Share

13. Who Are You Stranger?

Segalanya tampak vivid. Dia mengintip dari balik jendela kereta kudanya hanya untuk menemukan deretan pohon yang berjejer disepanjang perjalanan yang terlihat tiada ujungnya. Matahari telah tenggelam, hanya menyisakan semburat jingga yang terlihat dari sela-sela batang pohon yang setiap saat tampak semakin berubah menjadi kelabu menyeramkan.

Suara-suara hewan penghuni hutan mulai terdengar. Dimulai dari bunyi jangkrik hingga burung gagak yang bertengger diantara rating pohon. Dia mulai menyesali keputusannya untuk memulai perjalanan di siang hari sehingga harus membelah rimba hutan saat malam.

Melakukan perjalanan di malam hari sangat riskan dan rawan. Menyusuri hutan yang sebulan lalu sempat terkenal karena penjambretan dan sarang penyamun tentu berada di diatas level yang berbeda. Seperti bunuh diri atau sengaja masuk mencari petaka. Dia sendiri tahu itu. Selain ancaman dari gerombolan bandit dia juga harus mewaspadai serangan hewan buas yang bisa tiba-tiba muncul dari segala sisi jalan dan menerkam iring-iringannya. Tapi pilihan lain apa yang dia punya? Ibundanya tengah sekarat di kediamanya dan dia mendapat firasat buruk bahwa kali ini dia akan kehilangan sosoknya selama-lamanya. Dia tidak ingin melewatkan diri untuk menemaninya sehingga dia nekat untuk melakukan perjalanan dadakan dari kuil Sang Hyang dan kembali menuju rumahnya.

'Untungnya aku memiliki dia.' pikirnya. Jika dia menjulurkan lehernya untuk melihat ke depan dia akan melihatnya tengah menunggangi kuda dengan gagah.

Rambutnya dikuncir tinggi untuk memudahkan gerak saat bertarung. Dia memakai pakaian tanpa lengan sehingga memamerkan otot kekarnya, hasil bertahun-tahun berkiprah menjadi ksatria. Pedang tersampir di sisi kiri tubuhnya. Dia hanya bisa melihatnya dari belakang, tapi dia membayangkan saat ini ekspresi pria itu sedang cemberut seolah-olah seseorang telah berbuat konyol didepannya. 

'Arya'  ia menyebut namanya.

Dia adalah seorang senopati kerajaan. Dan dia yakin, dalam beberapa tahun ke depan Arya akan mendapat gelar Mahapatih. Berada dibawah pengawalannya memberikan perasaan aman.

Lalu semuanya berjalan dengan cepat. Anak panah meluncur dari kegelapan malam dan menancap di pinggir jendela keretanya. Dia sangat terkejut untuk mengetahui dia hampir menemui kematian sehingga indranya mengabur. Hanya bisa mendengar sayu-sayup teriakan perintah Arya untuk melindunginya.

Gerombolan penjambret itu datang dan jumlahnya puluhan. Seperti sebuah kartel besar.

Dia kalah jumlah. Dia hanya membawa sepuluh pengawal termasuk kusir yang mengemudikan keretanya. Dentingan pedang itu beradu dan pertempuran tidak bisa dihindarkan. Dua dayangnya yang duduk disampingnya menahannya dan melindunginya. Pada akhirnya salah satu dari dayangnya terkena tancapan golok. Dia dan dayangnya yang lain menjerit ketakutan, dan sedetik kemudian hanya dia yang masih berafas didalam kereta.

Dia pasrah dan mencoba untuk menghadapi kematian yang akan segera memeluknya. Tapi kemudian jendela kereta yang telah rusak itu dirobohkan dengan paksa oleh sosok yang telah dikenalnya.

Arya memanggilnya untuk turun. Dia memanggil namanya.

 

Dia... Dia tidak tahu siapa dia.

Rhea terbangun dengan keringat dingin yang menyelimuti tubuhnya. Nafasnya terengah-engah. Bayangan mimpinya masih tergambar jelas di ingatannya.

Tuhan, dia hampir mati di mimpi dan mimpi itu sangat aneh. Itu berbeda dari mimpinya yang biasa. Tampak nyata, tampak seperti dia memang berada di tempat kejadian, tampak menunggu kematian.

Dan siapa dia? Dia berperan seperti seorang putri atau semacamnya. Rhea tidak tahu. Dia tidak tahu namanya dalam mimpi itu. Arya, pria dalam mimpi itu memanggilnya. Yakin dia memanggil namanya. Tapi Rhea tidak bisa mendengarnya. Seolah dia memang tidak diperbolehkan untuk mengetahui namanya sendiri dalam mimpi.

"Sudahlah, itu hanya mimpi." Ia bergumam. Bangun tidur dia merasa lelah gara-gara mimpi yang aneh namun tidak bisa dipungkiri menarik.

Tangannya terulur mencari gelas di nakas sebelum tersadar bahwa dia tidak berada di apartemennya yang biasa. Alih-alih gelas, dia melihat naskah untuk dramanya mendatang.

Melihat judulnya, mimpi anehnya sepertinya bisa dimaklumi.

Dia akan memerankan drama kolosal sejarah kerajaan. Mimpinya barusan berada di setting yang sama. Mungkin dia terlalu bersemangat hingga terbawa mimpi. Dipikir-pikir itu masuk akal karena Rhea pernah memimpikan salah satu perannya.

Mengenai suaminya, Hansa sudah menghilang. Saat Rhea menyadari jam berapa dia terbangun, Hansa bisa dipastikan sudah berada di kantornya. Dia masih belum dan ragu akan karakter pria itu. Yang bisa Rhea lakukan hanyalah menghindarinya sebisa mungkin.

Rasa haus membuatnya beranjak dari kasurnya. Dia memakai sandal berbulu yang tersembunyi di tepi bawah ranjang sambil menguap, lalu dia turun menuju dapur.

Ketika dia berhasil menghabiskan dua gelas air putih sekaligus. Rhea baru menyadari keadaan sekeliling dan karena rumah Hansa berbentuk rumah tanpa sekat, dia bisa melihat ada orang asing yang bersandar di sofa.

Rhea berjalan mendekatinya.

"Siapa kamu?" Tanyanya.

Pria yang tengah memunggunginya dan duduk dalam posisi santai sambil bermain gadget berbalik. Mereka saling memandang dan menganalisis satu sama lain.

"Ha?" Pria itu berdecak. "Kamu memang tidak secantik yang aku kira." Ejeknya.

Rhea mengangkat alisnya. Siapa pria yang terang-terangan mengejek wajahnya? Pria itu sendiri dimatanya tampak seperti seekor bajing, sok keren dan kekanakan.

"Aku Karna Adiwinata. Adik Hansa." Dia memperkenalkan diri dengan congkak.

"Adik?" Rhea mengejek.

Karna tergagap. "Adik sepupu." Dia mengakui. 

Tapi bagaimana kalau dia cuma sepupu? Hansa sebatang kara dan dia hanya memiliki keluarganya sebagai keluarga. Hansa juga tidak mempermasalahkan dia  berbuat sesukanya. Sedang aktris ini? Dia mengerutkan hidungnya dengan jijik. Berani-beraninya dia menjebak Hansa untuk menikahinya!

"Aku datang untuk melihat apa yang istimewa darimu tapi kurasa selain wajah rubah dan kelicikanmu kamu seorang sampah yang tidak layak untuk saudaraku." Katanya.

"Oh?" 

Kemarahan Rhea mulai terkumpul dan hanya menunggu waktu untuk meledakkannya. Serius, dia ingin hidup tentram di hari pertamanya di rumah Hansa, tetapi tampaknya itu tidak akan terjadi karena sekarang dia harus berurusan dengan pria manja yang bermulut besar.

"Kamu bahkan tidak membalas. Kurasa kamu tahu nilai dirimu sendiri. Seorang sampah tetaplah sampah, berani bermimpi menjadi nyon-

Plak!!

Rhea sukses menampar pipi kirinya. 

Karna memegangi pipinya, melotot tidak percaya bahwa dia telah ditampar. Dia menahan untuk tidak mengerang meski sekarang pipinya berdenyut denyut sakit. Sialan! Wanita ini memiliki tenaga yang besar.

"Kamu bitch!"

Plakk!!

Rhea menamparnya sekali lagi.

Mereka saling bersitegang. Akibat tamparan yang kedua kalinya Karna sedikit mundur ke belakang dan kakinya menyenggol kaki meja tamu, menciptakan decit ringan.

"Adik ipar sepupu." Rhea berbicara dengan penuh penekanan. "Kamu datang ke rumah pagi-pagi ini dan mengutuk pemilik rumah dan kamu berekspektasi tidak mendapat pukulan?"

"Pemilik rumah? Berani-beraninya sundal seperti kamu menjadi pemilik rumah ini?! Hansa pasti akan memceraikanmu dalam seminggu ini!" 

Rhea tertawa histeris mendengar amukan Karna. Tangannya mencoba memegangi dadanya untuk menekan tawa, baru menyadari dia masih memakai gaun malam satin birunya.

"Dasar gila!" Karna mengumpatinya.

Tanpa aba-aba Rhea menarik rambut Karna. Itu mudah karena tinggi mereka hanya selisih sekitar satu inchi. Dia menarik dengan keras, kuku palsu panjangnya sangat bermanfaat untuk melakukan pekerjaan ini hingga membuat Karna berteriak dan membalas dengan meraih rambut Rhea sebagai gantinya. 

Para pelayan mulai mendekat mendengar teriakan di ruang tamu dan hanya bisa berdiri di belakang, terlalu takut untuk ikut campur dalam masalah dua orang didepan mereka. Yang satu istri majikannya dan nyonya rumah yang baru, satunya adalah sepupu majikannya.

Rhea mencengkeram sekuat tenaga. Menghiraukan rasa sakit di rambutnya yang dijambak oleh Karna. Matanya melirik ke titik vital dan dengan secepat kilat dia mengarahkan tendangan ke pangkal paha Karna.

Prang!

Karna mengerang kesakitan. Merasakan rasa sakit yang amat sangat di alat vitalnya membuatnya kehilangan keseimbangan dan berakhir dengan terjatuh ke belakang dan menyenggol vas kaca yang letaknya diatas meja. Rasa sakitya bertambah. Selain dari bagian bawah tubuhnya, sekarang pelipisya lebam terkea goresan sudut meja yang tajam dan tanganya menekan pecahan kaca hingga berdarah.

Rhea hanya menatapnya tanpa ada niat untuk menolongnya. Para pelayan terkejut dan Bi Darsa dengan yang lainnya mengintervensi dan menolong Karna. 

"Itu..itu vas kesukaan Hansa." Mia berkata panik. Meski dalam hatinya dia terseyum senang penuh kemenangan

Tamatlah rimayat Rhea. Hansa sangat meyukai vas itu karena itu salah satu peninggalan ibunya dan sekarang Rhea memecahkannya. Dia tidak sabar untuk melihatnya segera diusir dari rumah. Pikirnya dengan penuh kemenangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status