Share

9. Pasangan atau Pasangan

"Apa?!" Rhea berkacak pinggang dan menatap Hansa dengan pandangan melotot, meminta penjelasan.

"Kita tidak akan bercerai." Jelas Hansa dalam nada kalemnya yang biasa.

Jawaban Hansa yang terlihat tenang dan santai semakin mengobarkan amarah artis itu. "Ha?!" Ia berkelakar. "Sangat lucu Hansa Adiwinata. Sangat lucu." Dia mengejek. 

Dia yakin laki-laki itu hanya membual dan mempermainkannya.

Bedebah brengsek!

"Aku tidak bercanda, istriku sayang." Hansa bersedekap dada dan memandang Rhea dengan pandangan geli.

"Jangan memanggilku seperti itu." Perintah Rhea. 

"Tapi kamu memang istriku." Hansa menggodanya. Dia tidak tahan untuk itu. Dia ingin sekali memeluknya tetapi Hansa yakin jika dia melakukannya ia hanya akan mendapat tendangan mentah.

"Hansa!" Tangan Rhea menggebrak meja. Mengesampingkan rasa berdenyut sakit di telapak tangannya, dia menghirup napas panjang dan menghembuskannya secara pelan-pelan, mencoba untuk mengontrol emosinya. "Dengarkan aku. Pernikahan ini bersifat pura-pura. Aku dan kamu-" dia menunjuk Hansa. "- hanya bersandiwara di depan publik jika dibutuhkan. Setelah satu tahun, kita akan bercerai, hidup kembali ke dunianya masing-masing." Katanya dengan penuh tekanan.

Hansa menggelengkan kepalanya. "Tidak, ini bukan pernikahan pura-pura. Aku bersumpah di depan Tuhan, begitu juga kamu." Ekspresinya berubah menjadi serius. 

"Istri- Rhea, " panggilnya dalam. Mengalah mengenai nama panggilan istrinya dibawah tatapan tajamnya. "Kenapa kita tidak mencobanya? Aku, kamu, menjadi kita." Ia bertanya.

Ditatap seperti itu, Rhea menjadi salah tingkah. Dia memalingkan wajahnya, melihat ke lain arah selain menatap Hansa dan berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya yang tiba-tiba menjalar. "Kita akan bercerai, jika kamu menolak, aku bisa menuntutmu." 

Dia tidak siap untuk hubungan baru. Hatinya masih berdarah darah karena pengkhianatan Rangga. Dia tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Ya, Rhea mencoba untuk antipati terhadap cinta.

Hansa menghela nafas. Wajahnya tertunduk ketika mendengar jawaban Rhea yang masih bersikukuh. Tangannya saling bertaut di atas meja.

"Baik." Dia akhirnya bersuara setelah keheningan yang mengerikan.

Rhea tersenyum penuh kemenangan.

"Tapi aku punya syarat." Hansa cepat-cepat menambahkan. 

Senyum diwajah Rhea surut.

"Kita akan menjalani pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya selama dua tahun-" Dia menekankan kata 'sebenarnya'.  "- dua tahun dan jika kita memang tidak cocok, aku akan menandatangani surat cerai yang kamu sodorkan."

Rhea bingung. Benar benar bingung. Sebenarnya dia bahkan tidak mengira akan terjadi perdebatan sore ini mengenai masa depan pernikahan mereka. Mereka berdua seharusnya tahu bahwa ini hanyalah pernikahan berkepentingan. Dia terselamatkan dari rasa malu dari gagal nikah dan Hansa sebaliknya mendapat istri terkenal yang bisa dia pamerkan ke kolega koleganya. Dia tidak mengerti kenapa Hansa begitu ngotot untuk mencoba pernikahan sungguhan. Jika Hansa ingin 'itu' dia bisa mendapatkannya dari sembarang wanita, Rhea yakin akan ada banyak model, artis atau siapapun yang mau tidur dengan Hansa. 

"Tapi kenapa?!" Rhea bertanya, frustasi dengan kondisi ini.

"Karena aku mencintaimu." Jawab Hansa.

Rhea membeku. Dia mengerutkan dahinya seketika setelah mendengar jawaban Hansa. Rhea pikir dia sudah sinting. Apa tadi katanya? Dia mencintainya? Lelucon macam apa itu? Rhea benar-benar tidak menyangka pemimpin perusahaan Prisma adalah orang yang punya humor.

Rhea tertawa. Menertawainya lebih jelasnya. "Cinta? Permisi Hansa, apakah kita sudah saling kenal sebelumnya? Jangan bilang kamu jatuh cinta padaku pada pandangan pertama." 

"Jika iya?" 

Tawa Rhea berhenti. "Benarkah?" Dia beringsut maju, mendekat kearah Hansa untuk meneliti apakah laki-laki itu masih bisa mempertahankan leluconnya. 

"Setuju atau tidak bisa bercerai selamanya?" Hansa menawarkan. Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Rhea dan kembali ke topik serius.

Rhea menatapnya. Entah kenapa dia seperti dijebak. Otaknya berpacu. Melihat sifat Hansa yang kukuh untuk enggan bercerai dan pasti memiliki pengacara handal dibelakangnya, penawaran pertama lebih aman. Rhea bergidik, memikirkan harus hidup selamanya menjadi istri Hansa hingga ia tua atau disuruh untuk melahirkan anak-anaknya. Pikiran itu sangat menakutkan. Daripada menjalani masa tua dengan suami dalam hubungan platonis, lebih baik Rhea hidup sendiri saja.

"Baik. Dua tahun." Dia memutuskan. Rhea sangsi dia bisa jatuh cinta dengan Hansa dalam waktu dua tahun. Dua tahun itu singkat, Hansa akan sibuk dengan pekerjaannya dan dia sibuk dengan jadwal syuting, lalu tidak terasa dua tahun berlalu dan dia akhirnya bisa lepas dari jeratan Hansa.

"Aku senang." Hansa berterus terang. "Besok kita akan menemui keluargamu lalu kamu bisa tinggal di tempatku." Lanjutnya.

"Kenapa aku harus tinggal di tempatmu?" Rhea menolak.

"Rhea, kamu sudah setuju bahwa pernikahan ini nyata. Tidak ada suami istri yang hidup terpisah." Hansa dengan sabar menjelaskan. "Lagipula, kau tidak ingin ini menjadi topik gosip kan?" Dia menyinggung status selebritinya.

Penjelasannya masuk akal. Dia telah membuat headline berita dari pernikahannya dengan Hansa. Jika di masa depan ada sesuatu, Rhea tidak bisa membayangkan apa yang para jurnalis akan tulis tentang mereka. 

"Baik." Ia dengan enggan menyetujui.

"Diskusi selesai. Aku akan membuat surat perjanjian untuk ini. Dua tahun." Hansa menyimpulkan.

Rhea dengan berat hati dan penuh ketidakpuasan mengangguk.

***

Ketika Hansa selesai mandi, dia melihat istrinya sedang duduk bersila di kursi dan tengah memakan stroberi dengan serampangan. Itu menggemaskan ketika pipinya menggembung karena memakan dua tiga buah sekaligus.

Sadar telah dipandangi, Rhea berhenti makan dan menatapnya dalam pandangan sebal. 

"Bisa pakai handuk nggak sih? Lantainya basah." Cercanya. 

Hansa mengangkat handuk yang tersampir di pundaknya. Kemudian tangannya dengan sengaja mengusap rambutnya yang basah, menyebabkan tetesan air jatuh ke lantai marmer yang dingin.

"Bisa pakaikan?" 

Pertanyaannya di jawab dengan pelototan tajam. Hansa terkekeh lalu dengan santai mengeringkan rambutnya dan duduk di pinggir ranjang.

"Bagaimana keluargamu?" Ia membuat topik bicara.

Sama seperti pada umumnya, memikirkan untuk bertemu mertua barunya di kediamannya besok membuat Hansa gugup. Dia tidak mengenal Theodorus dan Christina. Bincang-bincang singkat kemarin membuatnya tahu bahwa mereka berdua adalah orang tua yang baik. Hansa bersyukur saat mereka mengijinkan dia untuk menikahi putrinya. 

"Sebenarnya aku penasaran apa yang kamu bicarakan dengan mereka sehingga mengijinkanmu menikahiku." Rhea membalas.

"Hmm... Rahasia?" Jawabnya.

Sebuah stroberi melayang kearahnya, tepat mengenai bahu kirinya sebelum tergeletak di atas kasur. Hansa mengambilnya dan memakannya sambil menahan tawa.

"Lemparan bagus." Pujinya.

Rhea melemparinya lagi. Kali ini Hansa berhasil menangkapnya dari udara.

"Katakan padaku, makanan, minuman, bunga, permainan, apapun yang mereka sukai." Pintanya.

Rhea harus menahan tawa saat Hansa dengan sengaja memakan stroberi sambil berpose selayaknya model. Dia mendengus sebagai gantinya. Siapa yang mengira pria yang terkenal dingin dan kejam bisa menjadi kekanakan seperti ini? Media memang tidak bisa dipercaya dalam mengetahui karakter profil seseorang.

Rhea berjalan mendekat sambil membawa parsel stroberinya. Dia meletakkannya di atas nakas lalu berbaring menyandar di atas ranjang dan mengeluarkan ponselnya.

"Kamu ingin aku membantumu membuat persepsi bagus untuk orang tuaku? Seolah aku akan menjawabnya." Gerutunya sebal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status