LOGINBAb 6
“Ternyata, kamu bangsat juga ya.”
Marzuki terkekeh, padahal Asoka menyinggungnya. Mungkin karena merasa dirinya memang bangs4t.
“Mas Oka,” ucap Marzuki. “Di dunia ini hanya ada dua jenis pria. Bangs4t dan belok. Hanya kadar kebangs4tannya berbeda-beda. Seharusnya para wanita bersyukur dengan pria macam saya ini, dari pada dapat yang belok. Mas Oka, jangan kelamaan jomblo takutnya jadi belok,” tutur Marzuki lalu menepuk bahu Asoka dan berjalan mendahului.
Dasar gila, batin Asoka.
Kegiatan mereka sempat terjeda makan siang, lalu kembali ke lokasi untuk melengkapi dokumentasi yang dibutuhkan. Hampir pukul tiga saat rombongan itu berpindah ke penginapan yang tidak jauh dari lokasi survei untuk bermalam dan melanjutkan pekerjaan mereka.
Asoka dan Marzuki satu kamar dan Bintang di kamar berbeda. Kebetulan kamar mereka terjeda dua kamar lainnya.
“Kita rehat dulu, setengah jam lagi kita kumpul di sini,” seru Asoka menunjuk ruang tunggu yang cukup luas menghadap ke arah taman. “kita perlu satukan dokumentasi dan informasi untuk mulai mendesain.”
“Baik, mas,” sahut Bintang. Di saat bekerja begini, ia berusaha sekali untuk profesional dan melupakan masalahnya dengan pria itu.
“Bintang mau ditemenin nggak?”
Bintang hanya tersenyum sinis, tanpa menjawab candaan raja gombal. Malas pula menanggapi.
“Aku serius loh, katanya kamar villa, hotel atau penginapan itu menyeramkan karena tidak setiap hari dihuni.”
“Maksudnya?”
“Iya, mana tahu di kamar kamu nanti ada … hantu.”
“Mas Zuki ini bisa aja deh. Masa mau temani saya khawatir ada hantu, kalau kalian bertemu gimana? Hantu ketemu hantu,” sahut Bintang dan berhasil membuat raut wajah Marzuki berubah kesal karena ejekan itu. “Lagian ya mas, saya lebih takut sama buaya darat dari pada hantu.”
Asoka ingin tertawa, tapi dia tahan. Paling tidak bisa membuat Marzuki terdiam. Memastikan Bintang sudah memasuki kamar, baru Asoka membuka pintu kamar miliknya.
***
Marzuki dan Bintang sudah fokus dengan laptop masing-masing, sedangkan Asoka sedang menelpon seseorang. Sepertinya menghubungi kantor. Tidak begitu jelas yang dibicarakan karena berdiri agak jauh.
“Gimana, ada kesulitan?” tanya Marzuki merapatkan duduknya pada Bintang.
Interaksi tersebut membuat Bintang tidak nyaman, hanya menggeleng dan fokus pada layar.
“Nanti malam ‘kan free, nggak mungkin kita masih urus beginian. Sama aja lembur. Gimana kalau kita keluar? Di tempat wisata begini, biasanya banyak tempat menarik dan seru.”
“Hm, lihat nanti ya mas,” sahut Bintang lalu berdiri.
“Mau kemana?” Marzuki hendak bertanya yang sama, tapi keduluan oleh Asoka yang sudah duduk di salah satu sofa.
“Ke toilet.”
Asoka mengangguk lalu menempati sofa tunggal. Mereka memulai diskusi meski Bintang belum hadir. Diskusi itu berlangsung cukup lama, jam enam lewat baru berakhir.
“Mas Oka, malam ini kita free ‘kan?”
“Hm. Jam tujuh kita makan malam. Boleh di sini atau ke luar, terserah kalian. Setelah itu, boleh rehat.”
“Ah, gimana kalau keluar saja mas. Sekalian lagi di sini, keliling-keliling dulu lah.”
“Oke.” Asoka tidak ingin berdebat dengan Marzuki, meski penasaran dengan rencana pria itu. Gelagatnya semakin tidak biasa dan tidak ragu menatap Bintang penuh damba.
Belum terlalu malam, sudah terasa sangat dingin. Asoka berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku jaket menatap sekitar. Ada beberapa mobil lain penghuni dari penginapan tersebut. Marzuki berdiri agak jauh karena merokok.
“Maaf mas,” ucap Bintang yang baru bergabung dengan nafas agar terengah sepertinya berlari dari kamar. Jarak kamar ke area parkir memang cukup jauh.
“Biasakan tepat waktu, kamu tahu saya tidak suka orang yang tidak disiplin,” tegur Asoka.
“Iya, maaf.” Ingin sekali Bintang mendebat Asoka, tapi urung mendapati ada Marzuki diantara mereka.
Selama berada di resto, Marzuki menjadi perhatian oleh Asoka meski tidak kentara. Ia khawatir Marzuki akan melakukan rencananya malam ini. Mana tahu ia buat Bintang mabuk. Namun, tidak ada gerakan mencurigakan apa lagi kesempatan untuk melakukan sesuatu dengan makanan mereka.
Bahkan sampai mereka kembali ke penginapan, hanya celoteh dan rayuan gombal saja yang dilakukan oleh Marzuki.
“Saya duluan, permisi,” ujar Bintang lalu menuju kamarnya.
“Selamat tidur Bintang, jangan lupa mimpikan aku ya,” seru Marzuki.
“Mau langsung ke kamar atau ….”
“Saya merokok dulu, mas. Pahit mulut." Marzuki menyela ucapan Asoka yang mengangguk lalu memasuki kamar, sengaja tidak menutup pintu dan membiarkan terbuka setengah agar bisa mengawasi rekannya itu. Tidak terlihat pergerakan yang aneh, Marzuki hanya merokok sambil fokus pada ponsel.
Brak.
Pintu kamar ditutup oleh Marzuki lalu menguncinya. Kamar itu terdiri dari dua ranjang. Marzuki langsung merebahkan diri setelah melepas sepatunya. Asoka memasuki toilet untuk berganti pakaian.
“Hah.” Marzuki beranjak duduk dan bersila di atas ranjang. “Gimana mau menjalankan rencana kalau kayak gini. Pergerakan gue kayak diawasi. Ck, kantor nggak modal amat sampai harus satu kamar sama Oka. Jangan-jangan dia bener belok ya, padahal gue udah nunjukin tempat hiburan malam di wilayah sini. Aneh, dasar banc1,” ejek Marzuki.
Asoka mendengar jelas apa yang dikatakan oleh Marzuki, pintu toilet ia tidak tutup dengan rapat dan sengaja memantau pergerakan pria itu. Nyatanya benar, Marzuki kesal dan mengumpat untuknya.
“Kita lihat saja, apa rencanamu bisa berhasil.”
Bab 39Asoka kembali ke kantor, baru saja menemui orangtuanya. Sudah diputuskan ia akan mengisi posisi yang lebih baik dan identitasnya akan disampaikan saat perayaan tahunan Emerald Company. Beberapa bulan lagi.Mobil sudah terparkir rapi di basement lalu menuju lift. Berharap Bintang belum pergi makan siang dan ia ada alasan untuk mengajak gadis itu keluar. Bucin, itu yang dia rasakan kini. Entahlah.Sampai di ruangan tidak mendapati meja Bintang kosong. Hanya ada beberapa orang di sana.“Mas, baru datang?” tanya Soni.“Hm.” Asoka mendekati kubikel Soni.“Bela kemana?” tanya Asoka. Alih-alih menanyakan Bintang malah bertanya tentang Bela.“Kelauar makan siang, kayaknya diundang Pak Candra. Udah dari tadi, belum jam istirahat mereka udah pergi.”“Pak Candra, BJ company?” tanya Asoka lagi.“Iya mas, siapa lagi. Tapi saya aneh deh. Pak Candra kayak yang gimana ke Bintang, tapi dekat juga sama Bela. Mereka sering komunikasi.Dalam hati Asoka mengumpat, sepertinya Candra memanfaatkan Bel
Bab 38Bela menghela nafas sebelum menarik kursi, Candra tersenyum. menuangkan minuman ke dalam gelasnya juga gelas yang disiapkan untuk Bela.“Susah juga hubungi kamu,” cetus Candra. “Kemarin aku kemari, kamu tidak ada.”“Aku sibuk.” Bela mengambil gelas yang sudah terisi lalu meneguk habis isinya. Mengernyit dan memejam pelan merasakan alkohol melewati tenggorokannya.“Kamu dan Bintang satu tim, kalian dekat?”“Bintang?” Bela balik tanya.“Hm.” Candra kembali menuangkan minuman ke gelas Bela.Berada di ruang VIP di klub malam. Meski pintu ditutup rapat, suara bising musik tetap terdengar.“Tidak, dia baru bergabung. Katanya mutasi dari cabang, entahlah. Bukan levelku berteman dengannya,” tutur Bela. “Kenapa … jangan bilang kamu suka dengan Bintang?”Candra tertawa lalu bersandar.“Kami pernah dekat, bisa dibilang pacaran waktu kuliah. Dia adik tingkatku.”Terkejut dengan informasi itu, Bela sempat menganga lalu bersedekap sambil menggeleng pelan.“Aku pikir seorang Candra seleranya
Bab 37Asoka memijat pelan tengkuknya saat keluar dari mobil. Merasa lelah dengan aktivitasnya hari ini. Serius tidak melibatkan Bintang dalam project milik Candra. Ia sendiri yang banyak terlibat di pekerjaan itu.Lelah dan kantuk yang dia rasakan, padahal ingin mengajak Bintang pulang bersama lalu makan malam. Rencana tinggal rencana. Memasuki area lobby dari arah basement, pandangan Asoka tertuju pada gadis yang baru keluar dari lift. berjalan sambil menunduk fokus dengan ponsel.Senyum terbit di wajah Asoka. Rasa lelahnya perlahan menguap mendapati gadis pujaan hati, muncul di hadapan.“Bintang.”Bintang pun menoleh.“Mas Oka, baru pulang?”“Hm. Mau kemana?” Asoka balik tanya.“Ke mini market. Aku lapar, di kamar nggak ada makanan.”“Oh, aku juga ada perlu ke sana.”Bintang dan Asoka berjalan bersisian meninggalkan lobby menuju minimarket. Dengan setelan rumahan, kaos dan celana pendek, Asoka memperhatikan Bintang.“Mas Oka lembut ya, pulang malam bener.”“Ada pekerjaan deadline,”
BAb 36“Dia tidak mengenaliku,” ujar Asoka mengulang pernyataannya.“Tapi dia mengenaliku,” seru Bintang dan Asoka mengedikan bahu. “Aku malas bertemu dengannya, bilang saja aku sibuk.”Bintang serius dengan ucapannya, ia berbalik hendak kembali ke ruangan. Asoka menahan dengan memegang tangannya.“Aku tidak berhak menyuruhmu, tapi temui dulu.”“Kedatangannya bukan urusan pekerjaan dan aku menolak bertemu dengannya.”“Aku pun berharap kalian tidak bertemu, tapi temui saja. Sepertinya Candra masih menaruh harapan dan perasaan untuk kamu.”Bintang tertawa. “Sayangnya aku tidak.”“Baguslah. Temui dia dan kita bicara. Aku tunggu di sini.”Bintang menatap Asoka. Pria itu berdiri dengan gaya khasnya, kedua tangan berada di dalam saku celana.“Dia di depan informasi. Itu tempat umum, tidak mungkin dia macam-macam.”Dengan malas Bintang pun menuju ruang tunggu tidak jauh dari meja informasi atau resepsionis. Candra melihat kedatangan Bintang, langsung berdiri dan tersenyum.“Hai, Bintang,” sa
Bab 35“Mas Oka sudah datang?” tanya Bela memastikan apa yang dia dengar. Ia pikir Asoka akan kembali dua hari lagi. Namun, pagi ini pria itu sudah kembali. “Lo serius mas Oka, bukan yang lain?”“Astaga Bela. Mata gue belum rabun kali. Orang seganteng itu nggak mungkin gue salah lihat.”“Hah, ribet ngomong sama kalian.” Bela meninggalkan meja informasi dan gegas menuju ruang kerjanya. Belum memikirkan lagi alasan yang tepat kenapa Bintang menggantikannya untuk survei.Sampai di ruangan, Asoka sudah ada di kubikelnya. Dalam hati Bela mengumpat, hari apa ini kenapa ia harus merasa sial padahal masih pagi. Berjalan pelan langsung menuju area kerjanya, berharap Asoka tidak melihat ia datang. Menghela lega, karena Asoka tidak merespon, bahkan sudah lima menit berlalu dan hampir semua karyawan di ruangan itu sudah hadir.“Aman,” gumam Bela sempat menoleh ke arah Asoka.Sedangkan di kubikel berbeda, Bintang berusaha fokus dengan layar komputernya. Namun, ada hal yang harus diselesaikan dan t
Bab 34Bela mengumpat karena ponselnya berdering dan nama Candra muncul di sana. Sudah menghindar dengan mengutus Bintang saat survei, semoga saja Oka tidak akan tahu. Nyatanya Candra malah telpon.“Malas banget sih. Gue ngarep sama anaknya Pak Akbar bukan sama lo.”Bela melemparkan ponsel ke atas ranjang, melepas pakaiannya lalu menuju toilet. Baru saja tiba, padahal urusan kerja sudah selesai sejak tadi sore. Sempat hangout bersama temannya sekedar nongkrong di café.Keluar dari toilet, masih mengenakan bathrobe. Bela mengambil ponselnya. Ada pesan masuk dari Candra.[Kirim kontak Bintang]“Ck, dasar buaya. Sekarang mau merasakan yang cupu, tapi nggak apa. Dari pada gangguin gue terus.”Baru akan mengirim kontak Bintang pada Candra, ponselnya berdering. Kali ini nama Asoka yang muncul di layar.“Mas Oka, mau ngapain sih. Udah malam gini nelpon segala.”Bela menghela nafas sebelum menjawab panggilan itu.“Malam Mas Oka,” sapa Bela.“Kenapa yang survei Soni dan Bintang, aku sudah arah







