Paginya, Febby dan Andi sedang bersiap-siap mengunjungi praktek Dokter yang direkomendasikan oleh Ratih.
Wanita paruh baya itu pulang ke rumahnya di daerah Bogor pagi-pagi sekali. Sebelum pulang, Ratih sudah memberitahu Dirga kalau Andi dan Febby ingin ke sana. "Kalau Dokter nyaranin kita periksa kesehatan alat reproduksi lagi, gimana Mas? Apa kali ini kamu mau?" tanya Febby pada suaminya yang tengah memakai sepatu. Andi melirik sinis. "Kamu kan udah beberapa kali periksa dan kamu sehat kan? Ya udah, berarti ngga usah periksa lagi. Jelas-jelas aku dan kamu sehat. Cuma belum aja kita dikasih anak." Febby mengangguk pelan, "Iya Mas." Tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya setelah mendengar jawaban ketus dari sang suami. Keduanya berjalan keluar rumah yang langsung tertuju pada garasi. Mereka naik ke mobil Avanza milik perusahaan tempat Andi bekerja. Mobil dinas yang berhasil Andi dapatkan setelah lima tahun bekerja di sana. "Sampai sana, ngga usah ngomong macem-macem sama Dokter. Kamu tinggal konsultasi aja, udah," ujar Andi mengingatkan. Ia memasang sabuk pengaman di pinggang lalu melajukan mobil keluar dari garasi tanpa pagar rumahnya. Febby hanya diam, memandang keluar jendela mobil sambil menghela napas panjang. Malas berdebat dengan suaminya yang hanya mau menang sendiri. Suaminya pun tidak pernah mendengar keluh kesah Febby selama dua tahun mereka menikah. Mereka menikah bukan karena paksaan, tapi karena saling cinta. Namun, seiring berjalannya waktu sikap Andi pada Febby makin berubah dingin dan menyebalkan. Di tengah perjalanan, mobil yang mereka tumpangi terkena macet parah. Kendaraan di depan tidak bergerak sama sekali, membuat Andi kesal. "Macet Mas, ngga ada jalan lain?" tanya Febby pada suaminya yang emosi. "Kamu mau jalan kaki? Udah tahu mobil kita ada di tengah-tengah. Mana bisa aku cari jalan lain," jawab Andi ketus. Febby menghela napas panjang, berat. Malas bicara lagi, yang hanya membuat Andi kesal. Dia memilih diam. Satu tangannya membuka kaca spion agar udara masuk, karena AC mobil itu mati. Andi tidak pernah berinisiatif memperbaiki AC mobil itu dengan alasan semuanya urusan kantor. "Ck!" Andi berdecak kesal, memandangi jalanan macet yang tak berkesudahan. "Jam berapa ini. Kalau tahu begini, lebih baik aku kerja. Kenapa Ibu ngga buat janji temu hari libur saja." Febby melirik suaminya, malas menyahut. Yang ada suaminya makin marah. Apapun yang dia lakukan selalu salah di mata Andi. "Coba kamu pesan ojek. Kamu naik ojek aja. Kamu pergi duluan. Biar aku nyusul kalau jalanan udah ngga macet," ucap Andi mencari jalan tengah. Febby menganggukkan kepala. Ia keluarkan ponsel lalu menghubungi ojek online. Matanya mengamati jalanan saat ini yang tak jauh dari lampu merah. Setelah mengirim alamat, Febby menunggu ojek datang. "Udah?" tanya Andi ketus. "Udah Mas. Nanti juga datang." "Ya udah, tunggu aja." "Tapi nanti kamu nyusul kan Mas?" "Iya." Tak berapa lama ojek yang dipesan datang. Febby melepas sabuk pengaman di pinggangnya lalu berpamitan pada Andi. "Aku ke sana duluan ya Mas," ucapnya mencium punggung tangan sang suami. "Hem, tunggu aku di sana." "Iya," angguk Febby, menarik sudut bibirnya, memaksa diri untuk tersenyum. Meski dalam hati masih merasa sakit hati pada sikap Andi tadi. "Ingat ya, jangan ngomong macem-macem. Kamu hanya perlu berkonsultasi tentang kehamilan aja." "Iya Mas," angguk Febby lalu turun dari mobil. Tukang ojek yang berhenti di samping mobil avanza hitam itu memberikan helem pada Febby. "Antar ke mana, Bu?" tanya tukang ojek. "Sesuai aplikasi aja Bang. Cepet ya, soalnya saya udah ditunggu sama Dokternya." "Baik Bu." Motor melaju dengan mudah melewati jalanan sempit di tengah-tengah mobil yang terkena macet. Tukang ojek itu tampak sangat mahir menggunakan kuda besi itu. Motor meliuk-liuk dengan lincah hingga akhirnya mereka keluar dari jalanan macet. Tempat praktek yang dituju Febby berapa cukup jauh dari jalanan tadi. Bangunan yang dulunya kosong, dibeli oleh Dirga yang tak lain sepupu suaminya. "Mau periksa kandungan ke Dokter Dirga ya Bu?" tanya tukang ojek berbasa-basi. "Iya Bang, katanya Dokter itu bagus. Saya direkomendasiin sama mertua." "Iya sih, saya denger dari tetangga. Dokter itu bagus. Obatnya manjur. Tetangga saya udah lima belas tahun ngga punya anak, akhirnya bisa hamil setelah tiga bulan menjalani pengobatan di Dokter Dirga. Bagus sih. Obatnya manjur." Febby tersenyum, secercah harapan mulai terlihat. Akhirnya dia bisa memberikan cucu yang diidamkan oleh orang tuanya dan orang tua Andi. Febby anak satu-satunya dan harapan satu-satunya untuk memberikan keturunan, penerus di keluarga. Meskipun keluarga dia bukan keluarga kaya raya, tetapi orang tuanya akan mewariskan beberapa hektar tanah di kampung dan sawah, juga kontrakan. Sedangkan Andi, orang tuanya masih memiliki satu anak perempuan, namun belum menikah. Orang tua Andi juga sangat mengharapkan cucu dari anak laki-laki satu-satunya itu. Apalagi calon cucu mereka akan menjadi pewaris tanah dan kontrakan dari keluarga Febby. "Di sini aja Bang, ini kan tempatnya?" Febby menunjuk ruko yang dijadikan tempat praktek Dokter Dirga. "Iya Bu, ini tempatnya. Kayaknya rame deh." "Ngga apa-apa. Mertua saya udah bikin janji." Febby turun dari motor, memberikan helem pada tukang ojek dan berjalan ke tempat praktek Dokter Dirga Dilihat dari luar, suasana tempat praktek itu terlihat ramai. Banyak pasangan muda maupun berumur sedang duduk di kursi tunggu. Febby melangkah perlahan, masuk ke dalam tempat praktek lalu bertanya pada resepsionis di depan ruang praktek. "Saya Febby, istri Pak Andi. Ibu mertua saya udah bikin janji sama Dokter Dirga. Apa saya boleh masuk ke ruangan sekarang?" tanya Febby sambil memberikan bukti kalau dia sudah membuat janji temu dengan Dokter. "Oh, Bu Febby ya? Anda sudah ditunggu di ruangan Dokter Dirga. Masuk aja sekarang." Febby tersenyum, "Makasih." Ia melangkah mendekati ruangan lalu membuka pintu. Kepalanya masuk lebih dulu, melihat kiri dan kanan. "Silakan masuk," ucap seorang laki-laki berpakaian Dokter yang memunggunginya.Dring! Suara ponsel memecah keheningan kamar, sekaligus mengusik kemesraan dua insan yang tengah dimabuk asmara. Benda pipih hitam yang teronggok di atas meja samping tempat tidur itu berdering. Dari layar yang menyala terlihat jelas satu nama memanggil__Bella. "Hape kamu bunyi, Mas," ucap Febby pada Dirga yang baru saja ingin mencium bibirnya. Ia memalingkan wajah ke arah meja. Menghela napas panjang, Dirga menegakkan posisi duduk, melihat ke arah layar ponsel. "Katanya kamu ganti kartu, kok masih ada yang tahu nomor hape kamu?" tanya Febby menelisik. "Telepon dari Bella, dia tahu nomor hape aku," jawab Dirga meraih ponsel dan menerima telepon dari sang sahabat sesama Mantan Dokter Kandungan. "Ga, kamu ada di mana?" tanya Bella setelah Dirga menerima telepon darinya. "Aku ada di rumah," jawab Dirga seraya menatap Febby lekat. "Oh syukurlah."
Kedatangan Anugrah ke Klinik Kecantikan Anggun, membuat Janda satu anak itu kaget. Apalagi ayahnya datang bersama putri semata wayang_Lilian. Permintaan yang lolos dari bibir mungil cucunya, menyulut emosi Anugrah yang sampai saat ini sangat membenci Dirga. "Kalau ngomong pelan-pelan dong, Pa. Kasihan Lilian." Anggun memeluk anaknya erat, mengusap pucuk kepala gadis kecil itu lembut. Tangisan Lilian pecah di pelukan sang ibu. Bukannya meminta maaf, atau menunjukkan penyesalan, Anugrah justru menarik lengan cucunya dengan kasar. "Kamu dan Mami kamu sama saja. Kenapa sih kalian ngga bisa move-on dari laki-laki bernama Dirga itu? Memang kamu pikir dengan kamu datang ke sini, kamu bisa bertemu mantan Papi tirimu itu?" Karena ketakutan, Lilian mengeratkan pelukannya di tubuh Anggun. Ia membenamkan wajah dan menangis pilu. Anggun menghela napas panjang, menatap ayahnya lirih, "Udah dong Pa, jangan ma
Tiba di Jakarta pada siang hari. Febby didampingi Pengacara Gunawan, beserta kedua orang tuanya dan calon mertua. Siap memberikan kesaksian pada Polisi tentang kasus yang menyeret nama Dirga Dewanto. Setelah dipersilahkan masuk, Febby melangkah seorang diri ke ruang interogasi. Sementara pendampingnya menunggu di luar. Duduk di depan Komandan Kepolisian bernama Bramanto Wiyana yang didampingi anggota Polisi lain, Febby mulai memberi pengakuan tentang hubungan terlarangnya dengan Dirga Dewanto. Beberapa pertanyaan dijawab satu per satu oleh Janda Muda itu dengan lancar. Hingga pertanyaan selanjutnya mengarah ke hal pribadi. "Apa benar Anda selingkuh dengan Dokter Kandungan Anda sendiri dan melakukan hubungan itu hingga Anda mengandung?" tanya anggota Polisi yang duduk di depan mesin tik sambil menatap ke arah Febby. "Anda dengan kesadaran penuh melakukan hubungan terlarang itu?" Febby mengangguk pelan, "Iya, s
Polisi berhasil menemukan posisi Andi di Bandung, tim mereka meringkus Duda itu yang tengah berada di dalam mobil bersama seorang wanita muda. Salah satu Polisi yang mengamankan Andi bertanya dengan nada dingin, "Siapa wanita itu?" Tangannya menggenggam erat lengan Andi yang disilang ke belakang. "Apa perlu kita bawa wanita itu juga, Dan?" tanya anggota Polisi lain. Andi menggeleng cepat, "Jangan Pak, dia bukan siapa-siapa saya. Dia cuma teman yang mau nganter saya ke rumah mantan istri saya. Dia ngga ada hubungannya sama semua ini." Dua anggota Polisi saling tatap dan mengangguk paham. Tidak mungkin mereka membawa orang asing tanpa surat ijin. "Bawa dia ke mobil!" titah Komandan Kepolisian. "Siap, Dan!" Anggota Polisi tersebut membawa Andi ke mobil, mendudukkannya di kursi belakang. Dua mobil Polisi melaju meninggalkan minimarket yang dipenuhi para warga. Mereka tampak menikmati
Masih di Bandung, Sisca baru saja selesai berdandan. Sengaja dia berlama-lama agar memiliki alasan untuk tidak mengirim foto Febby pada Andi."Buat apa foto Teh Febby? Pasti mau diupload terus dibikin caption sedih. Iih, jijik banget. Udah cerai atuh udah berakhir, ngapain ditangisin lagi," gerutu Sisca sambil berjalan keluar dari rumah.Untung saja di rumah itu dia hanya sendiri, sang ayah baru saja pergi mengantar neneknya ke rumah sakit untuk menjalani kontrol bulanan. Sedangkan ibunya sibuk berbelanja bahan dagang."Sebentar lagi ketemu sama Aa," senyum Sisca, tak sabar ingin secepatnya melakukan kopi darat dengan Andi. Setelah hampir dua bulan mereka menjalin hubungan lewat dunia maya.Seperti janji sebelumnya, Sisca menunggu Andi di depan minimarket yang tak jauh dari jalan Suka Tani. Ia mengeluarkan ponsel dari tas, menghubungi duda tanpa anak itu."Halo A, aku udah ada di depan minimarket Melodi. Aa ada di mana?" tanya Sisca celin
Saat berada di dapur, kedua calon mertua Febby datang. Mereka saling berkenalan sebelum kembali menyambung pembicaraan serius tentang rencana ke Jakarta pagi ini. "Jadi keputusannya gimana, Pa? Kita jadi ke Jakarta?" tanya Dirga setelah mendengar kabar baik dari ayahnya. "Kita tetap ke Jakarta, Febby harus memberi keterangan lanjutan agar proses hukum yang dilaporkan Andi tidak ditindaklanjuti," jawab Dewanto tegas. Fandi mengangguk setuju dengan ucapan besannya. "Sebelum ke Jakarta, kita sarapan dulu Pak Dewanto." Ia menarik kursi, mempersilahkan calon besannya untuk duduk. Ratna, Dewanto dan Dirga duduk di seberang meja, berhadapan dengan Febby, Inneke dan Fandi. Di atas meja makan sudah tersedia berbagai makanan berat dan ringan, buatan Inneke dan Kesayangan sang Duda. Ratna terkagum melihat hidangan di atas meja, pandang matanya langsung beralih pada Febb