Bab 2
“Aku ….” Asoka terdiam. Ia tidak kenapa bisa ada di kamar ini. Hanya ingat terakhir ia berada di belakang stage untuk rehat karena akan bergantian mengisi acara. Menerima nasi box konsumsi juga air mineral botol lalu entahlah. Yang mendominasi di kepalanya hanya rasa sakit. Jangankan untuk mengingat, bahkan ia bingung dan tidak mengerti dengan cecaran pertanyaan yang ditujukan padanya.
“Jelaskan dong, jangan diam aja. Kita nggak ngapa-ngapain dan ini kamar aku.”
Gadis ini ikut mengoceh memintanya menjelaskan. Sedangkan Asoka bingung harus menjelaskan apa.”
“Asoka!” sentak gadis itu.
“Aku belum tuli. Tidak usah berteriak.” Asoka menghela nafas sambil menyugar rambutnya menjauh dari Bintang.
Saat ini mereka sudah berada di ruangan lain, bukan kamar yang tadi. Bintang sudah memakai pakaian lengkap. Ketiga senior termasuk Candra yang tadi menggerebek ada di ruangan itu, bersikap seperti hakim yang sedang melakukan sidang pada pasangan mesum yaitu dirinya dan Bintang.
“Kalian ini, pake drama segala. Sudahlah, mengaku saja biar cepat selesai urusan,” sentak salah satu senior rekan Candra.
“Kak Candra, sumpah aku ngerti kenapa dia bisa ada di kamar!” Bintang menunjuk Asoka sambil menatap Candra. Masih berusaha meyakinkan kekasihnya itu.
Namun, respon Candra dengan tatapan sinis dan jijik pada Bintang. Bahkan menggeleng pelan sambil berdecak.
“CCTV, kita cek CCTV kak,” usul Bintang.
“Kamu pikir kita berada di hotel bintang lima. Ini losmen, tidak ada cctv di sini. Sudahlah mengaku saja kalau kalian memang baru saja berbuat mesum. Kami bukan warga yang akan menikahkan kalian, paling tidak urusan cepat selesai.”
Bintang menoleh pada Asoka yang duduk di sampingnya meski berjarak.
“Cepat jelaskan kalau diantara kita tidak ada yang terjadi dan jelaskan kenapa kamu bisa ada di kamarku,” titah Bintang sambil memukuli lengan Asoka.
“Hei, hentikan.” Asoka menjauh dan menghalau pukulan tangan Bintang. “Aku harus jelaskan apa, ingat juga tidak. Aku bangun dan ada kalian. Lagi pula mana mungkin aku melakukan sesuatu denganmu,” ujar Asoka sambil mengernyitkan dahi.
“Hah, maksud kamu?”
“Kalau pun aku berniat melakukan sesuatu dengan perempuan, sudah pasti bukan kamu.” Asoka menatap Bintang dari kepala sampai kaki. “Kamu itu bukan tipeku, terlalu kanak-kanak.”
“Dasar gila, kamu pikir aku mau.”
Bintang berdiri lalu mengambil bantal kursi dan memukuli Asoka tanpa ampun. Sudah kepalang tanggung, untuk apa dia harus jaga image. Asoka ternyata menyebalkan, bisa-bisanya di tengah situasi ini dia malah menghina. Meski teman-temannya dan para mahasiswi lain sering memuji dan membicarakan Asoka karena masuk ke dalam sepuluh pria diminati di kampus, tapi kejadian ini membuat penilaian Bintang terhadap Asoka sangat buruk. Ibarat rating, bintang satu pun masih terlalu bagus.
“Hei, hentikan!” Asoka berusaha menghindar dari amukan Bintang.
“Berhenti!” teriakan Candra membuat Bintang diam. “Duduk kalian!”
“Selesaikan saja, sandiwara mereka cukup bagus. Sudah enak-enak pake ngeles. Masih mau kamu sama dia?”
Pertanyaan itu ditujukan pada Candra. Bintang tersinggung mendengar itu.
“Kak,” panggil Bintang untuk Candra.
“Kami selaku senior dan panitia inti acara ini, mengusir kalian dan memberhentikan kalian dari kegiatan ini. Silahkan kemasi barang dan pulang saja!”
“Kak, jangan begini. Aku bisa jelaskan, semua ulah si basoka ini. Ini pasti prank dia untuk kita atau jangan-jangan dia suka aku dan ingin kita bubar,” jelas Bintang. Masih berusaha meyakinkan Candra dan melindungi nama baiknya.
“Apa, gue suka sama lo. Astaga!”
“Halah, bac0t kalian. Balik ke kamar dan kemasi barang lalu pulang!”
“Tapi kak, kamu harus percaya aku.” Bintang menghampiri Candra, tidak terima dengan keputusan itu.
“Aku lebih percaya dengan mataku dan apa yang aku lihat. Mulai sekarang, kita … putus.”
“Bintang, hei, Bintang.”
Bintang tersadar setelah mendapat tepukan di bahunya dan mendapati Asoka berdiri di hadapannya, bahkan pria itu berdecak.
“Pak Medi tanya kamu, malah bengong.” Asoka menempati kursi di depan meja atasan mereka, mengabaikan Bintang yang masih mematung.
“Bintang, ayo duduk!” titah Medi.
Mau tidak mau Bintang menempati kursi di samping Asoka, ia menghela nafas sebelum duduk.
“Sepertinya kalian ada kisah di masa lalu ya, Bintang seperti terkesima. Apa itu cinta belum kelar atau ….”
“Bukan,” sahut Asoka dan Bintang serempak menyela ucapan Medi.
“Ya ampun, kalian ini kompak sekali,” seru Medi. “Ternyata pilihan saya menyatukan kalian dalam satu tim sangat tepat. Saya yakin tim kamu semakin solid Asoka.”
“Semoga saja feeling bapak benar, tapi saya tidak yakin,” ujar Asoka sambil melirik Bintang.
“Hah, maksudnya nggak yakin gimana?”
Asoka mengedikan bahu menjawab pertanyaan Bintang dan bersedekap.
“Asal kamu tahu ya, aku dimutasi ke sini ke kantor pusat karena kerjaku baik. Tidak percaya, baca saja profil aku. Pak Medi, sudah baca ‘kan?” tanya Bintang berharap dukungan dari atasannya.
“Sudah, tentu saja sudah.”
“Contoh Pak Medi, bahkan dia bisa menilai seseorang sebelum mengenal.”
“Terserah,” jawab Asoka masih dengan posisi bersedekap dan enggan menatap Bintang.” Kita buktikan saja, apa kamu bisa mengikuti ritme kerja dengan tim di bawah arahanku.”
“Oke. Siapa takut.”
Medi malah tepuk tangan melihat drama antara Asoka dan Bintang.
“Kalau saya lihat dan saya perhatikan. Kalian memang saling menghamburkan kebencian, tapi saya percaya rasa itu perlahan berubah seiring waktu. Berubah menjadi cinta dan salah satu akan bucin pada waktunya.”
“Bapak bicara apa sih, nggak jelas.”
“Heh, jangan kurang ajar kamu. Saya masih atasan kamu. Baca ini!’ tunjuk Medi pada name desk. “Medi Santoso, direktur. Ya sudah, kalian keluar. Lanjutkan drama kalian, tapi jangan di sini.”
Medi mengusir Bintang dan Asoka. Setelah menutup pintu ruangan atasannya, Asoka heran dengan Bintang yang menatap tajam padanya.
“Kenapa?”
Rasa kesal karena kejadian di masa lalu teringat dan terasa seperti baru kemarin terjadi. setelah ia dan Asoka diusir dari tempat acara, kabar terkait mereka digrebek oleh Candra cs pun sudah beredar. Bahkan ada yang melabeli mereka sebagai pasangan mesum. Bintang harus menelan pil pahit selain ejekan karena kejadian itu, hubungannya dengan Candra kandas dan teman-temannya masih menyinggung kejadian bersama Asoka bahkan sampai mereka lulus kuliah.
“Kita profesional saja, di kantor kamu ketua tim, tapi di luar aku berhak untuk tidak menghormati kamu.”
Asoka menghela nafas. “Terserah,” ucapnya sambil berlalu.
“Hei, dengar dulu. Aku belum selesai.”
Asoka melambaikan tangan dan mengabaikan ucapan Bintang.
“Mimpi apa semalam, bertemu lagi dengan dia.”
“Ruangan di sebelah sana dan lima menit lagi, briefing,” ujar Asoka. “Aku tidak toleran pada rekan yang malas dan tidak disiplin.”
“Argh.”
Bab 5“Dasar nggak peka. Hampir dua jam nggak ada inisiatif melipir. Hih.” Bintang bergumam mengeluarkan keluhannya terhadap Asoka saat mencuci tangan. Baru saja selesai dengan urusan di bilik toilet.Mengecek di maps, ternyata perjalanan mereka masih dua jam lagi. Tidak ingin bergegas, Bintang mematut dulu wajahnya di cermin. Memastikan penampilannya masih layak.“Oke, kita lanjut lagi. Satu mobil dengan kulkas dari kutub dan raja gombal. Biar kata jomblo, nggak ada tertarik sama kedua cowok itu. Hih, jauh-jauh deh.”Bintang keluar dari toilet, hendak berbelok keluar menuju minimarket di mana Asoka menunggu.“Sudah beres?”“Astaga,” pekik Bintang sambil mengurut dada.“Kamu lucu kalau kaget gitu, tambah imut,” seru Marzuki sambil terkekeh.“Ish, jangan gitu lagi, mas. Saya kaget loh.”“Oh iyakah, maaf ya. Padahal aku niat baik tungguin kamu.” Melihat gerakan Marzuki yang akan menyentuhnya, Bintang gegas melangkah pergi. “Hei, Bintang, kok pergi.”Asoka berada di meja tidak jauh dari
Bab 4Asoka bersandar dan memijat dahinya pelan. Tidak menduga ia akan bertemu lagi dengan gadis itu. Bintang. Gadis yang kepergok satu kamar dengannya. Masih menjadi misteri kenapa dia bisa ada di kamar dengan Bintang dalam keadaan tidak sadar. Parahnya lagi, tidak berpakaian.Semenjak kejadian itu, rekan nya menduga Asoka dan Bintang memang ada hubungan. Padahal baru berinteraksi dan bicara di malam itu. Sepertinya mereka korban jebakan, tapi siapa yang melakukan itu dan apa maksudnya. Sama seperti dulu, ia tidak peduli. Meski penasaran, tapi dianggap angin lalu.Hendak menemui Medi, atasannya. Asoka meninggalkan ruangan, sempat melewati kubikel Bintang dan gadis itu fokus menatap layar komputer. Melewati pintu darurat yang tidak tertutup rapat, terdengar suara berbincang.“Kebiasaan, kalau merokok di tangga. Mana nggak ditutup. Gimana kalau asapnya masuk kemari.”Tangan Asoka sudah berada di gagang pintu dan akan mendorong untuk menutup, tapi tertahan saat mendengar percakapan itu
Bab 3“Hah.”Bintang menghela nafas saat tiba di depan lift apartemen. Hari pertama bekerja di Jakarta, sungguh melelahkan. Masih belum hafal rute menuju kantor dan mengandalkan angkutan umum. Belum lagi kepadatan di jalanan mengakibatkan macet. Dalam hati ia menyemangati diri sendiri agar tidak menyerah lalu resign dan pulang kampung.Parahnya lagi, di kantor ia harus bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Bahkan harus rela setiap hari melihatnya, dia Asoka. Di ruangan yang sama sebagai ketua tim. Membayangkannya saja, Bintang kesal sendiri. Ternyata dunia memang sesempit daun kelor. Dari banyaknya tempat ia harus berada satu tempat dengan Asoka. Dari banyaknya manusia yang ada di dunia ini, dia harus bertemu lagi dengan Asoka.Mendadak ia teringat ucapan Medi kalau hubungan mereka bisa berubah menjadi cinta. Bintang langsung bergidik ngeri membayangkan hal itu. Mana mungkin ia bisa menyukai apalagi jatuh cinta pada Asoka, membayangkannya saja membuatnya berekspresi ingin muntah.J
Bab 2“Aku ….” Asoka terdiam. Ia tidak kenapa bisa ada di kamar ini. Hanya ingat terakhir ia berada di belakang stage untuk rehat karena akan bergantian mengisi acara. Menerima nasi box konsumsi juga air mineral botol lalu entahlah. Yang mendominasi di kepalanya hanya rasa sakit. Jangankan untuk mengingat, bahkan ia bingung dan tidak mengerti dengan cecaran pertanyaan yang ditujukan padanya.“Jelaskan dong, jangan diam aja. Kita nggak ngapa-ngapain dan ini kamar aku.”Gadis ini ikut mengoceh memintanya menjelaskan. Sedangkan Asoka bingung harus menjelaskan apa.”“Asoka!” sentak gadis itu.“Aku belum tuli. Tidak usah berteriak.” Asoka menghela nafas sambil menyugar rambutnya menjauh dari Bintang.Saat ini mereka sudah berada di ruangan lain, bukan kamar yang tadi. Bintang sudah memakai pakaian lengkap. Ketiga senior termasuk Candra yang tadi menggerebek ada di ruangan itu, bersikap seperti hakim yang sedang melakukan sidang pada pasangan mesum yaitu dirinya dan Bintang.“Kalian ini, pa
“Makasih ya pak,” seru Bintang sambil menyerahkan helm dan menaiki undakan tangga lobby.Hari pertama ia bekerja, sebenarnya bukan kali pertama juga. Bintang dimutasi ke kantor pusat. Tentu saja karena pencapain dan prestasi kerjanya. Memasuki area lobby, gedung Emerald Company, ia bertanya pada bagian informasi lantai tujuannya. Emerald Design, Firma arsitektur. Salah satu usaha dari Emerald Company.“Emerald Design, lantai delapan ya.”“Lantai delapan, oke, terima kasih mbak,” ujar Bintang lalu bergegas menuju lift.Tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya bertugas. Ia tidak boleh terlambat. Melirik jam tangan, masih ada lima belas menit sebelum waktu kerja dimulai. Berdesakan saat memasuki lift, tidak mungkin menggunakan tangga darurat. Bisa-bisa ia kehabisan nafas saat tiba di lantai tujuan.Keluar dari lift, Bintang melihat penunjuk arah dan kembali bertanya pada meja informasi.“Saya Bintang Lita Anjani, dari cabang Jogja. Ini surat tugas mutasi saya,” ujar Bintang.