LOGINBab 5
“Dasar nggak peka. Hampir dua jam nggak ada inisiatif melipir. Hih.” Bintang bergumam mengeluarkan keluhannya terhadap Asoka saat mencuci tangan. Baru saja selesai dengan urusan di bilik toilet.
Mengecek di maps, ternyata perjalanan mereka masih dua jam lagi. Tidak ingin bergegas, Bintang mematut dulu wajahnya di cermin. Memastikan penampilannya masih layak.
“Oke, kita lanjut lagi. Satu mobil dengan kulkas dari kutub dan raja gombal. Biar kata jomblo, nggak ada tertarik sama kedua cowok itu. Hih, jauh-jauh deh.”
Bintang keluar dari toilet, hendak berbelok keluar menuju minimarket di mana Asoka menunggu.
“Sudah beres?”
“Astaga,” pekik Bintang sambil mengurut dada.
“Kamu lucu kalau kaget gitu, tambah imut,” seru Marzuki sambil terkekeh.
“Ish, jangan gitu lagi, mas. Saya kaget loh.”
“Oh iyakah, maaf ya. Padahal aku niat baik tungguin kamu.” Melihat gerakan Marzuki yang akan menyentuhnya, Bintang gegas melangkah pergi. “Hei, Bintang, kok pergi.”
Asoka berada di meja tidak jauh dari mini market, menyesap kopinya dengan pandangan tertuju ke arah Bintang dan Marzuki. Raut wajah gadis itu terlihat merengut dan menghindari Zuki.
“Langsung jalan, mas?” tanya Bintang langsung duduk di kursi berseberangan dengan Asoka.
“Sepuluh menit lagi.” Asoka menjawab sambil fokus dengan ponsel lalu menyesap kopinya.
“Bintang mau minum apa?” tanya Marzuki.
Asoka mengangkat goody bag yang ada di bawahnya lalu meletakkan di atas meja, terlihat beberapa botol air mineral juga minuman kaleng dan beberapa bungkus snack.
“Kalau ingin yang lain, beli sendiri," ucap Asoka.
“Ini cukup kok,” sahut Bintang lalu mengambil botol air mineral, membuka seal dan meneguknya. Mengabaikan Marzuki yang menawarkan kopi dan coklat panas dengan gelengan pelan.
Asoka masih fokus dengan ponsel, begitu pun dengan Bintang. Marzuki sudah melipir memesan kopi.
“Sepertinya Marzuki suka sama kamu.”
“Wajarlah, saya ‘kan cantik,” sahut Bintang dengan bangga.
“Perjalanan kita ini penting, bersikap profesional dengan tidak melibatkan perasaan. Simpan momen romantis kalian untuk nanti dan jangan diumbar di depan saya.”
“Hah, saya nggak baperan Cuma karena rayuan gombal. Lagian siapa juga yang suka dengan playboy itu. Saya bilang wajar suka karena saya cantik, bukan berarti saya juga suka sama dia,” tutur Bintang dan Asoka hanya mengedikan bahu membuat Bintang kesal dengan respon pria itu. Andai saja bukan ketua tim, sudah dia siram dengan sisa air mineral miliknya.
“Ah, jangan bilang kamu cemburu ya,” tuduh Bintang pada Asoka. Ketika di luar kantor dan hanya ada mereka berdua, Bintang tidak bersikap formal. Apalagi usia mereka tidak jauh.
“Cemburu?” Asoka memandang Bintang sambil mengernyitkan dahi dan Bintang mengangguk mantap lalu mencibir. “Astaga. Kamu pikir saya putus asa sampai cemburu dengan kamu. Sayangnya, kamu bukan tipe saya.”
“Yey, situ juga bukan tipe saya.”
“Bahas apa nih, serius amat.” Marzuki kembali bergabung membawa cup kopi. “Aku dengar masalah tipe, tipe apa?” tanyanya dengan pandangan tertuju pada Bintang.
“Tipe pasangan mas,” sahut Bintang tanpa minat.
“Wah, topik yang menarik. Tipe pria ideal kamu, kayak gimana?”
“Tipe saya yang agak tinggi, gagah, dewasa dan … ya pokoknya manly banget deh. Ganteng, udah pasti. Meski postur saya semungil botol yakult, tapi idaman saya kayak botol kecap.”
“Botol yakult, botol kecap, maksudnya gimana?” Marzuki menggaruk kepala tidak mengerti dengan penjelasan Bintang.
Asoka yang paham hendak tertawa, tapi ditahan dan mengulum senyum. Secara tidak langsung, Bintang mengatakan Marzuki bukan tipe idamannya karena tinggi badan yang standar.
Tunggu dulu, kenapa kriteria yang disampaikan Bintang agak mirip denganku, batin Asoka.
“Kita jalan sekarang.” Asoka berdiri saat Marzuki hendak bicara, Bintang ikut berdiri membawa goody bag berisi perbekalan selama di perjalanan.
“Botol yakult, maksudnya kamu suka minum yakult?” tanya Marzuki masih penasaran.
“Lupakan saja, mas.”
***
Bintang segera menyusul langkah Asoka, bukan karena tertarik pada pria itu. Malah sebenarnya masih sebal. Paling tidak ketika ada Asoka, Marzuki masih membatasi diri. Sudah tiba di lokasi tujuan, ternyata tempat yang mereka survey adalah Vila yang sudah terbengkalai. Berada di wilayah pegunungan dan area wisata. Melewati jalan menanjak dan ada tangga bebatuan menuju villa utama.
“Coba kalian perhatikan, luas area ini dan struktur tanah yang tidak sama,” seru Asoka. Bintang dan Marzuki ikut menatap sekeliling area dan setuju dengan pendapat pria itu.
“Bintang, kamu ambil foto tempat ini. Terstruktur dan berlanjut. Video juga dari gerbang sana, minta penjaga tempat ini menemani kamu. Marzuki ikut aku, kita ke atas lagi,” titah Asoka lalu memakai kaca mata hitamnya. Suasana sudah mulai terik meski hembusan angin terasa menyejukan.
“Oke,” sahut Bintang lalu menguncir rambutnya dengan gaya ekor kuda dan memakai topi untuk menghalau teriknya matahari.
Tanpa disadari, apa yang dilakukan oleh Bintang menjadi perhatian Asoka dan Marzuki. Bahkan saat gadis itu bersenandung dan menjauh mengerjakan perintah Asoka, masih dalam pandangan kedua pria itu.
“Manis, sangat manis,” ujar Marzuki.
Mendengar itu Asoka lalu mengalihkan pandangan dan refleks berdeham. “Kita ke atas,” ajaknya.
“Tapi Mas Asoka setuju dengan saya ‘kan?” tanya Marzuki sambil memperhatikan langkahnya.
Area tersebut sepertinya sudah lama tidak dihuni dan dirawat, bahkan hanya ada petugas yang menjaga agar tidak ada orang keluar masuk.
“Setuju apa?”
“Setuju kalau Bintang itu macan,” sahut Marzuki membuat Asoka menoleh ke arahnya. “Manis dan cantik.”
“Sebelumnya Bela kamu pepet terus, lalu Anis dari tim lain. Sekarang Bintang. Apa kamu mengoleksi para gadis?”
Marzuki terkekeh.
“Bela bukan gadis dan bukan saya yang merenggut kegadisannya. Anis, ya nggak jauh beda. Katanya udah diambil cowoknya. Kalau Bintang entahlah, belum berhasil. Mas Oka gimana, udah ada pacar?” tanya Marzuki tanpa beban apalagi rasa bersalah. Seolah yang dibicarakan bukan hal yang tabu. Secara tidak langsung dia sudah mengakui pernah melakukan sesuatu dengan dua wanita yang disebutkan tadi dan Bintang adalah target berikutnya.
Mendengar itu, Asoka jijik sendiri. Namun, tidak menunjukan ketidaksukaannya akan pengakuan Marzuki. Karena hal itu urusan pribadi masing-masing.
“Belum, saya belum ada pacar.”
“Masa sih. Harusnya manfaat kelebihan Mas Asoka. Saya yang tampang biasa aja mudah mendapatkan wanita. Kalau saya jadi Mas Asoka, mungkin udah kayak novel genre harem. Dikelilingi wanita cantik dan berganti pasangan udah kayak ganti baju.”
Asoka menarik nafas. “Ternyata kamu bangs4t juga ya.”
Bab 39Asoka kembali ke kantor, baru saja menemui orangtuanya. Sudah diputuskan ia akan mengisi posisi yang lebih baik dan identitasnya akan disampaikan saat perayaan tahunan Emerald Company. Beberapa bulan lagi.Mobil sudah terparkir rapi di basement lalu menuju lift. Berharap Bintang belum pergi makan siang dan ia ada alasan untuk mengajak gadis itu keluar. Bucin, itu yang dia rasakan kini. Entahlah.Sampai di ruangan tidak mendapati meja Bintang kosong. Hanya ada beberapa orang di sana.“Mas, baru datang?” tanya Soni.“Hm.” Asoka mendekati kubikel Soni.“Bela kemana?” tanya Asoka. Alih-alih menanyakan Bintang malah bertanya tentang Bela.“Kelauar makan siang, kayaknya diundang Pak Candra. Udah dari tadi, belum jam istirahat mereka udah pergi.”“Pak Candra, BJ company?” tanya Asoka lagi.“Iya mas, siapa lagi. Tapi saya aneh deh. Pak Candra kayak yang gimana ke Bintang, tapi dekat juga sama Bela. Mereka sering komunikasi.Dalam hati Asoka mengumpat, sepertinya Candra memanfaatkan Bel
Bab 38Bela menghela nafas sebelum menarik kursi, Candra tersenyum. menuangkan minuman ke dalam gelasnya juga gelas yang disiapkan untuk Bela.“Susah juga hubungi kamu,” cetus Candra. “Kemarin aku kemari, kamu tidak ada.”“Aku sibuk.” Bela mengambil gelas yang sudah terisi lalu meneguk habis isinya. Mengernyit dan memejam pelan merasakan alkohol melewati tenggorokannya.“Kamu dan Bintang satu tim, kalian dekat?”“Bintang?” Bela balik tanya.“Hm.” Candra kembali menuangkan minuman ke gelas Bela.Berada di ruang VIP di klub malam. Meski pintu ditutup rapat, suara bising musik tetap terdengar.“Tidak, dia baru bergabung. Katanya mutasi dari cabang, entahlah. Bukan levelku berteman dengannya,” tutur Bela. “Kenapa … jangan bilang kamu suka dengan Bintang?”Candra tertawa lalu bersandar.“Kami pernah dekat, bisa dibilang pacaran waktu kuliah. Dia adik tingkatku.”Terkejut dengan informasi itu, Bela sempat menganga lalu bersedekap sambil menggeleng pelan.“Aku pikir seorang Candra seleranya
Bab 37Asoka memijat pelan tengkuknya saat keluar dari mobil. Merasa lelah dengan aktivitasnya hari ini. Serius tidak melibatkan Bintang dalam project milik Candra. Ia sendiri yang banyak terlibat di pekerjaan itu.Lelah dan kantuk yang dia rasakan, padahal ingin mengajak Bintang pulang bersama lalu makan malam. Rencana tinggal rencana. Memasuki area lobby dari arah basement, pandangan Asoka tertuju pada gadis yang baru keluar dari lift. berjalan sambil menunduk fokus dengan ponsel.Senyum terbit di wajah Asoka. Rasa lelahnya perlahan menguap mendapati gadis pujaan hati, muncul di hadapan.“Bintang.”Bintang pun menoleh.“Mas Oka, baru pulang?”“Hm. Mau kemana?” Asoka balik tanya.“Ke mini market. Aku lapar, di kamar nggak ada makanan.”“Oh, aku juga ada perlu ke sana.”Bintang dan Asoka berjalan bersisian meninggalkan lobby menuju minimarket. Dengan setelan rumahan, kaos dan celana pendek, Asoka memperhatikan Bintang.“Mas Oka lembut ya, pulang malam bener.”“Ada pekerjaan deadline,”
BAb 36“Dia tidak mengenaliku,” ujar Asoka mengulang pernyataannya.“Tapi dia mengenaliku,” seru Bintang dan Asoka mengedikan bahu. “Aku malas bertemu dengannya, bilang saja aku sibuk.”Bintang serius dengan ucapannya, ia berbalik hendak kembali ke ruangan. Asoka menahan dengan memegang tangannya.“Aku tidak berhak menyuruhmu, tapi temui dulu.”“Kedatangannya bukan urusan pekerjaan dan aku menolak bertemu dengannya.”“Aku pun berharap kalian tidak bertemu, tapi temui saja. Sepertinya Candra masih menaruh harapan dan perasaan untuk kamu.”Bintang tertawa. “Sayangnya aku tidak.”“Baguslah. Temui dia dan kita bicara. Aku tunggu di sini.”Bintang menatap Asoka. Pria itu berdiri dengan gaya khasnya, kedua tangan berada di dalam saku celana.“Dia di depan informasi. Itu tempat umum, tidak mungkin dia macam-macam.”Dengan malas Bintang pun menuju ruang tunggu tidak jauh dari meja informasi atau resepsionis. Candra melihat kedatangan Bintang, langsung berdiri dan tersenyum.“Hai, Bintang,” sa
Bab 35“Mas Oka sudah datang?” tanya Bela memastikan apa yang dia dengar. Ia pikir Asoka akan kembali dua hari lagi. Namun, pagi ini pria itu sudah kembali. “Lo serius mas Oka, bukan yang lain?”“Astaga Bela. Mata gue belum rabun kali. Orang seganteng itu nggak mungkin gue salah lihat.”“Hah, ribet ngomong sama kalian.” Bela meninggalkan meja informasi dan gegas menuju ruang kerjanya. Belum memikirkan lagi alasan yang tepat kenapa Bintang menggantikannya untuk survei.Sampai di ruangan, Asoka sudah ada di kubikelnya. Dalam hati Bela mengumpat, hari apa ini kenapa ia harus merasa sial padahal masih pagi. Berjalan pelan langsung menuju area kerjanya, berharap Asoka tidak melihat ia datang. Menghela lega, karena Asoka tidak merespon, bahkan sudah lima menit berlalu dan hampir semua karyawan di ruangan itu sudah hadir.“Aman,” gumam Bela sempat menoleh ke arah Asoka.Sedangkan di kubikel berbeda, Bintang berusaha fokus dengan layar komputernya. Namun, ada hal yang harus diselesaikan dan t
Bab 34Bela mengumpat karena ponselnya berdering dan nama Candra muncul di sana. Sudah menghindar dengan mengutus Bintang saat survei, semoga saja Oka tidak akan tahu. Nyatanya Candra malah telpon.“Malas banget sih. Gue ngarep sama anaknya Pak Akbar bukan sama lo.”Bela melemparkan ponsel ke atas ranjang, melepas pakaiannya lalu menuju toilet. Baru saja tiba, padahal urusan kerja sudah selesai sejak tadi sore. Sempat hangout bersama temannya sekedar nongkrong di café.Keluar dari toilet, masih mengenakan bathrobe. Bela mengambil ponselnya. Ada pesan masuk dari Candra.[Kirim kontak Bintang]“Ck, dasar buaya. Sekarang mau merasakan yang cupu, tapi nggak apa. Dari pada gangguin gue terus.”Baru akan mengirim kontak Bintang pada Candra, ponselnya berdering. Kali ini nama Asoka yang muncul di layar.“Mas Oka, mau ngapain sih. Udah malam gini nelpon segala.”Bela menghela nafas sebelum menjawab panggilan itu.“Malam Mas Oka,” sapa Bela.“Kenapa yang survei Soni dan Bintang, aku sudah arah







