Fandi hanya diam, menatap menantunya dengan tatapan iba. Namun, siapa yang berani melawan Inneke dan menolak keputusan Ibu satu anak itu.
"Permasalahan sepele gimana? Pisah kamar karena jijik kamu bilang permasalahan sepele? Kalau Febby tiba-tiba muntah di kasur, terus Febby yang bersihin sendiri. Gitu? Sedangkan waktu kamu sakit, semuanya Febby yang ngurus. Bahkan waktu di rumah sakit, kamu 'pup di kasur, 'kan Febby yang bersihin. Dia ngga bilang jijik. Ibu aja sakit hati dengernya, apalagi Febby yang lagi hamil begini," cecar Inneke, emosi. Ia menaikan nada bicaranya satu oktaf."Bu," tegur Fandi."Diam dulu, Yah! Ibu mau ngomong sama Andi," sahut Inneke. "Kalau aja tadi kita ngga datang ke sini, apa yang terjadi sama Febby, Yah. Sedangkan Febby udah lama ngga menghubungi kita sejak dia ngambek, nangis minta cerai dari Andi. Awalnya iya Ibu percaya sama Andi. Mungkin bawaan bayi Febby jadi cengeng, tapi sekarang. Ternyata begini perlakuan Andi pada anak"Sisca! Mana susunya?" seru Febby dari dalam kamar mewah bernuansa pink-putih, lengkap dengan hiasan boneka Hello Kitty."Sabar Teh, ini lagi dibawa ke kamar," sahut Sisca berjalan cepat ke kamar sepupunya sambil membawa nampan dengan kedua tangan. Ia membuka pintu kamar lebar lalu melangkah masuk.Febby tersenyum simpul melihat Sisca membawa susu hangat pesanan. Ia berdiri dari ranjang, menghampiri Sisca dan membantu membawa nampan itu."Makasih ya," ucap Febby pada wanita yang memiliki usia lebih muda satu tahun darinya. "Udah cantik, baik, rajin. Sepupu aku emang best," puji wanita hamil itu pada satu-satunya sepupu kandung dari keluarga Inneke.Sisca, adalah anak dari adik Inneke yang menikah dengan pedagang gorengan di pinggir jalan. Adiknya juga hanya memiliki satu anak, yaitu Sisca."Sama-sama Teh, diminum dulu susunya." Sisca melangkah mendekati kursi di depan meja rias lalu duduk. "Teteh mau cemilan sekalian? Aku ambilin ya."
Crot!Kedua mata Monica melebar sempurna saat cairan kental menyembur ke wajah. "Pak, kok udah keluar? Baru juga saya mainin sebentar."Andi yang masih berada di awang-awang, meremas rambut Monica kencang sambil meraung. "Ugh! Monica! Ngeliat kamu pakai pakaian begitu aja udah bikin saya tera ngsang. Gimana kalau dimasukin."Monica mendengus kesal. "Belum juga dimasukin, Pak. Gimana dong? Udah munc rat aja." Ia melangkah cepat ke meja Andi, mengambil tissue dan mengusap wajahnya dengan kesal.Terkekeh pelan, Andi menaikan celana dan berjalan mendekati Monica. "Jangan marah Sayang. Kita ulang lagi ya. Tadi itu pemanasan aja. Yuk kita coba lagi."Melirik, Monica terlihat jengkel karena belum merasakan apapun. Meski dibayar, tetapi dia ingin juga merasakan sentuhan nakal Andi."Ayo, jangan marah. Nanti saya tambahin uang jajan buat kamu," bisik Andi."Ya udah, tapi janji yang kedua harus lama.""Iya," angguk Andi,
Setelah mendapat perintah dari Andi di dalam telepon tadi, Monica berdiri dari tempat duduknya yang berada di depan ruangan CEO abal-abal itu. Sebelum masuk ke sana, ia mengemasi meja kerja dan merapikan pakaian dari atas sampai ke rok span yang terdapat lipatan."Mau ke mana, Mon?" tanya salah satu karyawan, yang memang hanya satu-satunya di kantor itu.Monica yang tengah merapikan kancing kemeja, menegakkan kepala, melihat ke arah laki-laki itu, "Pak Andi nyuruh aku nunggu di ruangannya. Ada tugas tambahan katanya."Laki-laki bertubuh kurus dan kulitnya agak gelap itu manggut-manggut, "Tugas ehem-ehem ya?" candanya mengulum senyum. Ia tahu tugas apa saja yang harus dikerjakan oleh Monica, karena dia yang mencarikan calon sekretaris untuk Andi dengan beberapa syarat."Pokoknya gitu, lumayan buat tambahan," jawab Monica jujur. "Ngomong-ngomong kantor ini bergerak di bidang apa sih? Kok kayak ngga ada kejelasan di surat kontrak kerja. Apa jangan-ja
Sejak beberapa hari yang lalu, Andi mengurus diri sendiri di rumah. Masak, mencuci pakaian, merapikan rumah, yang biasanya dikerjakan Febby, kini menjadi pekerjaan tambahan setelah pulang bekerja.Mulai lelah menjalani semuanya seorang diri, Andi berpikir untuk secepatnya menjemput istrinya di Bandung. Toh kakinya sudah berangsur membaik.Saat ini di tengah perjalanan menuju kantor, Andi menyempatkan diri singgah di depan ruko yang dulunya menjadi tempat praktek Dirga.Menarik sudut bibir dengan tatapan sinis, Andi tertawa meremehkan. "Ruko ini dijual. Hubungi pemilik asli. Anggun." Ia mengeja tulisan di depan ruko tersebut. "Ternyata Dunia itu memang berputar. Dulu Dirga selalu dibanggakan. Sekarang dia hanya seorang pecundang yang ngga punya kerjaan. Emang enak."Puas menghina sepupunya, Andi kembali melajukan mobil menuju kantor di jam sembilan pagi.Karena dia adalah Bos di sana, dia menciptakan jam kerja sendiri agar bisa lebih santa
Sepanjang jalan menuju stasiun kereta, wajah Dirga terlihat murung, tak lagi bercahaya seperti kemarin. Duda Tampan itu menyanderkan kepala di kaca mobil dengan satu tangan bertumpu menahan pipi.Pandang matanya tertuju pada jalanan licin yang disirami rintik hujan. Sesekali helaan napas berat mengiringi detik demi detik waktu yang berputar.Jemarinya mengusap embun yang menghiasi jendela setiap kali hembusan napas keluar dari hidung.Rindu, tidak tega, perasaan itu menyelimuti hatinya saat ini. Belum sanggup melewati hari tanpa melihat senyuman wanita kesayangan.Kembali menghela napas panjang, Dirga melihat jam di lengan kekarnya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat.Perjalanan menuju stasiun terasa sangat panjang baginya. Perasaan bosan mulai menghantui diri, meski sejak tadi Fandi memutar musik khas Sunda untuk menemani mereka.Laki-laki berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku jas hitam yang dikenakan. Te
~~Paginya~~Bangun dari tidur dengan tubuh terasa lelah seperti habis berlari keliling lapangan, Febby beranjak turun dari ranjang. Pandang matanya tertuju pada jendela kamar yang tertutup rapat.Kejadian semalam seperti mimpi, namun saat melihat tubuhnya tak berbusana sama sekali, ia sadar kalau semua itu nyata.Sentuhan hangat dan lembut. Permainan panas dan kecupan basah semalam, benar-benar terjadi."Mas Dirga." Febby tersenyum, memeluk tubuh sambil membayangkan sentuhan nakal calon suaminya. "Aku akan merindukan sentuhanmu setiap malam."Menghela napas lesu, tiba-tiba saja dia merasa lemas saat mengingat hari ini Dirga akan kembali ke Jakarta.Deg!Kedua mata membulat, melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dengan gerakan cepat dia memakai pakaian satu per satu lalu keluar dari kamar.Takut ditinggal lebih awal, Febby mencari sosok Dirga di seluruh ruangan rumahnya."Kamu nyari siapa, Feb?