LOGIN"Aku pakai baju ini cocok ngga Mas?" Febby menunjukkan pakaiannya pada Andi yang tengah menyisir rambut klimisnya dan merapikan kumis tipis di bawah hidung.
Pria yang wajahnya lumayan tampan kalau tersenyum itu menatap istrinya dari atas sampai bawah. Saat ini Febby menggunakan blouse lengan panjang putih transparan dengan rok hitam panjang. Rambutnya yang panjang dan sehat, digulung seperti konde ditambah riasan tipis dan lipstik ombre yang tidak terlalu menor. Harus diakui, wajah Febby tanpa make-up saja sudah cantik jelita. Mau pakai baju apapun Febby tetap cantik dan itu tidak berubah meski sudah dua tahun dia menikah dengan Andi. Alasan itu yang membuat Andi mengejarnya dulu, bahkan rela bersaing dengan banyak pria. Beruntung, dialah pemenang hati Febby yang berhasil mendapatkan perawan wanita muda itu. Usia mereka terpaut cukup jauh, namun Febby dengan tulus menerima Andi, meski suaminya itu dari keluarga biasa saja. Pekerjaan Andi pun tidak berubah sejak dulu, hanya karyawan swasta. "Mas, jawab dong. Aku pantas ngga pakai baju ini?" ulang Febby, bertanya pada suaminya yang justru hanya memandang tanpa berkedip sangking terpesonanya. "Kamu cantik pakai baju apa aja. Ngga pakai baju lebih cantik," canda Andi tanpa senyuman dan tawa. Namun sukses membuat Febby tersipu malu. "Bisa aja kamu Mas," ucapnya mengulum senyum. "Jadi pakai ini aja kan? Apa ngga keliatan seksi? Bajunya transparan." Andi menggeleng. "Badan kamu bagus, untuk apa malu pakai baju seksi? Kalau badan kamu burik, baru malu." "Ya, ngga gitu juga Mas. Aku takut kamu marah kalau aku pakai baju seksi." "Ngga," sahut Andi, cuek. Dia kembali melanjutkan kegiatan merapikan kumis dan jenggot tipis. Sementara, Febby bersiap-siap memakai sepatu high heels pemberian mertuanya dua tahun lalu. Karena jarang keluar rumah dan diajak ke pesta, semua baju dan sepatunya awet tersimpan di dalam lemari. Entah kenapa, malam ini dia ingin berpenampilan cetar membahana. Biasanya, meskipun dia datang ke pesta pernikahan saudara Andi, dia hanya memakai baju batik couple dengan suaminya. "Yuk Mas, aku udah siap," ajak Febby melangkah mendekati suaminya yang masih sibuk dengan kumis tipis. "Kamu duluan aja ke mobil, aku mau buang air besar dulu." Febby mengerutkan kening. "Bukannya dari tadi Mas." "Baru terasa mau berak. Tadi cuma sakit perut. Masa aku berak di rumah Dirga, ngga lucu." "Ya udah kamu buang air dulu. Aku tunggu di mobil." "Jangan lupa bawa bingkisan titipan Ibu." Andi menunjuk kotak cukup besar yang ada di atas meja. Kotak berisi makanan khas Surabaya, tanah kelahiran Andi yang dikirim oleh Ratih tadi siang. "Aku nunggu di mobil," ucap Febby setelah mengambil kotak tersebut. Ia melangkah keluar dari kamar. Sedangkan Andi, masuk ke kamar mandi. Baru masuk ke mobil, Febby sudah ditelepon oleh ibu mertuanya. "Aku dan Mas Andi udah mau ke rumah Dokter Dirga Bu. Baru aja mau pergi." "Oh, ya udah. Ibu cuma mau nanya itu. Bagus kalau kalian udah mau ke sana. Hati hati ya. Jangan lupa sampaikan salam Ibu untuk dia dan istrinya." "Iya Bu. Nanti aku sampaikan." Keduanya mengakhiri telepon. Di dalam mobil suaminya, Febby menatap wajahnya di cermin sambil tersenyum, menatap kagum pada kecantikannya. "Masa sih aku jauh lebih cantik daripada istrinya Mas Dirga," gumam Febby, tak sabar bertemu dengan istri mantan kakak kelasnya itu. Tidak sampai sepuluh menit, Andi datang dan masuk ke mobil. Pria dingin itu duduk di kursi kemudi. "Ngga ada yang ketinggalan?" tanya Andi celingak celinguk memastikan tidak ada yang terlupa. "Ngga ada Mas, semuanya udah aku bawa," jawab Febby yakin. "Oh iya, tadi Ibu nelpon aku." "Dia bilang apa?" "Katanya jangan lupa titip salam buat Dokter Dirga dan istrinya." "Oh, kirain apa." Andi menghidupkan mesin, melajukan mobilnya meninggalkan rumah. Sepanjang jalan keduanya hanya diam, Andi fokus pada pandangan di depan. Sedangkan Febby sibuk memastikan dandanannya sudah sempurna. Tidak sampai satu jam, mereka tiba di rumah mewah Dokter Dirga. Andi menghentikan mobil di depan pintu pagar hitam yang menjulang tinggi itu. Memastikan dia tidak salah alamat. "Ini benaran rumah Dokter Dirga, Mas?" tanya Febby mengagumi arsitektur rumah bergaya Eropa Modern dengan cat hitam putih itu. "Iya, ini rumahnya. Alamatnya sama seperti yang diberikan Ibu. Rumah cat hitam putih. Nomor dua puluh dua. Paling sudut," jawab Andi mengeja alamat yang dikirim ibunya. Febby menganggukkan kepala. "Berarti benar ini rumahnya. Besar ya Mas. Bagus, dan mewah." Andi menghela napas berat. Lagi-lagi dia kalah saing dengan saudara sepupunya. Bahkan teman-temannya dulu. Salah satu alasan dia malas menghadiri reoni sekolah, karena dia tidak memiliki apapun untuk dibanggakan kecuali istrinya. Anak, dia tidak punya! "Turun," ucap Andi membuka sabuk pengaman di pinggang. Febby melepas sendiri sabuk pengamannya. Berharap Andi yang melepas? Sampai pagi pun tidak akan pernah terjadi. Keduanya turun berbarengan dari mobil, membiarkan mobil terparkir di luar pagar. Andi meraba pagar hitam itu, mencari lubang kecil yang biasanya ada di sana. "Cari siapa?" tanya seorang satpam yang mengeluarkan kepalanya dari lubang pagar. "Cari Dokter Dirga. Kami diundang makan malam sama beliau," jawab Febby ramah. "Saya Andi, sepupu Dirga," sambung Andi. "Oh, tunggu sebentar," angguk satpam itu lalu membuka pintu pagar. "Siapa Pak?" tanya seseorang yang berdiri di ambang pintu rumah mewah itu. "Katanya tamunya Bapak, Bu. Sepupu sama istri Pak Dirga," jawab satpam. "Oh, Mas Andi ya? Sama Febby?" Seorang wanita berjalan masuk ke rumah, memanggil suaminya. "Mas, tamu kamu udah datang tuh." Dirga yang tengah berdiri di depan lemari kaca dekat ruang tamu, merapikan kemeja putihnya sambil tersenyum simpul melihat pantulan dirinnya di cermin. 'Selamat datang di rumahku. Febby.'Dari samping mereka, jarak sepuluh meter, Barta memandang dengan wajah cemas. Takut Andi mengacaukan semuanya. Bisa mati mereka semua.Sekian menit diam, Andi mengatakan, "Iya Mas, aku lagi nggak enak badan, tapi nggak apa-apa kok. Meskipun tenggorokan aku sakit, tapi bagian itu aku nggak sakit."Mendengar suara Andi yang dibuat-buat seperti wanita, Adrian dan Barta tersenyum kagum. Bagus!Adrian menunjukkan jari jempol pada Andi."Ayo Mas, kita cari tempat sepi," ajak Andi, merangkul lengan pria gendut itu. "Ayoo, gass Sayang." Pria itu bersemangat, melangkah berbarengan bersama Andi ke tempat yang sepi. Sementara Adrian masih berada di tempatnya sambil celingak-celinguk mencari pintu ruang bawah tanah."Cantik! Ayo, kenapa kamu diam saja di sana?" seru anak buah Marco yang tadi memilih Adrian. "Eh, iya, Mas. Maaf ya." Adrian pun kembali ke mangsanya yang sudah menunggu.Tepat di sampingny
Andi menelan ludah keras. Wajahnya terlihat panik saat pria gendut di depannya semakin mendekat. Sambil mengusap perut buncit, pria itu menatap Andi terus menerus. "Sayang, ayo puasin Mas. Mas udah nggak sabar pengen digoyang sama kamu. Masukin punya Mas ke punya kamu." Andi bergidik ngeri saat mendengar kata-kata tidak pantas yang keluar dari mulut si gendut. Apalagi tatapan mesum itu, membuatnya mual. Ia mengusap bulu-bulu halus di tubuhnya yang meremang. Rasanya seperti didekati Genderuwo penghuni pohon besar. Andai ia wanita sungguhan, ia merasa sudah ditelanjangi di depan umum. Ingin rasanya menendang senjata milik pria gendut itu. Paling ukurannya hanya sebesar minyak angin, pikirnya. Membayangkan saja rasanya ingin muntah. "Kenapa diam Sayang? Kamu takut ya sama Mas?" goda si gendut. Andi mendelik jijik, ingin rasanya mencabik dan mengeluarkan isi perut pria itu menggunak
Sebelumnya~"Kalian sudah siap?" Adrian berdiri di depan enam orang wanita berpenampilan seksi.Dua di antaranya wanita setengah jadi, tetapi wajah mereka tak kalah cantik dari wanita asli. Polesan make-up berhasil membuat wajah mereka terlihat seperti wanita sesungguhnya."Siap!" Ke-enam orang itu berseru dengan semangat.Mereka siap menjalankan missi berbahaya kali ini, dan yakin akan berhasil.Setelah memastikan penampilan mereka sempurna, Adrian meminta Sasa_wanita paling cantik di antara tiga lainnya untuk berjalan lebih dulu."Kamu harus benar-benar meyakinkan mereka," ucap Adrian pada wanita berkulit putih mulus itu. "Buat kedua laki-laki itu lengah."Adrian menunjuk dua orang pria bersenjata yang berdiri di depan gerbang markas.Dua pria itu terlihat fokus memperhatikan sekitar sambil memegang senjata panjang. Sasa menatap ke arah yang ditunjuk. "Siap Pak," angguknya, kemudian melangkah dengan
Di dalam ruangan sempit, pengap dan gelap ... Dirga duduk bersandar ke dinding dengan tubuh yang semakin melemah.Seluruh tenaganya terkuras habis setelah memindahkan Anggun ke sudut ruang di bawah tangga.Dengan napas terengah-engah, Dirga menatap wanita masa lalunya itu yang tak lagi bernyawa. "Aku membunuhnya." Ia menatap kedua tangan yang pucat. Masih tak percaya ia membunuh seseorang dengan tangannya sendiri.Menarik napas panjang, Dirga mencoba menerima kenyataan itu, bahwa ia adalah pembunuh.Saat ini yang ia harapkan hanya kebebasan, bertemu dengan keluarga, dan menyelamatkan anak pertamanya.Apapun akan dilakukan.Di ruangan gelap itu, tiba-tiba ponsel di tangannya menyala. Ia terhenyak, sempat berpikir yang menghubungi adalah Marco. Namun, keterkejutan itu sirna saat ia melihat satu pesan yang masuk dari Kepolisian. [Pak Dirga, kami sudah mengirim bantuan ke sana. Tolong jangan berpindah posisi. Sebentar lagi Dokter Barta dan Detektif Adrian akan menyelamatkan Anda]Memba
Andi dan timnya tiba di pintu masuk pelabuhan. Mobil Avanza hitamnya dihentikan oleh salah satu anggota Polisi bersenjata api. Pria berkumis tipis itu membuka kaca jendela dan berbicara dengan Polisi tersebut. Setelah berbicara panjang lebar, Andi dan keempat wanita bayaran itu turun dari mobil dan melangkah ke arah bangunan kosong yang berada tak jauh dari parkiran.Di sana, sepuluh anggota Polisi bersenjata api lengkap sedang mengawasi sekitar. Salah satu dari mereka mendekati Andi saat tim yang ditunggu itu datang. "Silakan masuk, Anda dan wanita-wanita ini sudah ditunggu di dalam." Polisi berpakaian preman itu membawa Andi, memasuki gedung yang sudah lama kosong.Dinding-dinding bangunan terlihat sangat suram. Cat-catnya mengelupas dan terlihat jamur menempel di lapisan dinding tersebut.Bau apek dan pengap, mengganggu indera penciuman mereka. Belum lagi, udara lembab dan lantai yang licin, membuat mereka kesulitan melangk
Nila menghela napas pasrah saat pria bertato menaikan roknya ke atas, dan melebarkan kedua kakinya."Mas, jangan kasar." Dengan tatapan memohon, Nila memelas."Sstttt, sudah basah Sayang," kekeh pria itu, menyentuh belahan di bawah sana menggunakan jari dan menariknya. "Wangi, kamu pintar merawatnya Sayang."Bulir bening mengalir, membasahi wajah Nila yang pucat pasi. 'Mas Andi, tolong .... 'Seakan Malaikat maut sudah menunggu di sampingnya, ia yakin akan mati malam ini. Mati di usia muda."Aku masukan ya." Pria itu mengarahkan tombaknya ke belahan di bawah sana.Namun belum sempat memasukan senjata besar berurat itu ke dalam terumbu karang milik Nila, tiba-tiba seorang wanita memanggil wanita itu.Kelima pria menoleh ke asal suara secara berbarengan."Nila! Lo di sini. Lo dipanggil sama Mami. Cepet ke sana! Mami lagi tantrum tuh, kayaknya dia kehilangan duit!" seru Sasa. Nila tersenyum lega. Buru-bur







