"Cia, apa maksudnya?"
Irina bertanya. Irina dan kedua orang tuanya berdiri. Orang yang paling terkejut dengan kemunculan Ciara adalah Irina. Mereka memandangi penampilan Ciara seperti orang yang baru bangun tidur. "Kak Irina, berapa lama lagi kamu mau pura-pura jadi figur seorang Kakak yang baik?" Ciara bertanya sambil menuruni anak tangga. Dia berjalan menuju sofa single yang menghadap ke pintu utama. Dia duduk dengan tenang. Irina tidak menjawab pertanyaan Ciara. Dia justru balik bertanya, "Kok kamu ada di rumah, Cia? Bukannya kamu belum pulang?" Ciara memiringkan kepalanya, menatap Irina. Hidupnya bagai roller coaster, penuh naik turun. Ciara mengangkat kedua kaki ke sofa. Dia merebahkan kepala di bantal kecil. "Kayaknya kamu stalker aku, ya?" Irina berpikir, 'Seharusnya, Cia tersiksa sama zat afrodisiak yang aku campur ke minumannya. Kok bisa dia baik-baik aja?' "Dasar anak nggak tau diuntung!" Helen berteriak memaki Ciara. Pembawaan Ciara yang tenang membuat orang-orang sukar menebak jalan pikirannya. "Cepet berdiri dan minta maaf sama Kakak kamu, Cia!" perintah Helen. Dia tidak terima Ciara mengatakan hal-hal buruk tentang anaknya. Karena Ciara tidak bergerak, Helen berinisiatif menarik tangannya. Namun, Ciara menepisnya. Dia duduk tegap. "Lihat, Ben!" Helen memelototi Ciara. "Dia udah berani kurang ajar sama Tantenya sendiri." Irina meraih tangan ibunya. "Ma, udahlah! Aku nggak apa-apa, kok." Helen berkata, "Irina udah berbaik hati ngajarin kamu cara-cara hidup di kota besar. Tapi kenapa kamu malah nuduh dia, hah?!" Senyum Ciara langsung menghilang. Pikirannya penuh dengan kenangan yang samar-samar. "Iya, Tante bener. Kak Irina-lah yang ngajarin aku beradaptasi," kata Ciara, santai. "Dia ajarin aku makeup, cara berpakaian dan ngerokok. Padahal, Kak Irina tau aku pernah operasi katup jantung." Ben menatap anak satu-satunya, seolah meminta jawaban. Namun, Irina dengan cepat mengelak. "Pa, iーitu ... nggak kayak gitu. Aku ...." Irina merasa tertekan saat pandangan semua orang mengarah padanya. Mendapati sorot mata Ben penuh curiga, Helen langsung membela anaknya. "Pa, Irina anak kandung kamu, loh. Papa yang paling tau sikapnya, bukan Cia. Masa iya, kamu nggak percaya sama anak sendiri?" Bagaimana pun juga, Irina Darwin adalah wanita berusia 25 tahun dengan kecantikan nomor satu di Kota Baubau. Di mata orang lain, dia memiliki temperamen lembut, baik hati dan terpelajar. Mana mungkin Irina mengajari Ciara hal-hal buruk? Irina menatap Ciara. 'Ini pasti akal-akalan Cia aja supaya Papa dan Mama mencurigai aku!' "Jadi maksud Tante, aku bohong?" Ciara menyipitkan mata. "Bukan cuma itu, Kak Irina juga bilang, aku boleh minum alkohol dan pergi ke klub malam untuk cari pacar." Irina kebingungan. Selama ini, Irina hanya tahu bahwa Ciara polos, penurut dan bodoh. Sejak kapan Ciara memiliki keberanian dan sepintar ini? Mendengar penuturan Ciara, wajah Ben memucat seolah kehabisan darah. Dia menatap anaknya. "Irina, apa semua itu bener?!" Kedua mata Ben memerah karena amarah. "Kamu tau, nggak? Kamu bisa mencelakai Cia!" "Pa!" Helen berteriak. "Mama yakin, Irina nggak kayak gitu." Irina membela diri. "Pa, Cia ngomong gitu karena pernikahannya gagal. Dia melimpahkan semua kekesalan dan kesalahannya padaku." Ben terdiam. Semua yang istri dan anaknya katakan masuk akal. Selama ini, Irina tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Semua ini pasti hanya bualan Ciara! Ciara menatap Irina. "Cukup!" Kemudian, dia bertanya, "Paman Ben, kamu nggak lupa sesuatu, kan?" Ben yang kesal, bertanya, "Aku lupa apa?" "Garis keturunan," jawab Ciara. Ben tahu dengan jelas bahwa keluarganya memiliki garis keturunan yang jauh dan terpojokkan. Jadi, dia bukanlah keluarga terdekat. "Taーtapi, Cia ... gimanapun juga, aku tetap Pamanmu. Akulah yang peduli hidup dan mati mu." Ben mempertahankan sikap defensif. Bagiamana pun caranya, dia tidak ingin kalah dengan anak manja seperti Ciara! Helen menambahkan. "Seharusnya kamu bersyukur dipungut Paman Ben-mu dan dibawa dari Desa Avalon ke Kota Baubau. Kalo nggak, mau jadi apa kamu?!" Ciara tertawa seperti menemukan lelucon baru. Wajah cantiknya memerah. "Pada kenyataannya, kalian memanggilku pulang cuma mau numpang hidup," ujar Ciara. "Kalian menyodorkan aku kepada keluarga Griffin dan menikahkan aku dengan Tuan Muda Liam, kan?" Kepala Ben mendadak terasa mau pecah. "Daーdari mana kamu tau, Cia?" tanyanya dengan segala kekhawatiran. "Nggak penting aku tau dari mana," jawab Ciara, ketus. Ben emosi. "Karena udah ketahuan, Paman nggak akan menutupinya lagi dari kamu," katanya, datar. "Paman, kamuー" Ben memotong kalimat Ciara, "Kalo iya, memangnya kenapa? Paman lakukan itu demi masa depan kamu, Cia." Helen berseru marah. "Kamu tuh cuma anak manja yatim piatu keluarga Darwin." "Ha! Ha! Ha!" Ciara tertawa. Dia merasa keluarga pamannya ini sangat lucu. Ciara langsung berdiri. "Ternyata, kalian orang tua dan anak, sama aja. Sama-sama berhati Iblis!" Helen ingin menampar Ciara. Namun dengan cepat, Ciara menepisnya. Helen berteriak, "Jangan ngomong sembarangan, Cia! Kamu itu udah nggak perawan. Makanya, Tuan Muda Liam nggak mau sama kamu." Ciara melihat Yuyun berdiri di ambang pintu utama. Pandangan mereka beradu. Detik berikutnya, Ciara terkejut dengan 2 sosok pria yang berdiri di belakang Yuyun. Ciara tercengang. 'Bukannya, mereka ... Liam dan Aksa? Ngapain mereka malem-malem ke sini?'Saat masih tercengang dengan foto di layar tablet Aksa, ponsel Liam bergetar. Dengan rasa penasaran yang menyergap, tangan Liam dengan cepat mengambil ponsel di depannya. Layar menyala, muncul nama Linda. Tanpa ragu, Liam membuka pesan dan segera menekan gambar yang dikirim Linda. "Apa ini?!"Suara Liam pelan. Mata tajamnya melihat beberapa kemasan postinor-2. Satu lembar blister berisi dua tablet putih bundar. Lalu, tangannya menggulir pesan ke bawah. Linda: Tuan Muda, aku nemuin pil pencegah kehamilan postinor-2 di laci kamar utama diantara obat-obatan punya Nyonya. Tatapan dinginnya menusuk saat membaca pesan Linda. Hatinya terasa terbakar begitu mengetahui siasat licik Ciara. Ciara benar-benar keterlaluan!Di sela-sela presentasi Yoni, Liam berdiri. Dia mengembalikan tablet Aksa. Lalu, melangkah meninggalkan kursinya. "Siapin mobil!" perintah Liam pada Aksa. "Ah!" Aksa terkejut. Tapi, dia buru-buru mengikuti tuannya. Pandangan mata semua orang beralih kepada Liam. Menghad
"Ah, yang bener, Nyonya?! Tuan Muda marahin kamu? Tapi rasanya ... nggak mungkin!"Kedua mata Linda membelalak, seolah tidak percaya dengan kata-kata Ciara barusan. Melihat Liam memperlakukan Ciara dengan manis pagi ini, siapapun pasti menganggap hubungan mereka harmonis. Jadi kemungkinan besar, Ciara berbohong padanya!Kilasan memori di kehidupan sebelumnya, mulai menerjang otak Ciara. Dia teringat sosok Linda yang menyebalkan. Linda tidak pernah mempercayai ucapan Ciara sedikitpun hingga akhirnya dia jatuh sakit. Kemudian, dia tidak sadarkan diri karena sakit kepala hebat yang disertai mimisan. Karena alasan itulah, Ciara meminta Quden menyiapkan obat-obatan sebelum tinggal di rumah ini.Saat mengingatnya, pupil mata Ciara bergetar seiring dengan senyum sinis di bibirnya. "Pergi aja ke kamar mandi! Lihat hasil karya Liam mencampuri shampo-ku dengan air!"Wajah Linda berubah pucat. Dia membungkuk hormat, lalu pergi tergesa-gesa menuju lift.Ciara menatap kepergian Linda. Lalu,
"Cia, hari ini kamu di rumah aja! Istirahat!"Liam membetulkan tali dress Ciara yang semula dia turunkan. Pandangannya terpaku pada lekuk tulang selangka Ciara yang dihiasi jejak-jejak ciumannya.Dengan lembut, Liam menjepit dagu Ciara di antara jari telunjuk dan tengahnya, mendongakkan wajah Istrinya hingga mata mereka bertemu."Apa?"Wajah Ciara memerah. Detik berikutnya, dia tertegun. Ciara menyadari pandangan mata Liam lebih bersinar daripada sebelumnya. 'Cia, I love you ....'Tentu saja kata-kata cinta itu hanya Liam ucapkan di dalam hati. Bukan tidak berani mengatakannya. Liam hanya merasa terlalu dini untuk mengatakannya langsung pada Ciara. Tapi, bukankah itu sama saja dengan gengsi?Tanpa aba-aba, Liam memeluknya hingga Ciara terkejut dibuatnya. Setelah merasa puas, Liam melepaskan Ciara dan mencium keningnya. Lalu, Liam membukakan pintu mobil untuk Ciara. "Cia, aku kerja dulu. Jangan lupa makan tepat waktu dan minum obat!"Ciara mengangguk, sedikit tersipu. "Iya."Meli
"Nyonya, Tuan panggil kamu ke bawah."Setelah menunggu Ciara selesai makan, Linda memberitahu bahwa Liam memanggilnya."Liam belum jalan kerja?"Tepat pada saat itu, terdengar suara klakson mobil di bawah jendela kamar.Ciara segera berjalan menuju jendela yang terbuka. Dia melihat Liam duduk di dalam mobil sedang menatapnya. "Aku ke bawah dulu. Bi Linda, beresin peralatan makan!""Baik."Begitu Ciara pergi, Linda buru-buru menggeledah kamar utama sesuai perintah Liam. Dia mengangkat bantal Ciara dan berharap bisa menemukan sesuatu. "Sebenernya, apa yang Tuan Muda cari dari Nyonya? Apa dia merasa, Nyonya menyembunyikan sesuatu darinya?""Tapi, aku nggak pernah meragukan insting seorang Suami ataupun insting seorang Istri. Karena mereka pasangan Suami Istri yang sah. Mereka pasti memiliki ikatan batin."Dengan gerakan cepat, Linda sudah berdiri di depan cermin besar. Tangannya meraba-raba meja di sampingnya dan tidak menemukan apa-apa. Linda menghela napas. "Hemm ...."Ketika menole
"Kamu nggak usah takut, Cia! Aku nggak akan biarin kamu urus anak yang merepotkan. Aku akan minta Bi Linda siapin baby sitter untuk anak kita.""Tugas kamu cuma melayani Suami, selebihnya biar pelayan yang urus."Mendengar semua perkataan Liam, ada kegundahan yang Ciara rasakan. Dia menatap wajah Liam lekat-lekat dan menemukan keseriusan di dasar matanya. "Karena hanya dengan begitu, kamu bisa buktikan ketulusan hatimu padaku."Tubuh Ciara tiba-tiba gemetar hebat. Wajahnya berubah pucat. Ciara tidak ingin menangis. Tapi nyatanya, air mata Ciara telah menumpuk di kelopak mata. Hatinya tersayat setelah mendengar keinginan Liam. Liam menyadari perubahan sikap Ciara. Dia merasa, Ciara menolak keinginannya.Tapi, kenapa? Bukankah wajar jika seorang Suami mendambakan memiliki keturunan? Mengapa reaksi Ciara berlebihan seperti itu?Ciara berdiri, hendak pergi dari ruang ganti. "Hemm ...."Seolah bisa membaca pikiran istrinya, Liam langsung menahan tangan Ciara. "Kamu kenapa? Nggak mau p
"Liam, aku bisa mandi sendiri ...."Suara Ciara yang merdu hilang karena gemericik air shower yang mengalir. Setelah dua jam berlalu, akhirnya Liam melepaskan Ciara. Bukan karena merasa puas, melainkan karena Griffin Group sudah menunggunya. Kalau saja Liam tidak ingat meeting penting hari ini, bisa saja dia memilih tidak pergi ke kantor dan terus menindih istrinya hingga kelelahan. "Berputar!"Meskipun sudah mendengar perintah Liam, Ciara enggan mengikutinya. Akibatnya, Liam justru membantu Ciara berputar. "Diem di sini! Aku mau ambil shampo dulu."Liam sudah memutuskan untuk memandikan Ciara. Ini adalah hal pertama yang dia lakukan setelah menikahinya. Ciara tidak kuasa menolak. Tapi jauh di dasar hatinya, dia takut Liam akan memintanya lebih!Hati dan pikiran manusia, siapa yang tahu?Liam kembali membawa botol shampo. Ciara terheran-heran melihat Liam mengisi botol shampo dengan air, lalu mengocoknya."Liam, kamu ngapain?""Harusnya aku yang tanya. Cia, kamu ngapain aja di ru