Amalia menatap ponselnya yang sudah mati sambil tersenyum.
Dia senang karena Pak Revan menelpon dan menyuruhnya datang walaupun ya, dia tak akan mungkin datang.
Dia tak pernah datang ke acara kantor yang dilaksanakan setelah jam kerja karena dia tak bisa meninggalkan Ibu lebih lama. Dia tak mau Ibu merasa kesepian, karena orang yang sedang sakit ditambah merasa kesepian itu pasti merasa sangat sedih.
Dan jika Ibu nya merasa sedih, akan sulit bagi Amalia untuk menghiburnya nanti.
Tak bisa di pungkiri, dalam hati Lia, dia ingin sekali datang ke acara itu. Dia ingin bertemu dengan Pak Revan yang ganteng, walaupun mungkin Pak Revan nggak akan melirik dirinya, si perawan tua.
Amalia tersenyum sendiri.
"Sudahlah.. mending aku nonton drakor lagi," gumamnya sambil mulai memasang headset sambil menata posisi enak di kasurnya.
***
"Lusa ada meeting di Semarang, Saya butuh satu admin inkaso untuk ikut," ucap Pak Revan di tengah briefing pagi.
"Saya siap Pak," Novi melonjak gembira. Bagaimana tidak, inilah hal yang dia tunggu-tunggu. Selama ini dia selalu ikut meeting ke kantor pusat area Jawa Tengah dengan Pak Budi, tapi sekarang Pak Budi sudah digantikan oleh Pak Revan, Novi jadi tak sabar menantikannya, dia sangat bersemangat.
Membayangkan selalu berdua dalam mobil selama perjalanan, membuat Novi terus tersenyum dengan gembira.
"Saya ingin Amalia saja yang ikut meeting!" Ucap Pak Revan dengan tegas.
Amalia tersentak kaget dan menatap Pak Revan.
"Ta-tapi Pak, biasanya yang ikut meeting itu Novi."
"Admin Inkaso kan ada dua, seharusnya kalian berdua bergantian ikut meeting, nggak bisa Novi terus yang pergi. Kamu juga ada tanggung jawab di sini."
Wajah bahagia Novi berubah drastis, dia sangat kesal dengan Pak Revan. Kenapa sih, dia harus begitu memperhatikan Lia? Kalau Lia tak mau ya sudah toh ada dia kan!
"Apalagi kata Pak Budi, kamu sama sekali belum pernah ikut meeting di pusat selama dua tahun ini!"
Amalia menunduk, bagaimana dia harus menjelaskan kepada atasannya itu, apakah Amalia bicara saja terus terang tentang Ibu yang sakit. Meeting di pusat pasti paling cepat dua hari kan? Bagaimana dengan Ibu? Siapa yang bakal merawatnya? menyiapkan makan?
Kenapa sih Pak Revan harus membuat segalanya jadi runyam.
.
'Brak!'
Novi menggebrak meja dengan kesal. Impiannya untuk bisa berduaan dengan Pak Revan selama perjalanan luar kota kandas sudah.
"Nov, aku bener-bener nggak bisa ikut meeting di Semarang," ucap Amalia saat Novi sudah duduk di sampingnya.
"Mau bagaimana lagi, Pak Revan maunya sama kamu! Dari kemarin dia selalu memuji kamu, sekarang meeting juga maunya sama kamu! Ada apa sih di antara kalian berdua?! Aku jadi curiga…" Novi melirik sinis ke arah partnernya.
"Aku dan Pak Revan? Nggak mungkin…" Amalia gugup, dia menggerak-gerakkan kedua tangannya agar lebih meyakinkan bahwa dia tak ada hubungan apa-apa dengan Pak Revan.
Hubungan apa? Selain pekerjaan tentu saja nggak ada, nggak mungkin ada!
Novi tertawa lirih, lebih seperti mengejek, "iyalah nggak mungkin! Konyol…" gumamnya sambil mulai menyalakan komputernya untuk mulai bekerja.
Tak boleh begini! Lia tak bisa diam saja. Keputusannya untuk tak ikut meeting sudah final, tak bisa diubah. Lia nggak akan bisa pergi dan meninggalkan Ibunya sendirian di rumah selama dua hari.
Lia bangun dari duduknya dan berjalan menuju ruang manager untuk bicara dengan Pak Revan.
'Tok. Tok. Tok.'
"Masuk."
Setelah diizinkan, Amalia langsung berjalan masuk ke dalam ruangan Pak Revan.
"Maaf Pak… untuk meeting lusa…"
"Keputusan Saya sudah final Lia! Saya ingin kamu yang ikut meeting!" Pak Revan bahkan mengetuk mejanya dengan pulpen, tanda dia tak bisa dibantah.
"Tapi Pak…"
"Bisa kan, Saya minta tolong supaya kamu yang menemani Saya?" Ucap Pak Revan lirih.
"Saya merasa tak nyaman dengan Novi…" sambungnya.
Amalia paham sekarang, ternyata Pak Revan memanfaatkannya hanya karena tak nyaman dengan Novi. Lia tersenyum simpul menertawai kekonyolannya karena merasa Pak Revan lebih memperhatikan dirinya daripada Novi, ternyata itulah alasannya.
"Kenapa kamu malah tersenyum? Kamu mengejek Saya?"
"Bu-bukan Pak.. maaf kalau Pak Revan merasa begitu."
"Novi itu agresif sekali, Saya nggak bisa bayangkan kalau harus satu mobil dalam waktu yang lama dan hanya berdua saja. Jadi tolong, kamu harus bisa temani Saya untuk meeting."
Lia menunduk mencoba menahan tawa, ternyata Pak Revan merasa takut pada keagresifan Novi, Lia pikir semua lelaki bakal menyukai wanita agresif.
"Hey! Jangan ketawa kamu!" Gerutu Pak Revan.
"Sekali lagi Saya minta maaf Pak, tapi Saya benar-benar nggak bisa ikut meeting."
"Kenapa? Kamu takut berduaan dengan Saya dalam satu mobil?"
"Bukan… bukan itu… hanya saja Saya tak bisa pergi sampai ke luar kota…"
"Berikan Saya alasan yang masuk akal!"
Amalia terdiam. Selama ini dia menjaga rahasia bahwa Ibunya sakit dan hanya dia yang merawatnya. Lia tak mau dikasihani teman-teman kantornya dan meminta kemakluman mereka untuk masalah pribadinya.
"Kalau kamu nggak ada alasan yang bagus, maaf kamu harus tetap ikut meeting!"
"Sebenarnya…"
Revan menatap Lia, menunggu kelanjutan kata-katanya.
"Saya… Ibu Saya sakit Pak. Beliau tak bisa bergerak dan hanya bisa berbaring di atas ranjang. Karena itu Saya tak bisa pergi terlalu lama apalagi sampai keluar kota…" Lia menunduk makin dalam.
Revan terdiam, dia sedikit terkejut dengan pengakuan Lia.
"Apa nggak ada saudara lain di rumah?"
Lia menggelengkan kepala, "Saya hanya tinggal berdua dengan Ibu…"
Revan mendesah.
"Maaf kan Saya Pak. Saya janji akan bekerja lebih giat. Saya akan capai target 100% tiap bulan! Saya akan gembleng sales sampai mereka bisa bekerja lebih baik lagi, Saya akan…"
Revan mengangkat tangannya, berusaha menghentikan celotehan Lia.
"Maaf, Saya nggak tahu kondisi kamu di rumah."
"Maaf Pak, Saya bukan bermaksud tidak profesional. Tapi kalau memang bisa di lakukan oleh Novi, dan Novi tidak keberatan untuk berangkat meeting, Saya akan merasa sangat berterima kasih." Lia berulang kali menundukkan kepala memohon.
"Ya sudah lah, Saya meeting ke Semarang sama Novi saja. Silahkan kembali ke meja kerja kamu," Revan menunjuk pintu keluar dengan tangannya.
"Sekali lagi, Saya minta maaf Pak." Lia membungkukkan kepalanya lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya. Lalu berjalan keluar dari ruangan Revan.
"Nov, aku sudah bilang sama Pak revan nggak bisa ikut meeting. Jadi lusa kamu berangkat. Nggak papa kan?" Tanya Lia saat sampai di ruang admin.
"Ya.. mau bagaimana lagi, kalau memang kamu nggak bisa…" jawab Novi sambil berusaha menyembunyikan senyum kegembiraannya.
Akhirnya dia akan berduan dengan Bos nya yang super ganteng.
'Dasar bodoh! Pantesan jadi perawan tua! Ada kesempatan emas malah dia biarkan pergi begitu saja,' batin Novi sambil melirik Lia.
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li