LOGIN“Bisa,” jawab Ivan mantap. Ia bangkit dari duduknya. “Tentu saja bisa. Saya punya satu kamar kosong di lantai atas.”
Senyum lega yang tulus mengembang di wajah Agnia. Kecantikan wanita itu seolah bertambah berkali-kali lipat saat ia tersenyum. Ivan baru menyadari, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan wanita yang benar-benar nyata, yang seindah dan serapuh tokoh-tokoh ciptaannya. Malam itu, di tengah rintik hujan yang mulai mereda, ia merasa hidupnya baru saja diguncang oleh sebuah kenyataan yang jauh lebih indah daripada fiksi mana pun.
“Terima kasih, Ivan. Terima kasih banyak,” ucap Agnia, suaranya bergetar karena haru.
“Sama-sama, Agnia,” balas Ivan tulus. Ia menunjuk ke arah tangga. “Ayo, saya tunjukkan kamarnya.”
Ivan memimpin Agnia menuju kamar kosong di lantai atas. Udara di dalam rumah terasa hangat dan nyaman, kontras dengan dinginnya malam di luar. Agnia melangkah pelan, matanya mengamati sekeliling. Begitu sampai di depan sebuah pintu kayu, Ivan membukanya.
“Ini kamarnya. Ada kamar mandi di dalam,” jelas Ivan. “Saya ambilkan handuk bersih dan pakaian ganti yang mungkin cocok untuk Anda.”
Agnia mengangguk pelan. “Terima kasih, Ivan.”
Setelah Ivan beranjak, Agnia memasuki ruangan itu. Tak lama, Ivan kembali dengan handuk dan kaus polos miliknya. Aroma maskulin yang lembut tercium, dan entah mengapa, Agnia merasa sedikit lebih tenang.
“Saya tidak punya gaun seindah yang Anda pakai, tapi semoga ini bisa membuat Anda lebih nyaman,” kata Ivan, menyerahkan handuk dan kaus.
“Ini sudah lebih dari cukup,” jawab Agnia dengan tulus seraya menerima barang-barang itu. Jari-jari mereka bersentuhan sesaat. Sebuah percikan halus terasa, dan keduanya menarik tangan dengan sedikit canggung.
“Saya akan menunggu di bawah. Jika Anda butuh apa-apa, panggil saja,” kata Ivan, lalu berbalik dan menutup pintu.
Tak lama kemudian, Agnia turun. Rambutnya terbungkus handuk, dan ia mengenakan kaus Ivan yang sedikit kebesaran. Aroma sabun tercium darinya. Ia tampak jauh lebih santai, meski masih ada gurat lelah di wajahnya.
“Minum teh lagi? Saya hangatkan,” tawar Ivan saat Agnia duduk di sofa.
Agnia menggeleng. “Tidak, terima kasih. Ini sudah cukup.” Ia menatap Ivan, matanya menelusuri wajah pria itu. “Ivan, kau… kenapa kau begitu baik padaku?”
“Aku hanya… melakukan apa yang seharusnya dilakukan,” jawab Ivan, suaranya pelan. “Tapi, sejujurnya, aku penasaran. Apa yang terjadi di acara itu? Apa yang membuatmu begitu ketakutan?”
Agnia menunduk, matanya menerawang. Ada jeda panjang sebelum ia berucap. “Acara itu… sebuah pertunangan.” Ia mengangkat wajahnya, menatap Ivan dengan mata berkaca-kaca. “Pertunanganku. Dengan orang yang tidak pernah kucintai.”
“Dia… ayahku,” lanjut Agnia, suaranya tercekat. “Dia memaksaku menikah dengan salah satu rekan bisnisnya. Pria itu sudah tua, dan aku tahu dia tidak akan pernah memperlakukanku dengan baik. Malam itu, aku merasa semua orang menatapku seperti sebuah objek yang siap dilelang. Aku merasa sangat... kotor.”
Ivan bisa merasakan getaran dalam suara Agnia. Ia menatapnya dengan empati yang begitu besar. Tanpa sadar, ia mengulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Agnia yang dingin.
“Jadi, aku lari. Aku tidak peduli dengan gaun yang basah atau sepatu hak tinggiku yang sulit dipakai. Aku hanya ingin lari dari semua orang yang ingin mengendalikan hidupku,” ucap Agnia, suaranya bergetar. “Malam ini, aku bertemu dengannya, pria yang akan menikahiku. Dia menyentuh tanganku, menatapku seolah aku miliknya. Dan aku tahu… aku tidak bisa. Aku harus pergi.”
Ivan menggenggam tangan Agnia. Tatapannya tegas, mencoba memberikan kekuatan yang tidak pernah Agnia dapatkan. “Kau aman di sini. Di sini, kau bukan milik siapa pun. Kau milik dirimu sendiri.”
Agnia menatap Ivan, dan perlahan, senyum kecil terukir di wajahnya. Senyum itu bukan lagi senyum kelegaan, melainkan sebuah janji. Janji akan sebuah awal yang baru.
Malam semakin larut. Rintik hujan telah reda, menyisakan bisikan angin lembut. Di ruang tamu yang hening, Ivan dan Agnia masih terjaga. Agnia bercerita tentang hidupnya yang terkekang, sementara Ivan mendengarkan dengan saksama, memahami setiap luka yang tak terlihat.
“Aku tidak pernah merasa sehidup ini,” bisik Agnia, matanya berkilauan menatap Ivan. “Berbicara denganmu rasanya seperti bernapas untuk pertama kalinya.”
Ivan tersenyum hangat. Ia melihat kerapuhan dalam diri Agnia, persis seperti tokoh Rafka yang ia ciptakan. Sadar hari sudah larut, ia menyarankan Agnia untuk beristirahat di kamar. Namun, Agnia menggeleng cemas.
“Bolehkah aku tidur di sini saja, di sofa?” pintanya lirih. “Aku… takut sendirian.”
Hati Ivan luluh. “Tentu,” jawabnya. Ia mengambil selimut dan menyelimuti Agnia yang sudah meringkuk di sofa. Sambil duduk di lantai di sebelahnya, Ivan kembali membuka laptop dan melanjutkan novelnya.
Beberapa saat kemudian, Agnia terbangun. “Apa yang sedang kaukerjakan?” tanyanya penasaran.
Ivan menutup laptopnya. “Menulis novel. Tentang seorang seniman yang dunianya berubah setelah bertemu seorang wanita misterius di tengah hujan.”
Agnia terdiam, tatapannya penuh arti. “Seperti apa karakter wanitanya? Apakah dia kuat?”
Ivan menatap Agnia dalam-dalam. “Dia rapuh,” jawab Ivan lembut. “Bukan karena lemah, tapi karena jiwanya terluka. Dia datang seperti hujan di malam hari, membawa ketakutan yang luar biasa. Dan pria itu akhirnya sadar, tujuan hidupnya adalah menjadi benteng untuk melindungi dan menyembuhkan wanita itu.”
Air mata mengalir di pipi Agnia. Ivan, tanpa ragu, menghapusnya dengan ibu jarinya. “Maaf,” isak Agnia.
“Tidak apa-apa,” balas Ivan. “Mungkin kau melihat dirimu di dalamnya.”
Tiba-tiba, Agnia bangkit dan memeluk Ivan dengan erat, seolah takut pria itu akan menghilang. “Mungkinkah kau adalah pria yang selama ini kuimpikan?” bisiknya tercekat. “Benteng yang akan melindungiku?”
Ivan membalas pelukan itu dengan lembut. “Kita baru saja bertemu,” katanya pelan, mencoba menenangkan.
“Tapi rasanya tidak begitu,” sanggah Agnia, melepaskan pelukannya untuk menatap mata Ivan. “Aku tidak pernah memimpikan wajahmu, tapi aku selalu memimpikan sosok pelindung sepertimu. Seseorang yang melihat ketakutanku, bukan gaun yang kukenakan.”
Air matanya kembali mengalir, tetapi kali ini dengan sorot mata penuh harapan. “Malam ini, kau tidak hanya memberiku tempat berteduh dari hujan, tapi juga dari duniaku yang terasa seperti penjara. Kau adalah perwujudan dari harapan yang selama ini kusimpan.”
Ivan tak menyangka, sebuah pertemuan singkat di tengah malam, yang awalnya ia kira hanya akan menjadi inspirasi untuk novelnya, justru membawanya pada sebuah kenyataan yang jauh lebih indah daripada fiksi mana pun.
Tiba-tiba, Agnia bergerak. Ia melepaskan genggaman tangannya dan perlahan mendekatkan wajahnya. Ivan terpaku, tak sanggup bergerak, tak sanggup berkata. Matanya memejam saat Agnia memiringkan kepalanya. Bibir lembut Agnia menyentuh bibirnya. Sebuah ciuman yang tulus, penuh dengan kelegaan, rasa terima kasih, dan harapan yang baru ditemukan. Di tengah keheningan yang syahdu, dua jiwa yang selama ini mencari akhirnya menemukan satu sama lain.
Ciuman itu tidak lagi sebatas sentuhan. Agnia memejamkan mata, membiarkan perasaannya mengalir. Tangan Ivan yang semula kaku kini bergerak, memeluk punggung Agnia, membalas ciuman itu dengan penuh kehangatan. Semua keraguan, ketakutan, dan kesepian yang mereka rasakan selama ini seolah sirna dalam ciuman itu.
Udara dingin yang semula menyelimuti ruangan kini terasa hangat, bahkan panas, seolah bara di dalam diri mereka telah tersulut. Tangan Agnia merayap, melingkari leher Ivan, menariknya lebih dekat. Bibir mereka saling melumat, menciptakan melodi yang hanya bisa dipahami oleh hati.
"Bisakah... bisakah cinta kita selamanya?" bisik Ivan, suaranya serak, tetapi penuh harap.
itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k
Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele
Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat
Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan
Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju
Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu







