Home / Fantasi / Aduh Tak Tahan, Prof! / Makan Malam Keluarga

Share

Makan Malam Keluarga

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-10-01 14:38:11

Esok harinya, Hanna datang lebih awal ke kediaman Profesor Julian O’Hara. Ia terlebih dahulu menghampiri ibunya, Lily, sebelum menyapa ayah tirinya.

Profesor Julian O’Hara dikenal sebagai tokoh penting yang mempelopori teknologi pangan di Valthera. Berkat jasanya, negara itu memiliki ketahanan pangan yang kuat. Sayangnya, Valthera justru menghadapi masalah krisis populasi.

Untuk mengatasinya, pemerintah memberlakukan sistem Alarm KB—sebuah implan yang dipasang sejak lahir dan diaktifkan saat perempuan berusia tujuh belas tahun. Di usia itu pula mereka akan dijodohkan berdasarkan kecocokan DNA, demi menghasilkan generasi dengan kualitas terbaik. Sistem ini memang melahirkan banyak “generasi emas” yang membuat Valthera bangga.

Namun, sistem tersebut tetap menyimpan kelemahan. Salah satunya, banyak orang tumbuh tanpa mengenal emosi bernama cinta atau kasih sayang. Tingkat perceraian pun tinggi. Inilah yang kemudian menjadi fokus penelitian Hanna dalam tugas akhirnya, syarat terakhir kelulusannya.

“Hanna, kamu harus berterima kasih pada Julian yang sudah mengadakan acara makan malam ini,” ucap Lily.

“Tuan Julian, terima kasih!” Hanna membungkukkan badan dengan sopan.

“Jangan sungkan, Hanna. Aku mencintai ibumu, tentu saja aku juga harus menerimamu sebagai putriku,” jawab Julian hangat.

Hanna memang sangat berterima kasih pada ayah tirinya itu. Hanya sebulan setelah menikahi ibunya, Julian langsung mengadopsinya agar ia bisa menyandang nama belakang O’Hara. Dan kini, di usia pernikahannya yang masih muda, Julian pula yang mengadakan makan malam untuk mempertemukan Hanna dengan calon suaminya—match yang sudah ditentukan berdasarkan kecocokan DNA.

Tak lama kemudian, sosok lain muncul. Sosok yang membuat darah Hanna berdesir setiap kali berdekatan dengannya. Dengan langkah penuh kharisma, dingin, dan berwibawa, Profesor Liam masuk ke ruangan. Tak ada yang tahu siapa dirinya sebenarnya, kecuali Hanna yang sudah melihat sisi lain lelaki itu.

“Hanna, ini putraku. Dia juga seorang profesor, meraih gelar doktor di usia dua puluh satu tahun,” ujar Julian sambil melambaikan tangan ke arah Liam.

Pria itu tersenyum tipis. “Kami sudah pernah bertemu…”

“Di forum diskusi, berkaitan dengan tugas akhirku!” Hanna cepat menyahut, memotong kalimat Liam sebelum lelaki itu sempat menyinggung peristiwa semalam.

“Iya, tentu. Kami berdebat panas sekali waktu itu. Kalau saja aku tahu kamu adik tiriku, mungkin aku akan sedikit lebih lunak,” timpal Liam, membuat Julian dan Lily tertawa.

“Itu sebabnya aku menyuruhmu pulang, agar kamu mengenal keluargamu. Ini Lily, istri baruku, dan Hanna, putrinya.”

Liam menyalami Lily dengan sopan. “Anda sangat cantik. Pantas saja Ayah saya tergila-gila.”

“Seorang profesor yang disegani ternyata pandai juga memuji,” jawab Lily sambil tersenyum.

Kemudian Liam beralih pada Hanna. “Dan… Hanna, aku harap kita bisa menjadi saudara yang dekat,” ucapnya sambil meremas tangannya.

Sekejap tubuh Hanna hampir limbung oleh reaksi alami yang tak bisa ia kendalikan. Untung saja keluarga calon suaminya datang, membuat Liam terpaksa melepaskan tangannya dan berhenti menggodanya.

Acara perkenalan berlangsung hangat. Calon suami Hanna, Ryan Kelly, berasal dari keluarga pengusaha sukses. Kesan pertama Hanna terhadap Ryan cukup baik—ia tampak sopan dan penuh hormat.

Namun sepanjang makan malam, hati Hanna tak tenang. Tatapan Liam terus menempel padanya, seolah meneliti gerak-geriknya.

Hanna berusaha tersenyum dan menjawab dengan sopan setiap kali Ryan atau keluarganya mengajaknya bicara, tapi di dalam dirinya ada dua pertempuran yang berlangsung bersamaan menjaga kesan baik di depan calon suaminya, dan menahan gejolak tubuhnya setiap kali mata Liam menembus dirinya, seperti seorang peneliti yang sedang mengupas lapisan jiwa terdalamnya.

Ryan memperhatikan diam-diam. Hanna tampak sedikit gelisah, meski ia mencoba menutupinya dengan sopan santun. Ryan menafsirkannya lain—ia mengira Hanna gugup karena ini adalah pertemuan pertama dengan keluarga besarnya. Dalam hati, Ryan justru merasa tersentuh. Jika gadis ini tampak rapuh, dan ia ingin menjadi orang yang bisa membuat Hanna merasa aman.

“Kalian berdua sebaiknya menginap. Oh iya… Hanna, aku harap putraku tidak membuat kekacauan di apartemenmu kemarin malam. Pulang dari bandara dia tidak langsung ke sini, katanya capek, jadi aku berikan kode akses apartemenmu,” ucap Julian.

Sejenak wajah Hanna menegang, jantungnya berdebar cepat. “Ng… nggak kok. Kebetulan weekend ini aku ada di asrama untuk persiapan kelulusan,” jawabnya gugup.

Liam tersenyum tipis, menoleh sekilas ke arah Hanna. Senyum itu bukan sekadar basa-basi; ada sesuatu di balik tatapannya, semacam undangan berbahaya yang hanya bisa dimengerti mereka berdua. “Kekacauan seperti apa yang Ayah maksud?” sahutnya ringan, namun nadanya seolah menggoda.

Bibir Hanna hampir kaku, tubuhnya menegang. Ia tahu betul bahaya di balik kalimat itu. Bahaya yang membuatnya takut, sekaligus candu.

“Kamu tahu… apartemen perempuan itu biasanya sangat rapi,” Julian menimpali sambil tertawa kecil.

“Ng… nggak apa-apa kok. Nggak masalah kalaupun berantakan. Setiap pulang ke apartemen aku selalu beres-beres,” Hanna cepat-cepat menambahkan, berusaha menutup celah.

“Kalau perlu, aku akan membantumu,” Liam menyahut, kali ini dengan nada yang lebih berat, separuh main-main, separuh serius.

“Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuan,” Hanna buru-buru memotong, nada suaranya tegang.

“Kita saudara, Hanna.” Ucapannya sederhana, tapi langkah Liam berikutnya membuat napas Hanna tercekat. Ia menepuk bahu Hanna, lalu membiarkan tubuhnya sedikit condong ke arahnya.

Sekejap, aliran panas menjalari tubuh Hanna. Aroma tubuh Liam begitu dekat, terlalu dekat, membuat darahnya berdesir liar. Setiap syarafnya berteriak ingin menjauh, tapi tubuhnya tak mendengar logika. Sensasi itu seperti jebakan manis, membuatnya takut sekaligus terperangkap.

Dan Liam… ia pun tak luput dari jerat yang sama. Awalnya ia hanya berniat menggoda, tapi kini ia bisa merasakan sesuatu yang asing—rasa candu yang menyergap tiap kali Hanna begitu dekat. Tubuhnya merespons tanpa bisa ia kendalikan, membuat pikirannya bergetar. Ia, si jenius yang selalu percaya pada logika, justru kehilangan kendali di hadapan seorang gadis yang seharusnya ia anggap adik tiri.

Tatapan Liam mengeras, berusaha menyamarkan gejolak itu, tapi sudut bibirnya tetap terangkat. Ia menikmati ketegangan ini. Ia menikmati bagaimana Hanna gemetar, meski di balik itu dirinya pun sedang diguncang oleh sensasi yang sama.

Hanna berdiri kaku, menahan diri sekuat tenaga agar tidak terlihat rapuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Terperangkap

    Lobby hotel Asterion Lumeris berkilau oleh cahaya kristal lampu gantung yang megah. Hanna berjalan di samping Ryan, wajahnya ia buat pucat agar alibinya terlihat meyakinkan. Ryan merangkul pundaknya dengan hati-hati, membimbing langkah Hanna yang sedikit limbung, hingga kepalanya sempat bersandar di dada Ryan. Dari dekat, Hanna bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.Sebuah tanda. Rencananya hampir berhasil.Apa boleh buat, meski apa yang akan dilakukannya bertentangan dengan nuraninya, Hanna rela. Jika dengan tidur bersama Ryan ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman efek Alarm KB itu, maka ia akan melakukannya.Senyum tipis melintas di bibirnya. Ironis, karena detak jantungnya sendiri justru semakin tak terkendali—bukan karena kelemahan tubuhnya, melainkan karena rencana berbahaya yang sedang ia mainkan.Namun sebelum mereka sempat melewati meja resepsionis, sebuah suara dalam, tenang, dan familiar memecah udara.“Hanna.”Hanna menegang seketika. Tubuhnya kaku sa

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Dating With Ryan

    Esok harinya, Hanna berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan anggun, sederhana tapi elegan. Rambutnya digelung setengah, sisanya tergerai lembut di bahu. Dia ingin terlihat sempurna untuk Ryan, calon suaminya. Dia yakin, bahwa dia bisa menyingkirkan efek dari sistem yang dia sebut error tapi Liam mengatakan sebaliknya.Saat ia meraih clutch kecilnya, pintu kamar terbuka. Lily masuk sambil tersenyum, matanya berbinar melihat putrinya yang cantik. “Kau terlihat luar biasa, Hanna. Bahkan lebih cantik dari Mama saat muda, Ryan pasti terpesona. ”Hanna hanya mengangguk sopan, tapi sebelum ia sempat membalas, Lily melanjutkan dengan nada yang lebih serius.“Ngomong-ngomong, Mama sudah bicara dengan Julian,” ucap Lily sambil melangkah lebih dekat. “Kami berdua sepakat… lebih baik kau tetap tinggal di rumah ini. Agar kita bisa terasa seperti keluarga. Apalagi Liam juga sudah setuju tinggal di sini. Tidak baik kalau kau sendirian di apartemen kecil itu.”H

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Ini Gila!

    Hanna mendorong dada Liam dengan kasar. “Cukup!” desisnya, suaranya bergetar di antara amarah dan rasa takut.Liam bergeser setengah langkah ke belakang. Bukan karena kalah, melainkan seperti sengaja memberi ruang—predator yang tahu kapan harus mundur agar mangsanya tetap bernafas. Smirk itu kembali muncul, tipis, penuh perhitungan.“Menarik sekali,” ucapnya tenang. “Setiap kali kau melawanku, tubuhmu justru mengungkap hal yang berbeda. Detak jantungmu… suhu kulitmu…” Ia mengangkat jemari yang tadi menyentuh rahangnya, lalu menatapnya seolah sedang mempelajari spesimen laboratorium. “Kau sadar, kan? Penolakanmu ini hanya memperkuat algoritma yang sudah tertanam di dalam DNA-mu.”Hanna menggertakkan gigi, tapi tubuhnya masih gemetar—bukan hanya karena marah.Liam condong sedikit lagi, suaranya nyaris berbisik. “Dan itu yang membuatmu berbahaya, Hanna. Karena aku tidak sedang meneliti sistem… aku sedang meneliti kamu.”Ia mundur perlahan, tapi matanya tak pernah lepas darinya. Tatapan i

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Amygdala Hijack

    Hanna baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Rambutnya masih basah menetes di bahu saat ia meraih handphone. Nama Ryan Kelly terpampang di layar.“Hanna?” suara Ryan terdengar hangat, lembut, tapi juga ragu, seakan ia masih hati-hati menakar jarak. “Besok malam… kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan malam di Lumeria District. Kau tahu tempat itu? Malam harinya jalanan dipenuhi lampion kaca yang melayang di udara, ada kanal kecil dengan perahu kayu berlampu kristal, dan restoran atap di menara Archelion yang langsung menghadap kota. Aku pikir… tempat itu akan menyenangkan untuk kita.”Hanna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bayangan cahaya lampion yang memantul di air terlintas di kepalanya. “Tentu, Ryan. Itu terdengar indah sekali.”Ada jeda di ujung telepon, seolah Ryan sedang menimbang kata-katanya. “Syukurlah… aku khawatir kau menolak. Aku… hanya ingin kita saling mengenal lebih baik, itu saja.”Hanna hendak menjawab, namun suara ketukan pelan di

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Talk About Sex

    Hanna mencoba bersikap santai, meski jemarinya gelisah meremas ujung gaunnya di pangkuan.“Ma… aku tidak… maksudku, aku tidak melakukan apa-apa yang aneh, kalau Mama berpikir aku melakukan itu…” katanya tergagap.Lily mengerling, bibirnya melengkung tipis, seperti senyum yang tidak pernah benar-benar hangat.“Hanna, tidak ada yang aneh dengan seorang wanita dua puluh dua tahun yang tubuhnya mulai mencari penyaluran. Seks bukan hal tabu, apalagi dalam pernikahan. Yang tabu adalah jika kau menutup mata dari kebutuhanmu sendiri.”Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, seakan ingin melompat keluar. Sekilas bayangan tubuh Liam menindihnya menyeruak begitu jelas di benaknya—ciumannya yang dalam, sentuhan panas itu… Hanna berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kendali.Kemudian dia yakinkan dirinya, kalau apa yang dilakukan dengan Liam bertujuan untuk penelitian. Mungkin Mamanya juga bisa menjadi narasumber untuk hal ini.“Nanti, dengan Ryan sebagai suamimu,” lanjut Lily pelan nam

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   Girl Talks

    “Kenapa kau bisa setenang itu, hah?!” Hanna berdiri, mendorong dada Liam keras-keras. “Dia hampir saja melihatmu! Aku bisa mati kalau Mama tahu!”Liam hanya menunduk sedikit, wajahnya mendekat pada Hanna. “Tapi nyatanya… dia tidak tahu.” Suaranya dalam, dingin, penuh keangkuhan.“Jangan senyum-senyum seperti itu! Kau pikir ini lucu?!” Hanna mengangkat tangannya hendak menampar, tapi Liam lebih cepat. Ia menangkap pergelangan Hanna, memutar dengan mudah, membuat tubuh Hanna terperangkap di antara dadanya dan dinding.“Aku pikir…” bisiknya dekat telinga, membuat Hanna merinding, “…kau menikmati ketegangannya. Degup jantungmu barusan lebih liar daripada ketika aku mencium bibirmu.”Hanna menggigit bibir, tubuhnya bergetar, antara marah dan malu. “Kau… bajingan…” suaranya serak, tapi bukannya mendorong, tangannya justru mencengkeram baju Liam.Liam menunduk lagi, bibirnya nyaris menyentuh leher Hanna. “Kau masih gemetar. Itu bukan marah, Hanna. Itu tubuhmu… memanggilku lagi.”Hanna tereng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status