“Kamu berani menamparku?!”
“Perempuan jalang sepertimu memang pantas menerimanya.”
Tatapan nyalang penuh amarah sekaligus kebencian terpancar di wajah Alana. Alana tampak tidak terima ditampar dihadapan banyak orang yang notabene dikenalnya dengan amat baik. Perempuan itu mengibas rambut panjangnya dengan angkuh. Ia mendekati Laura dan hendak membalas tamparan yang membuatnya malu setengah mati. Aksi Alana itu tentu dihentikan oleh Abraham yang langsung memasang badannya sendiri—tamparan itu tepat mengenai pipi kirinya.
“Minggir, Ab! Urusanku dengannya belum selesai,” kata Alana penuh murka.
“Jangan halangi aku, Mas. Akan kurobek mulut berbisanya itu agar perempuan ini sadar dan tahu di mana posisinya. Supaya dia nggak halu sepanjang jalan.”
Laura menatap wajah Abraham yang tengah mendekapnya. Sungguh tidak pernah terpikirkan dalam hidup Laura jika tragedi hidupnya akan penuh drama seperti sinet
Tingkepan alias acara tujuh bulanan merupakan prosesi adat masyarakat Jawa yang ditujukan bagi perempuan dengan kehamilan mencapai usia tujuh bulan. Upacara tingkepan sebetulnya mengandung artian ucapan terima kasih, doa serta harapan kepada Tuhan agar segala proses menuju dan sesudah kelahiran berjalan dengan lancar. Namun pada pelaksanaannya, prosesi tingkepan sangat beragam meskipun tujuannya sama. Mulai dari acara siraman sampai acara jualan dawet atau rujak, semua memiliki arti tersendiri. Seharusnya acara tujuh bulanan akan dilakukan di rumah Mama dan tentu saja semua perlengkapan sudah tersedia di sana. Namun tiba-tiba saja Laura menolaknya. Laura bersikeras membujuk Sang Mama untuk membatalkan acara tingkepan itu. Tidak ada alasan yang jelas. Laura sedang tidak ingin bertemu siapapun. Khususnya Abraham. Dua minggu sejak Abraham mengantarnya ke rumah Mama malam itu, tidak sekalipun Laura mau bertemu dengannya. Hampir setiap hari Abraham datang ke rumah Mama, tapi suami Laura
Pasca pengantaran Laura ke rumah Mama malam itu terasa bagaikan di neraka yang Abraham rasakan. Jangankan buat bertemu, mengangkat telepon saja Laura enggan. Satu atau dua hari mungkin masih bisa dibilang wajar, tapi ini? Hampir setiap hari bahkan setiap waktu Abraham selalu menyempatkan diri datang langsung ke rumah Mama dan Laura selalu menolak segala bentuk komunikasi dengannya. Sejenak pikiran Abraham berlari pada percakapan singkatnya dengan Mama mertuanya itu.“Kalian punya masalah apa sampai Laura kembali pulang kemari, Ab. Mama dan Papa bukan mau ikut campur, tapi misalkan ada yang bisa kami berdua lakukan nggak ada salahnya, kan?”Abraham menatap Mama mertuanya itu dalam diam. Biar bagaimanapun masalah yang saat ini tengah ia hadapi dengan Laura biarlah menjadi masalah mereka berdua saja. Setidaknya untuk saat ini sampai Abraham memiliki waktu yang pas untuk menceritakan semuanya.“Mama jujur menaruh curiga, Ab. Masalahnya Laura bahkan
Abraham duduk sembari menggenggam jemari yang terasa dingin karena pendingin ruangan. Abraham tidak ingat kapan terakhir kalinya menggenggam tangan Laura sedemikian eratnya seperti sekarang. Wajah perempuan yang amat sangat dicintainya itu terbaring tidak berdaya dengan selang dan perangkat yang tidak lumrah menempel di tangan dan wajahnya. Bahkan ketika tertidur begini saja Laura masih terlihat cantik. Bagaimana jika bibir yang tertutup rapat itu terbuka dan menyungging senyuman? Pasti akan berkali-kali lipat kecantikannya.“Laura—”Panggilan lirih yang Abraham lontarkan kesekian kalinya belum mendapat respon dari Laura. Laura masih dalam keadaan konstan. Tidak ada pergerakan bahkan sekecil apapun.“Laura—”Mendadak Abraham merindukan celotehan Laura di pagi hari yang selalu memarahinya ketika handuk bekas ia pakai ditinggalkan begitu saja di atas tempat tidur dan bukan diletakkan pada gantungan yang memang sengaja dis
Hari kedua masih tetap sama. Belum ada tanda-tanda Laura akan membuka mata. Bergiliran perawat masuk ke ruangan intensif bersama dengan Dokter Jarvis memantau perkembangan Laura. Mulai dari menstabilkan jalan pernapasan dan sirkulasi darah. Semua dilakukan secara maksimal oleh dokter terbaik. Dan suatu hal yang membuat Abraham tertegun tanpa berkata-kata adalah saat Dokter Jarvis tidak bisa memprediksi lamanya fase koma yang dialami Laura. Semakin lama koma berlangsung, maka semakin buruk pula prognosisnya. Atau dengan kata lain kerusakan pada sel otak akan semakin berat sehingga dapat mengakibatkan pasien koma mengalami kecacatan permanen atau bahkan lebih buruk dari itu, Laura tidak akan membuka matanya lagi.Penjelasan Dokter Jarvis memukul keras hati Abraham. Tidak tahu bagaimana ekspresi wajah yang ia tampilkan sekarang, Abraham tidak peduli lagi. Bahkan kepalan tangannya sendiripun meninggalkan bekas kuku karena terlalu kuat menggenggam. Tepukan yang diberikan Dokter Ja
“Mas … kok … jelek … sekali ….”Meskipun masih terbata-bata, namun euforia di dada Abraham tidak henti-hentinya bersorak. Tanpa berpikir panjang Abraham bergegas berlari keluar dari ruangan intensif, mengagetkan dua orang terkasihnya yang berjaga di luar ruangan. Secara kebetulan hanya ada Arabella dan Bunda yang menjadi ikut-ikutan panik ketika melihat laki-laki Wibisana yang mendadak berlari seperti kesetanan. Selang tak lama kemudian Abraham datang bersama Dokter Jarvis beserta beberapa perawat masuk ke ruang intensif.Di dalam ruang intensif semuanya diperiksa. Kestabilan denyut jantung, sirkulasi darah serta jalannya pernapasan juga tak luput dalam pemeriksaan. Meskipun belum lega seratus persen, tapi setidaknya Laura sudah berhasil melewati masa kritisnya, begitu pikir Abraham. Akan ada rangkaian pemeriksaan menyeluruh dan mendetail tentang kerja sistem dalam tubuh pasien pasca koma sebelum dipindahkan ke ruangan inap biasa
Hari telah berganti hari dan akhirnya Laura diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit. Namun bukannya bahagia yang Laura rasakan melainkan sedih. Sedih karena Si Kembar tidak pulang bersamanya. Masih ada pemeriksaan lanjutan sembari menunggu kenaikan berat badan yang signifikan untuk keluar dari kotak inkubator. Dan kabar baiknya kemungkinan bulan depan Si Kembar sudah bisa ia jemput, tapi balik lagi semua itu tergantung kondisi yang bersangkutan.“Dadah Dalfa … dadah Dalfi ….”Ucapan perpisahan itupun juga Laura lakukan di balik kaca ruangan inkubator. Stok ASI sudah Laura serahkan sebanyak yang bisa ia hasilkan. Laura juga meminta pihak rumah sakit untuk segera menghubunginya kalau stok ASI untuk anak kembarnya itu menipis. Semuanya sudah dipersiapkan matang agar dua jagoannya tidak kekurangan apapun saat terpisah dengannya nanti. Sedih, tapi Laura harus merelakan meninggalkan jagoannya untuk sementara.Laura duduk di kursi belakang se
Galileo menampakkan wajahnya setelah sekian lama. Jika kemarin Laura menerima Freya di dalam kamar peraduannya, sayangnya tidak untuk kali ini. Laura menyapa Galileo ketika laki-laki itu tengah duduk bersandar sembari menyeruput minuman yang disuguhkan Mbak Omas di ruang tamu.“Sudah bisa jalan ternyata,” sapa Galileo ketika melihat Laura muncul menuruni tangga. Laki-laki itu menjabat tangan Laura kuat setelah diam beberapa saat.“Aku sudah dengar semuanya dari Freya semalam. Aku turut prihatin tapi juga turut senang atas kelahiran dua jagoan kalian,” kata Galileo melanjutkan.“Makasih, Mas. Ada banyak hal yang terjadi ketika melahirkan makanya baik aku maupun Mas Abe nggak sempat memberitahu siapa-siapa. Lagipula keadaanku nggak terlalu baik saat itu.”“Yah, andaikan aku tahu pun sepertinya nggak akan banyak membantu juga. Aku nggak punya wewenang untuk membantumu, apalagi memaksamu.”Hening …
Oliver akhirnya ditemukan. Anak laki-laki malang itu berada di pusat rehabilitasi anak dibawah naungan rumah sakit tempat Alana dulu dirawat. Oliver ditempatkan di dalam sebuah kamar tersendiri di mana hanya ada tempat tidur dan pendingin ruangan saja. Laura mendekati anak berusia hampir tujuh tahun itu perlahan. Sinar di matanya seakan meredup. Tanpa fokus pada siapa yang mengunjunginya kecuali menyibukkan diri pada selembar kertas dan pensil warna ditangan. Laura menoleh, seolah meminta penjelasan pada dokter yang berdiri disampingnya. āAnak ini sedikit terguncang. Kabarnya ketika ibunya meninggal, dia berada di sana sendirian. Sekarang saya sedang melakukan terapi dan berusaha mengembalikan emosinya.ā Beberapa pasien yang ditangani Dokter Kevin adalah anak-anak korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Dan Oliver divonis masuk dalam kategori itu. āDisamping itu saya juga curiga kalau anak ini tidak terlahir bisu. Melainkan karena masalah psikologis.ā