Share

Pembuktian

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-10-01 14:39:42

Hanna mendorong tubuh Profesor Liam perlahan. Napasnya masih tersengal, patah-patah, seolah berusaha menolak godaan yang semakin menyesakkan dada.

“Hanna, aku tahu ini salah… tapi aku ingin membuat sebuah kesepakatan,” ucap Liam, menahan jeda sejenak, matanya menatap serius.

“Kesepakatan?” Hanna mengerutkan dahi.

“Kamu tahu, setelah krisis populasi perlahan teratasi, negara sekarang menghadapi masalah laintingginya angka perceraian. Aku sedang mencari jawaban untuk itu.”

Hanna menatapnya tajam. “Dengan kata lain, kamu mengakui kalau sistem yang kamu buat cacat?”

Tatapan Liam mengeras. Ia tidak suka kata itu. “Bukan cacat. Dalam setiap sistem pasti ada celah. Karena itu aku masih terus meneliti.”

Hanna mencibir kecil. “Akui saja kalau sistemmu tidak sesempurna yang kau banggakan. Jadi… apa kesepakatan yang ingin kau tawarkan?”

“Penelitianmu tentang pentingnya emosi dalam membangun hubungan… aku ingin tahu apakah itu bisa benar-benar mengurangi angka perceraian.”

Hanna menyipitkan matanya. “Dan hubungannya dengan kita?”

Liam mendekat sedikit, suaranya menurun. “Kita ikuti saja keinginan tubuh kita. Kita lihat apakah sentuhan fisik bisa menumbuhkan emosi seperti cinta, yang menurutmu bisa memperkuat sebuah hubungan.”

Hanna menegang. “Kamu mau menjadikan aku objek penelitianmu?”

“Ssttt… jangan keras-keras.” Liam menunduk, menatapnya penuh intensitas. “Bukan cuma kamu. Aku juga. Kita sama-sama terlibat.”

Hanna menggeleng cepat. “Tetap saja aku yang dirugikan. Aku akan menikah sebentar lagi. Di usia dua puluh tiga, aku harus siap hamil.”

“Aku bisa mengakalinya. Kamu tetap menikah, dan aku pastikan kamu tidak akan hamil sampai penelitian kita selesai.”

Hanna menatapnya tak percaya. “What the hell, Prof. Liam!”

“Dengar, Hanna…” Liam menahan suaranya tetap tenang. “Kalau penelitian ini menghasilkan outcomes positif, bukan cuma aku yang akan dapat penghargaan. Kamu juga. Karirmu bisa melonjak—dari seorang sarjana muda, langsung dicatat dalam sejarah penemuan besar Valthera.”

Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, pikirannya bimbang. Logikanya berkata ini gila—bahkan berbahaya. Tapi bayangan karier yang melesat, nama yang diakui, dan kontribusi besar untuk negaranya… itu semua begitu menggoda.

Hanna menutup wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menyingkirkan jejak panas yang masih tertinggal di kulitnya.

“Aku sudah mengkhianatinya sekali…” suaranya bergetar lirih. “Apa sekarang aku akan melakukannya lagi?.”

“Tapi kau sendiri yang tahu, Hanna… ini bukan sekadar kita,” balas Liam dengan nada pelan, namun tegas. “Ini tubuh kita. Tubuh yang tidak bisa berbohong. Kita bisa buktikan malam ini jika kamu tidak percaya!”

Kalimat itu menusuknya. Ia ingin membantah, ingin menolak, tapi denyut hangat yang bergetar di bawah kulit justru mempermalukan logikanya.

“Kenapa aku tidak bisa menolakmu…” Hanna bergumam, setengah putus asa, setengah tergoda.

“Kamu bisa… kalau memang mau.” Liam mendekat, matanya tak lepas dari Hanna. “Tapi jangan pura-pura tidak tahu—ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar logika di antara kita. Dan aku ingin mengujinya.”

Hanna menggigit bibir, tubuhnya gemetar bukan karena takut, melainkan karena perlawanan batin yang hampir runtuh. Kata “penelitian” itu menggema di kepalanya, memberikan alasan tipis yang bisa ia jadikan tameng.

“Kalau… kalau memang ini untuk penelitian,” ucap Hanna akhirnya, suaranya lirih tapi penuh keraguan, “apakah itu cukup membuatnya… bukan dosa?”

Liam tersenyum samar, seolah tahu dinding terakhir yang Hanna pertahankan mulai retak. “Ini bukan dosa, Hanna. Ini data. Kita tidak sedang berselingkuh—kita sedang mencari jawaban untuk bangsa ini.”

Hanna terdiam, menatap lantai, mencoba meyakinkan dirinya. Tapi hatinya tahu, pembenaran itu hanya tipis seperti kabut. Semuanya jadi tampak abu-abu.

“Kita akan buktikan sekali lagi malam ini….”

Desahan rendah Profesor Liam mengudara, sementara jari-jarinya yang hangat menyentuh siku Hanna dengan penuh arti. Pandangan mereka bertaut, sama-sama berkabut oleh hasrat yang tak terbendung.

Jarak di antara mereka menyempit dalam hening. Dengan gerakan mantap, sang profesor menarik tubuh Hanna, mendekapnya erat hingga tak ada celah. Posisi Hanna terkulai, pasrah, dalam pelukannya. Kehangatan tubuh mereka bersatu, membius, mengirimkan gelombang panas dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

Tanpa terasa, tangan Profesor Liam sudah mendapati dagu Hanna, mendongakkannya dengan lembut. Tatapannya yang gelap dan dalam tak lagi menatap matanya, melainkan telah beralih dan terpaku pada bibir Hanna yang sedikit terbuka. Bibir yang berona merah alami itu bagai magnet, memancarkan denyut-denyut liar yang menggila. Sebuah insting purba mendesak di dalam benaknya, memerintah untuk segera menghapus sisa jarak yang sia-sia itu, dan menyerahkan segalanya pada rasa.

"Hanna…"

Hanya itu yang bisa terdesak dari bibirnya, suara serak penuh dahaga. Jarak antara mereka punah. Wajahnya mendekat dengan keyakinan memabukkan, dan nafas mereka bertabrakan, berbaur menjadi satu medan magnet yang tak tertahankan.

"Profesor Liam... tolong, jangan..." desis Hanna, mencoba memalingkan wajah.

"Kita harus," potongnya dengan tegas, tatapannya mengunci. "Ini bukan lagi tentang pilihan, Hanna. Ini tentang membongkar kebenaran, tentang mendapatkan setiap jawaban dari cacat sistem yang kau gugat." Tangannya menahan pipi Hanna dengan lembut tapi tak terbantahkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Terperangkap

    Lobby hotel Asterion Lumeris berkilau oleh cahaya kristal lampu gantung yang megah. Hanna berjalan di samping Ryan, wajahnya ia buat pucat agar alibinya terlihat meyakinkan. Ryan merangkul pundaknya dengan hati-hati, membimbing langkah Hanna yang sedikit limbung, hingga kepalanya sempat bersandar di dada Ryan. Dari dekat, Hanna bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.Sebuah tanda. Rencananya hampir berhasil.Apa boleh buat, meski apa yang akan dilakukannya bertentangan dengan nuraninya, Hanna rela. Jika dengan tidur bersama Ryan ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman efek Alarm KB itu, maka ia akan melakukannya.Senyum tipis melintas di bibirnya. Ironis, karena detak jantungnya sendiri justru semakin tak terkendali—bukan karena kelemahan tubuhnya, melainkan karena rencana berbahaya yang sedang ia mainkan.Namun sebelum mereka sempat melewati meja resepsionis, sebuah suara dalam, tenang, dan familiar memecah udara.“Hanna.”Hanna menegang seketika. Tubuhnya kaku sa

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Dating With Ryan

    Esok harinya, Hanna berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan anggun, sederhana tapi elegan. Rambutnya digelung setengah, sisanya tergerai lembut di bahu. Dia ingin terlihat sempurna untuk Ryan, calon suaminya. Dia yakin, bahwa dia bisa menyingkirkan efek dari sistem yang dia sebut error tapi Liam mengatakan sebaliknya.Saat ia meraih clutch kecilnya, pintu kamar terbuka. Lily masuk sambil tersenyum, matanya berbinar melihat putrinya yang cantik. “Kau terlihat luar biasa, Hanna. Bahkan lebih cantik dari Mama saat muda, Ryan pasti terpesona. ”Hanna hanya mengangguk sopan, tapi sebelum ia sempat membalas, Lily melanjutkan dengan nada yang lebih serius.“Ngomong-ngomong, Mama sudah bicara dengan Julian,” ucap Lily sambil melangkah lebih dekat. “Kami berdua sepakat… lebih baik kau tetap tinggal di rumah ini. Agar kita bisa terasa seperti keluarga. Apalagi Liam juga sudah setuju tinggal di sini. Tidak baik kalau kau sendirian di apartemen kecil itu.”H

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Ini Gila!

    Hanna mendorong dada Liam dengan kasar. “Cukup!” desisnya, suaranya bergetar di antara amarah dan rasa takut.Liam bergeser setengah langkah ke belakang. Bukan karena kalah, melainkan seperti sengaja memberi ruang—predator yang tahu kapan harus mundur agar mangsanya tetap bernafas. Smirk itu kembali muncul, tipis, penuh perhitungan.“Menarik sekali,” ucapnya tenang. “Setiap kali kau melawanku, tubuhmu justru mengungkap hal yang berbeda. Detak jantungmu… suhu kulitmu…” Ia mengangkat jemari yang tadi menyentuh rahangnya, lalu menatapnya seolah sedang mempelajari spesimen laboratorium. “Kau sadar, kan? Penolakanmu ini hanya memperkuat algoritma yang sudah tertanam di dalam DNA-mu.”Hanna menggertakkan gigi, tapi tubuhnya masih gemetar—bukan hanya karena marah.Liam condong sedikit lagi, suaranya nyaris berbisik. “Dan itu yang membuatmu berbahaya, Hanna. Karena aku tidak sedang meneliti sistem… aku sedang meneliti kamu.”Ia mundur perlahan, tapi matanya tak pernah lepas darinya. Tatapan i

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Amygdala Hijack

    Hanna baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Rambutnya masih basah menetes di bahu saat ia meraih handphone. Nama Ryan Kelly terpampang di layar.“Hanna?” suara Ryan terdengar hangat, lembut, tapi juga ragu, seakan ia masih hati-hati menakar jarak. “Besok malam… kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan malam di Lumeria District. Kau tahu tempat itu? Malam harinya jalanan dipenuhi lampion kaca yang melayang di udara, ada kanal kecil dengan perahu kayu berlampu kristal, dan restoran atap di menara Archelion yang langsung menghadap kota. Aku pikir… tempat itu akan menyenangkan untuk kita.”Hanna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bayangan cahaya lampion yang memantul di air terlintas di kepalanya. “Tentu, Ryan. Itu terdengar indah sekali.”Ada jeda di ujung telepon, seolah Ryan sedang menimbang kata-katanya. “Syukurlah… aku khawatir kau menolak. Aku… hanya ingin kita saling mengenal lebih baik, itu saja.”Hanna hendak menjawab, namun suara ketukan pelan di

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Talk About Sex

    Hanna mencoba bersikap santai, meski jemarinya gelisah meremas ujung gaunnya di pangkuan.“Ma… aku tidak… maksudku, aku tidak melakukan apa-apa yang aneh, kalau Mama berpikir aku melakukan itu…” katanya tergagap.Lily mengerling, bibirnya melengkung tipis, seperti senyum yang tidak pernah benar-benar hangat.“Hanna, tidak ada yang aneh dengan seorang wanita dua puluh dua tahun yang tubuhnya mulai mencari penyaluran. Seks bukan hal tabu, apalagi dalam pernikahan. Yang tabu adalah jika kau menutup mata dari kebutuhanmu sendiri.”Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, seakan ingin melompat keluar. Sekilas bayangan tubuh Liam menindihnya menyeruak begitu jelas di benaknya—ciumannya yang dalam, sentuhan panas itu… Hanna berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kendali.Kemudian dia yakinkan dirinya, kalau apa yang dilakukan dengan Liam bertujuan untuk penelitian. Mungkin Mamanya juga bisa menjadi narasumber untuk hal ini.“Nanti, dengan Ryan sebagai suamimu,” lanjut Lily pelan nam

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Girl Talks

    “Kenapa kau bisa setenang itu, hah?!” Hanna berdiri, mendorong dada Liam keras-keras. “Dia hampir saja melihatmu! Aku bisa mati kalau Mama tahu!”Liam hanya menunduk sedikit, wajahnya mendekat pada Hanna. “Tapi nyatanya… dia tidak tahu.” Suaranya dalam, dingin, penuh keangkuhan.“Jangan senyum-senyum seperti itu! Kau pikir ini lucu?!” Hanna mengangkat tangannya hendak menampar, tapi Liam lebih cepat. Ia menangkap pergelangan Hanna, memutar dengan mudah, membuat tubuh Hanna terperangkap di antara dadanya dan dinding.“Aku pikir…” bisiknya dekat telinga, membuat Hanna merinding, “…kau menikmati ketegangannya. Degup jantungmu barusan lebih liar daripada ketika aku mencium bibirmu.”Hanna menggigit bibir, tubuhnya bergetar, antara marah dan malu. “Kau… bajingan…” suaranya serak, tapi bukannya mendorong, tangannya justru mencengkeram baju Liam.Liam menunduk lagi, bibirnya nyaris menyentuh leher Hanna. “Kau masih gemetar. Itu bukan marah, Hanna. Itu tubuhmu… memanggilku lagi.”Hanna tereng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status