LOGIN“Aku yakin dia putriku.”Alderic mengucapkannya pelan, tapi tegas. Wajahnya yang biasanya datar dan serius itu terlihat… retak. Seperti ada luka lama yang tiba-tiba terbuka. Tidak ada yang pernah tahu masa lalunya. Tidak ada yang pernah berani tanya.“Kalau memang Hanna putrimu, kenapa Lily menyembunyikan dia darimu?”Liam duduk santai, suara datarnya seperti tidak peduli—padahal dia memperhatikan setiap detik perubahan ekspresi Alderic.“Karena dia tidak menyukaiku.”Suara Alderic datar. Nyaris hambar. Tapi ada getir.Liam menaikkan alis. “Kalau tidak suka, kok bisa sampai hamil?”Alderic mendecak. “Liam, kamu itu bawel sekali.”“Professor, pertanyaanku logis. Apa kamu memperkosanya?”TING!Sendok teh Alderic membentur meja keras. Rahangnya mengeras.“Apa aku tampak seperti penjahat?” suaranya rendah, mengancam.Liam terkekeh kecil. “Nggak harus penjahat. Bisa saja waktu itu mabuk lalu kamu memaksa dia—”Ucapan itu tiba-tiba membuat Liam terhenti sendiri. Sekilas bayangan tubuh Hanna
“Ga bilang apa-apa. Hanya ingin tahu apa Mama juga tahu Alderic Venn.”PRANG!!Suara mangkuk sayur jatuh menghantam lantai. Keramik pecah berantakan, kuah panas menyebar, membasahi ubin.“Sialan… aku pikir mangkok ini anti panas,” omel Lily terburu, suaranya sedikit gemetar. Ia langsung membungkuk, meraih serpihan-serpihan itu tergesa, seolah ingin menyibukkan tangan.“Ma… mangkok itu memang anti panas. Kita coba dulu di mall sebelum beli,” ucap Hanna pelan, ikut membungkuk. “Kamu kenapa?”“Hanna, kamu duduk saja,” tegas Lily cepat, hampir seperti mengusir. “Biar Mama yang beresin.”Hanna diam sejenak. Matanya mengamati — bukan mangkuk, bukan lantai — wajah Lily.“Ma… aku sebut nama Alderic Venn, dan wajah Mama langsung pucat. Mama tahu sesuatu tentang dia?”“Nggak!” Lily menjawab terlalu cepat. “Aku nggak tahu. Kamu dengar nama itu dari mana?”Hanna mengulang napas pelan. Ia tidak memaksa dengan teriakan — justru dengan ketenangan. Sesuatu yang lebih menekan.“Ma… kamu lupa ya, aku d
“Pertanyaanku bikin kamu kaget, Prof?” tanya Liam sambil menepuk pelan bahu Alderic.Alderic menunduk. Suaranya terdengar seperti retakan halus pada kaca.“Saat aku pacaran dengan Lily… kami memang seksual aktif, bahkan kami pernah tinggal bersama. Tapi dia tidak pernah bilang apa pun soal kehamilan.”Ia menarik napas panjang. “Liam… mungkin gak, kalau Hanna itu anakku?”Liam mengangkat bahu santai.“Hitung saja kapan kalian berpisah dan bandingkan dengan usia Hanna. Memang gak akan seratus persen akurat, tapi logikanya ada.”“Kalau begitu, kamu bisa buka data DNA Hanna?” nada Alderic berubah mendesak.“Nggak bisa,” jawab Liam langsung. “Itu pelanggaran privasi. Apalagi tanpa tujuan resmi.”“Ini jelas tujuan resmi!” Alderic hampir meninggikan suara. “Aku hanya ingin tahu apakah dia putriku!”“Tahun ini Hanna 22, dan tahun depan 23,” jelas Liam tenang. “Kalau kalian berpisah sekitar dua puluh tiga tahun lalu… ya, kemungkinan itu ada. Dan—” ia memiringkan kepala sedikit, seperti sedang
Liam melangkah melewati deretan lorong kaca yang membentuk labirin, sampai akhirnya berhenti di sebuah ruangan tertutup. Ruangan itu penuh dengan tumbuhan hijau—hangat, hidup, dan berbeda dari dinginnya seluruh fasilitas riset. Di ruangan ini, Alderic Venn sedang menyusun formula terakhir untuk proyek makanan sehat anak-anak, proyek yang diharapkan bisa mencegah wabah musiman yang sering melanda Valthera.“Ehem.” Liam berdehem pelan.Alderic tidak langsung menoleh. “Apa yang membawamu kemari?”Liam menyandarkan tubuhnya di pinggiran meja stainless. “Terjadi kebocoran informasi. Dan kalau teknologi ini bocor sampai keluar Valthera, jangan berharap aku menutupinya.”Alderic mendengus, masih sibuk menstabilkan zat cair berwarna hijau muda pada tabung reaksi. “Kamu pemodalnya dan penanggung jawab proyek ini. Kalau ini meledak, aku akan menyeretmu ikut tenggelam. Jadi jangan sok suci.”Liam mengangkat alis, tidak terpengaruh. “Aku sudah bilang pada orang-orangmu untuk memperketat akses kel
Liam tak langsung menjawab pertanyaan Hanna. Ia tampak berpikir serius, matanya seolah menimbang sesuatu yang berat di kepalanya.“Aku akan mencarinya untukmu,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan tapi mantap. “Dan aku akan kabari kalau sudah ketemu. Tapi…” nada bicaranya berubah menggoda, “…apa hadiah yang kamu kasih buatku?”“Perhitungan sekali!” dengus Hanna, meski sudut bibirnya nyaris tersenyum.“Aku harus perhitungan,” balas Liam ringan. “Secara kekayaan, aku gak bisa tandingi tunanganmu. Tapi soal cintamu, aku yakin aku bisa.”“Liam… kenapa kamu aneh sekali. Menggelikan,” sahut Hanna, mencoba menutupi getaran kecil di suaranya.Terdengar tawa lirih di seberang, suara khas Liam yang selalu membuatnya kehilangan fokus.Lalu suara itu kembali serius. “Kamu harus segera kembalikan komunikator itu pada temanmu. Aku akan menghubungimu lewat surel. Aku kirimkan link ke komunikatormu—itu bisa kamu akses tanpa terhubung ke jaringan rumah Ryan.”“Hm… terima kasih,” ucap Hanna, nadanya lembu
“Kok kamu gak bilang kalau Ryan Kelly tunanganmu? Kamu sangat hebat, Hanna. Aku yakin kamu bukan orang biasa,” puji Marry sambil tak berhenti berdecak kagum pada teman barunya.Hanna tersenyum tipis. “Kalau gak lihat sendiri, orang pasti pikir aku ini cuma membual, Marry.”Dan itu memang benar—orang seperti Ryan Kelly seharusnya hanya berpasangan dengan gadis dari keluarga konglomerat atau kalangan elit. Siapa yang akan menyangka kalau justru dia, Hanna, yang menjadi tunangannya.“Siapa bilang begitu? Aku percaya, kok. Karena kamu cantik dan…”“Mengajakmu makan di sini?” potong Hanna cepat.Marry tersenyum malu. Ya, kalau hanya karyawan magang biasa, mana mungkin bisa mentraktir di tempat semahal ini—tempat di mana satu menu saja setara dengan satu bulan gaji mereka.Melihat wajah Marry yang memerah, Hanna malah tersenyum lembut. Ia tak marah. Orang menilai dari materi, itu hal yang manusiawi. Selama tidak memanfaatkan atau merugikannya, Hanna bisa memaklumi.“Oh ya, Hanna, kamu tadi







