MasukBab 3
“Hah.”
Bintang menghela nafas saat tiba di depan lift apartemen. Hari pertama bekerja di Jakarta, sungguh melelahkan. Masih belum hafal rute menuju kantor dan mengandalkan angkutan umum. Belum lagi kepadatan di jalanan mengakibatkan macet. Dalam hati ia menyemangati diri sendiri agar tidak menyerah lalu resign dan pulang kampung.
Parahnya lagi, di kantor ia harus bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Bahkan harus rela setiap hari melihatnya, dia Asoka. Di ruangan yang sama sebagai ketua tim. Membayangkannya saja, Bintang kesal sendiri. Ternyata dunia memang sesempit daun kelor. Dari banyaknya tempat ia harus berada satu tempat dengan Asoka. Dari banyaknya manusia yang ada di dunia ini, dia harus bertemu lagi dengan Asoka.
Mendadak ia teringat ucapan Medi kalau hubungan mereka bisa berubah menjadi cinta. Bintang langsung bergidik ngeri membayangkan hal itu. Mana mungkin ia bisa menyukai apalagi jatuh cinta pada Asoka, membayangkannya saja membuatnya berekspresi ingin muntah.
Jam segini ternyata ramai juga antrian lift. Gegas Bintang masuk ke kotak besi itu ketika sudah terbuka dan orang yang di dalamnya keluar. Sebenarnya ia tinggal di lantai enam, tapi kalau harus menggunakan tangga darurat, bisa-bisa ia pingsan. Pintu lift terbuka di lantai tujuan.
“Permisi,” ucap Bintang agar pengguna lain bergeser. Kembali menghela lega, ia hampir sampai di unit untuk istirahat.
Lift di sebelah terbuka dan keluarlah seseorang yang dia kenal.
“Kamu ….”
Orang itu menoleh, dia Asoka. Terlihat berdecak dan melenggang pergi.
“Hei, tunggu.”
Bintang bergegas mengejar Asoka dan menahan langkah pria itu.
“Kenapa kamu ada disini? Jangan bilang kamu buntuti aku ya?” cecar Bintang.
Asoka menatap Bintang datar dan tanpa minat. Raut wajahnya menunjukan gurat kelelahan sama seperti Bintang.
“Percaya diri sekali, untuk apa aku ikuti kamu. Memang semenarik apa dirimu sampai aku lakukan hal begitu.”
Suara Asoka bagai gemuruh dan petir, sangat mengganggu dan cukup memekakan telinga. Emosi Bintang kembali tersulut.
“Kamu ….” Bintang mengepalkan kedua tangan menyalurkan emosinya. Kalau saja Asoka bukan rekan kerja apalagi ketua tim, ingin sekali dia menghajar wajah sok tampan dan sombong itu. Kalau perlu ia melayangkan tendangan maut sampai pria ini tersungkur.
Sabar, Bintang, sabar.
Bintang menarik nafas lalu menghembuskannya. Belum selesai, Asoka sudah kembali melangkah bahkan menyenggol Bintang saat melewatinya.
“Heh, tunggu dulu. Kamu ngapain ada di sini?” tanya Bintang mensejajari langkah Asoka.
“Menurut kamu?” Asoka malah balik tanya, masih terus melangkah.
“Jangan bilang kamu tinggal di sini juga? Tidak boleh, cukup di kantor saja. Jangan sampai kita tinggal di gedung yang sama.
Asoka menghentikan langkahnya dan menunjuk pintu unit. Unit dengan nomor 611.
“Aku memang tinggal di sini, sudah setahun.” Menekan tombol untuk membuka passcode dan akhirnya pintu unit terbuka, dia masuk lalu kembali menutup pintu.
“Hah, jadi kami tinggal di lantai yang sama. Juga …. “ Bintang menatap pintu unit di sebelahnya, 612. Unit miliknya berdampingan dengan milik Asoka.
Sebenarnya bukan milik pribadi, ia hanya menyewa. Tapi kalau harus pindah dengan alasan bertetangga dengan Asoka, sangat berlebihan. Selain ia sudah bayar diawal, mencari hunian aman dan nyaman dengan cepat sangat sulit. Ia pun pasrah harus bertetangga dengan Asoka, pria menyebalkan menurut versinya.
***
Bintang menguap, tidurnya kurang nyenyak. Mungkin karena di tempat baru, masih menyesuaikan diri. Keluar dari unitnya, berangkat lebih awal agar tidak terjebak macet. Ternyata tepat saat Asoka juga keluar dari unit miliknya.
Brak.
Bintang menutup pintu dengan keras, lalu mendahului pria itu bahkan tanpa menyapa. Sudah mengatakan kalau di luar kantor, tidak ada hubungan dan urusan. Jadi, ia tidak perlu berpura-pura ramah dan santun.
Sama-sama menunggu lift, saat pintu terbuka gegas Bintang melangkah duluan. Sudah ada beberapa orang di dalam lift, saat Asoka masuk terdengar alarm menandakan terlalu banyak beban. Bintang tersenyum smirk melihat Asoka melangkah keluar.
Hampir satu jam, Bintang tiba di kantor. Pagi ini dia menggunakan alternatif selain ojek online, nyatanya lebih lama dan sempat salah naik armada. Baru duduk dan menyalakan komputer. Sudah ada pesan di grup chat menginformasikan rapat tim, yang akan dilaksanakan sepuluh menit lagi.
“Masih ada waktu,” gumam Bintang lalu beranjak menuju pantry dan membuat kopi. Selain masih ada sisa kantuk, ia pun belum sarapan.
“Bintang.”
Bintang pun menoleh mendengar namanya disebut.
“Iya, mas,” sahut Bintang mendapati rekan satu timnya menghampiri. Pria itu bernama Marzuki, sesuai dengan id card karyawan yang digunakan.
“Mau kemana, kita sebentar lagi ada briefing.”
“Ke pantry, mas. Permisi.” Bintang mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya, mengabaikan Marzuki yang masih menatap. Entah apa yang digumamkan pria itu, yang jelas ia tidak suka berlama saling tatap. Ada rasa tidak nyaman, seperti tatapan pria mesum.
Briefing pun dimulai, saat Asoka memasuki ruangan. Hari sial sepertinya masih membayangi hidup Bintang. Mendapati Asoka dan dirinya harus berada dalam circle yang sama dan kali ini ia harus sabar karena Marzuki duduk di sampingnya. Bahkan ia harus rela menjawab pertanyaan receh dan gombal yang diucapkan pria itu.
“Selain project yang sudah berjalan, ada tugas baru untuk kita. Lumayan besar, proyek villa dan resto. Lokasi di luar kota, tepatnya kota B,” tutur Asoka sebagai ketua tim.
Bintang mendengarkan arahan dari Asoka, ia berusaha untuk profesional dan akan menunjukan kalau ia bisa diperhitungkan dengan kompetensinya.
“Untuk itu kita harus survey ke lokasi dan saya menugaskan Marzuki juga Bintang,” ujar Asoka lagi.
Bintang terbelalak tidak menduga namanya akan disebut. Mereka harus survei keluar kota dan ia harus berada diantara kedua pria ini. Kedua pria yang menyebalkan.
“Siap, mas,” sahut Marzuki. “Tenang saja Bintang, ada saya. Kamu akan nyaman selama dalam perjalanan ataupun di lokasi. Saya pastikan nyaman itu akan berubah juga menjadi benih-benih cinta.”
Peserta rapat langsung heboh mendengar ucapan Marzuki, kecuali Asoka. Bintang hanya senyum terpaksa merespon hal itu.
“Kita berangkat besok, kemungkinan tiga hari. Sekalian mengecek lokasi proyek yang sudah selesai. Jaraknya hanya dua jam dari lokasi ini,” tutur Asoka lagi.
“Oke, siap Mas Oka,” seru Marzuki.
“Bintang, kamu siap?” tanya Asoka. “Kalau tidak siap, saya bisa hubungi Pak Medi untuk urus mutasi kamu balik ke cabang.”
“Eh, jangan Mas. Saya, siap kok.”
“Siap apa?” tanya Asoka.
“Ya … siap itu, ikut survei,” sahut Bintang terbata.
“Biasakan fokus, jangan banyak melamun.”
Bintang mengangguk, tanpa menjawab Asoka. Tidak mungkin berdebat meski mulutnya ingin sekali merepet. Rasanya ingin dia jambak rambut pria yang berlagak sok ganteng itu. Siapa yang melamun, dia hanya tidak menduga kalau ditugaskan keluar kota.
Jadi kepikiran Candra. Di mana pria itu sekarang. Semoga tidak bertemu lagi, apalagi sampai kedapatan dirinya bekerja bersama Asoka.
Bab 39Asoka kembali ke kantor, baru saja menemui orangtuanya. Sudah diputuskan ia akan mengisi posisi yang lebih baik dan identitasnya akan disampaikan saat perayaan tahunan Emerald Company. Beberapa bulan lagi.Mobil sudah terparkir rapi di basement lalu menuju lift. Berharap Bintang belum pergi makan siang dan ia ada alasan untuk mengajak gadis itu keluar. Bucin, itu yang dia rasakan kini. Entahlah.Sampai di ruangan tidak mendapati meja Bintang kosong. Hanya ada beberapa orang di sana.“Mas, baru datang?” tanya Soni.“Hm.” Asoka mendekati kubikel Soni.“Bela kemana?” tanya Asoka. Alih-alih menanyakan Bintang malah bertanya tentang Bela.“Kelauar makan siang, kayaknya diundang Pak Candra. Udah dari tadi, belum jam istirahat mereka udah pergi.”“Pak Candra, BJ company?” tanya Asoka lagi.“Iya mas, siapa lagi. Tapi saya aneh deh. Pak Candra kayak yang gimana ke Bintang, tapi dekat juga sama Bela. Mereka sering komunikasi.Dalam hati Asoka mengumpat, sepertinya Candra memanfaatkan Bel
Bab 38Bela menghela nafas sebelum menarik kursi, Candra tersenyum. menuangkan minuman ke dalam gelasnya juga gelas yang disiapkan untuk Bela.“Susah juga hubungi kamu,” cetus Candra. “Kemarin aku kemari, kamu tidak ada.”“Aku sibuk.” Bela mengambil gelas yang sudah terisi lalu meneguk habis isinya. Mengernyit dan memejam pelan merasakan alkohol melewati tenggorokannya.“Kamu dan Bintang satu tim, kalian dekat?”“Bintang?” Bela balik tanya.“Hm.” Candra kembali menuangkan minuman ke gelas Bela.Berada di ruang VIP di klub malam. Meski pintu ditutup rapat, suara bising musik tetap terdengar.“Tidak, dia baru bergabung. Katanya mutasi dari cabang, entahlah. Bukan levelku berteman dengannya,” tutur Bela. “Kenapa … jangan bilang kamu suka dengan Bintang?”Candra tertawa lalu bersandar.“Kami pernah dekat, bisa dibilang pacaran waktu kuliah. Dia adik tingkatku.”Terkejut dengan informasi itu, Bela sempat menganga lalu bersedekap sambil menggeleng pelan.“Aku pikir seorang Candra seleranya
Bab 37Asoka memijat pelan tengkuknya saat keluar dari mobil. Merasa lelah dengan aktivitasnya hari ini. Serius tidak melibatkan Bintang dalam project milik Candra. Ia sendiri yang banyak terlibat di pekerjaan itu.Lelah dan kantuk yang dia rasakan, padahal ingin mengajak Bintang pulang bersama lalu makan malam. Rencana tinggal rencana. Memasuki area lobby dari arah basement, pandangan Asoka tertuju pada gadis yang baru keluar dari lift. berjalan sambil menunduk fokus dengan ponsel.Senyum terbit di wajah Asoka. Rasa lelahnya perlahan menguap mendapati gadis pujaan hati, muncul di hadapan.“Bintang.”Bintang pun menoleh.“Mas Oka, baru pulang?”“Hm. Mau kemana?” Asoka balik tanya.“Ke mini market. Aku lapar, di kamar nggak ada makanan.”“Oh, aku juga ada perlu ke sana.”Bintang dan Asoka berjalan bersisian meninggalkan lobby menuju minimarket. Dengan setelan rumahan, kaos dan celana pendek, Asoka memperhatikan Bintang.“Mas Oka lembut ya, pulang malam bener.”“Ada pekerjaan deadline,”
BAb 36“Dia tidak mengenaliku,” ujar Asoka mengulang pernyataannya.“Tapi dia mengenaliku,” seru Bintang dan Asoka mengedikan bahu. “Aku malas bertemu dengannya, bilang saja aku sibuk.”Bintang serius dengan ucapannya, ia berbalik hendak kembali ke ruangan. Asoka menahan dengan memegang tangannya.“Aku tidak berhak menyuruhmu, tapi temui dulu.”“Kedatangannya bukan urusan pekerjaan dan aku menolak bertemu dengannya.”“Aku pun berharap kalian tidak bertemu, tapi temui saja. Sepertinya Candra masih menaruh harapan dan perasaan untuk kamu.”Bintang tertawa. “Sayangnya aku tidak.”“Baguslah. Temui dia dan kita bicara. Aku tunggu di sini.”Bintang menatap Asoka. Pria itu berdiri dengan gaya khasnya, kedua tangan berada di dalam saku celana.“Dia di depan informasi. Itu tempat umum, tidak mungkin dia macam-macam.”Dengan malas Bintang pun menuju ruang tunggu tidak jauh dari meja informasi atau resepsionis. Candra melihat kedatangan Bintang, langsung berdiri dan tersenyum.“Hai, Bintang,” sa
Bab 35“Mas Oka sudah datang?” tanya Bela memastikan apa yang dia dengar. Ia pikir Asoka akan kembali dua hari lagi. Namun, pagi ini pria itu sudah kembali. “Lo serius mas Oka, bukan yang lain?”“Astaga Bela. Mata gue belum rabun kali. Orang seganteng itu nggak mungkin gue salah lihat.”“Hah, ribet ngomong sama kalian.” Bela meninggalkan meja informasi dan gegas menuju ruang kerjanya. Belum memikirkan lagi alasan yang tepat kenapa Bintang menggantikannya untuk survei.Sampai di ruangan, Asoka sudah ada di kubikelnya. Dalam hati Bela mengumpat, hari apa ini kenapa ia harus merasa sial padahal masih pagi. Berjalan pelan langsung menuju area kerjanya, berharap Asoka tidak melihat ia datang. Menghela lega, karena Asoka tidak merespon, bahkan sudah lima menit berlalu dan hampir semua karyawan di ruangan itu sudah hadir.“Aman,” gumam Bela sempat menoleh ke arah Asoka.Sedangkan di kubikel berbeda, Bintang berusaha fokus dengan layar komputernya. Namun, ada hal yang harus diselesaikan dan t
Bab 34Bela mengumpat karena ponselnya berdering dan nama Candra muncul di sana. Sudah menghindar dengan mengutus Bintang saat survei, semoga saja Oka tidak akan tahu. Nyatanya Candra malah telpon.“Malas banget sih. Gue ngarep sama anaknya Pak Akbar bukan sama lo.”Bela melemparkan ponsel ke atas ranjang, melepas pakaiannya lalu menuju toilet. Baru saja tiba, padahal urusan kerja sudah selesai sejak tadi sore. Sempat hangout bersama temannya sekedar nongkrong di café.Keluar dari toilet, masih mengenakan bathrobe. Bela mengambil ponselnya. Ada pesan masuk dari Candra.[Kirim kontak Bintang]“Ck, dasar buaya. Sekarang mau merasakan yang cupu, tapi nggak apa. Dari pada gangguin gue terus.”Baru akan mengirim kontak Bintang pada Candra, ponselnya berdering. Kali ini nama Asoka yang muncul di layar.“Mas Oka, mau ngapain sih. Udah malam gini nelpon segala.”Bela menghela nafas sebelum menjawab panggilan itu.“Malam Mas Oka,” sapa Bela.“Kenapa yang survei Soni dan Bintang, aku sudah arah







