Home / Fantasi / Aduh Tak Tahan, Prof! / 67 | Pilih Aku Atau Ryan

Share

67 | Pilih Aku Atau Ryan

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-10-17 21:31:39

“Kamu mulai membandingkan aku dengan calon suamimu?” tanya Liam dengan nada menantang.

“Ini fakta, Prof! Ryan memang sangat baik dan tulus. Memikirkannya saja membuatku merasa bersalah.”

“Bagaimana jika kukatakan bahwa Ryan yang memanipulasi hasil Compatibility Interface? Masihkah kau anggap dia tulus?”

“Tuduhanmu tidak berdasar, Prof!”

Liam mengangguk. “Kau benar. Tapi aku sedang mencari buktinya, Hanna. Aku curiga dia dan Papaku bekerja sama.”

Mata Hanna membulat. “Tidak mungkin! Untuk apa?”

“Papaku punya agenda sendiri, dan Ryan juga.”

“Aku tidak mau percaya padamu, Prof!”

“Papaku melakukannya agar bisa menikahi ibumu, dan Ryan agar bisa menikahimu!”

“Jangan membuat kesimpulan tanpa bukti, Professor. Kami bahkan belum pernah bertemu sebelumnya, bagaimana mungkin dia...”

“Hanna... kita sama-sama tidak tahu. Tapi aku yakin Ryan sudah pernah melihatmu sebelumnya.”

“Buktinya?”

“Dari cara alarm KB diaktifkan saat pertemuan pertama. Apakah kalian benar-benar belum pernah bertemu? Dari ca
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   90 | Berpisah

    “Kalau aku bilang… semua ini belum selesai, kamu percaya?”Kalimat itu terdengar lebih dari sebuah janji untuk Hanna yang merasa saat ini sedang patah hati. Oleh karena itu Hanna menatapnya lebih lama, mencoba mencari jawaban di balik tatapan itu, tapi Liam sudah lebih dulu menunduk, mengecup keningnya cepat—hangat, tapi juga terasa seperti perpisahan.“Aku harus pergi sekarang,” ucapnya datar, lalu berbalik menuju pintu.Langkah-langkahnya mantap, tidak menoleh lagi, tapi setiap langkahnya meninggalkan sesuatu yang menggantung di udara, Hanna merasa seperti pesan yang belum selesai diucapkan.Sebelum benar-benar keluar, Liam berhenti di ambang pintu dan menoleh setengah.Senyum tipisnya kembali muncul, nyaris tak terlihat.“Kalau kamu percaya padaku, jangan menyesal nanti,” katanya tenang. “Karena setelah semua ini, kamu akan tahu… kenapa aku harus pergi.”Pintu laboratorium tertutup perlahan.Suara kuncinya terdengar halus, tapi di kepala Hanna, bunyi itu seperti gema panjang yang m

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   89 | Belum Selesai

    Di laboratorium kampus, dari tempatnya berdiri, Hanna menatap Liam yang tengah membereskan beberapa berkas dan peralatan sebelum pindah tugas ke perbatasan timur.Gerak-geriknya tenang, terukur, seolah dunia tak punya celah untuk menembus ketenangannya. Tidak seperti dirinya—yang selalu diombang-ambingkan oleh emosi.Tatapan Hanna tak beranjak. Terlalu lama.Sampai akhirnya Liam menoleh, seolah bisa merasakan arah pandangnya. Sudut bibirnya terangkat sedikit—senyum tipis, nyaris tak terlihat tapi cukup membuat dada Hanna sesak.Cepat-cepat Hanna berpura-pura sibuk, menunduk dan mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak kardus.Tapi setiap kali matanya tak sengaja menatap Liam, ingatannya kembali pada pertengkaran dengan ibunya pagi tadi. Kata-kata Lily, tamparan itu, dan luka yang belum sempat sembuh di dadanya. Semuanya bercampur dengan rasa kehilangan yang kini menggantung di udara laboratorium itu.Ia menghela napas panjang, mencoba fokus pada pekerjaannya.“Butuh bantuan?”

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   88 | Pertengkaran

    Besok paginya, saat Hanna membuka mata, sisi ranjang di sebelahnya kosong. Entah sejak jam berapa Liam meninggalkan kamar, yang jelas hanya kehangatan samar di seprai yang tersisa.Saat turun ke ruang makan pun, sosok itu tak tampak. Hanya ada Prof. Julian dan Lily di meja.Hanna, meskipun enggan, tetap menjaga sopan santunnya.“Selamat pagi,” ucapnya datar.Tatapan Lily tak beralih sedetik pun dari leher putrinya. Ada semburat keunguan di sana.Hanna tahu. Dan dia sengaja tidak menutupinya.Bukan untuk menantang. Tapi sebagai bentuk protes—diam namun tegas. Ia muak dengan cara Lily yang selalu membuat keputusan atas hidupnya seolah dirinya hanyalah proyek gagal yang harus dikendalikan.Meskipun Lily adalah ibunya, bukan berarti ia berhak menentukan jalan hidup Hanna tanpa bertanya. Orang tua yang bijak seharusnya mendengar, bukan memutuskan sepihak.“Apa Liam pulang?” tanya Prof. Julian, matanya berganti ke arah Lily.Alih-alih menjawab, Lily justru menatap Hanna.“Kenapa Mama lihat

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   87 | Benang Merah

    “Professor…ada apa? Kenapa dengan Mamaku?” Hanna mendesak. Hari ini dia sudah cukup jengah dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan Mamanya dan tiba-tiba saja Liam menyebut nama Mamanya dengan ekspresi yang aneh.Liam tersenyum, tapi senyum itu tak lagi hangat. Senyum itu penuh dengan rahasia dan sebuah kesadaran akan sesuatu besar yang tiba-tiba menyatukan semua teka-teki dalam benaknya."Tidak ada," ujarnya akhirnya, sambil mendudukkan Hanna di sampingnya, namun genggamannya pada tangan gadis itu tak juga lepas, justru semakin erat. "Tidak ada apa-apa. Kecuali... bahwa takdir kita mungkin sudah diatur untuk bertemu jauh sebelum kita menyadarinya."Hanna menatap Liam dengan tatapan penuh tanda tanya, tiba-tiba saja seorang Liam yang biasa berbicara tentang teori, sekarang bicara tentang takdir.“Aku tahu kamu pasti akan menertawakanku. Tapi, apa kamu pernah dengar tentang benang merah? Kami para ilmuwan menyebutnya sebagai anomali”Hanna mengangguk sambil menunggu penjelasan Liam

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   86 | Penyusup

    “Apa aku membangunkanmu?” Tanya Liam saat tubuh Hanna bereaksi begitu dia mendekapnya dari belakang. Dia pulang saat semua orang sudah tidur lalu mengendap ke kamar Hanna seperti maling kecil pencuri ciuman. Padahal Hanna sudah memintanya untuk tinggal beberapa hari di apartemen agar orang tua mereka tidak curiga.Namun, siapa yang bisa memerintah atau mengatur Liam?Dan, sebesar apapun keraguan Hanna pada Liam, dia selalu bisa menerima kehadiran Liam dengan suasana hati yang baik karena adanya koneksi loyalitas biologisnya terhadap Liam yang mengeluarkan hormon bahagia dengan kehadiran Liam seperti sekarang ini.Atau memang satu alasan yaitu cinta. Mungkin, cinta memang akan menjadi kelemahan Hanna dan Liam kedepannya.“Dasar penyusup!” umpat Hanna, tentu saja tak sungguh-sungguh marah.“Kalau gak menyusup aku ga bisa ketemu kamu, Hanna! Setelah ini akan semakin sulit untuk kita bertemu! Ryan … tunanganmu itu licik sekali”“Kalian semua licik. Aku merasa kalau aku ini korban” Ucap H

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   85 | Dua Perempuan

    Lily menarik napas dalam, wajahnya tiba-tiba tampak sepuluh tahun lebih tua."Baiklah," katanya dengan suara rendah yang bergetar. "Karena kamu bersikeras tidak percaya, akan kubicarakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu kamu dengar."Hanna menatapnya tanpa gentar. Wajahnya tegar, tanpa sedikit pun keraguan. Sebagai perempuan dewasa, ia punya pandangan sendiri terhadap hidupnya. Dikhawatirkan orang tua memang membahagiakan, tapi diatur seperti sekarang—itu hal lain.“Papamu persis seperti kamu,” ucap Lily akhirnya, tajam tapi getir. “Keras kepala, dan selalu merasa dirinya paling benar. Dia hancur oleh idealismenya sendiri. Jadi kamu tidak perlu mengenalnya, karena dia pun tidak pernah berusaha mengenalmu.”Nada tegas Lily membuat udara di ruangan terasa berat. Sebagai perempuan, Lily sudah lama belajar berpikir realistis: dalam hidup ini, uang, nama, dan kekuasaan adalah tiga hal yang menentukan cara dunia memandangmu. Tanpa itu, kau akan diremehkan.Lily ingin Hanna memiliki hidup

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status