Daren masih terdiam lesu. Dia ingin bertanya, namun entah kenapa tiba-tiba lidahnya terasa keluh. Dia memang tak berani membantah apa pun keinginan ibunya selama ini, kecuali meninggalkan Angela, dia masih membangkang untuk itu.
"Dengar, kau dan Xavia akan segera bertunangan minggu depan. Jeremy sudah mengatur pertemuan kalian sore ini. Temuilah dia, dan jangan pernah kecewakan Mama. Aku sangat senang saat Tuan Altano mau menerima lamaran ini. Bahkan dia menyempatkan untuk bertemu dengaku di sela waktunya yang padat." Nyonya Hawk berkata dengan nada dan sorot matanya yang menekan. Darren sampai menelan salivanya
"Xavia adalah gadis yang sangat pantas untukmu, Sayang. Kau adalah pria yang sangat beruntung karena puteri tunggal Tuan Altano itu mau menerima lamaran ini," lanjut Nyonya Hawk tanpa mengurangi nadanya.
Darren sudah tak tahan lagi. Dia harus bicara pada ibunya sekarang juga.
"Ma, kenapa mengambil keputusan sebesar ini tanpa bertanya padaku lebih dulu? Aku suka atau tidak pada gadis itu," protes Darren. Bagaimanapun dia berhak atas hidupnya. Namun Nyonya Hawk malah tertawa kecil mendengar ocehannya itu. Akibatnya Darren tampak heran dibuatnya.
"Darren, untuk apa aku harus bertanya padamu, Sayang? Bukankah kau adalah putera terbaikku? Kau selalu setuju pada semua pilihanku, bukan?" Nyonya Hawk mulai memutar tubuhnya untuk berjalan-jalan kecil di sekitar ruangan itu sambil menikmati batang rokoknya. Darren memejamkan matanya menahan emosi.
Benar, selama ini memang dia tak pernah membantah. Apa pun yang ibunya perintahkan, pasti dia ikuti dengan semestinya. Namun kali ini dia tak bisa menerima, ini menyangkut masa depannya.
"Sudahlah, Darren. Mama harus segera pergi. Aku pun sudah memesan stelan untukmu menemui Xavia sore ini. Ya, kau harus memberikan kesan yang baik untuknya. Kau mengerti?" sudah mau pergi pun Nyonya Hawk masih sempat menekan Darren. Namun Darren masih berdiri tanpa suara. Dunianya terasa luluh lantak kini. Dia sangat frustasi. Apa yang harus dia katakan pada Angela.
"Oh iya, Darren. Untuk menghindari masalah dalam hidupmu, sebaiknya kau tinggalkan Jalang itu segera," ucap Nyonya Hawk yang menoleh pada Darren sambil memegang knop pintu ruangan itu.
Darren menjatuhkan wajahnya. Hebat sekali, Nyonya Hawk seolah bisa membaca apa yang ada di pikirannya. Nyonya Hawk tersenyum miring dan segera meninggalkan ruangan Darren sambil menikmati batang rokoknya. Dia yakin, kali ini pasti Darren akan benar-benar meninggalkan Angela.
Fuuuhhh ...Napas berat Darren terhembus berlahan. Dia segera berjalan dan duduk pada bangku kebesarannya. Kedua tangannya mengusap kasar wajahnya. Dia sangat pusing. Bagaimana mungkin dia harus bertunangan dengan gadis lain, sedangkan Angela sangat berharap padanya.Akan tetapi dia tak bisa melawan Nyonya Hawk. Wanita berdarah Jerman itu memang sangat egois. Nyonya Hawk tak pernah meminta pendapat siapa pun untuk semua keputusannya. Baginya keputusannya itu adalah peraturan yang tak bisa dilanggar.
Tak ada seorang pun yang bisa menang jika berdebat dengannya. Bahkan Tuan Hawk sekali pun selalu mendukung keputusan istrinya itu, terlebih untuk menghindari sebuah perdebatan.
Darren sendiri hanya ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya. Karena hanya dirinya kini harapan satu-satunya keluarga Hawk. Meski dulu Darren memiliki seorang adik bernama Harry. Namun kini dia sendiri tak tahu dimana keberadaan adiknya itu. Apakah dia masih hidup, atau sudah tiada.
Nyonya Hawk telah mengusir Harry dari rumah, bahkan mencoret namanya dari daptar ahli waris keluarga Hawk. Kenapa demikian? Masalahnya sepele. Harry hanya menolak untuk kuliah bisnis, dan lebih memilih fotografi. Apa yang salah? Setiap orang pasti mempunyai cita-citanya sendiri, bukan?
Tentu saja salah!
Keluarga Hawk terkenal sebagai Pembisnis yang handal, itu yang tersiar di Amerika. Wajah wajah mereka pun sering muncul di surat kabar dan stasiun televisi. Namun Harry justru tak ingin menjadi pekerja kantoran, dia lebih menyukai seni. Akibatnya Nyonya Hawk sangatlah murka sampai-sampai mengusirnya.
Namun tak seperti Harry, Darren justru sangat menyukai bisnis. Kemampuannya di dunia bisnis sangatlah mumpuni. Banyak proyek besar yang dia menangkan sepanjang tahun. Sejak menyelesaikan kuliahnya di London dan memimpin Hawk Company Group, Darren sangatlah bersinar. Baru tiga tahun dia bergabung dengan perusahaan, namun prestasinya sangatlah bagus. Dia mampu membawa Hawk Company Grup menjadi perusahaan teknologi terkuat dan terbesar di Amerika.
Darren tak ingin mengecewakan orang tuanya. Bukan, bukan takut di usir seperti Harry. Namun komitmennya yang membuatnya bertahan selama ini.
"Sore, Bos. Aku membawakan stelan yang Nyonya Hawk pesan untukmu." suara Jeremy membuatnya sedikit kaget
"Oh iya, letakkan di sana." Darren menunjuk pada sofa yang ada di sudut ruangan itu.
Jeremy membungkuk hormat dan segera memutar tubuhnya menuju sofa dengan warna dark blue yang berseberangan dengan meja Darren.
"Bos, gantilah pakaianmu. Anda harus segera menemui Nona Price sekarang," ucap Jeremy usai menaruh stelan yang dibawanya di atas sofa.
Darren mengangguk lalu berkata, "Baiklah, tunggu aku di luar." Darren segera bangkit dari bangkunya.
Jeremy membungkuk dan segera meninggalkan ruangan itu. Darren mengayunkan langkahnya menuju sofa dimana Jeremy menaruh stelan yang akan dikenakannya sore ini. Sebuah jas warna hitam lengkap dengan dasinya. Darren tersenyum pahit sembari memandangi benda itu.
***Mobil BMW keluaran terbaru pada musim panas tahun ini menepi di depan sebuah Resto mewah. Jeremy keluar dari mobil itu, dengan sigap penuh hormat dia membukakan pintu. Darren keluar dari sana sambil mengangguk pada Jeremy. Mereka mulai berjalan menuju pintu Resto. Ternyata Nyonya Hawk sudah memesan meja khusus untuknya. Jeremy segera mengantarkan bosnya itu pada meja pilihan Nyonya Hawk."Silahkan, Bos. Santai saja. Sepertinya Nona Price masih di jalan," ucap Jeremy sembari menarik bangku untuk Darren duduki.
"Baiklah, tinggalkan aku sendiri," pinta Darren datar setelah duduk pada bangkunya.
"Tentu, Bos." Jeremy membungkuk dan segera meninggalkan Darren yang tampak tak nyaman di sana.
Sepeninggal Jeremy, Darren tampak bosan. Sudah hampir lima menit dia duduk sendiri di sana. Namun gadis bernama Xavia Altano Price itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Benar-benar tidak disiplin! Darren mulai kesal. Menunggu adalah hal yang sangat dibencinya.
"Hai, maaf membuatmu lama menunggu." terdengar suara lembut nan manja seorang gadis.
Darren segera memutar lehernya dan menanggah pada gadis yang sedang berdiri di samping kanannya itu. Dia melihat seorang gadis muda sekitar umur 23 tahunan. Tubuhnya cukup tinggi, dengan rambutnya yang tergerai rapi. Cara berpakaiannya pun terkesan modis, dan wajahnya terbilang cantik. Ya, dia adalah Xavia Price. Puteri tunggal Edward Altano Price, pemilik Altano Company, perusahaan teknologi yang tak kalah besarnya dengan perusahaan miliknya.
Darren mengangkat bokongnya perlahan dari bangku. Matanya menatap bola mata kebiruan gadis itu. Bola mata yang bersinar seperti butiran diamond. Dan enak di pandang. Darren tertegum dibuatnya.
Bersambung..Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta, terus hidup, sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan. (Kahlil Gibran) *** Darren dan Xavia masih duduk di dalam Resto. Tak ada obrolan yang seru. Keduanya tampak canggung. Hanya ada beberapa tanya jawab yang terdengar sangat formal. Namun Xavia tampak senang meski pria di depannya itu terkesan dingin. Xavia memang tak menyukai pria yang banyak bicara. Baginya pria dingin terkesan lebih berkelas. Sedangkan Darren merasa sudah ingin segera pergi dari resto itu. Namun dia agak kesusahan untuk mencari alasan yang tepat. Seperti pesan ibunya; jangan sampai dia membuat Xavia kecewa pada kencan pertama mereka ini. Ah, Darren sungguh pusing. Terlebih tatapan bola mata kebiruan Xavia yang selalu mengincar matanya. Ingin rasanya dia segera pulang. "Hm, Darren. Apakah kau me
Setelah Jeremy pergi Darren segera mengunci pintu apartemennya. Dia langsung menghapiri Angela yang tengah duduk di sofa sambil menikmati wine. Gadis itu tampak menggodanya dengan senyuman nakal. Jemari lentiknya mulai naik ke bagian bawah lehernya lantas membuka kancing teratas gaunnya. Darren hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah nakal pacarnya itu. "Katakan, sejak kapan kau ada di sini? Bukankah kau akan kembali ke Paris?" Darren mendaratkan bokongnya di samping Angela. Tangan kanannya meraih jemari Angela, dengan bibirnya yang menyentuh bahu gadis itu. Angela sedikit bergeming atas sentuhannya. "Aku tak jadi berangkat ke Paris. Bosku memintaku untuk tetap di sini, dan mulai besok aku akan bekerja di perusahaan Altano Group. Hebat, kan?" jawab Angela tampak sangat berbangga. Darren tersentak mendengarnya. Altano Group? Bukankah itu perusahaan ayahnya Xavia? Dan perusahaan yang akan menjalin kerjasama dengan Ha
Darren dan Xavia tampak sedang berbincang di depan pintu. Langkah Nyonya Hawk berhenti di depan Darren. Wanita itu tersenyum miring pada sang putera. Darren hanya terdiam dan menatap Nyonya Hawk dengan wajah dinginnya. Pupil Nyonya Hawk memutar pada Xavia tanpa memalingkan wajahnya dari Darren. "Ayo kita pergi, Xavia. Apartemen Darren sangat kotor. Ada sampah yang berbau busuk di dalam sana. Sebaiknya kita pergi saja. Aku takut bau busuk itu hinggap di gaun mahalmu," gagas Nyonya Hawk pada Xavia, namun wajah sinisnya tertuju pada Darren. Pria itu hanya memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia cukup paham dengan apa yang dimaksud oleh ibunya. Xavia hanya tersenyum. Dia menatap Darren dengan wajah gemasnya. Tidak mungkin pria tampan di depannya itu begitu jorok seperti yang dikatakan ibunya tadi. Jika benar, maka ini merupakan tugasnya untuk membenahi sipat buruk calon suaminya itu. "Ayo Xavia." Nyonya Hawk segera
Cinta itu tak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang keluar bersama ke arah yang sama. ~B.J. Habibie~ *** Darren sedang duduk di ruangan kerjanya, dengan satu tangan menopang dagunya. Di mejanya tampak setumpuk berkas menunggu jamahan tangannya. Namun entah kenapa hari ini pikirannya sangat kacau, yang ada di sana hanya Angela, Angela dan Angela. Bagaimana keadaan kekasihnya itu sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Ah, Darren sungguh sangat gelisah memikirkannya. Jeremy dan Lusiana, dua orang staf yang dari tadi berdiri di depannya hanya bisa saling pandang bingung, karena Darren masih asik termenung dan tak juga menyentuh berkas-berkas yang mereka bawa. Ini tak bisa dibiarkan! Beberapa Clien penting akan segera datang, dan CEO mereka malah asik dengan fantasinya. Jeremy menggelengkan kepalanya. "Bos," tukas Jeremy cukup membuat Darren tersentak, dia segera menur
Cinta itu burung yang indah, yang mengemis untuk ditangkap tapi menolak untuk dilukai. ~Kahlil Gibran~ *** Darren sedang duduk terdiam di ruangan metingnya yang tampak sunyi. Para staf utamanya dan juga para Clien penting sudah meninggalkan ruangan itu sejak sepuluh menit yang lalu. Ada rasa kesepian setiap kali dirinya sedang sendiri begini. Darren merindukan Angela yang tak juga memberinya kabar sejak dua hari terakhir. Entah dimana Angela berada sekarang. Darren hampir kehilangan akal karena nomer ponsel kekasihnya itu tak bisa dihubungi lagi. Darren menghembuskan napas kasarnya lantas menggelengkan kepalanya. Benar, pesta pertunangannya dengan Xavia tinggal beberapa hari lagi, namun Angela masih belum mengetahui hal itu, jika dirinya akan segera bertunangan dengan gadis lain. Punggung kokohnya bersandar pada bangkunya dengan kepalanya yang dibiarkan mendongkak ke atas, menatapi la
Xavia masih tampak asik dengan ponselnya. Darren menyingkap lengan jasnya, ternyata jarum arlojinya sudah menunjuk pukul lima sore. Astaga, ternyata dia sudah membuat Xavia menunggu hingga satu jam. Ah, Darren merasa tak enak hati. Dia segera bangkit dari bangkunya lalu melangkahkan tungkainya menuju pada Xavia. "Ehem," Darren mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Xavia. Gadis itu menoleh padanya. Pendar mata keduanya bertemu, namun Darren buru-buru memalingkan pandangannya ke tempat lain. Xavia mengulas senyum kemudian dia menaruh ponselnya ke dalam tasnya, dan beralih memandangi pria yang tengah duduk di sampingnya itu. Darren sedikit gugup karenannya. "Hm, Xavia. Apakah kita bisa menemui ibumu sekarang?" tanya Darren dengan wajah datarnya. Xavia tertawa kecil mendengarnya. Tawanya sangat ceria dan begitu memesona. Darren sampai tertegum dibuatnya. "Kenapa tertawa?" tanyanya kemudian. Xavia menghenti
Darren menelan ludahnya. Peluh dingin berjatuhan di punggungnya. Bagaimana ini? Dia benar-benar kebingungan sampai tak bisa berpikir. Langkah Nyonya Altano sedikit cepat menuju pada Xavia yang sedang berdiri menyambutnya sambil memasang senyum. Nyonya Altano pun tak kalah bahagianya dapat berjumpa dengan puterinya di luar seperti ini, karena Xavia sangat sibuk dengan pemotretan dan lebih memilih tinggal di apartemen yang cukup jauh dari rumahnya. Darren sudah ketar-ketir dan tak berani beranjak dari bangkunya. Entah harus bagaimana dia menyembunyikan wajahnya dari Angela yang sedang berjalan di belakang Nyonya Altano. "Mama," pekik Xavia tampak sangat senang. Dia menyambut kedua tangan Nyonya Altano yang terulur kepadanya. Mereka pun berpelukkan begitu senangnya. Angela yang masih belum menyadari adanya Darren hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka. "Xavia, senang sekali bisa bertemu di sini? Dimana Dar
Setelah drama menangis tadi, akhirnya Darren berhasil membujuk Angela dan mengantar kekasihnya itu pulang. Sepanjang perjalanan Angela hanya memalingkan wajahnya pada kaca jendela mobil, ia tak ingin membuka obrolan dengan Darren yang sedang mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Setibanya di depan unit apartemennya Angela langsung masuk tanpa mempersilakan Darren lebih dulu. Namun Darren tetap mengikuti langkah Angela meski gadis itu tampak acuh padanya. Ya, terlalu dini bagi Angela untuk kembali bersikap seperti biasanya padanya. Darren bisa mengerti. Darren segera duduk di sofa tanpa Angela memintanya, karena gadis itu kini tengah berjalan menuju kamarnya. Satu jam berlalu, Darren masih duduk di sofa menunggu Angela dalam gelisahnya yang kian menjadi. Apakah kekasihnya itu takkan mau menemuinya lagi? Darren mulai berpikir. Apakah dia pulang saja sekarang? Pikirannya sungguh sangat gelisah dan kacau.