Share

7. Ketidakberuntungan Seorang Pemuda

Sinar pagi berhasil menembus masuk melalui sela-sela gorden putih kamar suit nomor 607 di lantai lima. Rhea mengerjap-erjapkan matanya untuk menyesuaikan keadaan. Selain sensitif terhadap suara, dia juga sensitif terhadap sinar matahari.

Suara hembusan nafas dibelakangnya membuat ia seketika menoleh ke sisi lain dan tersentak ketika melihat pemandangan disampingnya.

Rupanya gerakannya membuat pria itu terbangun. Dia membuka mata dan langsung berada dibawah tatapan tajam.

"Kenapa kamu disini?" Rhea bertanya dalam nada defensif.

"Bukankah seharusnya aku memang berada disini?" Hansa membalas. Dia bangkit dari tempat tidurnya, membiarkan daging tubuh bagian atasnya terekspos, dia hanya memakai boxer.

Sama seperti sebelumnya, Rhea mengawasi Hansa dengan tatapan tajamnya. Dia akan membuat laki-laki itu tidak nyaman berada disini sehingga dia akan menyewa kamar lain nanti malam. Ini adalah perang dingin yang ia coba untuk menangkan. Dia akan membuat Hansa sadar bahwa wanita yang dinikahinya bukan wanita berbudi luhur yang mudah ia manipulasi. Apapun yang Hansa sembunyikan dibalik lengan bajunya, Rhea memastikan pria itu tidak mendapat apa yang ia inginkan saat memutuskan untuk bermain menjadi pahlawan berkuda putih.

"Kapan kamu pulang dari pekerjaan?" Ia bertanya.

Tangan Hansa yang tengah berkutat dengan dasi hitamnya terhenti saat mendengar pertanyaan. Dia bisa melihat tatapan Rhea dari pantulan cermin didepannya.

"Sekitar jam 5 sore." Hansa memikirkan kalimat selanjutnya. "Kenapa? Sudah rindu suami?" Ia memutuskan untuk bermain-main dengannya.

Seperti yang ia duga, Rhea segera merengut kesal. 

"Ingat untuk langsung pulang. Ada hal-hal yang harus kita diskusikan."

"Baik." 

Hansa telah siap untuk pergi bekerja. Dia tidak berbohong ketika ada rapat penting yang tidak bisa di atur ulang. Mereka tidak akan berbulan madu disini jika itu bisa. Seharusnya Maldives merupakan pilihan yang bagus. 

Ia terhenti sejenak sebelum keluar dari pintu. Menoleh untuk memandang Rhea yang masih mengintainya. Wanita itu tampak seperti elang  yang tengah mengobservasi mangsanya.

"Sampai jumpa." Ucapnya sambil tersenyum.

Pintu ditutup dan Rhea masih memandanginya. Apa-apaan barusan itu? Dia memprotes. Selain jika matanya mencoba untuk menipunya, Hansa melemparkan senyum kearahnya lalu melenggang begitu saja sambil mengatakan 'sampai jumpa'.

Bukankah dia dikenal dingin atau berita itu salah? Pikirnya.

Rhea menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak peduli. Tidak peduli akan apapun yang Hansa lakukan. Mereka hanya menikah dalam kertas dan dia akan memastikan pria itu tahu sore ini. 

Setelah memesan sarapan pesan antar, dia segera beranjak ke kamar mandi untuk mengawali hari. Dibutuhkan kesegaran tubuh untuk menyusun klausa-klausa  yang akan ia berikan kepada Hansa.

Baru saja dia membuka notebooknya, handphonenya berdering meminta perhatian. Melihat nama yang tertera, Rhea mengerang lelah dan mengangkatnya.

"BAGAIMANA KAMU BISA MENIKAH DENGAN HANSA ADIWINATA?!" 

Untung Rhea telah menjauhkan handphonenya dari telinganya. Pekikan asistennya bisa membuat telinga berdengung bahkan jika itu hanya lewat telepon.

Sebelum ia sempat menjawab, asistennya telah mengeluarkan kalimat lain. "Lupakan, itu tidak penting." Ada jeda sejenak. "Kamu tidak pensiun jadi artis kan?"

"Tentu saja tidak!" Rhea dengan cepat menjawab. "Kenapa aku harus pensiun?" Tanyanya.

"Aku hanya khawatir. Kau tahu, " Kay memikirkan kata-kata yang pantas. "Biasanya para artis yang menikah dengan konglomerat langsung melepaskan karirnya, dan kau sekarang menjadi nyonya Adiwinata."

Ah, sekarang jelas kenapa Kay begitu khawatir kepadanya. Itu memang sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar artis yang menikahi taipan kaya biasanya langsung pensiun menjadi artis. Simpelnya, mereka sudah memiliki uang pasangannya dan terkadang mereka dilarang oleh istri atau suaminya, atau bahkan tuntutan dari keluarga mertuanya.

Hansa Adiwinata tidak akan berani untuk menuntutnya pensiun dari ranah akting. Jika dia, kenapa Rhea harus menurutinya? Dia tidak akan pernah menyerahkan karirnya! Ibunya bahkan tidak bisa membuatnya berhenti. Kenapa dia harus takut kepada Hansa? Dia tidak ragu untuk mencopot gelar nyonya Adiwinata dari namanya jika dibutuhkan.

"Aku akan melepaskan gelar itu dengan senang hati jika dia memaksaku untuk berhenti berakting." Jelasnya.

"Senang mendengarnya. Beritamu masih menjadi trending topik dan diperkirakan tidak akan turun dalam waktu singkat." 

"Aku tahu."

"Jangan membaca komentar apapun." 

"…."

Tahu bahwa Rhea tidak menjawab berarti wanita itu sudah melakukannya. Kay menghela nafas, dia selalu mengkhawatirkan kesehatan mental artisnya itu dan Rhea tidak bisa membantu selain hanya menambah kekhawatiran dari hari ke hari.

"Omong-omong, dimana kamu sekarang?" Tanyanya.

"Hotel Lamia, kamar 607. Kau bisa datang kesini jika kau mau." Rhea menjawab dengan nada datar.

"Apa?!" 

Rhea meringis mendengar pekikan Kay yang tiba-tiba.

"Kupikir kalian berada di Maldives atau semacamnya. Oke, aku akan datang."

Rhea baru membuat tiga pasal ketika bel pintu berbunyi. Kursi yang didudukinya berdecit rendah ketika ia berdiri untuk berjalan membuka pintu dan melihat perempuan dengan kepang dua tengah mengangkat dua jinjingan di tangannya.

Kay telah menjadi asistennya sejak tiga tahun yang lalu dan menurutnya, dia asisten terbaik yang pernah dia miliki. Seperti sekarang, tanpa diminta Kay membawa sekeranjang stroberi dan permen buah. Kay tahu bahwa kedua makanan itu adalah favoritnya dan selalu dibutuhkan saat sedang lelah dan stress.

"Tidak ada aku selama satu hari dan lihat berapa banyak hal besar yang terjadi." Omel Kay.

Kay memang tidak hadir dalam pernikahanya dikarenakan waktu yang tidak tepat. Dini hari kemarin dia ditelpon oleh kakaknya untuk menemaninya dalam persalinan yang berujung dengan operasi cesar. Jadi betapa terkejutnya ia ketika melihat breaking news yang menyatakan bahwa artisnya, Rhea alih-alih menikah dengan Rangga seperti yang seharusnya tiba-tiba menikahi Hansa Adiwinata. Dia mencoba menelpon berkali-kali untuk memastikan tetapi Rhea tidak mengangkatnya. 

"Itulah kurasa kenapa aku tidak bisa hidup tanpamu." Balas Rhea dramatis.

"Omong-omong aku tahu kau bisa bertindak sebodoh itu-" Rhea membantah di latar belakang. "- tapi aku masih tidak mengerti kenapa kamu bisa menikah dengan dia."

"Itu karena dia satu-satunya yang berani maju ke depan untuk menikahiku." 

"Menikahimu," Kay mengangguk mengiyakan. "- dan menurutmu kenapa dia melakukannya?"

"Entahlah. Mungkin dia terpesona kepadaku. Kenapa kamu tidak menanyainya sendiri dan beritahu aku?"

Kay mendengus mendengar jawaban Rhea. Dia mengambil stroberi dan memakannya. Matanya melirik kearah laptop yang menyala di meja lain yang terletak di sudut ruangan.

"Apa yang sedang kamu kerjakan?" tanyanya ingin tahu.

"Hanya mencoba bermain game." Rhea berbohong. Dia berpikir bahwa perjanjian pernikahan yang sedang ia buat hanya boleh diketahui dirinya dan Hansa sendiri.

"Berbicara tentang game, aku yakin bocah itu pasti tengah menangisi ketidakberuntungannya." 

"Siapa yang kau maksud?" Tanya Rhea bingung.

"Kevin, tentu saja."

Seolah tahu namanya disebut, ponsel Rhea segera berdering dan nama 'Kevin' tertera di layar.

Kay menyeringai ketika melihat ekspresi frustasi diwajah Rhea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status