LOGINHanna mendorong tubuh Profesor Liam perlahan. Napasnya masih tersengal, patah-patah, seolah berusaha menolak godaan yang semakin menyesakkan dada.
“Hanna, aku tahu ini salah… tapi aku ingin membuat sebuah kesepakatan,” ucap Liam, menahan jeda sejenak, matanya menatap serius.
“Kesepakatan?” Hanna mengerutkan dahi.
“Kamu tahu, setelah krisis populasi perlahan teratasi, negara sekarang menghadapi masalah lain—tingginya angka perceraian. Aku sedang mencari jawaban untuk itu.”
Hanna menatapnya tajam. “Dengan kata lain, kamu mengakui kalau sistem yang kamu buat cacat?”
Tatapan Liam mengeras. Ia tidak suka kata itu. “Bukan cacat. Dalam setiap sistem pasti ada celah. Karena itu aku masih terus meneliti.”
Hanna mencibir kecil. “Akui saja kalau sistemmu tidak sesempurna yang kau banggakan. Jadi… apa kesepakatan yang ingin kau tawarkan?”
“Penelitianmu tentang pentingnya emosi dalam membangun hubungan… aku ingin tahu apakah itu bisa benar-benar mengurangi angka perceraian.”
Hanna menyipitkan matanya. “Dan hubungannya dengan kita?”
Liam mendekat sedikit, suaranya menurun. “Kita ikuti saja keinginan tubuh kita. Kita lihat apakah sentuhan fisik bisa menumbuhkan emosi seperti cinta, yang menurutmu bisa memperkuat sebuah hubungan.”
Hanna menegang. “Kamu mau menjadikan aku objek penelitianmu?”
“Ssttt… jangan keras-keras.” Liam menunduk, menatapnya penuh intensitas. “Bukan cuma kamu. Aku juga. Kita sama-sama terlibat.”
Hanna menggeleng cepat. “Tetap saja aku yang dirugikan. Aku akan menikah sebentar lagi. Di usia dua puluh tiga, aku harus siap hamil.”
“Aku bisa mengakalinya. Kamu tetap menikah, dan aku pastikan kamu tidak akan hamil sampai penelitian kita selesai.”
Hanna menatapnya tak percaya. “What the hell, Prof. Liam!”
“Dengar, Hanna…” Liam menahan suaranya tetap tenang. “Kalau penelitian ini menghasilkan outcomes positif, bukan cuma aku yang akan dapat penghargaan. Kamu juga. Karirmu bisa melonjak—dari seorang sarjana muda, langsung dicatat dalam sejarah penemuan besar Valthera.”
Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, pikirannya bimbang. Logikanya berkata ini gila—bahkan berbahaya. Tapi bayangan karier yang melesat, nama yang diakui, dan kontribusi besar untuk negaranya… itu semua begitu menggoda.
Hanna menutup wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menyingkirkan jejak panas yang masih tertinggal di kulitnya.
“Aku sudah mengkhianatinya sekali…” suaranya bergetar lirih. “Apa sekarang aku akan melakukannya lagi?.”
“Tapi kau sendiri yang tahu, Hanna… ini bukan sekadar kita,” balas Liam dengan nada pelan, namun tegas. “Ini tubuh kita. Tubuh yang tidak bisa berbohong. Kita bisa buktikan malam ini jika kamu tidak percaya!”
Kalimat itu menusuknya. Ia ingin membantah, ingin menolak, tapi denyut hangat yang bergetar di bawah kulit justru mempermalukan logikanya.
“Kenapa aku tidak bisa menolakmu…” Hanna bergumam, setengah putus asa, setengah tergoda.
“Kamu bisa… kalau memang mau.” Liam mendekat, matanya tak lepas dari Hanna. “Tapi jangan pura-pura tidak tahu—ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar logika di antara kita. Dan aku ingin mengujinya.”
Hanna menggigit bibir, tubuhnya gemetar bukan karena takut, melainkan karena perlawanan batin yang hampir runtuh. Kata “penelitian” itu menggema di kepalanya, memberikan alasan tipis yang bisa ia jadikan tameng.
“Kalau… kalau memang ini untuk penelitian,” ucap Hanna akhirnya, suaranya lirih tapi penuh keraguan, “apakah itu cukup membuatnya… bukan dosa?”
Liam tersenyum samar, seolah tahu dinding terakhir yang Hanna pertahankan mulai retak. “Ini bukan dosa, Hanna. Ini data. Kita tidak sedang berselingkuh—kita sedang mencari jawaban untuk bangsa ini.”
Hanna terdiam, menatap lantai, mencoba meyakinkan dirinya. Tapi hatinya tahu, pembenaran itu hanya tipis seperti kabut. Semuanya jadi tampak abu-abu.
“Kita akan buktikan sekali lagi malam ini….”
Desahan rendah Profesor Liam mengudara, sementara jari-jarinya yang hangat menyentuh siku Hanna dengan penuh arti. Pandangan mereka bertaut, sama-sama berkabut oleh hasrat yang tak terbendung.
Jarak di antara mereka menyempit dalam hening. Dengan gerakan mantap, sang profesor menarik tubuh Hanna, mendekapnya erat hingga tak ada celah. Posisi Hanna terkulai, pasrah, dalam pelukannya. Kehangatan tubuh mereka bersatu, membius, mengirimkan gelombang panas dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
Tanpa terasa, tangan Profesor Liam sudah mendapati dagu Hanna, mendongakkannya dengan lembut. Tatapannya yang gelap dan dalam tak lagi menatap matanya, melainkan telah beralih dan terpaku pada bibir Hanna yang sedikit terbuka. Bibir yang berona merah alami itu bagai magnet, memancarkan denyut-denyut liar yang menggila. Sebuah insting purba mendesak di dalam benaknya, memerintah untuk segera menghapus sisa jarak yang sia-sia itu, dan menyerahkan segalanya pada rasa.
"Hanna…"
Hanya itu yang bisa terdesak dari bibirnya, suara serak penuh dahaga. Jarak antara mereka punah. Wajahnya mendekat dengan keyakinan memabukkan, dan nafas mereka bertabrakan, berbaur menjadi satu medan magnet yang tak tertahankan."Profesor Liam... tolong, jangan..." desis Hanna, mencoba memalingkan wajah.
"Kita harus," potongnya dengan tegas, tatapannya mengunci. "Ini bukan lagi tentang pilihan, Hanna. Ini tentang membongkar kebenaran, tentang mendapatkan setiap jawaban dari cacat sistem yang kau gugat." Tangannya menahan pipi Hanna dengan lembut tapi tak terbantahkan.
Bibir Liam berhenti di bibir Hanna, begitu dekat hingga napas mereka menyatu dalam ruang sempit yang penuh ketegangan. Sebuah jeda yang terasa seperti keabadian.
“Aku minta maaf, Hanna… sebenarnya…”Suara Julian terdengar patah, intonasi suaranya yang biasanya sangat penuh kharisma dan wibawa hilang begitu saja, tidak seperti ilmuwan jenius yang dihormati Valthera, bukan pejabat institusi, tetapi seorang pria yang akhirnya kehabisan tempat bersembunyi.Semua mata langsung tertuju padanya.Lily berhenti bernapas. Alderic berdiri tegak, tatapannya seperti baja panas. Liam menahan napas, rahangnya mengeras. Ryan… tersenyum miring, menikmati drama yang ia lemparkan ke tengah ruangan. Menurut dia ini seperti menonton opera mini keluarga yang menggelikan. Kisah cinta usang yang terlalu dipaksakan.Julian mengangkat wajahnya perlahan.“Aku menyodorkan datamu ke keluarga Kelly bukan hanya karena ingin masa depanmu stabil,” ia memulai dengan suara serak. “Tapi… karena aku tahu sesuatu yang tidak seharusnya aku tahu.”Hanna menatapnya tanpa berkedip. “Apa itu tentang kecocokan DNA-ku dengan Prof. Liam?”Julian mengusap wajahnya, seperti ingin mengh
Julian tidak langsung menjawab. Wajahnya memucat, tapi bukan karena takut pada Ryan, melainkan karena ia sadar rahasia yang selama ini ia tutup rapat sudah didorong paksa ke tepi jurang.Dia khawatir jika berkata jujur maka Lilu akan membencinya, namun posisinya saat ini juga jelas tidak menguntungkan.Alderic mempersempit tatapannya.“Julian,” ujarnya datar, “jawab pertanyaannya!.”Ryan menyeringai seperti seseorang yang menikmati kehancuran orang lain.“Ayah saya tidak akan bergerak tanpa dasar yang kuat,” lanjut Ryan pelan. “Dan… Prof. Julian memberi kami alasan.”Hanna menegang. Ia memandang Julian, bingung, terluka, curiga.“Apa maksudnya…?” suaranya kecil tapi stabil. “Prof. Julian, apakah Anda memiliki rahasia yang tidak kami ketahui?”Julian akhirnya mengembuskan napas—pendek, berat, dan putus asa.“Aku…” Ia menatap Lily sekilas. Lalu pada Hanna.“Aku … sebenarnya hanya mengabulkan permintaan Mamamu, Hanna. Mencarikanmu suami yang capable dan bisa diandalkan. Aku memang pern
Hening panjang menyelimuti ruangan. Namun, bukan hening yang tenang, ini adalah hening yang membuat punggung meremang.Lily memandang Hanna, wajahnya seperti baru disambar halilintar. Julian refleks berdiri lebih tegap. Alderic… tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Liam, lalu menatap putrinya.“Berapa orang?” tanya Alderic datar.“Sepuluh,” jawab Liam pelan tapi jelas. “Berseragam penuh. Dan mobil mereka berhenti tepat di ujung jalan.”Lily menutup mulut dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar.“Valthera tidak mungkin… mereka tidak akan se—”“Lily,” sela Liam dingin. “Mereka datang bukan sebagai negara, tapi sebagai perpanjangan tangan keluarga Kelly. Suaranya rendah, tapi tegas.“Dan Ryan sudah tidak peduli lagi soal batasan hukum.”Alderic menarik napas dalam, lalu menatap Lily seolah meminta pengakuan terakhir.“Kamu tahu ini akan terjadi?” tanyanya.Lily menggeleng cepat, panik. “Tidak—aku tidak pernah menyuruh Ryan ke sini! Aku cuma… aku cuma bicara dengannya beberapa hari lalu,
Alderic menatap Lily lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Bukan ragu, melainkan karena terlalu banyak kata yang kalau diucapkan saat itu, hanya akan memperburuk keadaan.Dia tidak mau tersulut emosi, karena mau diributkan juga percuma, tidak akan mengubah keadaan.Lily menyeka air mata dengan tangan gemetar. “Alderic… Hanna masih bisa punya masa depan yang jauh lebih baik, kalau kamu memang sayang sama dia, tolong bujuk dia untuk kembali pada Ryan.” Lily mengambil jeda “ Ryan satu-satunya pria yang bisa menjamin itu.” tambahnyaSeketika, tatapan Alderic mengeras.Lily membeku.“Aku tahu kamu ingin yang terbaik untuk Hanna,” ujar Alderic, suaranya rendah namun stabil. “Tapi Ryan? Laki-laki itu bahkan melihat Hanna seperti proyek. Seperti benda yang bisa diatur sesuai kebutuhan keluarganya. Aku tidak setuju”Lily menegang, tetapi tidak membantah.Julian langsung melirik Lily, menyadari perdebatan baru hendak meledak.Alderic melangkah dua langkah mendekat, nada suaranya tegas.
Begitu pintu tertutup di belakang Hanna dan Liam, ruangan teras rumah yang tenang dan hijau itu berubah menjadi arena perdebatan yang sudah tertahan bertahun-tahun.Lily berdiri mematung, wajahnya pucat, bibirnya bergetar. Ia membuka mulut, ingin bicara… tapi tak ada suara yang keluar.Julian langsung menopangnya sebelum wanita itu jatuh.“Lily… tenang. Tarik napas dulu.”“Kamu…telah menyakiti Hanna, kamu lihat sendiri bagaimana reaksinya? Aku berniat mengatakannya sendiri, gak sekarang. Dari dulu kamu memang gak becus, Alderic!” maki Lily tak dapat menahan emosinya lagi.“Kamu tahu kan kenapa aku sengaja sembunyikan dia darimu sekarang? Seperti ini! Kamu mengacaukan segalanya!”Namun Alderic…Alderic berdiri di sisi lain ruangan, kedua tangannya mengepal begitu kencang sampai buku jarinya memutih. Napasnya berat, seperti seseorang yang mencoba menahan badai di dadanya.“Aku tidak becus?”Suara itu akhirnya keluar.Pelan. Serak. Menyakitkan.Lily mengangkat wajahnya, matanya memerah.
Hanna tidak langsung menangis, dia menatap Lily kemudian Alderic kemudian dia tersenyum.Justru itu yang membuat semuanya terasa jauh lebih menakutkan.Dia berdiri kaku, seperti tubuhnya dan jiwanya terbelah menjadi dua bagian yang tidak lagi saling mengenali. Udara yang ia hirup terasa dingin, asing, dan seperti tidak masuk ke paru-parunya.“K…kamu bohong, kan?.”Hanna akhirnya bersuara, tapi suaranya serak—hampir seperti suara orang lain. “Kamu pasti bohong. Ini cuma… permainan kalian lagi. Kalian suka mengatur hidupku, jadi—jadi ini cuma bagian dari itu, kan?”“Hanna…” Alderic memberi satu langkah kecil ke arahnya. “Aku tidak akan pernah berani bercanda tentang ini, aku juga baru tahu. Selama ini Mamamu menyembunyikanmu dariku!”“Tetap saja… tetap saja itu bisa jadi kebohongan kan!” Hanna mundur selangkah, lalu satu langkah lagi. “Aku nggak kenal kamu! Kamu bukan siapa-siapa di hidupku! Kenapa sekarang—KENAPA SEKARANG KAMU NGAKU?!”“Karena aku baru tahu, Hanna! Aku baru tahu sesaat







