‘Terima kasih.’
07.57.
“Huft…” Lia menghela napas lega. Lagi-lagi dia baru sampai di kantor pas sudah mepet waktu masuk.
“Nggak apa lah, yang penting nggak terlambat,” ucapnya lirih.
“Masuk jam segini namanya terlambat Lia!”
Amalia melonjak kaget saat mendengar suara baritone yang begitu dekat di telinganya. Secara reflek dia membalikkan badan dan wajahnya menubruk dada bidang lelaki yang berdiri tepat di belakangnya.
“Ma.. maaf Pak Revan…”
Revan mendengus kesal, “kamu itu harusnya sudah standby minimal pukul 07.45. Lima belas menit sebelum jam kerja!”
“I.. iya Pak. Maaf…” Amalia membungkuk berulang kali sambil berjalan pelan menjauhi Revan menuju ruang kerja nya.
‘Terima kasih.’
Amalia langsung berbalik dan menatap Revan, Revan pura-pura cuek dan berjalan melewati Amalia begitu saja.
“Bilangnya harus limabelas menit sebelum jam kerja, sendirinya juga sama aja! Dasar…” gerutu Amalia kesal.
Setelah meletakkan tas kerjanya di kubikelnya, Lia mengikuti teman-teman kerjanya menuju ruang meeting untuk breafing pagi. Kemarin Pak Revan berpesan sebelum pulang kerja, jika dia menginginkan setiap pagi sebelum mulai beraktifitas, semua karyawan harus melakukan breafing pagi di ruang meeting. Maka dari itu sekarang seluruh karyawan harus berkumpul terlebih dahulu.
“Selamat pagi semuanya.”
“Pagi Pak.”
Revan tersenyum sambil menatap satu persatu karyawan yang berkumpul di ruang meeting, lalu mendekati white board yang tersedia di sana. White board itu berisi tabel kinerja sales.
Pak Revan menepuk white board dengan pulpen hitamnya.
“Saya penasaran, kenapa lima sales yang ada di bawah tanggung jawab Amalia bisa bekerja sebagus ini. Mereka sudah mencapai target bulan ini 75% padahal akhir bulan masih dua minggu lagi. Lalu kenapa sales-sales yang ada di bawah tanggung jawab Novi baru mencapai 25%! Ini Saya heran sekali!”
Mendengar ucapan Pak Revan, Novi langsung tertunduk.
“Novi, ada masalah apa? Coba kamu cerita biar saya bisa bantu. Supaya omzet sales kamu meningkat.”
“Ya, memang biasanya segitu Pak. Kan masih 2 minggu. Akhir bulan nanti minimal 70% saya bisa capai.”
“Kenapa harus 70% kalau 100% aja bisa. Kamu nggak pengen nanya kiat-kiat Lia, kenapa bisa salesnya kerjanya sebagus ini?”
“Ya, Lia kan kan Cuma megang 5 sales pak. Saya kan pegang 8 sales!”
“Oke kalau begitu, besok 3 orang sales kamu saya ambil saya masukin ke bagian Lia. Bagaimana?”
“Saya mau Pak! Kalau di pindah ke tempat Mba Lia,” seru Jamal cepat.
Pak Revan melipat tangananya di dada sambil menatap Jamal, “kenapa?”
“Novi terlalu santai Pak! Kalau Mba Lia itu salesnya selalu berangkat pagi-pagi karena tagihannya pasti sudah jadi. Setiap hari saya selalu berangkat kesiangan gara-gara nunggu tagihan, akhirnya nggak semua toko bisa di datangi Pak.”
“Iya bener itu, Novi kelamaan bikin tagihannya…” timpal sales yang lain.
“Novi! Gimana?” Pak Revan menatap Novi yang tampak cemberut karena ulah Jamal.
“Ahh itu alasan mereka saja Pak, dasar mereka yang malas-malasan berangkat siang.” Novi mencoba membela diri.
“Lia.”
“Ya Pak?” Lia menatap Revan, sedikit kaget karena namanya di panggil.
“Kenapa kamu bisa membuat tagihan secepat itu?”
“Saya biasanya buat tagihan sales di sore hari pak, jadi pagi-pagi bisa langsung mereka bawa tanpa menunggu.”
“Tagihan hari itu kan harus di print sesuai tanggal, kalau kamu bikin kemarin, bisa kena SP loh.” Kilah Novi.
“Biasanya sudah kubuat tapi belum di print, Nov. Di print nya pagi-pagi jadi bisa ikut tanggal hari berangkat tagihan.” Lia berusaha menjelaskan.
“Tapi kan kadang-kadang Sales minta tambah toko ini, toko itu…”
“Iya, biasanya sebelum cetak tagihan aku Tanya dulu ada tambahan atau nggak…”
“Tapi kan…”
“Nov!” Revan berusaha menghentikan perdebatan Novi yang tampak tak mau kalah dengan LIa. Novi pun diam, dia tak melanjutkan perdebatannya dengan Lia.
Dari sini Revan jadi tahu bagaimana kinerja dua admin inkasonya.
“Mulai bulan depan, akan saya pindah tiga sales Novi ke bagian Lia. Semoga bisa meningkatkan omzet kita di bulan-bulan selanjutnya. Breafing pagi ini selesai. Selamat pagi dan selamat bekerja.”
“Pagi Pak.” Jawab seluruh karyawan dengan kompak.
“Huh!” Novi duduk di kursinya dengan perasaan kesal. Dia makin tak meanyukai Lia –partnernya-.
Dia menganggap Lia hanya cari muka saja di depan Pak Revan dan menjatuhkan dirinya.
“Bisa nggak sih, kamu kerjanya nggak usah sok rajin gitu, aku kan jadi kelihatan jelek di mata Pak Revan!” Gerutu Novi pada Lia.
Lia hanya tersenyum dengan ketidak sukaan Novi akan kinerjanya.
“Huh, lihat saja bulan depann, apa kamu masih bisa seperti ini. Kamu juga pasti bakal kelabakan kaya aku.”
Lagi-lagi Lia hanya membalas dengan senyuman. Dia punya banyak masalah yang harus di pikirkan, nggak ada gunanya berdebat dengan Novi untuk hal sepele macam anak kecil.
Kemarin sore dia sudah menjual antingnya yang nggak seberapa berharga, dan ternyata dia masih membutuhkan beberapa ratus ribu lagi. Dari semalam Lia bingung mau bagaimana. Dia mau menghubungi kedua kakaknya lagi tapi malas. Dia yakin yang dia dapat hanya kekecewaan saja.
Satu-satunya cara adalah dia harus meminjam uang di koprasi kantornya. Tapi apa boleh? Pinjamannya tiga bulan lalu saja belum lunas.
Lia mendesah, lalu setelah membulatkan tekat dia pergi ke bagian keuangan untuk meminjam uang.
‘Tok tok tok.’
Dengan tangan sedikit gemetar, Lia membuka pintu ruang keuangan, dan berjalan menuju meja Pak Bayu.
“Siang Pak.”
Pak Bayu menatap Lia sejenak lalu mendesah, “Ada apa LIa?”
“Saya mau mengajukan pinjaman, apakah bisa?” ucap Lia lirih.
“Pinjaman? Kan pinjaman kemarin itu belum lunas?”
“Iya Pak, tapi kalau bisa saya mau meminjam lagi.”
“Nggak bisa, nggak ada!”
“Tolong pin…”
“Kamu itu sebenernya butuh uang terus buat apa sih? Belum punya keluarga, hidup masih sendiri tapi kurang uang terus. Jangan-jangan kamu pelihara berondong ya?”
“Maaf Pak? ” Amalia terkejut dengan ucapan Pak Bayu.
Pak Bayu melanjutkan ucapan ketusnya sambil terus menatap layar computer yang ada di depannya.
“Cuma kamu di kantor ini, yang selalu kekurangan uang padahal masih single! Burun cari suami makanya biar ada yang cukupin kebutuhanmu! Nggak malu single tapi butuh uang terus!” gerutunya.
“Sa… saya permisi…” ucapan Amalia sedikit gemetar. Dengan mengumpulkan kekuatan dia berjalan keluar dari ruang keuangan. Ingin rasanya Amalia berteriak marah pada Pak Bayu, tapi mulutnya terasa di kunci. Dia nggak berani untuk membalas ucapan Pak Bayu yang sangat menyakiti hati tadi.
Kenapa semua orang begitu kejam padanya, kedua kakaknya bahkan teman-teman kantornya. Apa salah dan dosanya?
“Perasaan aku nggak pernah menyakiti perasaan orang, kenapa semua orang selalu menyakiti perasaanku! Apa salahku kalau aku selalu kekurangan uang? Aku bahkan sudah hampir setahun tak pernah beli baju baru! Aku butuh uang bukan untuk diriku sendiri!!” gumam Lia di toilet.
Ya setelah keluar dari ruang keuangan, Lia tak dapat menahan air matanya yang hendak keluar, dengan segera dia berlari ke dalam toilet untuk meluapkan kesedihannya.
Setelah puas menangis dan mengeringkan air matanya, Lia berjalan keluar dari toilet. Pekerjaannya masih banyak. Dia harus bekerja dengan giat, karena hanya pekerjaan inilah satu-satunya penopang hidupnya.
“Kamu butuh berapa?”
Lia terkejut saat mendengar suara seorang lelaki yang bertanya padanya.
“Pak.. Pak Revan?!”
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li