Share

BAB 9 : Perjanjian Sebuah Cinta

Sari mengantar Aruna sampai di pintu pagar. Saat Aruna membuka pintu pagar, dilihat Arumi sedang menyapu halaman. Adiknya menoleh ke arahnya dan bertanya, “Abis dari mana kak? Koq tumben hari Sabtu kakak jalan keluar, itu tadi yang pake mobil teman kakak?”

“Iyaa, tadi teman kakak, dia minta antar ke Mal. Pada kemana yang lainnya?” tanya Aruna sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

Arumi pun membuntuti kakaknya sambil berkata, “Kak Aditya keluar lebih dulu dari pada kak Andika. Kalau kak Arimbi sepertinya keluar dan belum pulang juga kak.”

“Ooh, Arimbi belum pulang juga, kemana itu anak, dari pagi belum pulang. Ayah juga belum pulang?” tanya Aruna pada adiknya.

“Belum kak, memang ayah kemana kak?” tanya Arimbi yang terus mengikuti langkah Aruna hingga kamarnya. Lalu Aruna mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah.

Karena Lukman akan ke rumahnya, maka Aruna ingin ruang tamu dan halaman serta terasnya terlihat bersih. Dan ia mengajak adiknya untuk membersihkan rumah.

“Rumi, tolong kamu lap kaca yaa, kakak yang membersihkan ruang tamu. Ingat yang bersih mengelapnya,” pinta Aruna, dan Rumi hanya menganggukkan kepalanya, dengan sedikit bingung, akan perintah kakaknya.

Karena tidak pernah didengar kakaknya cerewet seperti itu, apalagi masalah membersihkan sesuatu. Tetapi, ia tetap menjalani apa yang di perintahkan oleh Aruna tanpa menanyakan apa pun.

Aruna pun langsung merapikan ruang tamu, dengan mengelap kursi yang terbuat dari ukiran Jepara itu dengan lebih detail pada bagian dalam dari ukirannya, biasanya ia tidak seperti itu saat membersihkan kursi yang ada di ruang tamu. Cukup mengelap bagian dari kulitnya saja, tidak sampai ke ukirannya yang memang terlihat agak berdebu.

Dengan peluh yang membasahi bajunya, Aruna kembali memastikan ruang tamunya bersih tanpa debu. Begitu juga dengan bunga yang ada di meja ruang tamu, ia ganti dengan mengambil beberapa batang pohon sri rejeki mini yang ada di ruang keluarga yang ia pandukan dengan beberapa batang pohon sedap malam yang ia ambil dari taman.

“Kak, memang mau ada siapa? koq kakak mengelap kursinya sampai bersih seperti itu? He.. he.. he..,” tanya Arumi mengagumi kerjaan kakaknya dengan tersenyum dan mengacungkan dua jempol.

“Kamu udah selesai, mengelap kacanya?” tanya Aruna keluar dari ruang tamu untuk melihat hasil kerja Arumi tanpa menjawab pertanyaannya.

Dan Arumi yang melihat keanehan dari kakaknya, sempat memicingkan matanya dengan mengikuti langkah Aruna yang keluar dari ruang tamu. Aruna tersenyum puas melihat pekerjaan Arumi, lalu ia berjalan ke halaman, menyiram pohon dan bunga-bunga yang ada pada pot. Setelah itu, Aruna bertanya pada adiknya, “Rumi, coba liat, sekarang jam berapa?”

“Sekarang jam enam kurang lima belas menit, Kak..,” ucap Arumi dari ruang keluarga, saat diminta melihat jam yang ada diruang keluarga.

“Yaa, ampun udah mau jam enam!” pekik Aruna dengan berlari kecil, Aruna masuk ke dalam rumah, lalu ke kamarnya. Ia kembali keluar kamar dan berkata pada adiknya, “Rumi, kalau ada teman kakak.., lelaki! buka pintu pagarnya yaa, kakak mau mandi dulu.”

Arumi yang melihat tingkah laku kakaknya dan mendengar perintahnya hanya terbengong dan menganggukkan kepalanya. Dalam hati ia berkata, ‘Ooh.., ada pacar kakak yang mau ke rumah, pantesan aja, dia sibuk membersihkan rumah.’

Tak berapa lama, terlihat sebuah mobil terparkir di halaman rumah Aruna. Dan Arumi yang mendengar perintah Aruna langsung berlari ke pintu pagar untuk membukakan pintu, tetapi yang ia lihat dari mobil berwarna merah itu adalah kakaknya Arimbi. Ia lihat Arimbi mencium pipi dari lelaki yang ada di dalam mobil, dan lelaki itu, mencium bibir kakaknya, hingga membuat Arumi terkejut, “Ooh!”

Melihat hal itu, Arumi menutup mulutnya. Ia tidak menyangka akan melihat kakaknya berciuman di dalam mobil dengan lelaki yang tidak pernah di ajak ke rumahnya. Padahal ayahnya tidak pernah melarang mereka untuk berpacaran, hanya saja ayahnya selalu menasehati mereka, untuk membawa lelaki yang jadi teman dekat atau pacar mereka ke rumah.

Arimbi melambaikan tangan pada sosok lelaki yang ada di mobil berwarna merah, saat meninggalkan halaman rumah itu. Lalu saat membuka pintu pagar, Arimbi terkejut, saat melihat adik bungsunya berada di balik pagar yang ia buka dengan memandangnya dan menggelengkan kepala.

“Lagi ngapaen di situ? Awas yaa, cerita sama ka Runa!” ucap Arimbi yang merasa yakin kalau adiknya melihat apa yang ia lakukan di dalam mobil bersama teman lelakinya.

Ia pun berlalu dari hadapan adiknya yang memandang kesal ke arahnya dan hanya mampu menggerutu sendirian, “Dasar, tukang ngacam! Nggak kasian apa sama ayah, kalau ayah sampai tau, baru dia rasa!”

Baru saja ia berjalan beberapa langkah dari pagar, terlihat mobil berwarna putih berhenti di depan pagarnya. Lalu Arumi membukakan pintu pagar. Mobil berwarna putih itu pun masuk ke halaman rumah. Dan Arimbi yang masih berada di ruang tamu, menengok keluar, melihat pada mobil berwarna putih yang masuk ke halaman rumahnya.

Sedangkan Arumi yang membukakan pintu pagar rumahnya, langsung menutup kembali pintu pagar itu dan menghampiri seorang lelaki yang keluar dari mobil. Dengan tshirt berwarna biru muda dan celana jeans biru serta memakai topi, ia memandang ke arah Arumi.

“Maaf, apa kak Aruna ada dirumah?” tanya Lukman yang berbasa-basi pada Arumi yang telah tersenyum padanya.

“Ada.., cuma kak Aruna lagi mandi, kakak masuk dulu aja,” jawab Arumi, mengajak Lukman yang juga tersenyum ke arahnya untuk masuk ke ruang tamu.

“Ini adik Aruna yang nomor berapa? Dan siapa namanya?” dengan ramah Lukman bertanya, sambil mengikuti langkah Arumi menuju teras dan masuk ke dalam ruang tamu.

Lalu Arumi mempersilakan Lukman untuk duduk di ruang tamu, “Saya adik nomor empat, nama saya, Arumi. Silakan kak duduk dulu, sebentar saya panggilkan kak Aruna dulu.”

Arumi meninggalkan Lukman yang telah duduk di ruang tamu. Sementara Arimbi yang ada di ruang keluarga, melambaikan tangan ke arah Arumi yang berjalan ke kamar Aruna. Sebelum ia sampai ke kamar Aruna, ia menghampiri Arimbi, “Ada apa kak?” tanyanya.

“Siapa itu yang cari kak Runa.., pacarnya ya?” tanya Arimbi.

“Mana Rumi tau, coba aja kakak tanya kak Runa. Mungkin teman satu kantornya, udah dulu ya kak. Lagian, ngapaen sih kakak mengintip seperti itu,” ujar Arumi dengan wajah tidak senang ke arah Arimbi.

Arimbi yang masih berada di ruang keluarga saat Arumi terlihat masuk ke dalam kamar Aruna. Antara ruang tamu dan ruang keluarga hanya dibatasi oleh sebuah pintu tanpa daun pintu. Jadi ada sebuah jalan tembus antara kedua ruang itu dengan dibatasi oleh sebuah gorden tipis. Sehingga saat seseorang duduk di ruang tamu, akan tampak seperempat dari bagian ruang keluarga itu. Dari bagian meja dan televisi yang ada di ruang keluarga.

“Kak Runa, teman kakak udah di ruang tamu,” ucap Arumi, saat di kamar Aruna. Sedangkan Aruna dilihat sedang mengkuncir rambut panjangnya dengan pengikat rambut berwarna hitam.

“Yaa, sekarang tolong kamu buat teh hangat dua yaa,” pinta Aruna, kembali melihat ke arah cermin. Seakan, ia ingin memastikan kalau ia sudah berdandan rapi. Dan Arumi yang memandang kakaknya dicermin, langsung meledeknya, “Udah cantik koq kak.., udah sana temui temannya.”

Mereka berdua pun tertawa penuh arti, lalu mereka berdua keluar kamar. Aruna berjalan ke ruang tamu, dan Arumi berjalan ke dapur untuk membuatkan teh hangat, sesuai permintaan kakaknya. Sesampai di ruang tamu, Aruna menyapa Lukman, “Hai..”. Dan Lukman yang melihat ke arah Aruna hanya tersenyum manis sebagai balasan atas sapaan Aruna.

Aruna langsung duduk berhadap-hadapan dengan Lukman yang terlihat agak canggung saat Aruna berhadapan dengannya. Berbeda saat mereka bertemu di kantor Aruna. Sesaat mereka terdiam. Kemudian, Lukman memecah kesunyian yang terjadi di ruang tamu itu dengan bertanya, “Apa ibu, bapak ada di rumah?”

“Uhmm, bapak lagi keluar rumah, kalau ibu.., udah lama meninggal,” ucap Aruna dengan melihat ke arah netra Lukman.

“Ooh, maaf.., kapan ibu meninggal?” tanya Lukman dengan nada suara penuh peduli.

Sebelum Aruna menjawab, adik bungsunya telah membawakan dua cangkir teh hangat dan langsung disuguhkan di meja sambil berkata, “Silakan diminum, Kak.”

“Terima kasih Arumi,” ucap Lukman langsung meminum teh yang telah disuguhkan. Saat Lukman sedang meneguk teh, Aruna dan Arumi saling berpandangan satu sama lain, mereka seperti menahan senyum melihat Lukman yang langsung meneguk teh hangat yang baru disajikan.

Setelah meletakan cangkir yang telah habis di teguknya, Arumi kembali menawarkan minuman pada Lukman, “Maaf kak, Rumi buatkan lagi yaa..”

“Hmmm, boleh Rumi, ternyata pintar sekali kamu buat teh yaa.., sampai habis itu kakak minum,” ujar Lukman dengan tersenyum lebar ke arah Arumi.

Dalam hati Aruna berkata, ‘Gue pikir, gue aja yang grogi.., ternyata Lukman juga grogi.., ternyata, lucu juga orangnya.’

Tanpa disadari, Aruna tersenyum saat mengingat, bagaimana cara Lukman langsung meneguk habis teh hangat yang baru disuguhkannya. Dan Lukman melihat Aruna tersenyum dengan wajahnya yang terlihat lebih cantik tanpa make-up. Bagi Lukman wajah cantik Aruna lebih keibuan dan bersahaja. Merasa ada kesempatan untuk menanyakan perihal yang membuat senyum, ia langsung bertanya pada Aruna.

“Apa ada yang lucu dengan wajah saya?” tanya Lukman dengan memegang wajahnya yang ditumbuhi jambang dan kumis tipis.

Aruna yang tertangkap basah tersenyum, merasa tidak enak saat Lukman bertanya seperti itu, lalu ia pun menjawab, “Ooh, bukan begitu.., cuma.., ehmm, bukan tersenyum karena yang tadi koq, Bang.”

Untung saja, rasa malu Aruna tertutupi saat Arumi telah kembali dari dapur, dan menyuguhkan kembali teh hangat lalu mempersilakan Lukman, “Silakan kak, di minum, jangan malu-malu.”

“Terima kasih Arumi.., Uhmm bisa nggak panggil abang aja. Kalau sebutan kakak untuk kak Aruna, kalau ke saya, panggil abang saja,” pinta Lukman, disambut anggukan dan senyum manis oleh Arumi. Kemudian Arumi bertanya padanya, ”Maaf, abang namanya siapa?”

“Eeh.., iya lupa kita kenalan yaa. Panggil aja bang Lukman,” ujar Lukman dengan menyodorkan tangannya dan disambut dengan senyum manis dari Arumi.

“Abang lanjutin ngobrolnya yaa, Rumi mau mandi dulu.”

Arumi pun berlalu dari ruang tamu. Kemudian, Aruna dan Lukman kembali terdiam satu sama lainnya. Kembali Lukman membuka pembicaraan dengan menanyakan perihal pekerjaan Aruna dan menanyakan adik-adiknya berikut pendidikannya masing-masing. Begitu pun halnya dengan Aruna, Lukman pun berbagi cerita tentang keluarganya.

Saat mereka sedang bercakap-cakap, ayah Aruna pun datang dan memberikan salam saat masuk ke dalam rumah. Lukman dan Aruna bersamaan berdiri saat Darmawan, ayah Aruna masuk ke ruang tamu. Lalu Aruna langsung memperkenalkan Lukman sebagai temannya pada sang Ayah.

Setelah itu, Darmawan pun berlalu dari ruang tamu. Membiarkan putrinya mengobrol dengan seorang lelaki yang baru pertama kali di ajaknya ke rumah. Karena sejak ibunya meninggal, Aruna tidak pernah sekali pun membawa teman lelakinya ke rumah.

Dan terlihat raut wajah Darmawan bahagia, saat putri sulungnya membawa seorang lelaki ke rumahnya. Dalam hatinya ia berharap banyak atas kedekatan putrinya pada lelaki yang ia lihat cukup dewasa bagi pasangan hidup putrinya.

‘Yaa, Tuhan.., semoga lelaki itu jodoh terbaik untuk putriku yang sangat luar biasa mengasihi dan bertanggung jawab pada adik-adiknya.’ Dalam hati yang terdalam Darmawan meminta yang terbaik bagi putri sulungnya. Dan tanpa terasa, mata dari lelaki itu telah basah. Entah apa yang dirasakan saat itu, hanya saja hatinya sangat bahagia melihat putrinya telah membuka diri.

Sementara itu, diruang tamu, pembicaraan antara Aruna dan Lukman kian terlihat akrab. Terkadang terdengar mereka tertawa bersama. Lalu Arimbi dan Arumi berpamitan untuk keluar rumah untuk membeli makanan, atas perintah ayahnya.

“Eeh.., pada mau kemana? Arimbi, kenalin ini teman kakak,” panggil Aruna.

Arimbi pun menyalami Lukman dan bertanya pada kedua adiknya yang berpamitan akan keluar rumah menggunakan sepeda motor matic ayahnya. Mereka pun kembali mengobrol saat kedua adiknya keluar rumah.

Sudah selama dua jam, Lukman masih betah di rumah Aruna. Merasa ingin berganti suasana. Ia minta izin pada Aruna untuk duduk di teras, dengan alasan ingin merasakan udara malam. Akhirnya mereka pun duduk di teras depan. Dengan memandang bintang yang bertebaran di angkasa, dan mereka kembali mengobrol.

Kedua adik Aruna balik ke rumah dengan membawa bungkusan berupa jajanan yang baru saja dibeli. Dan mereka berdua masuk ke dalam, membiarkan kakak mereka mengobrol dengan teman lelakinya. Tak lama kemudian, Arumi membawa terang bulan berikut sendok dan dua gelas air sirup rasa leci yang langsung di sajikan pada meja di teras.

“Dimakan Bang, terang bulannya enak itu,” dengan tanpa rasa canggung Arumi mempersilakan Lukman untuk mencicipi terang bulan yang telah ia beli.

“Ayoo di makan Bang!” ajak Aruna dengan memberikan satu sendok untuk Lukman dan satu sendok untuknya. Arumi pun pamit masuk ke dalam saat dilihat kakaknya dan teman prianya sedang menikmati terang bulan yang ia bawakan.

Selesai menikmati terang bulan, Lukman yang telah yakin dengan pilihan hatinya, tidak bisa lagi menunda untuk menyampaikan segala rasa yang ia punya. Dilihat jam yang melingkar pada tangannya, menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu dengan serius, ia berkata pada Aruna.

“Aruna.., karena sudah larut malam.., abang mau pulang dulu,” ucapnya dengan memandang wajah Aruna.

“Hmmm, Ooh yaa, bentar Runa panggil ayah dulu,” ujar Aruna berdiri dari tempat duduknya.

Dan secara refleks tangan Lukman meraih tangannya, “Duduk dulu Runa.”

“Yaa, gimana Bang?” tanya Aruna dengan perasaan dag-dig-dug, duduk kembali di kursinya.

“Aruna, seperti surat yang udah abang berikan ke kamu, Abang ingin jadi kekasih hatimu. Dengan berjalannya waktu, kita akan saling mengenal satu sama lain, kalau kamu sendiri bagaimana?” tanya Lukman dengan memegang tangan Aruna yang terasa dingin karena grogi.

“Bang.., Runa juga senang kenal dengan abang. Tetapi abang tau kan kondisi Runa. Tanggung jawab Runa atas adik-adik. Dan itu yang membuat Aruna selama tiga tahun nggak membuka hati. Runa hanya takut, kalau sudah terlanjur cinta dan lelaki itu cuma cinta sama Runa dan enggak cinta sama keluarga dan adik-adik Runa, bagaimana nasib adik-adik Runa?” dengan lancar Aruna mengatakan seluruh perasaan hati dan syarat untuk mencintai dan dicintai olehnya.

“Runa.., Abang enggak akan memotong kasih sayang dan tanggung jawab Runa untuk adik-adik. Karena adik-adik Runa juga akan jadi adik abang. Dan tanggung jawab Runa juga akan jadi tanggung jawab Abang. Jadi jangan risaukan masalah itu,” jawab Lukman panjang lebar.

Seketika hati Aruna pun melumer seperti coklat, kata-kata Lukman yang puitis dengan menerima semua adiknya adalah yang dicita-citakan selama ini. Kini ia bertemu dengan sosok lelaki baik yang mau berbagi suka dan duka dengannya. Dan ia menemukannya pada sosok Lukman. Hingga tanpa terasa, air mata yang ingin di tahannya bergulir ke pipinya. Disaat bersamaan Lukman melihatnya, lalu ia pun bertanya, “Mengapa Runa menangis?”

“Runa bahagia Bang.., semoga ketulusan hati Abang benar adanya,” ucap Runa menundukkan kepalanya dan air mata yang bergulir di pipinya pun telah ada yang menghapusnya.

Mereka pun menghabiskan malam pertama pacaran mereka hingga jam sepuluh malam. Akhirnya Lukman pun berpamitan dengan mengecup kening Aruna dengan mesra, dan Aruna hanya memejamkan matanya, menikmati kasih sayang Lukman dalam bentuk kecupan di keningnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
baihaqi abdullah
Up lagi... jangan mandek... please...
goodnovel comment avatar
madehilda
Akhirnya jatuh cinta kan.., enak rasanya ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status