Home / Romansa / Agnia dan Cermin Pecah / Malam tak terlupakan

Share

Malam tak terlupakan

Author: Millanova
last update Last Updated: 2025-08-23 01:00:51

“Bisa,” jawab Ivan mantap. Ia bangkit dari duduknya. “Tentu saja bisa. Saya punya satu kamar kosong di lantai atas.”

Senyum lega yang tulus mengembang di wajah Agnia. Kecantikan wanita itu seolah bertambah berkali-kali lipat saat ia tersenyum. Ivan baru menyadari, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan wanita yang benar-benar nyata, yang seindah dan serapuh tokoh-tokoh ciptaannya. Malam itu, di tengah rintik hujan yang mulai mereda, ia merasa hidupnya baru saja diguncang oleh sebuah kenyataan yang jauh lebih indah daripada fiksi mana pun.

“Terima kasih, Ivan. Terima kasih banyak,” ucap Agnia, suaranya bergetar karena haru.

“Sama-sama, Agnia,” balas Ivan tulus. Ia menunjuk ke arah tangga. “Ayo, saya tunjukkan kamarnya.”

Ivan memimpin Agnia menuju kamar kosong di lantai atas. Udara di dalam rumah terasa hangat dan nyaman, kontras dengan dinginnya malam di luar. Agnia melangkah pelan, matanya mengamati sekeliling. Begitu sampai di depan sebuah pintu kayu, Ivan membukanya.

“Ini kamarnya. Ada kamar mandi di dalam,” jelas Ivan. “Saya ambilkan handuk bersih dan pakaian ganti yang mungkin cocok untuk Anda.”

Agnia mengangguk pelan. “Terima kasih, Ivan.”

Setelah Ivan beranjak, Agnia memasuki ruangan itu. Tak lama, Ivan kembali dengan handuk dan kaus polos miliknya. Aroma maskulin yang lembut tercium, dan entah mengapa, Agnia merasa sedikit lebih tenang.

“Saya tidak punya gaun seindah yang Anda pakai, tapi semoga ini bisa membuat Anda lebih nyaman,” kata Ivan, menyerahkan handuk dan kaus.

“Ini sudah lebih dari cukup,” jawab Agnia dengan tulus seraya menerima barang-barang itu. Jari-jari mereka bersentuhan sesaat. Sebuah percikan halus terasa, dan keduanya menarik tangan dengan sedikit canggung.

“Saya akan menunggu di bawah. Jika Anda butuh apa-apa, panggil saja,” kata Ivan, lalu berbalik dan menutup pintu.

Tak lama kemudian, Agnia turun. Rambutnya terbungkus handuk, dan ia mengenakan kaus Ivan yang sedikit kebesaran. Aroma sabun tercium darinya. Ia tampak jauh lebih santai, meski masih ada gurat lelah di wajahnya.

“Minum teh lagi? Saya hangatkan,” tawar Ivan saat Agnia duduk di sofa.

Agnia menggeleng. “Tidak, terima kasih. Ini sudah cukup.” Ia menatap Ivan, matanya menelusuri wajah pria itu. “Ivan, kau… kenapa kau begitu baik padaku?”

“Aku hanya… melakukan apa yang seharusnya dilakukan,” jawab Ivan, suaranya pelan. “Tapi, sejujurnya, aku penasaran. Apa yang terjadi di acara itu? Apa yang membuatmu begitu ketakutan?”

Agnia menunduk, matanya menerawang. Ada jeda panjang sebelum ia berucap. “Acara itu… sebuah pertunangan.” Ia mengangkat wajahnya, menatap Ivan dengan mata berkaca-kaca. “Pertunanganku. Dengan orang yang tidak pernah kucintai.”

“Dia… ayahku,” lanjut Agnia, suaranya tercekat. “Dia memaksaku menikah dengan salah satu rekan bisnisnya. Pria itu sudah tua, dan aku tahu dia tidak akan pernah memperlakukanku dengan baik. Malam itu, aku merasa semua orang menatapku seperti sebuah objek yang siap dilelang. Aku merasa sangat... kotor.”

Ivan bisa merasakan getaran dalam suara Agnia. Ia menatapnya dengan empati yang begitu besar. Tanpa sadar, ia mengulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Agnia yang dingin.

“Jadi, aku lari. Aku tidak peduli dengan gaun yang basah atau sepatu hak tinggiku yang sulit dipakai. Aku hanya ingin lari dari semua orang yang ingin mengendalikan hidupku,” ucap Agnia, suaranya bergetar. “Malam ini, aku bertemu dengannya, pria yang akan menikahiku. Dia menyentuh tanganku, menatapku seolah aku miliknya. Dan aku tahu… aku tidak bisa. Aku harus pergi.”

Ivan menggenggam tangan Agnia. Tatapannya tegas, mencoba memberikan kekuatan yang tidak pernah Agnia dapatkan. “Kau aman di sini. Di sini, kau bukan milik siapa pun. Kau milik dirimu sendiri.”

Agnia menatap Ivan, dan perlahan, senyum kecil terukir di wajahnya. Senyum itu bukan lagi senyum kelegaan, melainkan sebuah janji. Janji akan sebuah awal yang baru.

Malam semakin larut. Rintik hujan telah reda, menyisakan bisikan angin lembut. Di ruang tamu yang hening, Ivan dan Agnia masih terjaga. Agnia bercerita tentang hidupnya yang terkekang, sementara Ivan mendengarkan dengan saksama, memahami setiap luka yang tak terlihat.

“Aku tidak pernah merasa sehidup ini,” bisik Agnia, matanya berkilauan menatap Ivan. “Berbicara denganmu rasanya seperti bernapas untuk pertama kalinya.”

Ivan tersenyum hangat. Ia melihat kerapuhan dalam diri Agnia, persis seperti tokoh Rafka yang ia ciptakan. Sadar hari sudah larut, ia menyarankan Agnia untuk beristirahat di kamar. Namun, Agnia menggeleng cemas.

“Bolehkah aku tidur di sini saja, di sofa?” pintanya lirih. “Aku… takut sendirian.”

Hati Ivan luluh. “Tentu,” jawabnya. Ia mengambil selimut dan menyelimuti Agnia yang sudah meringkuk di sofa. Sambil duduk di lantai di sebelahnya, Ivan kembali membuka laptop dan melanjutkan novelnya.

Beberapa saat kemudian, Agnia terbangun. “Apa yang sedang kaukerjakan?” tanyanya penasaran.

Ivan menutup laptopnya. “Menulis novel. Tentang seorang seniman yang dunianya berubah setelah bertemu seorang wanita misterius di tengah hujan.”

Agnia terdiam, tatapannya penuh arti. “Seperti apa karakter wanitanya? Apakah dia kuat?”

Ivan menatap Agnia dalam-dalam. “Dia rapuh,” jawab Ivan lembut. “Bukan karena lemah, tapi karena jiwanya terluka. Dia datang seperti hujan di malam hari, membawa ketakutan yang luar biasa. Dan pria itu akhirnya sadar, tujuan hidupnya adalah menjadi benteng untuk melindungi dan menyembuhkan wanita itu.”

Air mata mengalir di pipi Agnia. Ivan, tanpa ragu, menghapusnya dengan ibu jarinya. “Maaf,” isak Agnia.

“Tidak apa-apa,” balas Ivan. “Mungkin kau melihat dirimu di dalamnya.”

Tiba-tiba, Agnia bangkit dan memeluk Ivan dengan erat, seolah takut pria itu akan menghilang. “Mungkinkah kau adalah pria yang selama ini kuimpikan?” bisiknya tercekat. “Benteng yang akan melindungiku?”

Ivan membalas pelukan itu dengan lembut. “Kita baru saja bertemu,” katanya pelan, mencoba menenangkan.

“Tapi rasanya tidak begitu,” sanggah Agnia, melepaskan pelukannya untuk menatap mata Ivan. “Aku tidak pernah memimpikan wajahmu, tapi aku selalu memimpikan sosok pelindung sepertimu. Seseorang yang melihat ketakutanku, bukan gaun yang kukenakan.”

Air matanya kembali mengalir, tetapi kali ini dengan sorot mata penuh harapan. “Malam ini, kau tidak hanya memberiku tempat berteduh dari hujan, tapi juga dari duniaku yang terasa seperti penjara. Kau adalah perwujudan dari harapan yang selama ini kusimpan.”

Ivan tak menyangka, sebuah pertemuan singkat di tengah malam, yang awalnya ia kira hanya akan menjadi inspirasi untuk novelnya, justru membawanya pada sebuah kenyataan yang jauh lebih indah daripada fiksi mana pun.

Tiba-tiba, Agnia bergerak. Ia melepaskan genggaman tangannya dan perlahan mendekatkan wajahnya. Ivan terpaku, tak sanggup bergerak, tak sanggup berkata. Matanya memejam saat Agnia memiringkan kepalanya. Bibir lembut Agnia menyentuh bibirnya. Sebuah ciuman yang tulus, penuh dengan kelegaan, rasa terima kasih, dan harapan yang baru ditemukan. Di tengah keheningan yang syahdu, dua jiwa yang selama ini mencari akhirnya menemukan satu sama lain.

Ciuman itu tidak lagi sebatas sentuhan. Agnia memejamkan mata, membiarkan perasaannya mengalir. Tangan Ivan yang semula kaku kini bergerak, memeluk punggung Agnia, membalas ciuman itu dengan penuh kehangatan. Semua keraguan, ketakutan, dan kesepian yang mereka rasakan selama ini seolah sirna dalam ciuman itu.

Udara dingin yang semula menyelimuti ruangan kini terasa hangat, bahkan panas, seolah bara di dalam diri mereka telah tersulut. Tangan Agnia merayap, melingkari leher Ivan, menariknya lebih dekat. Bibir mereka saling melumat, menciptakan melodi yang hanya bisa dipahami oleh hati.

"Bisakah... bisakah cinta kita selamanya?" bisik Ivan, suaranya serak, tetapi penuh harap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Agnia dan Cermin Pecah   Buku gambar

    Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, Ivan membawa buku gambar dan sekotak pensil warna. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menuangkan pikirannya. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menemukan dirinya yang hilang.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya ingin Sarah mengingat, agar ia bisa kembali normal. Namun, ia juga tidak ingin Sarah mengingat, karena ia takut, Sarah akan meninggalkannya.Ia membuka pintu ruangan Sarah. Di sana, Sarah duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya terlihat murung.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Ivan. Kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia menaruh buku gambar dan sekotak pensil warna di atas meja.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku pikir, kau bisa menuangkan pikiranmu di sini. Mungkin… kau bisa menem

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hubungan baru

    Siang itu, Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, bukan bingkisan buah, melainkan sebuah buku bersampul lusuh. Itu adalah novel pertamanya, sebuah karya yang ia tulis di masa-masa paling sepi dalam hidupnya. Buku itu adalah saksi bisu dari dirinya yang dulu—pria yang hanya hidup dalam imajinasi.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, bukan hanya rasa bersalah, melainkan juga rasa ingin tahu. Pintu kamar rawat Sarah terbuka, dan Ivan melihatnya duduk di ranjang, menatap kosong ke luar jendela.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Ivan, kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia meletakkan buku yang ia bawa di atas meja kecil, di samping bingkisan buah yang sudah terbuka.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Novel pertamaku.”Sarah menatap buku itu,

  • Agnia dan Cermin Pecah   Benar benar hilang

    Dokter melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia tersenyum lembut, tangannya memegang sampel darah Ivan. Ivan, yang masih terdiam, merasakan kehangatan di lengannya.“Baik, Tuan Ivan,” ucap dokter itu, suaranya tenang. “Kami sudah selesai. Anda tidak perlu khawatir. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi.”Ivan mengangguk, namun ia tidak bertanya apa-apa. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin kembali ke rumah. Ia hanya ingin kembali ke Agnia.Dokter itu kemudian mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu memberikannya kepada Ivan. “Ini resep, Tuan. Anda harus menebusnya di apotek terdekat. Obat-obat ini akan membantu Anda merasa lebih baik.”Ivan mengambil resep itu, tangannya gemetar. Ia membaca nama-nama obat di dalamnya. Chlorpromazine, Paliperidone, Chlordiazepoxide. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia tahu, ia harus meminumnya.“Minumlah secara rutin, Tuan Ivan,” ucap dokter itu lagi. “Ini akan membantu Anda untuk kembali normal.”Ivan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang normal. Ia ti

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hilang

    Pertanyaan polisi itu terasa seperti palu yang menghantam kepala Ivan. Bagaimana bisa ia tidak punya foto Agnia? Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap jalan yang kosong, tempat Agnia menghilang."AARRRRGGGGGGGHHHHHHHHHH!"Ivan tiba-tiba berteriak. Sebuah teriakan yang keras, dipenuhi rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Ivan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia membiarkan semua emosinya keluar. Ia berteriak, suaranya bergetar, seolah ia sedang mencoba merobek langit.Kedua polisi itu terkejut. Mereka saling bertukar pandang, lalu menatap Ivan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan rasa prihatin, melainkan tatapan kebingungan. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Ivan. Mereka hanya tahu, mereka harus membawanya pergi.Teriakan Ivan begitu keras, mengoyak kesunyian malam. Ia berteriak dan berteriak lagi, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Namun, teriakan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tib

  • Agnia dan Cermin Pecah   Cermin yang Retak

    Makan malam itu terasa begitu sempurna, seolah semua keraguan Ivan telah lenyap. Setelah membereskan meja, Ivan kembali ke laptopnya. Agnia duduk di sampingnya, membaca novel yang belum selesai. Ivan tidak bisa berhenti memikirkan nama Sarah Cruz. Ia harus mencari tahu.Ivan membuka mesin pencari, tangannya gemetar. Ia mengetik nama Sarah Cruz, berharap menemukan sesuatu. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan. Tidak ada satu pun berita, tidak ada satu pun media sosial, tidak ada satu pun artikel yang membahas nama itu. Ivan merasa bingung, dan juga sedikit takut. Apakah Sarah adalah nama yang ia ciptakan? Apakah ia hanya berhalusinasi?Namun, Ivan tidak menyerah. Ia terus mencari, hingga akhirnya ia menemukan sebuah blog kecil yang membahas real estat. Blog itu membahas tentang properti-properti mewah di negara bagian itu, dan salah satu artikelnya membahas tentang keluarga paling kaya di sana. Di dalam artikel itu, sebuah nama muncul: Sarah Cruz.Ivan membaca artikel itu, matany

  • Agnia dan Cermin Pecah   Kenangan dan kenyataan

    “Agnia,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku… aku ingin menjenguk Sarah.”Agnia menoleh, senyumnya tidak pudar. Ia menutup novel Ivan, lalu meletakkannya di atas meja. “Baiklah,” jawabnya. “Kau ingin aku menemanimu?”“Tidak, sayang,” balas Ivan. “Aku ingin kau di sini saja. Aku… aku ingin memastikan kau aman.”Agnia mengangguk. “Baiklah. Kau ingin aku siapkan apa? Roti? Kopi?”“Tidak,” jawab Ivan. “Aku ingin memberikannya buah. Buah apa yang harus kubawa untuknya?”Agnia berpikir sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya, nadanya terdengar bingung. “Aku… aku tidak tahu buah apa yang ia suka.”“Aku tahu kau tidak tahu,” balas Ivan. “Tapi… aku hanya ingin mendengar pendapatmu. Aku ingin kau memilihkan untukku.”Agnia tersenyum, lalu memegang tangan Ivan. “Kalau begitu, bawakan saja buah delima,” jawabnya, matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Delima melambangkan kebangkitan. Kebangkitan dari kegelapan.”Ivan tersenyum. Ia tidak tahu mengapa Agnia memilih delima, tetapi ia yakin, itu adalah pil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status