Share

Kesepakatan

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-10-01 14:38:56

Di dalam kamar, Hanna duduk di tepi ranjang, tangan menekan dadanya. Nafasnya tidak beraturan, seolah jantungnya berlari tanpa henti.

“Aku harus mencari jalan keluar,” gumamnya lirih, hampir seperti meratap pada dirinya sendiri. “Aku sebentar lagi menikah dengan Ryan. Aku tidak bisa terus-terusan menunjukkan reaksi memalukan ini setiap kali bertemu Profesor Liam…”

Ia meremas ujung selimut, mencoba meyakinkan diri. Ia harus berpikir jernih, harus mencari cara agar pengaruh implan KB itu tidak terus menguasai tubuhnya. Tapi bagaimana mungkin? Implan itu diciptakan untuk menancap kuat pada sistem biologis, menyatu dengan darah dan syaraf. Dan ironisnya—orang yang paling tahu cara mengatasinya justru adalah orang yang membuatnya.

“Seharusnya Liam tahu caranya…” bisiknya. “Tapi… kalau aku terus memikirkannya… aku bisa gila.”

Lamunannya buyar oleh suara ketukan di pintu. Hanna langsung menegakkan tubuh, rasa panik menyelusup. Ia melangkah pelan, membuka pintu hanya sedikit, cukup untuk mengintip keluar.

“Ada apa?” tanyanya dingin, berusaha terdengar kuat.

Profesor Liam berdiri di ambang pintu, tersenyum tipis. Tatapan matanya dalam, menyiratkan sesuatu yang Hanna tak ingin tafsirkan. Ia tidak menjawab segera, tapi sorot matanya jelas mengatakan bahwa ia ingin masuk.

“Bicara di sini saja,” Hanna cepat memotong, menahan pintu dengan tubuhnya.

Liam menggeleng pelan, nada suaranya rendah tapi tegas. “Mau diskusi jalan keluar.”

Kata-kata itu membuat Hanna terdiam. Akhirnya, dengan enggan, ia membuka pintu lebih lebar. Namun refleksnya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada seorang pun yang melihat Profesor muda itu masuk ke dalam kamarnya.

Begitu masuk, Liam tidak meminta izin, tidak bertanya. Ia melangkah dengan sikap otoriter, seolah kamar itu adalah wilayah kekuasaannya sendiri. Kehadirannya mendominasi ruangan sempit itu, membuat udara seakan lebih padat, lebih berat, hingga Hanna sendiri sulit bernafas.

“Diskusi jalan keluar?” Hanna menutup pintu di belakang mereka, tubuhnya kaku menahan ketegangan. “Kalau begitu, katakan. Bagaimana caranya? Apa aku harus hidup seperti ini selamanya—dengan tubuhku bereaksi setiap kali dekat denganmu?”

Nada suaranya terdengar getir, seperti permohonan yang dibungkus amarah.

Liam berdiri tegak di tengah kamar, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam, tapi tidak tergesa. “Hanna… kau pikir aku sudah punya jawabannya?”

Hanna menatapnya penuh kejengkelan. “Kamu yang menciptakan implan ini! Kamu Kepala Biro Kependudukan! Bukankah seharusnya kamu tahu setiap celahnya, setiap kelemahannya?”

Untuk pertama kalinya, Liam terdiam sejenak. Senyumnya tipis, lebih menyerupai pengakuan getir daripada kesombongan. “Kasusmu… yang pertama. Tidak ada catatan sebelumnya. Tidak ada teori. Tidak ada simulasi yang memprediksi reaksi sekuat ini. Karena aku tidak pernah menyangka hal seperti ini bakalan terjadi.”

Hanna melangkah mendekat, matanya berkilat penuh tuduhan. “Jadi maksudmu… aku percobaan? Aku satu-satunya bukti bahwa sistemmu cacat?”

Liam menatapnya tanpa bergeming. “Bukan…bukan cacat, Hanna. Kau justru anomali… dan aku ingin tahu kenapa.”

Hanna memukul dadanya dengan kepalan tangan, menahan desiran tubuh yang kian sulit dikendalikan. “Kalau orang lain tahu, kariermu berakhir! Kamu bisa kehilangan jabatanmu, bahkan bisa dianggap menyelewengkan sistem untuk kepentingan sendiri.”

Tapi Liam hanya tersenyum miring, sama sekali tak menunjukkan rasa takut. “Kalau ketahuan… mungkin. Tapi aku tidak menyesal. Aku ingin tahu sampai sejauh mana implan ini bekerja. Dan kenapa tubuhmu—dan tubuhku—bereaksi seperti ini.”

“Terkadang sebuah kelemahan dalam sistem bisa menciptakan penemuan yang lebih dahsyat, Hanna”

Hanna menelan ludah, tubuhnya semakin tegang. Ia bisa merasakan tatapan Liam bukan sekadar ilmuwan, tapi juga lelaki yang terjerat sensasi sama dengannya.

Dalam hati kecilnya, Hanna tau kalau Liam tidak gentar pada risiko.

“Aku tidak mau jadi bahan percobaanmu, Profesor,” Hanna bersuara serak, penuh amarah bercampur rasa takut. Ia menunjuk ke arah pintu dengan tangannya yang bergetar. “Keluar. Sekarang juga.”

Liam tidak bergerak. Tatapannya tetap menancap dalam ke arah Hanna, membuatnya merasa telanjang meski masih berpakaian.

“Hanna…” suaranya tenang, nyaris seperti bisikan yang berbahaya. “Kamu pikir hanya tubuhmu yang bereaksi? Lihat aku.” Ia mengangkat tangannya, menggenggam erat seakan menahan sesuatu dalam dirinya. “Aku juga merasakannya. Sama kuatnya. Dan ini… bukan sesuatu yang bisa kutekan dengan logika.”

“Berhenti bicara begitu!” Hanna mundur selangkah, punggungnya hampir menempel ke dinding. “Aku akan menikah dengan Ryan. Aku tidak boleh—aku tidak bisa—terus berada di dekatmu.”

Liam melangkah maju, menghapus jarak di antara mereka. Setiap langkahnya terasa seperti tekanan tak kasatmata yang menjerat tubuh Hanna.

“Kamu bisa mengusirku dari kamar ini,” bisik Liam, suaranya tajam tapi hangat. “Tapi bisakah kamu mengusir reaksi tubuhmu setiap kali aku mendekat? Atau…” ia berhenti sejenak, matanya menyipit dengan minat ilmiah bercampur gairah, “…bisakah kamu mengusir rasa candu yang mulai menjalari tubuhku sendiri?”

Hanna terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada kata keluar. Ia ingin mendorongnya, menamparnya, apa saja. Namun tubuhnya membeku, berkhianat pada niatnya sendiri.

Liam mencondongkan tubuh, cukup dekat hingga Hanna bisa merasakan hembusan napasnya. “Kamu takut kebablasan, bukan?” tanyanya lirih. “Takut permainan ini menyeretmu lebih dalam. Tapi mungkin… justru di situlah jawabannya.”

Hanna menggertakkan giginya, berusaha menyalakan kembali sisa-sisa logika. Dengan sisa tenaga, ia mendorong dada Liam. “Keluar!” suaranya pecah, hampir seperti teriakan.

“Aku sudah mengkhianatinya sekali… tolong… jangan membuatku menjadi perempuan jahat,” Hanna memohon, suara lirihnya pecah di antara ketegangan. Namun tubuhnya bereaksi lain, bergetar setiap kali disentuh Profesor Liam. Sensasi itu justru membuatnya semakin rapuh.

“Ah… Profesor… tolong…” desahnya tak terkendali.

Liam menunduk sedikit, matanya menelisik wajahnya. “Tolong?” ulangnya pelan, seolah mengejek sekaligus menguji.

“Kenapa aku tidak bisa menolakmu… tolong… kita tidak boleh melakukan ini…” Hanna berusaha meraih sisa-sisa logikanya, tapi suaranya terdengar lebih seperti rintihan daripada perlawanan.

Liam mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh telinga Hanna. “Bukan kita, Hanna,” bisiknya penuh tekanan. “Ini adalah tubuh kita.”

Hanna terpejam, hatinya menolak, tapi tubuhnya berkhianat—membiarkan desiran itu menguasai setiap inci dirinya. Dan Liam, alih-alih mundur, justru larut dalam paradoks yang mereka ciptakan sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Terperangkap

    Lobby hotel Asterion Lumeris berkilau oleh cahaya kristal lampu gantung yang megah. Hanna berjalan di samping Ryan, wajahnya ia buat pucat agar alibinya terlihat meyakinkan. Ryan merangkul pundaknya dengan hati-hati, membimbing langkah Hanna yang sedikit limbung, hingga kepalanya sempat bersandar di dada Ryan. Dari dekat, Hanna bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.Sebuah tanda. Rencananya hampir berhasil.Apa boleh buat, meski apa yang akan dilakukannya bertentangan dengan nuraninya, Hanna rela. Jika dengan tidur bersama Ryan ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman efek Alarm KB itu, maka ia akan melakukannya.Senyum tipis melintas di bibirnya. Ironis, karena detak jantungnya sendiri justru semakin tak terkendali—bukan karena kelemahan tubuhnya, melainkan karena rencana berbahaya yang sedang ia mainkan.Namun sebelum mereka sempat melewati meja resepsionis, sebuah suara dalam, tenang, dan familiar memecah udara.“Hanna.”Hanna menegang seketika. Tubuhnya kaku sa

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Dating With Ryan

    Esok harinya, Hanna berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan anggun, sederhana tapi elegan. Rambutnya digelung setengah, sisanya tergerai lembut di bahu. Dia ingin terlihat sempurna untuk Ryan, calon suaminya. Dia yakin, bahwa dia bisa menyingkirkan efek dari sistem yang dia sebut error tapi Liam mengatakan sebaliknya.Saat ia meraih clutch kecilnya, pintu kamar terbuka. Lily masuk sambil tersenyum, matanya berbinar melihat putrinya yang cantik. “Kau terlihat luar biasa, Hanna. Bahkan lebih cantik dari Mama saat muda, Ryan pasti terpesona. ”Hanna hanya mengangguk sopan, tapi sebelum ia sempat membalas, Lily melanjutkan dengan nada yang lebih serius.“Ngomong-ngomong, Mama sudah bicara dengan Julian,” ucap Lily sambil melangkah lebih dekat. “Kami berdua sepakat… lebih baik kau tetap tinggal di rumah ini. Agar kita bisa terasa seperti keluarga. Apalagi Liam juga sudah setuju tinggal di sini. Tidak baik kalau kau sendirian di apartemen kecil itu.”H

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Ini Gila!

    Hanna mendorong dada Liam dengan kasar. “Cukup!” desisnya, suaranya bergetar di antara amarah dan rasa takut.Liam bergeser setengah langkah ke belakang. Bukan karena kalah, melainkan seperti sengaja memberi ruang—predator yang tahu kapan harus mundur agar mangsanya tetap bernafas. Smirk itu kembali muncul, tipis, penuh perhitungan.“Menarik sekali,” ucapnya tenang. “Setiap kali kau melawanku, tubuhmu justru mengungkap hal yang berbeda. Detak jantungmu… suhu kulitmu…” Ia mengangkat jemari yang tadi menyentuh rahangnya, lalu menatapnya seolah sedang mempelajari spesimen laboratorium. “Kau sadar, kan? Penolakanmu ini hanya memperkuat algoritma yang sudah tertanam di dalam DNA-mu.”Hanna menggertakkan gigi, tapi tubuhnya masih gemetar—bukan hanya karena marah.Liam condong sedikit lagi, suaranya nyaris berbisik. “Dan itu yang membuatmu berbahaya, Hanna. Karena aku tidak sedang meneliti sistem… aku sedang meneliti kamu.”Ia mundur perlahan, tapi matanya tak pernah lepas darinya. Tatapan i

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Amygdala Hijack

    Hanna baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Rambutnya masih basah menetes di bahu saat ia meraih handphone. Nama Ryan Kelly terpampang di layar.“Hanna?” suara Ryan terdengar hangat, lembut, tapi juga ragu, seakan ia masih hati-hati menakar jarak. “Besok malam… kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan malam di Lumeria District. Kau tahu tempat itu? Malam harinya jalanan dipenuhi lampion kaca yang melayang di udara, ada kanal kecil dengan perahu kayu berlampu kristal, dan restoran atap di menara Archelion yang langsung menghadap kota. Aku pikir… tempat itu akan menyenangkan untuk kita.”Hanna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bayangan cahaya lampion yang memantul di air terlintas di kepalanya. “Tentu, Ryan. Itu terdengar indah sekali.”Ada jeda di ujung telepon, seolah Ryan sedang menimbang kata-katanya. “Syukurlah… aku khawatir kau menolak. Aku… hanya ingin kita saling mengenal lebih baik, itu saja.”Hanna hendak menjawab, namun suara ketukan pelan di

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Talk About Sex

    Hanna mencoba bersikap santai, meski jemarinya gelisah meremas ujung gaunnya di pangkuan.“Ma… aku tidak… maksudku, aku tidak melakukan apa-apa yang aneh, kalau Mama berpikir aku melakukan itu…” katanya tergagap.Lily mengerling, bibirnya melengkung tipis, seperti senyum yang tidak pernah benar-benar hangat.“Hanna, tidak ada yang aneh dengan seorang wanita dua puluh dua tahun yang tubuhnya mulai mencari penyaluran. Seks bukan hal tabu, apalagi dalam pernikahan. Yang tabu adalah jika kau menutup mata dari kebutuhanmu sendiri.”Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, seakan ingin melompat keluar. Sekilas bayangan tubuh Liam menindihnya menyeruak begitu jelas di benaknya—ciumannya yang dalam, sentuhan panas itu… Hanna berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kendali.Kemudian dia yakinkan dirinya, kalau apa yang dilakukan dengan Liam bertujuan untuk penelitian. Mungkin Mamanya juga bisa menjadi narasumber untuk hal ini.“Nanti, dengan Ryan sebagai suamimu,” lanjut Lily pelan nam

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Girl Talks

    “Kenapa kau bisa setenang itu, hah?!” Hanna berdiri, mendorong dada Liam keras-keras. “Dia hampir saja melihatmu! Aku bisa mati kalau Mama tahu!”Liam hanya menunduk sedikit, wajahnya mendekat pada Hanna. “Tapi nyatanya… dia tidak tahu.” Suaranya dalam, dingin, penuh keangkuhan.“Jangan senyum-senyum seperti itu! Kau pikir ini lucu?!” Hanna mengangkat tangannya hendak menampar, tapi Liam lebih cepat. Ia menangkap pergelangan Hanna, memutar dengan mudah, membuat tubuh Hanna terperangkap di antara dadanya dan dinding.“Aku pikir…” bisiknya dekat telinga, membuat Hanna merinding, “…kau menikmati ketegangannya. Degup jantungmu barusan lebih liar daripada ketika aku mencium bibirmu.”Hanna menggigit bibir, tubuhnya bergetar, antara marah dan malu. “Kau… bajingan…” suaranya serak, tapi bukannya mendorong, tangannya justru mencengkeram baju Liam.Liam menunduk lagi, bibirnya nyaris menyentuh leher Hanna. “Kau masih gemetar. Itu bukan marah, Hanna. Itu tubuhmu… memanggilku lagi.”Hanna tereng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status