"Ugh!" Suara lenguhan panjang terdengar memenuhi ruang kamar saat Andi menyelesaikan permainannya.
"Enak," ucap Andi, merasakan nikmat yang tiada tara. Namun berbeda dengan Febby yang tidak merasakan klimaks sama sekali. Wajahnya menyiratkan kekecewaan mendalam. "Sudah keluar Mas? Kok cepet banget, ngga sampai satu menit. Perasaan baru masuk." Febby mengeluh sambil menghela napas panjang. Sudah sering dia mengatakan kalau dia tidak pernah puas dengan permainan suaminya. Dia juga tidak pernah merasa ada yang keluar dari bagian inti tubuh, yang menandakan dia belum mencapai puncak. Namun Andi seolah masa bodo. Yang penting nafsunya tersalurkan. "Aku lelah. Tadi itu aku udah berusaha untuk lama, tapi malah keluarnya cepet." Selesai melampiaskan hasrat, Andi berbaring di sebelah istrinya tanpa merasa bersalah sama sekali. Raut kesal dan kecewa terlihat jelas di wajah Febby, yang selama dua tahun menjadi istri sah Andi. Selama dua tahun itu dia tidak pernah merasakan klimaks saat berhubungan dengan suaminya. Kenikmatan hanya dirasakan oleh Andi, bahkan Andi tidak pernah membuatnya nyaman di atas ranjang. Andi juga kurang perhatian, hanya memikirkan diri sendiri. Pernikahan dua tahun terasa semakin hambar bagi Febby. Namun tidak ada yang bisa dilakukan. Toh Febby yang memilih laki-laki itu menjadi suaminya dan mereka sedang menjalani program kehamilan. Ya, Andi dan Febby sudah didesak oleh kedua orang tua mereka agar secepatnya memiliki anak, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Febby mengandung buah cinta mereka. "Kamu mau langsung tidur Mas?" tanya Febby pada suaminya yang baru saja pulang kerja dan meminta dilayani. Selesai dilayani, Andi berbaring di ranjang sambil memejamkan mata. "Iya, aku ngantuk. Kamu masak makan malam aja dulu. Kalau udah mateng semua, bangunin." Febby menghela napas panjang, turun dari ranjang lalu memakai pakaian satu per satu. Matanya melirik Andi yang terlelap, padahal baru saja kepala suaminya itu bersandar ke atas bantal. Tidak ada ucapan terima kasih. I love you. Atau gombalan yang keluar dari mulut Andi, membuat Febby merasa tidak dicintai sama sekali. "Mandi dulu dong Mas, masa langsung tidur." "Hem," sahut Andi datar. Selesai memakai pakaian, Febby melangkah mendekati pintu lalu keluar. Sedangkan Andi sudah jauh mengarungi mimpi. Langkah kaki Febby dihentikan oleh ibu mertua di ambang pintu dapur. Wanita paruh baya itu menatap wajah menantunya yang lesu sambil mengerutkan kening. "Kamu kenapa, Feb?" "Ngga apa-apa Bu," jawab Febby, pelan, melanjutkan langkah kakinya mendekati kulkas. Ratih mengikuti Febby ke dapur, membantu menantunya menyiapkan bahan makanan. Sejak kemarin wanita paruh baya itu menginap di rumah kontrakan dua kamar tersebut. Satu bangunan rumah yang baru dua bulan ditempati itu berada di komplek perumahan Melati. Rencananya Andi ingin mencicil rumah yang mereka tempati sekarang agar tidak bayar kontrakan lagi. "Suami kamu mana, Feb?" tanya Ratih. "Mas Andi tidur Bu. Katanya capek," jawab Febby seraya mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas dua pintu. Beberapa jenis sayur dan ikan segar dia letakan di dekat wastafel untuk dibersihkan. "Kamu udah konsultasi lagi ke Dokter Kandungan?" tanya Ratih pada menantunya. "Udah Bu, katanya aku sama Mas Andi harus sering minum vitamin biar subur. Aku udah dikasih resep vitamin itu. Semoga aja ada kabar baik bulan depan." "Amin," ucap Ratih. "Selain berkonsultasi ke Dokter, kamu juga harus pergi ke Dukun beranak. Atau ke mana kek. Biar kamu cepet isi." "Udah Bu, tapi emang dasarnya belum dikasih aja. Kalau memang belum rejekinya, ya mau gimana lagi." "Kalau gitu, coba kamu konsultasi ke Dokter lain. Misalnya ke Dokter Dirga. Dia sepupunya Andi. Siapa tahu dia bisa bantu kalian. Kasih saran apa untuk membantu mempercepat kehamilan kamu." Febby terdiam. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka gonta-ganti dokter, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Beberapa dokter juga menyarankan untuk memeriksa kesuburan satu sama lain, namun Andi selalu menolak dan mengatakan kalau dia sehat. Sementara, selama berhubungan Febby tidak pernah merasa puas. Bahkan durasinya hanya sebentar, tidak sampai tiga menit langsung crott. "Lebih baik kamu coba dulu saran Ibu," ucap Ratih yang selalu mendesak Febby agar cepat hamil. Andai kehamilan bisa dibeli, Febby akan membelinya agar bisa secepatnya memberi gelar ayah pada sang suami. "Kalau kamu ragu, mending komunikasikan dulu sama Andi. Biar kalian lebih yakin. Ibu sih percaya sama Dokter Dirga. Banyak kok pasien dia yang berhasil hamil." Febby menghela napas panjang. "Nanti aku coba bicarakan sama Mas Andi. Kalau dia mau, besok aku dan Mas Andi ke tempat praktek Dokter itu." Ratih tersenyum, "Nanti alamatnya Ibu kasih ke kamu. Kamu dan Andi langsung ke sana aja. Nanti Ibu bikin janji biar kalian ngga antri." "Iya Bu, makasih." Saat sedang berbincang, Andi datang mendekati kedua wanita di dapur. Pria yang memiliki tinggi 170cm itu duduk di depan meja makan dengan lesu. "Bikinin aku kopi," katanya memerintah Febby. "Tunggu sebentar Mas. Aku lagi masak." "Ck! Aku maunya sekarang!" Andi mengeraskan suaranya, membuat Febby terhenyak kaget. Ratih dan Febby saling tatap, Ibu mertuanya itu memutar bola mata meminta Febby menurut saja. "Biasa aja dong Mas, jangan marah begitu," sahut Febby kesal. "Kamu ini. Suami minta kopi malah nanti-nanti. Utamakan melayani suami dulu, baru yang lain! Gimana sih!" cecar Andi memarahi Febby. Ratih hanya diam, tak membela menantunya ataupun menasehati Andi. Baginya pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi. Dia pun mengalami di rumah. "Sabar Mas." Terpaksa Febby menunda masakannya dan membuat kopi untuk Andi yang sudah tidak sabar. Dengan perasaan kesal, Febby meletakkan kopi hitam pesanan suaminya ke atas meja. "Mau apa lagi Mas? Sekalian aja, aku mau masak." Andi melotot, menatap istrinya seperti ingin menelan hidup-hidup. "Kamu ngga iklhas?" "Bukan ngga ikhlas Mas, aku kan cuma nanya sama kamu. Kamu mau apa lagi? Biar aku ambilin sekalian." "Ngga ada, aku cuma mau kopi." "Ya udah," sahut Febby pelan. Ia kembali melanjutkan memasak makan malam, meski perasaannya kesal. Sikap dingin Andi sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Tanpa alasan yang jelas, Andi tiba-tiba jadi kasar dan bahasanya tidak pernah lembut seperti dulu. Febby curiga suaminya memiliki wanita idaman lain di luar sana, namun ia tidak pernah mendapatkan bukti apapun perselingkuhan itu. Suasana hening. Di ruang dapur yang tidak luas itu hanya terdengar suara dentingan sendok dan panci. "Mumpung ada Andi di sini. Ibu ngomong aja langsung sama kalian berdua." Ratih membuka pembicaraan di ruang sunyi itu. Andi mendongak, "Ngomong apa Bu?" tanyanya datar. "Ibu mau ngasih saran, gimana kalau kamu dan Febby konsultasi aja ke Dokter Dirga. Sepupu kamu itu. Dia kan Dokter kandungan terkenal. Kebetulan dia buka praktek di Jakarta. Kalian bisa ke sana. Kalau kamu mau, nanti Ibu bikin janji sama dia. Biar kalian ngga antri panjang. Maklum, pasien dia kan banyak." Andi manggut-manggut. "Oke, aku setuju. Aku dan Febby akan ke sana." Ratih tersenyum. Ia tatap menantunya yang tengah sibuk mengaduk sayur di dalam panci. "Kamu dengar kan. Suami kamu setuju. Kamu juga setuju kan?" tanya Ratih pada menantunya itu. "Iya Bu, aku setuju," jawab Febby.Fiu! Fiu! Fiu!Suara siulan terdengar dari dapur. Di jam setengah tujuh malam, suara asing itu mengundang rasa ingin tahu Anggun.Sengaja dia pulang lebih awal agar suaminya tidak marah, tetapi saat masuk ke dalam kamar, laki-laki tampan itu tidak ada di sana.Berkeliling rumah, Anggun menghentikan langkah kaki di pintu dapur bersih. Ia melihat suaminya sedang bersiul sambil memasak sesuatu di atas kompor.Mengambil langkah perlahan, Anggun mendekati meja makan dan duduk. "Kayaknya kamu lagi happy hari ini Mas," senyumnya sambil mengambil piring.Beberapa lauk-pauk sudah tersedia di atas meja, namun Dirga justru memilih masak mie. Semua itu karena baru saja dia melihat postingan Andi, makan mie buatan Febby."Banyak pasien unik hari ini," jawab Dirga datar, menghentikan siulannya.Anggun manggut-manggut. "Kamu masak apa Mas? Kok ngga makan ini aja?"Dirga melirik sesaat, kembali fokus pada mie instan di dalam pa
Baru saja tiba di rumah, Andi sudah disambut pemandangan indah istrinya yang hanya mengenakan daster pendek tanpa lengan.Kulit putih mulus, tubuh sintal yang biasanya langsung bisa dinikmati, kini harus dia abaikan demi melancarkan program kehamilan.Andi melangkah mendekati pintu rumah, tempat istrinya berdiri sambil tersenyum hangat.Melihat suaminya datang, Febby langsung mengambil tas tenteng dari tangan Andi."Aku ngga sempat masak, Mas. Tadi aku pulang sore banget. Kamu mau aku pesenin makanan online ngga? Atau masak nasi goreng aja?" tanyanya menatap wajah lesu sang suami."Masak mie aja. Udah lama aku ngga makan mie," jawab Andi sambil mengendur kancing kemeja, melangkah mendekati sofa dan duduk."Yakin mau makan mie aja? Ngga mau pesen makanan di restoran gitu?""Mahal, kita harus hemat. Masih banyak keperluan penting yang harus dipikirkan selain mengisi perut," sahut Andi dengan nada dingin. Padahal baru saja
Berbeda dengan istrinya yang baru saja menikmati dosa terindah. Di tempat lain, Andi lagi-lagi, harus menerima cacian dan makian dari atasan karena kesalahan sepele ... baginya."Lain kali salin dulu semua dokumen penting di komputer kantor. Jangan asal pulang aja. Pikiran kamu cuma rumah aja. Ngga profesional banget sih! Kamu udah berapa lama sih kerja di sini. Kayak anak baru aja. Beri contoh yang bener untuk karyawan lain!"Andi hanya menundukkan kepala pasrah saat dimaki oleh bos di kantornya. Kesalahan yang baginya tidak terlalu fatal, tetapi selalu saja menjadi alasan untuk memarahinya di depan para karyawan lain.Wajahnya sudah tebal seperti kulit Badak. Biasa baginya terkena marah, apalagi di depan teman kerja."Bukan cuma kamu, tapi semua karyawan di kantor ini. Kalau mereka melakukan kesalahan, pasti saya akan marahi! Kalian itu kalau bekerja harus teliti."Andi menghela napas panjang sambil melirik ke kiri dan kanan. Semua karyawan terlihat sedang berbisik, sudah pasti yang
Mengikuti permintaan suami dan Ibu mertua, Febby menjalani program kehamilan, namun dengan cara dibuahi oleh dokternya sendiri.Seandainya Andi tahu, kemungkinan laki-laki yang tidak terlalu tampan itu, akan membakar tempat praktek Dirga sampai rata dengan tanah.Meskipun terkesan cuek dan dingin pada istrinya, tetapi Andi sangat takut kehilangan Febby sebagai aset satu-satunya dalam hidup."Boleh minta nomor ponselmu?" Dirga dan Febby masih berada di atas ranjang. Saling memberikan kehangatan satu sama lain di ruangan dingin itu.Keduanya berada di bawah selimut tipis, masih polos tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh."Kalau Mas Andi ngga ngijinin, aku ngga bisa ngasih nomor hape aku sama siapa-siapa." Jemari lentik Febby, terlihat sibuk menarik bulu-bulu halus di atas dada Dirga."Andi melarangmu memberikan nomor ponsel padaku?" tanya Dirga, mengangkat satu alis tebalnya.Febby mengangguk pelan. "Bahkan sama teman aku sendiri. Yang tahu nomor hape aku cuma Ibu sama Bapak di kampu
Untuk pertama kali seumur hidup, Febby merasakan nikmatnya sentuhan laki-laki.Dirga sangat pandai memberikan itu, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Andi. Setiap sentuhan nakal Dirga, itulah yang diinginkan oleh Febby sejak lama."Ah!"Febby mengigit jarinya saat sentuhan Dirga sampai ke buah da da yang menjulang tinggi seperti Gunung Kembar.Dirga tersenyum, sadar wanitanya sudah terlena dalam sentuhan nakal bibirnya. Diam-diam, sang Dokter memperhatikan Febby yang menikmati kecupannya.Satu tangan mulai melepas satu per satu kancing kemeja. Tangan lain, sibuk menjelajahi tubuh sintal cinta pertamanya itu."Mas!" Tubuh Febby menggeliat. Ingin menolak, tetapi sesuatu di dalam sana menginginkan lebih."Aku akan memberikan sesuatu yang tidak pernah diberikan suamimu." Dirga turun dari ranjang, membu-ka pak-aian dan celan-anya.Setelah tub-uhnya polos seperti bayi baru lahir. Dirga kembali naik ke atas ranja-ng.Febby tersenyum manja, melihat Sosis Jumbo Dirga sudah berdiri tegak, s
Berada di dalam ruangan bercahaya temaram bersama laki-laki setampan Dirga, membuat tubuh Febby kaku seperti patung manekin, sulit digerakkan. Belum lagi, Dirga berada di depannya dengan jarak sangat dekat. Hembusan napas hangat sang dokter terasa menyapu bulu-bulu halus yang meremang di tubuh sintal Febby. Bisikan lembut Dirga, membuat degup jantung Febby berdetak tak karuan. Desir darah mengalir deras, memberikan efek panas pada tubuhnya. "Aku akan merahasiakan semuanya dari Andi. Aku pastikan kamu akan mengandung buah cinta kita," bisik Dirga, seolah kewarasannya hilang karena cinta terlarangnya itu. Febby menggeleng tegas, menolak ajakan gila mantan kakak kelasnya. Mana mungkin dia mengandung anak dari laki-laki lain, sedangkan dia masih menjadi istri orang. "Andi menginginkan anak, bukan?" Dirga mengingatkan Febby. Satu tangannya memegang dagu, mengangkat wajah sendu wanita cantik itu. "Apa kamu lupa, kalau suamimu menginginkan anak?" Mata Febby yang terpejam, perlahan terb