Mag-log inTatapan Hanna membara — bukan takut, tapi marah.Saat pintu terbuka dan Ryan kembali masuk ke kamar, napasnya langsung tertahan. Ryan menatapnya dengan bingung.“Hanna, kamu terlihat tidak baik-baik saja?”Tangan Hanna mencengkeram tepi ranjang erat-erat.Jari-jarinya kaku, pucat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa ia kendalikan.Ryan segera berlutut di hadapannya, satu lutut menempel di lantai.Tangannya meraih jemari Hanna yang dingin dan tegang.“Hanna, kenapa?”Tatapan Ryan mengikuti arah pandangan Hanna — ke meja, tempat jam pintar itu tergeletak.Wajahnya berubah lembut, seolah mengerti.“Aku melakukannya karena aku gak mau ada yang mengusikmu… yang bisa membahayakanmu.”Hanna menatapnya lama.Suara pelan tapi tajam keluar dari bibirnya,“Tapi sekarang aku justru merasa hidupku yang terancam, Ryan.”Keheningan menggantung di udara.Ryan perlahan bangkit, duduk di samping Hanna.Ia melingkarkan lengannya di pinggangnya, lembut tapi menekan.“Jangan bicara begitu,” katanya liri
Hanna tahu, Liam pasti sedang kesal padanya saat ini.Sejak di mobil tadi, ia terus saja memancing keributan. Seharusnya ia lebih sabar. Karena dengan sedikit saja kesalahan, Ryan bisa berubah — dan itu yang paling ia takutkan.Di Valthera, keluarga konglomerat seperti Kelly memiliki sistem penyimpanan data pribadi sendiri.Segalanya terhubung, identitas, catatan medis, hingga kode DNA.Dan sekarang, seluruh datanya sudah menjadi bagian dari sistem milik keluarga Kelly.Artinya, jika Ryan mau, ia bisa mengubah apapun dalam hidup Hanna — bahkan menghancurkannya, hanya dengan satu perintah.Pikiran itu membuat napas Hanna terasa berat.Dulu, berada di samping Ryan membuatnya merasa aman, terlindungi dari dunia luar.Tapi kini, rasa itu berganti.Perlindungan berubah menjadi pengawasan.Kehangatan bergeser menjadi ancaman halus yang membelit tanpa suara.Ryan bukan lagi sosok yang menenangkan.Ia sekarang tampak seperti kekuasaan itu sendiri, sangat kuat, menakutkan, dan berbahaya bila d
Tak lama setelah perjalanan yang penuh ketegangan itu, akhirnya mereka tiba di kediaman keluarga Kelly, sebuah tempat yang lebih pantas disebut istana daripada rumah.Bangunannya megah, menjulang dengan arsitektur klasik yang tegas, sangat berbeda dengan bangunan-bangunan pada umumnya di era ini yang hampir semua hanya mirip sebuah box kaca. Dari gerbang depan saja, Hanna sudah merasa kecil.Terlalu besar untuk disebut tempat tinggal, bahkan, kalau ia tidak salah menebak, puluhan atau mungkin seratus orang bisa hidup di sini tanpa saling bertemu.Entah kenapa, hal itu membuat dada Hanna terasa berat.Ada sesuatu yang tidak nyaman di balik kemegahan itu, mungkin perasaan bahwa ia akan tersesat di dalamnya, terperangkap dalam ruang-ruang yang dingin dan asing.Rumah ini bukanlah tempatnya untuk pulang.Begitu mereka melangkah masuk, aroma bunga segar dan kayu mahal langsung menyambut. Seorang perempuan elegan dengan rambut keperakan menyapa mereka dengan senyum ramah — Sonya Anne Kelly,
Mobil melaju pelan, tapi udara di dalam kabin terasa pekat, sesak, seperti menahan sesuatu yang bisa pecah kapan saja.Hanna diam di kursinya, memeluk tas di pangkuan, menatap keluar jendela tanpa benar-benar melihat apa pun. Ia bisa merasakan perubahan kecil dalam gestur Ryan, dari cara pria itu diam terlalu lama, cara jarinya menegang di setir, cara pandang matanya yang dingin setiap kali melirik sekilas.Semuanya menekan.Ia tahu Ryan bukan tipe yang akan langsung marah atau berteriak. Tapi justru karena itulah yang membuatnya takut.Keheningan yang sangat tajam.Hanna menggigit bibirnya, menyentuh plester kecil di pangkal lehernya—bekas ciuman yang berusaha ia tutupi, pikirannya langsung mencari Liam. Sebentar lagi dia dan Ryan menikah, mungkin lebih baik jika dia bicara jujur saja tentang apa yang terjadi dengan dirinya selama ini, siapa tahu calon suaminya ini bisa membantu.Ia ingin menjelaskan ke Ryan, tapi suaranya tercekat.Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan sesuatu yang
“Kalau aku bilang… semua ini belum selesai, kamu percaya?”Kalimat itu terdengar lebih dari sebuah janji untuk Hanna yang merasa saat ini sedang patah hati. Oleh karena itu Hanna menatapnya lebih lama, mencoba mencari jawaban di balik tatapan itu, tapi Liam sudah lebih dulu menunduk, mengecup keningnya cepat—hangat, tapi juga terasa seperti perpisahan.“Aku harus pergi sekarang,” ucapnya datar, lalu berbalik menuju pintu.Langkah-langkahnya mantap, tidak menoleh lagi, tapi setiap langkahnya meninggalkan sesuatu yang menggantung di udara, Hanna merasa seperti pesan yang belum selesai diucapkan.Sebelum benar-benar keluar, Liam berhenti di ambang pintu dan menoleh setengah.Senyum tipisnya kembali muncul, nyaris tak terlihat.“Kalau kamu percaya padaku, jangan menyesal nanti,” katanya tenang. “Karena setelah semua ini, kamu akan tahu… kenapa aku harus pergi.”Pintu laboratorium tertutup perlahan.Suara kuncinya terdengar halus, tapi di kepala Hanna, bunyi itu seperti gema panjang yang m
Di laboratorium kampus, dari tempatnya berdiri, Hanna menatap Liam yang tengah membereskan beberapa berkas dan peralatan sebelum pindah tugas ke perbatasan timur.Gerak-geriknya tenang, terukur, seolah dunia tak punya celah untuk menembus ketenangannya. Tidak seperti dirinya—yang selalu diombang-ambingkan oleh emosi.Tatapan Hanna tak beranjak. Terlalu lama.Sampai akhirnya Liam menoleh, seolah bisa merasakan arah pandangnya. Sudut bibirnya terangkat sedikit—senyum tipis, nyaris tak terlihat tapi cukup membuat dada Hanna sesak.Cepat-cepat Hanna berpura-pura sibuk, menunduk dan mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak kardus.Tapi setiap kali matanya tak sengaja menatap Liam, ingatannya kembali pada pertengkaran dengan ibunya pagi tadi. Kata-kata Lily, tamparan itu, dan luka yang belum sempat sembuh di dadanya. Semuanya bercampur dengan rasa kehilangan yang kini menggantung di udara laboratorium itu.Ia menghela napas panjang, mencoba fokus pada pekerjaannya.“Butuh bantuan?”