LOGIN
Ivan menemukan cinta yang sempurna di tengah badai hujan, hanya untuk menyadari bahwa cinta itu tak pernah nyata.
Malam itu, rintik hujan turun membasahi kaca jendela. Di rumahnya yang sunyi, Ivan berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangannya sendiri, seolah sedang berdiskusi dengan orang lain, mencari kedalaman untuk novel yang sedang ia garap.
“Jadi, tokoh utama kita harus rapuh, tapi bukan karena trauma masa lalu,” gumamnya pada bayangannya. “Kerapuhannya berasal dari ketidakmampuannya berinteraksi dengan dunia luar. Dia hidup di dunianya sendiri, menciptakan narasi yang berbeda dari kenyataan.”
Ivan memejamkan mata, membayangkan karakternya. “Kita beri ia nama... Rafka. Ya, Rafka. Dia seorang seniman, pelukis. Dunianya penuh warna, tetapi jiwanya hitam putih. Dia melukis kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan. Kontradiksi ini akan menjadi jantung ceritanya. Namun, apa yang akan mengeluarkannya dari dunianya?”
Ia kembali menatap cermin, dahinya berkerut. “Harus ada sesuatu yang mengguncangnya. Sebuah pertemuan tak terduga. Sesuatu yang memaksanya menghadapi kenyataan. Mungkin... seseorang yang membutuhkan bantuannya, yang masuk ke dunianya secara paksa.”
Tiba-tiba, suara bel pintu terdengar nyaring, memecah kesunyian malam. Lamunan Ivan buyar. Ia menoleh ke arah pintu dengan heran. “Siapa yang datang malam-malam begini?”
Ivan berjalan perlahan menuju pintu dan mengintip dari jendela kecil di sampingnya. Rintik hujan terlihat jelas di kaca. Di luar, seorang wanita berdiri membelakangi pintu, tersembunyi di bawah kanopi kecil. Rambutnya basah, gaun merahnya tampak menempel di tubuh. Wanita itu terlihat menggigil.
Ivan berbisik pada dirinya sendiri, “Gaun merah di malam hujan? Seperti adegan dalam film.” Setelah ragu sejenak, ia memutuskan membuka pintu. Bunyi klik dari kunci terdengar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok wanita itu dengan lebih jelas. Wajahnya yang cantik dan pucat tampak kedinginan.
“Maaf, Anda siapa?” tanya Ivan, bingung. “Ada keperluan apa datang malam-malam begini?”
Wanita itu menatapnya dengan mata yang basah dan memohon. Wajahnya, meskipun pucat, memiliki kecantikan yang seolah hanya ada dalam imajinasi Ivan selama ini. Rambutnya yang sedikit bergelombang menempel di dahi, dan tetesan air jatuh dari ujungnya.
“Maaf mengganggu, Tuan,” suaranya terdengar lembut dan agak serak. “Saya kehujanan. Apakah saya boleh berteduh sebentar?”
Ivan seolah tersadar dari lamunannya. Ia mengangguk cepat. “Ah, iya, tentu. Silakan masuk. Anda pasti kedinginan.”
Wanita itu tersenyum tipis dan melangkah masuk, meninggalkan jejak air di lantai. Aroma parfumnya yang lembut bercampur dengan bau hujan. Ivan menutup pintu, lalu menunjuk ke arah sofa. “Silakan duduk. Saya akan buatkan teh hangat.”
Wanita itu duduk dengan canggung. Ivan bergegas ke dapur, menyiapkan teh dengan terburu-buru. Pikirannya dipenuhi oleh wajah wanita itu. Begitu teh siap, ia membawanya kembali dan meletakkannya di meja.
“Ini, silakan. Minumlah agar badan Anda hangat,” kata Ivan.
Wanita itu mengangkat pandangannya, tersenyum tulus. Ia menerima cangkir teh dengan kedua tangan, menghirup uapnya yang mengepul. “Terima kasih banyak.”
Ivan duduk di kursi seberang sofa, menatapnya dengan penasaran. “Boleh saya tahu nama Anda?”
Wanita itu menyeruput tehnya sedikit, lalu menatap Ivan. “Nama saya Agnia.”
“Ivan,” balasnya singkat. “Agnia, Anda dari mana? Kenapa bisa sampai kehujanan seperti ini? Dan, hendak ke mana Anda sebenarnya?”
Agnia meletakkan cangkir tehnya, wajahnya tampak lebih hangat. “Saya... tidak tahu harus mulai dari mana. Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu sedang di mana dan akan ke mana.”
Ivan mengerutkan dahi, bingung. “Maksud Anda?”
“Saya baru saja melarikan diri dari sebuah acara,” jawab Agnia, suaranya terdengar lebih jelas. “Seseorang yang sangat penting bagi saya... dia mencoba memaksa saya melakukan sesuatu yang tidak saya inginkan. Saya panik, lalu lari begitu saja tanpa tujuan.”
Agnia mengambil napas dalam-dalam, memejamkan mata seolah mengingat kembali kejadian itu. “Saya keluar dari mobil, lalu berjalan kaki sejauh mungkin, menghindari lampu-lampu jalan. Saya tidak memedulikan hujan, yang saya pikirkan hanya bagaimana cara menghilang. Sampai akhirnya, saya melihat cahaya dari jendela rumah Anda. Saya pikir, mungkin di sini saya bisa bersembunyi.”
Ia membuka matanya, menatap Ivan dengan sorot penuh terima kasih. “Jadi, untuk menjawab pertanyaan Anda, saya tidak tahu dari mana dan tidak tahu akan ke mana. Saya hanya... berusaha untuk tetap aman.”
Agnia menatap Ivan dengan sorot mata penuh harap, seolah menaruh seluruh kepercayaannya pada sosok di depannya.
“Ivan,” Agnia berucap, suaranya pelan dan ragu. Ia menunduk, memainkan ujung gaunnya yang mulai mengering. “Maaf, saya tahu ini sangat lancang, tetapi... apakah saya boleh bermalam di sini? Saya tidak tahu harus pergi ke mana lagi.”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, seolah Agnia tak punya pilihan lain. Ivan terdiam sejenak.
itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k
Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele
Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat
Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan
Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju
Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu







