共有

Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus
Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus
作者: NACL

Bab 1: Aku Nggak Puas, Mas!

作者: NACL
last update 最終更新日: 2025-11-13 10:22:50

"Ouh … ah! Ya, ampun … apa aku ini gila?" desah seorang wanita di dalam kamar mandi utama, yang pintunya terkunci. Tubuhnya menegang, punggung melengkung tanpa sadar, dan napasnya terengah. Ia bersandar di dinding porselen dingin, sambil membekap mulut untuk meredam suara yang keluar.

Ini sudah dilakukannya selama empat tahun. Kenapa?

​Namanya Diana, seorang istri pada umumnya yang mendamba kepuasan dari hubungan intim. Alih-alih menjerit nikmat karena 'olahraga' bersama suami, ia justru harus bekerja sendirian—menggunakan alat sekadar menipu sepi dan hasrat yang tak pernah dipenuhi.

​Di luar kamar mandi, suara dengkuran keras suaminya terdengar mengejek, itu  menjadi pengingat menyakitkan. Rayan  enak-enakan tidur setelah melakukan kegiatan yang sama sekali tidak panas. Bahkan tidak pernah memikirkan haknya sebagai istri.

​Desahan itu lama-lama berubah menjadi isak tangis dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menunduk, rambut panjang cokelat gelapnya menutupi wajah.

​“Sampai kapan aku … harus begini?” gumamnya, dengan suara desahan mendadak serak.

Tubuhnya menggelepar saat badai pelepasannya datang. Namun, belum sempat Diana bernapas lega, handle pintu dipaksa dibuka. Ia melotot dan spontan menahan napas.

Pintu diketuk. 

Itu pasti suaminya, sebab tidak ada pria lain di rumah ini.

“Kamu ngapain, sih, Di? Aku nggak bisa tidur, kamu berisik!” teriak sang suami dari luar. “Buka pintunya!” perintah pria itu.

“I–iya, Mas. B–bentar,” sahutnya sambil mondar-mandir di depan cermin. “Aduh, gimana, nih?” Ia takut pria itu menemukan alatnya.

“Lama banget. Aku mau pipis, cepat!” perintah sang suami lagi.

Saking paniknya Diana menjatuhkan ‘alat’ itu dari genggaman. Ia gegas memungutnya dan membersihkan alat yang masih basah oleh cairannya. Ia menaruh benda itu di tempat  paling tersembunyi. Setelahnya, barulah membuka pintu.

Pandangannya beradu dengan pria itu. Diana buru-buru membuang muka.

“Umm … Mas Rayan, kenapa bangun? Tadi ‘kan—” 

Rayan—suaminya itu menyela cepat, “Kamu berisik. Ngapain, sih?”

Sambil memainkan rambutnya, Diana berusaha menjawab, “A–aku … akuu tadi itu ….” 

Ia menahan ucapannya, karena lidahnya terasa berat. Bagaimana kalau Rayan tahu? Apa pria itu tersinggung? 

“Ah, sudahlah. Aku mau pipis!” Rayan masuk kamar mandi. Sedangkan Diana berbaring kaku di atas ranjang.

Tak lama, Rayan ikut bergabung. Namun, seperti biasa Diana hanya bisa menatap punggung pria yang berstatus sebagai suami. Jangankan dipeluk, ditatap penuh sayang saja tidak.

​Diana menggeser tubuhnya, merapat pada pria itu. Ia bersandar di punggung yang seharusnya terasa nyaman.

​Pria itu mendorong tubuh Diana menjauh. “Panas, Di. Jangan ganggu tidurku!”

​Diana melirik pada pendingin ruangan yang bahkan suhunya saja membuat ia meringkuk di bawah selimut. Ditolak untuk kesekian kali, akhirnya mereka tidur saling memunggungi.

​Paginya Diana mengerjap karena silau dari sinar matahari. Ia menoleh, sambil berkata, “Mas Ray, bisa antar—” Kalimat itu terhenti di tenggorokan. Ranjang kosong. “Kamu pergi tanpa bilang-bilang lagi?”

​Diana segera bersiap-siap pergi ke butik miliknya. Baru saja menuruni anak tangga, mata cokelat karamelnya disambut dua botol minuman hitam, di sana bertuliskan.

​[Diminum jamunya, ya, Nak. Pagi ini Ibu ada arisan dulu.]

​Diana mendesis kecil membaca pesan dari ibu mertua. Bibirnya menekuk dalam tatkala meraih dua botol jamu itu. Sudah empat tahun ia menerima 'perhatian' ini. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, ia meneguknya sampai habis. Rasa amis dan pahit menyengat di lidah, meskipun ia sudah lelah dengan semuanya. Ini dilakukan demi mengandung buah cintanya bersama suami.

​Mini Cooper putih mutiara yang dikendarai Diana melaju dengan kecepatan sedang. Begitu tiba di butik, ia disambut hangat oleh stafnya.

​“Selamat pagi, Bu Diana.”

​Seperti biasa, Diana selalu tersenyum manis. “Pagi. Apa desain gaun malam Bu Joko sudah mendapat respons?” tanyanya, suaranya mengalun lembut.

​“Bu Joko bilang suka sekali dengan desainnya, Bu.”

​Informasi itu cukup menyenangkan di telinga Diana.

​“Saya ke ruangan dulu, ya. Untuk dua jam ke depan tidak bisa diganggu, karena saya mau menyelesaikan desain gaun pengantin,” pesannya pada staf.

​“Baik, Bu.”

​Langkah Diana begitu hati-hati menaiki setiap anak tangga. Ia memang sudah terlatih dan terdidik sejak kecil untuk tampil anggun. Namun, gerakannya terhenti tatkala mendengar bisik-bisik pegawai. Bukan karena membicarakannya, tetapi ia menganggap obrolan mereka terasa penting. Wanita itu sengaja menguping dalam diam.

​“Eh, Dita, gimana hasil Konsul ke terapis itu? Suami makin kuat nggak?” ucap seorang staf.

​“Iya bener. Kita lihat, rambutmu setiap hari lembab terus. Ceritain dong,” timpal yang lainnya.

​Wanita yang bernama Dita langsung merem melek dan mengacungkan ibu jarinya. “Aku dan suami sudah dua bulan ini Konsul ke terapis seksual rekomen dari Desi. Hasilnya luar biasa. Bikin kasurku basah setiap malam.”

​“Wah, suamimu jadi kuat gitu? Semoga kalian cepat punya anak, ya,” ucap temannya lagi.

​“Terima kasih banyak. Iya suami harus kuat, dan istri wajib rileks, itu sih kata Terapis Dhava,” jelas Dita, menekan suaranya agar tidak berisik.

​Dari ujung anak tangga terakhir, Diana merasa dadanya berdesir halus kala mendengar nama dokter itu. Napasnya terengah dan badannya kegerahan.

​“Terapis Dhava? Apa yang mereka maksud itu … Mas Dhava … sepupuku?” gumamnya ragu-ragu. Ia pun menggeleng, menurutnya pria bernama Dhava itu jutaan. Meskipun ia tahu kakak sepupunya itu seorang psikolog yang melanjutkan studi sampai strata tiga.

​Diana berusaha melupakan percakapan pegawainya. Ia gegas ke ruangan dan fokus mendesain. Namun, konsentrasinya rusak sejak telinganya mendengar nama Dhava.

​Pada akhirnya Diana mencari informasi tentang sang sepupu di sosial media dan mesin pencari. Ia sempat ternganga dan geleng-geleng karena klinik milik Dhava menjadi rekomendasi terbaik. Dadanya kembang kempis kala membaca setiap ulasan dari pasien.

​Semangat membara untuk memperbaiki hubungan dengan suami, Diana berniat mengunjungi klinik Dhava. Para pegawainya dibuat heran karena atasan mereka tiba-tiba keluar dari butik.

​“Saya keluar sebentar,” pesannya pada staf.

​Diana segera melajukan mobilnya menuju alamat yang tertera di situs resmi klinik.

​Tidak membutuhkan waktu lama, ia akhirnya tiba di sana. Sepatu hak kecilnya begitu percaya diri membawa Diana ke dalam klinik. Pemandangan pertama yang dilihat adalah sepasang suami istri tersenyum malu-malu dan saling menggoda.

​“Papa senang Mama makin menggairah dan seksi sekarang. Ternyata Terapis Dhava hebat, ya.” Respons pasien itu membuat Diana tak sabar bertemu dengan sepupunya.

​Mungkin ini jawaban yang dikirimkan oleh semesta, sebab sudah setahun belakangan ia menemui konselor lain belum ada hasil. Sekarang mengapa tidak dicoba?

​Diana mendekati meja informasi, tetapi ketika hendak mendaftar, baru sadar semua yang datang berpasangan. Ia menengok kanan dan kiri, hanya dirinya sendirian.

​Perlahan, ia melangkah mundur sambil memainkan ujung rambutnya yang ikal. Kepalanya pun menunduk, entah mengapa semangat yang tadi membara kini lenyap tak bersisa. Apalagi … Dhava adalah sepupunya sendiri.

​Tidak!

​Ini tidak boleh dilanjutkan, bisa-bisa masalah rumah tangganya diketahui keluarga besar, dan ini memalukan baginya.

​“Aku pulang aja,” lirihnya, sambil memutar badan.

​Belum sempat memutar tubuhnya, Diana dibuat membeku mendengar suara bariton seseorang. “Kamu … Diana ‘kan?”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 5: Aku Akan Mengajarimu

    Diana memeluk lututnya dan sesenggukan, perlakuan kasar Rayan semalam menjadi bukti bahwa apa pun usahanya tidak akan berhasil. Patah sudah semangatnya, kini untuk apa lagi ia menjalani terapi? Percuma! ​Telepon genggamnya bergetar lagi. Namun Diana membuang wajah, terlalu malu dan hancur rasanya jika berhadapan dengan Dhava. ​Bukan hanya telepon saja yang mengusik, tetapi ketukan pintu kamar membuatnya ingin menjerit. Namun, harus kepada siapa ia mengadu? Tidak ada! ​“Diana, Ibu masuk, ya. Bawa sarapan dan jamu untukmu.” Suara lembut itu tidak bisa ia tolak. ​“Iya, Bu, sebentar,” sahutnya dengan suara parau. Diana turun dari ranjang dan membuka slot kunci. Ia menatap nampan yang dibawa oleh mertuanya. ​“Ada bubur kacang hijau, masih hangat. Ayo, dimakan. Setelah itu kamu minum jamu. Kalau kamu udah hamil, pasti Rayan betah di rumah. Ibu janji, dia nggak akan kasar lagi,” rayu wanita itu yang lantas menaruh mangkuk keramik putih di atas meja. ​“Mau Ibu suapin nggak?” tanya w

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 4: Nggak Mau Terapi Lagi!!

    Diana meraba dadanya sendiri.​Ia tidak pernah merasa seantusias ini pulang ke rumah. Selama empat tahun, seolah lebih baik ada di luar, dan rumah hanya tempat untuk tidur.​Sepanjang perjalanan pulang dari klinik Dhava, ia sering menatap jemari tangan kanannya. Rasanya masih berdenyut panas, otot-otot gagah sang sepupu begitu nyata.​“Kenapa malah mikirin Mas Dhava? Nggak boleh, Diana! Dia sudah punya istri dan anak,” gumamnya. Ucapan pria itu yang penuh godaan juga menggema dalam benaknya. ‘Lembut. Nikmatilah dan rasakan suhu tubuhku.’​Pipinya memerah, ia mendesis kecil karena membayangkannya saja mampu membuat area pinggulnya berkedut.​Malam itu juga Diana menyiapkan dirinya dengan teliti. Ia menggunakan gaun tidur paling tipis yang dimiliki, menyemprotkan parfum ke leher, dan menyalakan lilin aroma terapi. Termasuk menyulap balkon untuk makan malam romantis. Tentunya ini petunjuk dari buku panduan dari klinik Dhava.​Ketika Rayan akhirnya masuk kamar, Diana menyambutnya dengan p

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 3: Sentuh Di Area Paling Sensitif!

    “Hah? Pra–praktek a–pa, Mas?” cicit Diana, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia melirik pintu yang terkunci rapat. Seketika jantungnya mendadak berhenti berdetak.​“Iya. Cepat,” ulang Dhava lagi, tangannya masih terulur.​Spontan Diana menatap tangan besar, berkulit kecokelatan, dengan urat yang samar terlihat. Itu adalah tangan sepupu yang ia kagumi diam-diam sejak masa remaja.​Tidak ada respons dari wanita itu membuat Dhava menarik tangannya kembali dan tersenyum tipis. Sungguh kali ini bukan hanya jantungnya yang berhenti, tetapi Diana merasa napasnya juga tersendat, sebab aura dingin sang sepupu lenyap dan berganti dengan pesona seorang pria dewasa gagah.​Diana mereguk air liurnya sendiri. Ia menggeleng pelan, menampik kalau dirinya dan Dhava akan…. Ah, isi kepalanya ini benar-benar keterlaluan. Ia mengatur napas pelan, mengelus pelipisnya.​Pria itu menjelaskan, “Praktek re-education sentuhan Rayan. Ingat, Di, fokus pada tujuan akhir.”​Benar, Diana ingin Rayan menempel padanya

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 2: Kita Praktek, Sekarang!

    ​“Bu–bukan!” jawab Diana refleks sambil menggeleng cepat. Matanya yang agak sipit itu membulat tatkala melihat sosok pria tampan makin mendekat. Ia langsung memalingkan wajah, dan mulai melangkah. Namun entah mengapa kakinya terasa berat untuk bergerak.​“Aryani Diana Bradley!” panggil suara itu lagi.​Bertepatan dengan Diana menoleh, pria itu menarik tali tas selempang dari punggungnya. Tidak kencang, tetapi Diana justru merasa ditarik sangat kuat.​“Eh … aduh, aku bukan … Diana. Mas … maksudku Pak Terapis salah orang!” tolaknya, meskipun tubuhnya malah terseret kuat.​Ya, pria itu adalah Madhava, yang akrab dipanggil Terapis Dhava oleh pasiennya. Orang nomor satu yang saat ini ingin ditemui sekaligus ia hindari karena takut konsultasi ini tersebar ke seluruh anggota keluarga.​“Ikut aku, sekarang!” perintah Dhava, suaranya mengalun dingin dan ketus.​Diana menekuk wajahnya, tetapi mengekor di belakang Dhava yang saat ini masih menarik tali tas selempangnya. Tentu saja mereka jadi pu

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 1: Aku Nggak Puas, Mas!

    "Ouh … ah! Ya, ampun … apa aku ini gila?" desah seorang wanita di dalam kamar mandi utama, yang pintunya terkunci. Tubuhnya menegang, punggung melengkung tanpa sadar, dan napasnya terengah. Ia bersandar di dinding porselen dingin, sambil membekap mulut untuk meredam suara yang keluar.Ini sudah dilakukannya selama empat tahun. Kenapa?​Namanya Diana, seorang istri pada umumnya yang mendamba kepuasan dari hubungan intim. Alih-alih menjerit nikmat karena 'olahraga' bersama suami, ia justru harus bekerja sendirian—menggunakan alat sekadar menipu sepi dan hasrat yang tak pernah dipenuhi.​Di luar kamar mandi, suara dengkuran keras suaminya terdengar mengejek, itu menjadi pengingat menyakitkan. Rayan enak-enakan tidur setelah melakukan kegiatan yang sama sekali tidak panas. Bahkan tidak pernah memikirkan haknya sebagai istri.​Desahan itu lama-lama berubah menjadi isak tangis dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menunduk, rambut panjang cokelat gelapnya menutupi wajah.​“Sampai kapan aku … har

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status