Mag-log in
“Makasih ya pak,” seru Bintang sambil menyerahkan helm dan menaiki undakan tangga lobby.
Hari pertama ia bekerja, sebenarnya bukan kali pertama juga. Bintang dimutasi ke kantor pusat. Tentu saja karena pencapain dan prestasi kerjanya. Memasuki area lobby, gedung Emerald Company, ia bertanya pada bagian informasi lantai tujuannya. Emerald Design, Firma arsitektur. Salah satu usaha dari Emerald Company.
“Emerald Design, lantai delapan ya.”
“Lantai delapan, oke, terima kasih mbak,” ujar Bintang lalu bergegas menuju lift.
Tidak ingin memberikan kesan buruk di hari pertamanya bertugas. Ia tidak boleh terlambat. Melirik jam tangan, masih ada lima belas menit sebelum waktu kerja dimulai. Berdesakan saat memasuki lift, tidak mungkin menggunakan tangga darurat. Bisa-bisa ia kehabisan nafas saat tiba di lantai tujuan.
Keluar dari lift, Bintang melihat penunjuk arah dan kembali bertanya pada meja informasi.
“Saya Bintang Lita Anjani, dari cabang Jogja. Ini surat tugas mutasi saya,” ujar Bintang.
“Oh, mbak Bintang. Langsung temui Pak Medi, beliau pimpinan di sini.”
Bintang diantar untuk bertemu dengan Medi -- atasannya.
“Silahkan masuk.”
Bintang tersenyum dan mengangguk saat memasuki ruangan. Mengulurkan tangannya pada pria dengan jabatan tertinggi di firma tersebut.
“Saya Bintang, pak.”
“Iya, saya sudah tahu kamu Bintang. Karyawan yang dimutasi dari cabang hanya kamu. Silahkan duduk.”
Pria di hadapan Bintang menatap layar laptop lalu menurunkan kacamatanya.
“Entah bagaimana cara kerja di cabang, kalau di sini kita bekerja dibagi tim dan kamu saya masukan ke timnya … Ah, ini saja. Tim dua.”
Pria itu memberikan titah pada sekretarisnya melalui interkom.
“Panggilkan Oka!”
“Baik, Pak.”
“Kita tunggu ketua tim kamu. Ngomong-ngomong kamu bukan asli orang sini ya?” tanya Pak Medi sambil melepas kacamatanya.
“Bukan Pak,” jawab Bintang sambil mengangguk.
“Saya sudah baca CV kamu, ternyata kamu dan ketua tim satu almamater kampus. Mungkin saja kalian saling kenal apalagi kalian seumuran.”
“Mungkin pak,” jawab Bintang, entah siapa yang dimaksud oleh pria itu.
Terdengar ketukan pintu.
“Masuk!” titah Pak Medi. “Oka, kemarilah!”
Mendengar perintah Medi, Bintang pun berdiri. Rasanya tidak sopan kalau dia tetap duduk saat dikenalkan dengan rekan kerjanya, apalagi rekannya ini adalah ketua tim. Ia menoleh, seorang pria dengan wajah datar dan tegas mendekat. Dahi Bintang mengernyit, rasanya wajah pria ini tidak asing. Dia ….
“Ini anggota tim kamu yang baru, mutasi dari cabang. Namanya Bintang.”
Pria yang dipanggil Oka itu berdiri mematung berhadapan dengan Bintang. Sama-sama heran dan raut wajah terkejut.
“Kamu ….” Bintang mencoba mengingat lagi sosok di hadapannya.
“Asoka, saya Asoka.” Pria itu mengulurkan tangannya.
Bintang menyambut dengan ragu-ragu. Pria bertubuh tinggi dan berkulit putih. Rambut agak ikal, tapi terlihat rapi. Rahang tegas dengan hidung mancung, membuat penampilannya terlihat sempurna.
Semua wanita yang baru melihat Asoka pasti sepakat kalau pria ini sangat tampan dan tidak ada cela dari sosoknya. Dengan setelan celana panjang hitam dan kemeja lengan panjang marun yang dilipat sampai siku, sangat menyempurnakan raganya.
“Bintang,” ucap Bintang.
“Kalian belum kenal, padahal satu kampus,” ujar Medi.
Tangan Asoka dan Bintang masih saling menjabat, sampai akhirnya Bintang menyadari sesuatu lalu melepaskan tangannya.
“Kamu … Asoka Brata, kating saya di univ X?”
“Hm.” Asoka bersedekap menatap Bintang masih dengan raut wajah datar.
“Astaga, lalu kita satu tim?” tanya Bintang memastikan lagi sambil menatap Asoka dan Medi bergantian.
“Oh, sudah saling kenal ‘kan? Baguslah, saya yakin kalian bisa jadi tim yang solid karena sudah saling kenal, pasti sudah ada chemistry. Iya ‘kan?” tanya Medi.
“Tidak,” jawab Asoka dan Bintang serempak menatap Medi.
“Waduh, gawat ini.”
Bintang mendengus kesal karena ia bertemu lagi dengan Asoka. Pria yang sudah menimbulkan kesalahpahaman di masa lalu dan tidak bisa menjelaskan apapun. Teringat lagi kejadian lima tahun lalu, saat masih kuliah. Kejadian salah paham dan berakhir memalukan. Apalagi dia harus rela patah hati diputuskan kekasihnya, semua itu terjadi karena pria ini. Asoka Brata.
Mengikuti acara kampus dan mengharuskan mereka bermalam di penginapan. BIntang baru selesai mandi dan hanya mengenakan bathrobe ketika keluar dari toilet mendapati seorang pria tertidur di ranjang kamarnya. Kondisi pria itu bertelanjang dada dengan selimut menutupi sampai pinggang. Padahal ia sekamar dengan rekannya yang jelas-jelas perempuan.
“Dia siapa, kenapa ada di sini.” Bintang mendekat ke ranjang. “Hei, bangun!” Menepuk lengan pria itu beberapa kali yang langsung menggeliat pelan dan mengerang.
“Siapa kamu? Kenapa ….”
Brak.
Bintang terkejut karena pintu kamar dibuka paksa, pria itu langsung beranjak duduk sambil mengucek mata dan rambut acak-acakan.
“Oh, jadi benar isu kegiatan ini dimanfaatkan juga untuk mesum.”
“Kak Candra,” ucap Bintang terbata.
Candra adalah kekasih Bintang, senior di kampus. Bersama dengan dua orang senior lainnya mereka tersenyum sinis bahkan bergumam merendahkan. Bintang menghampiri Candra.
“Kak, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti yang terlihat.”
“Mau jelaskan apa? Kondisi kalian begini, bisa dipastikan kalau kalian baru … ck, menjijikan.” Candra berdecak dengan senyum sinis.
Bintang menyadari dia hanya mengenakan bathrobe dan pria itu tidak menggunakan kaos atau atasan apapun.
“Tapi aku nggak tahu kenapa dia ada di sini,” ujar Bintang berusaha menjelaskan situasinya bahkan sambil memegang lengan Candra.
“Lepaskan tanganmu dari tubuhku.” Candra mengusap lengan yang tadi disentuh Bintang seakan menghempas debu dan kotoran yang menempel.
“Lo, Asoka ‘kan?” tanya rekan Candra.
Pria itu mengangguk lalu turun dari ranjang, menatap sekeliling dan mendapati kaosnya ada di lantai gegas ia memakai kaos itu.
“Kalian berdua ikut kami!” seru rekan Candra yang lain.
“Pakai baju kamu, murahan banget sih,” ejek Candra pada Bintang.
“Kak, dengarkan aku dulu. Ini nggak seperti yang kamu kira. Aku nggak kenal dia dan nggak tahu kenapa bisa ada di kamar ini.”
“Aku tidak butuh penjelasan. Kondisi kalian bisa menjelaskan apa yang sudah terjadi. Mulai sekarang kita putus, kamu bisa lanjut sama dia.” Candra menunjuk pria bernama Asoka.
“Tapi … kak, tolong percaya aku,” rengek Bintang lalu menoleh pada Asoka. “Kamu jelaskan kalau kita tidak melakukan apapun,” titah Bintang.
“Kalau tidak macam-macam, kenapa kalian bisa ada di kamar ini?” tanya Candra.
“Aku nggak ngerti kak. Sumpah aku baru beres mandi, lihat dia ada di ranjang lalu kalian datang.”
“Seharusnya kamu di aula, sebentar lagi acara dimulai dan kamu tanggung jawab di acara. Kenapa bisa ada di sini?” tanya Candra pada Asoka.
Semua orang yang ada di ruangan itu memusatkan perhatian pada Asoka yang masih berusaha fokus. Asoka memegang kepalanya yang masih terasa pening.
“Hei, jawab!” teriak Candra.
“Aku ….”
Bab 39Asoka kembali ke kantor, baru saja menemui orangtuanya. Sudah diputuskan ia akan mengisi posisi yang lebih baik dan identitasnya akan disampaikan saat perayaan tahunan Emerald Company. Beberapa bulan lagi.Mobil sudah terparkir rapi di basement lalu menuju lift. Berharap Bintang belum pergi makan siang dan ia ada alasan untuk mengajak gadis itu keluar. Bucin, itu yang dia rasakan kini. Entahlah.Sampai di ruangan tidak mendapati meja Bintang kosong. Hanya ada beberapa orang di sana.“Mas, baru datang?” tanya Soni.“Hm.” Asoka mendekati kubikel Soni.“Bela kemana?” tanya Asoka. Alih-alih menanyakan Bintang malah bertanya tentang Bela.“Kelauar makan siang, kayaknya diundang Pak Candra. Udah dari tadi, belum jam istirahat mereka udah pergi.”“Pak Candra, BJ company?” tanya Asoka lagi.“Iya mas, siapa lagi. Tapi saya aneh deh. Pak Candra kayak yang gimana ke Bintang, tapi dekat juga sama Bela. Mereka sering komunikasi.Dalam hati Asoka mengumpat, sepertinya Candra memanfaatkan Bel
Bab 38Bela menghela nafas sebelum menarik kursi, Candra tersenyum. menuangkan minuman ke dalam gelasnya juga gelas yang disiapkan untuk Bela.“Susah juga hubungi kamu,” cetus Candra. “Kemarin aku kemari, kamu tidak ada.”“Aku sibuk.” Bela mengambil gelas yang sudah terisi lalu meneguk habis isinya. Mengernyit dan memejam pelan merasakan alkohol melewati tenggorokannya.“Kamu dan Bintang satu tim, kalian dekat?”“Bintang?” Bela balik tanya.“Hm.” Candra kembali menuangkan minuman ke gelas Bela.Berada di ruang VIP di klub malam. Meski pintu ditutup rapat, suara bising musik tetap terdengar.“Tidak, dia baru bergabung. Katanya mutasi dari cabang, entahlah. Bukan levelku berteman dengannya,” tutur Bela. “Kenapa … jangan bilang kamu suka dengan Bintang?”Candra tertawa lalu bersandar.“Kami pernah dekat, bisa dibilang pacaran waktu kuliah. Dia adik tingkatku.”Terkejut dengan informasi itu, Bela sempat menganga lalu bersedekap sambil menggeleng pelan.“Aku pikir seorang Candra seleranya
Bab 37Asoka memijat pelan tengkuknya saat keluar dari mobil. Merasa lelah dengan aktivitasnya hari ini. Serius tidak melibatkan Bintang dalam project milik Candra. Ia sendiri yang banyak terlibat di pekerjaan itu.Lelah dan kantuk yang dia rasakan, padahal ingin mengajak Bintang pulang bersama lalu makan malam. Rencana tinggal rencana. Memasuki area lobby dari arah basement, pandangan Asoka tertuju pada gadis yang baru keluar dari lift. berjalan sambil menunduk fokus dengan ponsel.Senyum terbit di wajah Asoka. Rasa lelahnya perlahan menguap mendapati gadis pujaan hati, muncul di hadapan.“Bintang.”Bintang pun menoleh.“Mas Oka, baru pulang?”“Hm. Mau kemana?” Asoka balik tanya.“Ke mini market. Aku lapar, di kamar nggak ada makanan.”“Oh, aku juga ada perlu ke sana.”Bintang dan Asoka berjalan bersisian meninggalkan lobby menuju minimarket. Dengan setelan rumahan, kaos dan celana pendek, Asoka memperhatikan Bintang.“Mas Oka lembut ya, pulang malam bener.”“Ada pekerjaan deadline,”
BAb 36“Dia tidak mengenaliku,” ujar Asoka mengulang pernyataannya.“Tapi dia mengenaliku,” seru Bintang dan Asoka mengedikan bahu. “Aku malas bertemu dengannya, bilang saja aku sibuk.”Bintang serius dengan ucapannya, ia berbalik hendak kembali ke ruangan. Asoka menahan dengan memegang tangannya.“Aku tidak berhak menyuruhmu, tapi temui dulu.”“Kedatangannya bukan urusan pekerjaan dan aku menolak bertemu dengannya.”“Aku pun berharap kalian tidak bertemu, tapi temui saja. Sepertinya Candra masih menaruh harapan dan perasaan untuk kamu.”Bintang tertawa. “Sayangnya aku tidak.”“Baguslah. Temui dia dan kita bicara. Aku tunggu di sini.”Bintang menatap Asoka. Pria itu berdiri dengan gaya khasnya, kedua tangan berada di dalam saku celana.“Dia di depan informasi. Itu tempat umum, tidak mungkin dia macam-macam.”Dengan malas Bintang pun menuju ruang tunggu tidak jauh dari meja informasi atau resepsionis. Candra melihat kedatangan Bintang, langsung berdiri dan tersenyum.“Hai, Bintang,” sa
Bab 35“Mas Oka sudah datang?” tanya Bela memastikan apa yang dia dengar. Ia pikir Asoka akan kembali dua hari lagi. Namun, pagi ini pria itu sudah kembali. “Lo serius mas Oka, bukan yang lain?”“Astaga Bela. Mata gue belum rabun kali. Orang seganteng itu nggak mungkin gue salah lihat.”“Hah, ribet ngomong sama kalian.” Bela meninggalkan meja informasi dan gegas menuju ruang kerjanya. Belum memikirkan lagi alasan yang tepat kenapa Bintang menggantikannya untuk survei.Sampai di ruangan, Asoka sudah ada di kubikelnya. Dalam hati Bela mengumpat, hari apa ini kenapa ia harus merasa sial padahal masih pagi. Berjalan pelan langsung menuju area kerjanya, berharap Asoka tidak melihat ia datang. Menghela lega, karena Asoka tidak merespon, bahkan sudah lima menit berlalu dan hampir semua karyawan di ruangan itu sudah hadir.“Aman,” gumam Bela sempat menoleh ke arah Asoka.Sedangkan di kubikel berbeda, Bintang berusaha fokus dengan layar komputernya. Namun, ada hal yang harus diselesaikan dan t
Bab 34Bela mengumpat karena ponselnya berdering dan nama Candra muncul di sana. Sudah menghindar dengan mengutus Bintang saat survei, semoga saja Oka tidak akan tahu. Nyatanya Candra malah telpon.“Malas banget sih. Gue ngarep sama anaknya Pak Akbar bukan sama lo.”Bela melemparkan ponsel ke atas ranjang, melepas pakaiannya lalu menuju toilet. Baru saja tiba, padahal urusan kerja sudah selesai sejak tadi sore. Sempat hangout bersama temannya sekedar nongkrong di café.Keluar dari toilet, masih mengenakan bathrobe. Bela mengambil ponselnya. Ada pesan masuk dari Candra.[Kirim kontak Bintang]“Ck, dasar buaya. Sekarang mau merasakan yang cupu, tapi nggak apa. Dari pada gangguin gue terus.”Baru akan mengirim kontak Bintang pada Candra, ponselnya berdering. Kali ini nama Asoka yang muncul di layar.“Mas Oka, mau ngapain sih. Udah malam gini nelpon segala.”Bela menghela nafas sebelum menjawab panggilan itu.“Malam Mas Oka,” sapa Bela.“Kenapa yang survei Soni dan Bintang, aku sudah arah







