menghantui pikirannya.
Di saat bersamaan, tangis Aletta ikut meledak. Dalam hatinya, ia bersyukur karena Janu benar-benar datang. Hampir lima belas menit pelukan itu bertahan. Kedua kini duduk berhadapan di sofa. Dengan jemari Aletta yang lelaki itu bungkus dengan kedua tangannya.
“Maafin aku, maafin kata-kata aku,” kata Janu, hampir terdengar seperti berbisik. Kepala lelaki itu menunduk, tak kuasa menatap Aletta di hadapannya.
Untuk pertama kalinya, Aletta bisa merasakan penyesalan dalam ucapan maaf Janu. Buru buru ia mengangguk. Tangan kirinya yang terbebas, ia gunakan untuk menyeka pipinya yang basah. Aletta menangkup kedua pipi Janu, agar terangkat. “Aku maafin, J,” ujar gadis itu, kemudian memasang senyum haru.
“Aku bingung, Ta. Aku kaget. Kamu tau sendiri kan Ayah aku itu kayak gimana?” rintih Janu.
Tentu saja Aletta tahu. Kala, Ayah Janu itu sama buruknya dengan Ayahnya. “Iya tau. Tapi, aku juga gabisa, J. Kalau harus urus semuanya sendiri,” sesal Aletta, kali ini kepalanya menunduk.
“Hey,” Janu buru buru mengangkat dagu Aletta untuk kembali terangkat. Mengunci manik indah yang selalu menyalurkan rasa hangat itu dengan miliknya. “I won’t leave you,” cetus Janu, terdengar begitu yakin. Lelaki itu menarik wajah Aletta, untuk bibirnya ia kecup sekilas.
“Aku butuh jaminan, J,” papar Aletta, tepat saat pautan mereka terlepas.
Sebenarnya, Aletta tidak ingin mengatakan hal tersebut. Namun, Abin mengusulkannya. Kata gadis yang notabenya sepupu Janu itu, lelaki yang ada di hadapannya ini masih sangat labil. Terbukti dengan perubahan sikap Janu saat ini dengan Janu yang bahkan belum se jam ia temui sebelumnya. Pertama karena umur dan kedua, sejak kecil hidup Janu selalu di setiri oleh sang Ayah. Lelaki itu kurang cakap saat berhadapan dengan pilihan. Terlebih dalam sulit, seperti saat ini.
Selain itu, Abin jug mengatakan walaupun nanti Janu datang kepadanya seperti sekarang. Aletta harus siap untuk kemungkinan terburuk. Hal itu bisa berupa perubahan pola pikir Janu secara tiba tiba, Ayahnya Janu, atau hal lainnya.
“Jaminan?” tanya Janu, tampak bingung. Alisnya otomatis terangkat, matanya berkedip cepat untuk beberapa saat.
“Bukan uang, J. Kamu tau kalau masalah materi, aku gapernah kekurangan,” jelas Aletta, karena takut Janu salah paham.
“Terus? Kalau bukan uang?” pungkas Janu.
“Give me the vidio of us. Dan aku mau kamu bikin pernyataan secara lisan, kalau kamu ayah dari bayi yang ada di perut aku,” urai Aletta, membuat Janu mematung di tempat.
Ia sadar, bahwa permintaannya itu berlebihan. Namun, ini demi keselamatannya. Ini demi kelangsungan hidup anak di perutnya. Dengan jaminan itu, Aletta bisa menuntut Janu kapan saja jika lelaki itu kabur atau Ayahnya berusaha memisahkan mereka. Atau kasarnya, Aletta bisa menggunakan itu untuk mendesak dan mengancam keluarga Janu yang namanya cukup terpandang di kota mereka tinggal.
Katakanlah Aletta jahat. Katakanlah ini sebuah naluri seorang Ibu yang sayang akan anaknya. Ia takut, anaknya tidak di akui. Walaupun di dalam hatinya, Aletta masih memiliki keyakinan bahwa Janu tidak akan se jahat itu. Aletta yang masih di akui oleh Ayahnya saja masih bisa di telantarkan, apalagi jika tidak?
“Kamu sadar apa yang barusan kamu minta ke aku?” tanya Janu, nadanya mulai terdengar seperti orang yang kesal.
“of course,” jawab Aletta lembut, seraya menarik tangan Janu untuk di genggam yang lalu di tepis secara kasar.
“Gak cukup sama janji? Kamu gapercaya lagi sama aku?” tanya Janu bertubi tubi.
Setelah respon pertama yang Aletta dapati tadi siang, tentu saja gadis itu menggeleng sebagai jawaban. Di dalam hatinya, ia ingin mempercayai Janu lebih dari ia mempercayai siapapun. Tapi, kepercayaan Aletta pada Janu sudah habis. Dan Janu sendiri penyebab ini bisa terjadi.
“Please, J. Mau ya?” pinta Aletta, dengan mata berkaca kaca. Ia berharap Janu bisa menunjukan kasih sayang yang selama ini Janu gembor gemborkar, “Kalau kamu emang mau bertanggung jawab akan aku dan bayi ini,” tambahnya.
“It’s too much, Aletta,” keluh Janu, seraya melepas genggamannya terhadap tangan Aletta. “Aku bakal tanggung jawab, Ta. I promise! Aku bakal ngomong sama Ayah pelan pelan, Kakak aku juga bakal pulang, loh? Aku cerita kan sama kamu? Aku bakal minta bantuan dia-“
“No, J. Apapun langkah kamu selanjutnya, aku mau kamu ngasih jaminan dulu,” sergah Aletta, kekeuh, “Kamu sayang kan, J, sama aku?” sergah Aletta memotong ucapan Janu.
Janu mengusap wajahnya dengan kasar. Lelaki itu terlihat kehabisan kata kata. “Kamu pikir kenapa aku lari lari kesini kalau bukan karena aku sayang sama kamu, Ta?” serang Janu, frustasi.
Namun, Aletta kekeuh pada keinginannya. Jika memang lelaki itu benar benar menyayanginya, harusnya Janu mengiyakan tanpa banyak bicara,. Toh, Aletta hanya meminta hal tersebut untuk pegangan. Jika ini memang berlebihan untuk Janu, berarti lelaki itu tidak yakin pada dirinya sendiri. Berarti Janu, tidak bisa menjamin kalau ia akan bertanggung jawab sepenuhnya, jika nanti kemungkinan paling buruk terjadi.
Lagi, Janu kembali mengecewakannya hari ini. Aletta mengerang di tempatnya, air matanya kembali meledak. Rasanya, Aletta sudah tidak punya lagi tenaga untuk memohon pada Janu. Bahkan ketika itu berupa hal yang memang seharusnya Janu berikan.
Detik selanjutnya, Aletta bangkit. Ia berlalu pergi begitu saja ke dalam kamarnya meninggalkan Janu yang memanggil namanya dari sofa. Ia mengunci pintu. Mengabaikan Janu yang memintanya untuk kembali membicarakan hal ini dengan kepala dingin. Sekali, dua kali, Janu bahkan mengancam akan mendobrak pintu kamar Aletta. Namun, Aletta tetap tidak bergeming. Ia membekap mulutnya sendiri, agar Janu tidak mendengar isakannya.
Hingga akhirnya suara dering telfon menghentikan lelaki itu. Tak lama kemudian, Janu berpamitan untuk pulang sebentar. Ia berharap saat kembali nanti, Aletta akan menyambutnya dan menarik kembali permintaan yang Aletta lontarkan sebelumnya.
“Tarik ucapan gue?” Aletta terkekeh sini, “Brengsek lo, J.”
Sudah cukup, jika memang Janu tidak ingin memberikan apa yang ia minta. Janu tidak perlu memberikan basa basi yang terasa memuakan bagi Aletta. Sembari bersandar pada kasurnya, Aletta melirik ponselnya yang menyala. Menampilkan aplikasi perekam suara yang ia nyalakan sejak pintu rumahnya di ketuk Janu.
“Maafin aku, J. Aku harus lakuin ini.”
Akankah Aletta menggunakan rekaman itu untuk mengancam Janu? Atau, Janu akan melakukan sesuatu sebelum hal itu terjadi?
Javier mungkin seharusnya mengirim pesan terlebih dahulu pada Aletta sebelum mendatangi rumahnya. Dengan begitu, dia tak akan terjebak dalam keadaan canggung saat menemukan Aletta sedang menonton film dengan Hanan, Fatan, Abin sedangkan dirinya membawa sebucket mawar mereah. Dengan cengiran yang di paksakan, Javier melangkah masuk ke dalam karena Abin mempersilahkannya. Wajah sang pemilik rumah tampak tak setuju dengan itu, namun tetap membiarkan Javier hingga mereka duduk di sofa yang sama. Di sebrang keduanya, Fatan dan Hanan tak bisa melepaskan perhatian mereka dari bucket yang Javier pegang. Entah apa yang mereka sedang pikirkan yang jelas itu bukan sesuatu yang baik. Mengabaikan itu, Javier menoleh ke arah Aletta yang mengabaikannya dengan sengaja. “Ta, saya beli ini buat kamu.” Javier mengulurkan bucket tersebut pada Aletta.Untuk beberapa saat, Aletta memandang Javier dengan bunganya secara bergantian. Mulutnya sibuk mengunyah popcorn dengan sorot
Javier mengambil mengambil nafas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu yang sedari tadi dia pegang. Ada sedikit perasaan kesal terhadap Jordy, yang belum pergi dari hatinya. Adapun begitu, Javier tetap harus profesional. Pertengkaran seperti ini merupakan resiko yang harus dia terima karena bekerja dengan seseorang yang sudah begitu mengenalnya. Cekcok, bukan sesuatu yang harus dianggap baru. Terlebih masalah kemarin memang didasari dengan kesalahannya sendiri. Pemandangan Jordy yang tengah membaca kertas di kursi kerjanya, menyambut kedatangan Javier. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun, selain lirikan mata tak minat. Mungkin, Jordy juga masih tenggelam dari kekecewaanya mengenai gagalnya proyek mereka. Hilangnya investor besar, akan mengharuskan mereka memutar kembali otak untuk merombak segala susunan rencana. Pun, tak lupa dengan harapan besar yang mereka sudah taruh. Javier sadar betul, mereka tidak bisa bekerja jika em
Pagi harinya, Aletta tidak menemukan Javier di manapun. Lelaki itu menepati ucapannya, yang justru membuat Aletta merasa sedih. Dia tak bisa berbohong, kalau ada sedikit di bagian hatinya yang berharap Javier berusaha sedikit lagi. Walaupun jawabannya akan tetap sama, Aletta ingin egonya sedikit dipenuhi. Masih dengan wajah bantalnya, Aletta mendekati sofa dimana Javier tertidur semalam. Disana, selimut yang Aletta berikan sudah terlipat rapih di atas bantal. Aletta juga tidak melihat gelas berisikan teh hangat yang tadi malam ia hidangkan. Javier pasti telah mencucinya sebelum lelaki itu pergi. Bertanggung jawab, memang akan selalu menjadi sifat khas lelaki yang masih berstatus suaminya tersebut. Dengan satu tarikan nafas panjang, Aletta kini menyimpulkan bahwa mereka telah selesai. Tidak akan ada lagi kejadian manis yang memang tak seharusnya terjadi diantara mereka. Entah dalam bentuk perhatian kecil atau sekedar Javier yang menemanin
Untuk kedua kalinya, Aletta dikejutkan oleh pemandangan Javier yang mabuk berat. Kali ini, lelaki itu datang ke rumahnya dengan taxi. Lelaki itu berjongkok, menyembunyikan wajahnya di kedua tangan yang ia lipat di atas kaki. Sembari itu, Aletta membayar taxi terlebih dahulu. Baru setelahnya, Aletta ikut terduduk di samping Javier. Dia bingung. Tidak seperti saat itu, Aletta tidak mau membawa Javier masuk kali ini. Ini bukan rumah Javier, tak seharusnya Aletta membawa masuk orang asing terlebih banyak bayangan Janu di dalamnya. Aletta hanya akan merasa seperti ia sedang berselingkuh, di saat ayah dari bayinya entah dimana. Sudah sepuluh menit berlalu, belum juga ada pergerakan apapun dari posisi Javier. Hanya sesekali, tubuh Javier bergetar karena dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya. Lelaki itu hanya dibaluti kemeja tipis. Jasnya ia pegang hingga bagian bawahnya terkena tanah. Rambut Javier berantakan, seakan sesuatu telah menimpanya. Entah itu p
Terhitung, sudah tiga hari sejak hari dimana Javier pergi begitu saja setelah mendengar permohonan Aletta. Lelaki itu tidak berbalilk, ketika Aletta meminta jawabannya. Aletta hendak mengejar, namun rasa sakit di perutnya menghentikan gadis itu.Javier tidak menghubungi Aletta dan Aletta tak peduli akan itu. Hari kemarin, membuat Aletta berfikir bahwa memang dirinya ditakdirkan untuk sendiri. Mungkin, memang ini jalan yang terbaik untuk Aletta juga Javier. Demi membatasi perasaan mereka, agar Aletta bisa tetap menunggu Janu tanpa merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang janggal tanpa disengaja. Kini, dengan sang jabang bayi Aletta dengan santai menikmati sarapannya seperti biasa. Dengan tontotan pagi kesukaannya, juga sebuah buku kecil berisikan beberapa tulisan asal. Disana, Aletta menuliskan beberapa kemungkinan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Hal itu Aletta dapatkan dengan bantuan Abin, Fatan, juga Hanan dengan banyak pertimbangan. Tabungan Ale
Me : Maaf malam ini saya tidak akan pulang [ read] Javier mnyeritkan alis, saat menyadari pesannya tidak Aletta balas. Masih dengan posisi tertidur di sofa, dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Kemarin, Javier pergi ke rumah Felly untuk berbincang. Tidak hanya dirinya, ia juga mengajak Jordy. Felly yang mengundang Javier. Gadis itu ingin menunjukan pada Javier bahwa bukan tidak mungkin untuk mereka berteman. Even, setelah empat tahun mereka dan juga apa yang Javier perbuat. Justru menurut Felly, akan disayangkan rasanya jika mereka saling menjauh hanya karena kata putus. Hubungan mereka lebih dari itu. Masih banyak hal yang bisa jadi alasan mereka bertemu atau berbincang selain asmara. Mereka bertiga berbincang banyak. Walaupun Jordy tampak asing dan banyak diam, karena merasa tak nyaman dengan suasana yang menariknya ke masa lalu itu. Bagi lelaki itu, melihat Felly dan Javier berbincang selayknya teman adalah sesuatu yang t