Adinda yang baru saja kembali bersama Andara. Tampak canggung karena teman-temannya memperhatikan mereka. Adinda tidak ingin berada dekat dengan Balai Desa. Ia memilih duduk di bagian halaman parkir yang bersebelahan dengan jalan. Tentu saja, Andara menemaninya dengan setia. Di sana keduanya hanya duduk diam tanpa bicara.
“Hayo!!! Lagi apa kalian berdua di tempat remang-remang,” canda Zami dengan raut wajah riangnya.
Adinda dan Andara sama-sama terperanjat. Dengan kompak melirik ke arah sumber suara. Zami dari arah belakang berjalan menghampiri keduanya. Zami satu-satunya sahabat Andara yang tidak ikut membenci pemuda itu, ketika Adinda memilih dekat dengannya. Zami juga selalu menunjukkan sikap netral. Ia memilih tak terlalu ingin berharap banyak dari gadis yang ia sendiri tahu tak akan ia dapatkan.
“Hai, kalian kenapa? Roman-romannya masalah hati ini,” celetuk Zami menghampiri keduanya.
“Aisshhh!” umpat Andara dengan raut wajah kesal.
“Din, ada apa?” kata Zami, “kasih tahu Aa (Kakak dalam bahasa Sunda.)”
Adinda mengangkat wajahnya, dia melemparkan senyuman pada Zami sebelum meninggalkan kedua pemuda itu. Adinda berjalan menghampiri Tiwi yang sedang menyantap jagung bakar. Gadis manis dengan kerudung merah itu menyambut Adinda dengan sangat baik. Ia juga memberikan h=jagung bakar pada Adinda. Tiwi ini anak tetangga Adinda yang rumahnya berada paling pojok.
“Kenapa itu, Perawan Kota,” celetuk Zami sambil menunjuk Adinda yang sudah membaur pada teman-teman mereka yang lain.
“Pokoknya! Kalian siap-siap patah hati selamanya!” tukas Andara yang langsung berdiri dan meninggalkan Zami sendirian.
“Kenapa ‘sih itu orang berdua?”
Zami yang tidak mengerti maksud dari perkataan sahabatnya. Ia tampak menggaruk kepala. Zami merupakan salah satu sahabat, Andara dari ke lima pemuda yang telah lama dekat dan menjalin pertemanan. Andara, dan Bima merupakan yang paling muda di antara mereka berlima.
Dari kelima sahabat itu hanya Andara merupakan bagian dari Tim Voli Tanjung Sejagat. Dia juga satu tim dengan Giyo yang merupakan kapten dalam tim. Ajaibnya lagi, semenjak kedatangan Adinda di kampung itu kelima-limanya jadi aktif bermain voli. Terlebih sebelum kembalinya Giyo. Mereka selalu mencari cara agar bisa melihat gadis cantik ‘si anak baru.
“Adinda ikut aku senentar.”
Ketika Adinda tengah asyik berbincang dengan teman-teman wanitanya. Andara datang dan langsung menarik tangannya. Pemuda itu mengajak Adinda menjauh dari kerumunan. Kini keduanya berada di pinggir lapangan dengan minim pencahayaan. Adinda tampak berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kuat Andara. Dengan postur tubuh tinggi dan perawakan sedikit jangkung.
“Lepaskan tangan aku, And!” pekik Adinda.
Andara menuruti kemauan Adinda. Ia terlihat beberapa kali menarik kemudian menghembuskan nafas kuat. Sebelum akhirnya dia bisa mengungkapkan isi hatinya. Adinda memegangi pergelangan tangannya yang memerah. Sepertinya gadis itu kesakitan karena ia sedikit meringis.
“Adinda! Jujur sama aku, apa kamu ada hubungan sama Giyo?” tanya Andara dengan nada yang sulit diaturnya.
Adinda hanya terdiam dengan pandangan tertuju pada pergelangan tangannya. Adinda kali ini mendapat desakan dari pria yang selama ini selalu ada dan membelanya. Andara meraih kedua tangan Adinda kembali dan menggenggamnya erat. Adinda mengerutkan dahinya. Namun gadis itu masih bungkam.
“Adinda. Aku mohon. Aku sangat mengharapkan kejujuran dari kamu,” pinta Andara dengan nada yang lirih.
“Hmm. And. Sebelumnya aku minta maaf sama kamu―” Adinda tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Ia menundukkan kembali wajahnya, hal itu sudah cukup menjadi jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Andara padanya.
“Kenapa? Kenapa harus dia, Din? Apa enggak ada pria lain lagi di kampung ini,” bisik Andara yang berusaha mengatur nada suaranya.
“Aku juga bingung And.”
Perlahan genggaman tangan Andara melemah. Pada akhirnya, genggaman itu benar-benar terlepas dengan sendirinya. Percuma saja sekuat apa pun dia bertahan dan menggenggamnya. Bila hanya satu pihak yang berkeinginan mempertahankan. Tapi di sisi yang lain sudah lama berpaling darinya. Kini, wajah Andara yang tertunduk lesu. Ia diam seakan kehabisan kata. Beberapa saat keduanya hanya berdiri dalam diam dengan sinar remang dari lampu jalan.
“Maafkan aku, And. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku lebih memilih dia, dari pada kamu yang sudah nyata menyayangi aku,” ungkap Adinda dengan menatap sayu pada Andara.
“Aku kurang apa, Din?” tanya Andara lirih.
“And. Kamu enggak memiliki kekurangan sedikit pun, kamu sempurna.”
“Lalu? Mengapa kamu memilih dia, dibandingkan aku yang katamu sempurna.”
Adinda tampak bingung harus menjawab apa, ia terdiam tak mampu membalas. Adinda berbalik sepertinya ia berniat meninggalkan, Andara. Namun, sejurus kemudian langkahnya terhenti. Ketika tangan kanannya ditahan oleh Andara. Ia menoleh dan tampak Andara berdiri di belakangnya dengan garis wajah yang serius. Sorot matanya tajam. Bibirnya bungkam.
“Kenapa, And? Aku harus pergi dari sini. Aku enggak mau kamu akan mendapat masalah ketika dia tahu aku terlalu dekat denganmu,” pinta Adinda dengan wajah yang memelas.
“Asal kamu tahu saja, Dinda. Aku tidak pernah takut dengan dia atau siapa pun,” tegas Andara dengan meyakinkan.
“Aku tahu itu, Andara. Tapi aku tidak mau kamu terseret masalah dengan kelompoknya juga.”
“Ingat, Dinda. Aku akan mencari cara agar bisa terus dekat denganmu! Bahkan aku rela melakukan hal yang lebih gila dari yang ada di pikiranmu.”
Adinda mendekat pada Andara. Ia menatap lurus ke mata Andara. Wajahnya seakan meminta untuk jangan melakukan hal itu, akan tetapi bibirnya bungkam. Ia masih terdiam dalam tatapannya. Andara menaikkan kedua alisnya seolah bertanya.
“Andara. Kamu ini, pemuda yang banyak digemari gadis cantik. Kenapa kamu tidak mencoba membuka hati untuk mereka saja,” ujar Adinda setengah memohon.
“Kalau aku menginginkan mereka. Maka sebelum kamu ada di sini sudah aku lakukan itu! Tapi, aku tidak berminat sedikit pun dengan―semua. Dan ini hatiku enggak ada yang bisa mengaturnya,” sergah Andara dengan rona wajah merah padam.
Adinda menundukkan wajah. Jelas sekali ia sendiri juga tampak bingung dengan situasi yang tengah dihadapinya. Di satu sisi ia sangat mengetahui isi hati dan perasaan, Andara. Karena beberapa waktu yang lalu mereka juga sudah membahasnya. Namun di sisi lain. Dia mencintai dan tak ingin, Giyo kembali menjadi salah sangka padanya.
“Adinda. Kamu ingat waktu pertama kali kamu aku bawa ke rumah?” tanya Andra dengan nada yang lembut.
“Hmmm,” jawaban singkat yang diberikan oleh Adinda.
“Asal kamu tahu, dari sanalah Ibu dan Ayahku mulai menyukai kamu,” tutur Andara dengan sorot mata yang tak sedetik pun beralih dari wajah menawan wanita pujaannya.
Adinda mengangkat kembalinya. Kali ini adu pandang antar keduanya berlangsung cukup lama. Sebelum akhirnya, keduanya dikejutkan dengan suara keributan yang berasal dari arah rumah Giyo. Terdengar jelas tengah terjadi kegaduhan di sana. Dan orang-orang mulai berdatangan. Jarak tempat acara keduanya hanya berjarak 4 rumah.
“Giyo!” pekik Adinda yang langsung berlari mengarah ke sumber suara gaduh.
Andara hanya terpaku melihat betapa khawatirnya, Adinda ketika itu bersangkutan dengan Giyo. Tapi sama sekali dia tidak menunjukkan kepanikan itu, di saat Andara menjauhi mereka dengan keadaan emosi. Andara yang sudah tersadar dari terkejutnya. Kini memilih berlari menyusul wanita yang ia cintai. Biar bagaimanapun, pastilah ia tidak akan rela membiarkan wanitanya mendekati sumber masalah lebih jauh lagi.
Adinda mengambil jalan pintas dengan bermaksud masuk dari arah samping rumah Giyo. Akan tetapi langkahnya terhenti seketika. Kini Adinda tepat berhadapan dengan seorang pria yang terlihat mabuk berat. Adinda hanya terdiam mematung di tempatnya. Mata bulat dengan bulu mata lentiknya kini terbelalak. Jelas ia merasakan kengerian saat berhadapan dengan keadaan seperti ini.
“Dinda! Hahahaha! Ternyata benar dugaanku. Memang bocah ingusan sedangku cari,” ujar pria itu, “bagaimana gadis kecil dan lemah sepertimu bisa mencuci otak Raja Cobra kami!”
Pria dengan tato naga merah pada bagian lengannya. Rambut gondrong pria itu terlihat lepek dan kusut tak terurus. Ia menyeringai seram dengan bola mata merah. Mulutnya juga mengeluarkan bau yang menyengat. Khas minuman keras. Pria itu mendekati Adinda secara perlahan. Adinda mundur secara perlahan pula. Kini Adinda terdesak pada tembok rumah orang lain.
“Seujung kuku saja kausentuh dia. Benar-benar kuhabisi kaumalam ini Bajingan!” suara itu terdengar sangat murka dengan nada berat dan menyeramkan.
Perlahan muncul sosok pria yang sangatlah dikenal oleh Adinda. Kulit wajahnya selalu terlihat putih pucat. Kini seakan tengah mengalami ruam—. Roman wajahnya merah padam dengan sorot mata tajam tanpa ampun. Langkahnya tak dapat diprediksi. Tahu-tahu ia sudah di dekat pria yang menghadang, Adinda.
Pria tadi langsung menjauh dari tubuh Adinda. Sehingga Giyo dapat memeluk gadis itu langsung. Badan Adinda terlihat bergetar. Dengan lembut Giyo membelai wajah Adinda. Giyo berusaha semampunya menenangkan Adinda. Setelah Adinda dapat mengendalikan ketakutannya. Giyo langsung menuntun Adinda menjauh dari pria yang masih diam di tempatnya tak berkutik.
Tok! Tok! “Siapa?” ujar Tiwi dari balik pintu rumah Adinda. “Wi, ini aku Zenix. Aku mau ngomong sama Kak Dinda,” sahut Zenix dari balik pintu. Tiwi menoleh ke arah Adinda dan juga Angel yang di mana ia seolah meminta persetujuan. Setelah kedua sahabatnya mengangguk. Barulah Tiwi berani membukakan pintu. Saat pintu terbuka Giyo berdiri di sana dengan Zenix berada di sebelahnya. Begitu pula dengan Andika. Giyo masuk dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi ia menghampiri Adinda dan berhenti tepat di hadapan gadis itu. Adinda tampak gugup menghadapi Giyo yang jelas-jelas sudah ada di depannya. Zenix memberikan kode kepada Angel untuk menjauh. Gadis itu mengerti dan memilih untuk duduk bersama Tiwi di sofa ruang tamu. “Kapan aku mengiyakan kita putus? Kapan aku menyetujui omongan kamu? Kapan!” bentak Giyo dengan raut wajah memerah menahan gejolak amarah. “Tapi aku—” kalimat Adinda mendadak berhenti saat jari telunjuk Giyo menutupi bibir tipisnya. “Kamu masih pacar aku. Enggak ada pe
Giyo sudah pulih dan kembali ke rumahnya. Di sana Adinda terus berusaha mencari kesempatan untuk menjenguk kekasihnya itu. Hari itu suasana kediaman Giyo memang sangat sepi. Sedangkan kedua orang tua Adinda menghadiri pesta pernikahan saudaranya yang mengharuskan keduanya menginap selama beberapa hari di sana. Hal itu dimanfaatkan Adinda untuk merawat Giyo. “Sayang, sini aku periksa dulu lukanya,” ujar Adinda yang baru saja masuk ke kamar Giyo dengan membawa nampan berisi, perban, obat merah, dan beberapa kain kasa. “Ternyata enak juga kalau ada istri yang merawat kayak begini,” balas Giyo yang membuat Adinda tersipu malu. Wajahnya bersemu merah jambu. “Permisi, ya Sayang. Maaf kalau sakit.” “Kalau cuman kayak begini enggak ngaruh sedikit pun. Kalau kamu yang ngurusin, digosok-gosok juga aku mau.” Adinda menekan luka Giyo yang membuat pria itu meringis. Adinda tertawa. Giyo membalik tubuhnya yang membuat Adinda terkejut dan spontan mengelak. Giyo mendesak hingga tubuh Adinda berad
“Bangsat lu! Hia!”Giyo menyerang Dragon. Perkelahian antar keduanya tidak terhindarkan. Giyo sudah nyaris hampir mengalahkan Dragon. Sesaat sebelum sebuah belati menancap dipunggung kirinya. Saat menoleh Giyo melihat sang ketua berada di sana. “Apa yang buat lu rela mati demi cewek itu Gi?” ujarnya dengan tatapan kosong.“Lu rela mau ngebunuh rekan lu sendiri hanya demi satu orang gadis yang belum tentu lu bisa dapatin.”“Kenapa lu jadi sebegok ini?”Giyo tidak peduli dengan ocehan sang ketua. Kini ia malah berusaha menyerang sang ketua. Namun ia kalah jumlah, Giyo terpojok. Tubuhnya mengalami banyak luka memar. Dari punggungnya pun masih mengalir geti segar.Perlahan Giyo tampak melemah. Dan akhirnya dia terjatuh. Sang ketua membawanya ke rumah sakit. Giyo dirawat di sana. Setelah ia siuman Giyo menyadari di sampingnya ada Adinda yang terlihat lelah dan sangat khawatir. Giyo membelai kepala Adinda dengan perlahan.“Sayang aku ada di mana?” ucap Giyo lirih dengan nada yang le
Setelah perdebatan cukup panjang dengan berat hati Adinda mengizinkan Giyo pergi. Sebelum pria itu melangkah memasuki mobil berwarna hitam dengan kaca film berwarna hitam pula. Giyo memeluk erat dan memberikan ciuman kecil di kening Adinda. Air mata di sudut mata wanita itu tidak bisa dibendung lagi. Setelah Giyo benar-benar menghilang dari pandangan, Adinda terduduk dengan lemah. “Aku cuman takut. Takutku adalah takut aku yang akan kehilangan dia,” ungkap Adinda lirih dalam pelukan Tiwi. “Kamu tenang aja Din. Kak Giyo enggak akan kenapa-kenapa,” ungkap Tiwi menenangkan sahabatnya. “Aku takut Wi.” “Kakak Ipar tenang aja. Bang Giyo itu jagoan. Mana mungkin dia kalah,” sambung Zenix terlihat simpati pada kekasih ketua kelompok mereka. “Zen, apa yang bisa aku lakukan supaya abangmu bisa keluar dari gang ini?” “Enggak ada Kak. Kalian menikah pun. Abang harus tetap berada di dalam sini. Apalagi Abang terlalu banyak memegang kunci kelompok.” “Ancamannya nyawa ‘kan Zen?” setelah menye
“Din, entar siang kami main ke rumah kamu, ya,” ujar Tiwi saat bertemu di balai. “Maaf Wi. Nanti siang aku ada keperluan sama Kak Giyo,” sahut Adinda dengan santai seraya menaiki motornya. “Tapi, kita sudah lama enggak kumpul. Kamu sekarang suka menyendiri, kalau enggak pasti sama Kak Giyo.” “Iya namanya juga dia pacar aku. Udah, ya Wi aku duluan.” Semenjak kejadian hari itu, Adinda memang menutup diri. Dia menjauhi, Andara, dua sahabatnya, dan teman-temannya yang lain. Semenjak itu pula, ia terlihat sangat patuh kepada, Giyo. Sang ibu sempat merasa curiga dengan perubahan Adinda. Ibunya pernah mendesak agar, Adinda jujur mengatakan ada apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Adinda memilih tetap bungkam dan berusaha menutupi aibnya. Para tetangga pun mulai banyak membicarakan kedekatan Adinda dan Giyo yang dinilai terlalu fulgar. Banyak aduan yang diterima orang tua Adinda, akan kedekatan dirinya dan Giyo. Bahkan ada salah satu tetangga yang mengaku melihat Adinda dan Giyo berlaku ti
Setelah dua hari sehabis pertemuan keduanya di danau. Hari ini Giyo mengajak Adinda berkunjung ke rumah pamannya yang jaraknya cukup jauh dari daerah tempat tinggal mereka. Adinda beralasan kepada kedua orang tuanya ingin membeli sesuatu di kota. Yang mana sang ayah awalnya meminta Adinda untuk pergi bersama Andara saja. Namun dengan manis, Adinda beralasan kalau Andara tidak bisa menemaninya. Akhirnya sang ayah pun mengizinkan Adinda untuk pergi bersama Giyo. Sebelum keduanya berangkat, berkali-kali sang ayah berpesan agar Giyo menjaga Adinda sebagai adik. Dan Giyo tentu saja menyanggupi permintaan Pak Anjas. Keduanya pergi dengan mengendarai motor gede milik Giyo. “Good luck, Bang!” kalimat yang dilontarkan Zenix tampaknya membuat Adinda seakan bertanya-tanya. Di perjalanan Giyo banyak bercerita akan perjalanan hidupnya. Kedua tangan Adinda yang melingkar di pinggang Giyo. Membuat keduanya tidak memiliki batas. Kepala Adinda yang tidak mengenakan helm pengaman pun bersandar pada p