Astaga! ternyata mereka ....
Jantungku seolah ingin lepas dari tempatnya. Mas Dewa semakin menjadi-jadi. Dianggap apa aku di sini? Sungguh keterlaluan mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar tetesan bening ini tak jadi turun. Karena mereka memang tak pantas ditangisi.
Rambut Liana dan Mas Dewa sangat berantakan. Keringat tampak menetes pada wajah mereka, padahal malam ini cukup dingin. Beberapa kancing daster Liana terpasang tidak sempurna. Sementara Mas Dewa memakai kaos terbalik. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan. Entah kemana akal sehat dua manusia di hadapanku ini.
"Astaghfirullah, Pak Dewa? Ternyata apa yang dikhawatirkan warga benar-benar terjadi."
Wajah Pak Rt tampak gusar. Wajahnya memerah. Mungkin saat ini Pak Rt juga sedang menahan amarah.
Sontak ketiga tamu pria paruh baya itu berdiri dan menghampiri Mas Dewa."Oh ... eh . .a ...a ...da Pak Rt?"
Wajah sepasang manusia itu mendadak pias. Liana menggeser tubuhnya berlindung di belakang Mas Dewa.
Suamiku itu tampak gemetar dan cemas. Namun matanya menatap tajam padaku. Kenapa dia melihatku dengan tatapan curiga? Apa dia pikir aku yang nengundang Pak Rt ke sini?"Pak Dewa, tolong jelaskan pada kami sekarang?" tegas Pak Rt, laki-laki paruh baya yang sangat dihormati di sekitar komplek perumahan ini.
"Pak Rt, apa tidak bisa besok saja? Ini sudah malam." Mas Dewa mencoba bernegosiasi. Benar-benar tidak punya malu suamiku ini. Sudah jelas bersalah tapi masih mencoba berkilah.
"Tidak bisa! Beberapa warga sedang menunggu di pos keamanan."
"A-apaa? Apa maksud Pak Rt?" Mas Dewa dan Liana tampak panik.
"Beberapa warga melihat Bapak membawa tamu wanita ke rumah. Warga tidak terima karena Pak Dewa tidak melapor dan membawa wanita itu menginap di sini. Warga mencurigai ada yang tidak wajar pada kalian berdua." Pak Rt menjelaskan panjang lebar. Tampak laki-laki itu menahan emosi yang memuncak terhadap Mas Dewa dan Liana.
"Ini Liana, Pak. Dia calon istri kedua saya. Kami akan segera menikah, kok," jelas Mas Dewa seraya menatap lekat calon maduku itu. Hingga sepasang manusia itu tatap-tatapan mesra di depan kami. Cih, sungguh tak tau malu.
"Pak Dewa, kalian belum menikah tapi sudah satu kamar. Nggak bener ini! Sudah, langsung aja kita arak ke pos dan nikahkan mereka malam ini juga Pak Rt!" Salah seorang keamanan lingkungan nampak sudah mulai emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa.
"Eh ... eh ... tunggu dulu! Kami memang mau menikah, kok, tapi bukan malam ini!" Mas Dewa mulai ketakutan.
"Zahra, ini semua pasti gara-gara kamu! Siapa lagi yang melapor kalau bukan kamu!" Mas Dewa membentakku dengan tatapan nyalang.
"Udahlah, Mas. Mau nikah malam ini atau nanti sama aja! Toh kalian udah tidur bareng, kan?" balasku dengan menaikkan alis.
Suamiku itu melotot padaku.
Aku berusaha setenang mungkin. Walau sebenarnya hati dan perasaanku perih bagai diiris-iris pisau tajam.
"Bukan Mbak Zahra yang melaporkan, Pak. Tapi banyak warga yang melihat kemesraan bapak dengan wanita ini. Sedangkan warga tau wanita itu bukan istri Bapak," Beruntung Pak Rt menjelaskan kembali.
Wajah Mas Dewa kembali panik.
"Sudah Pak Rt, kelamaan! Bisa-bisa warga menyusul kemari!" pungkas salah satu keamanan warga. Aku tak tau nama-nama mereka. Karena memang aku jarang sekali keluar rumah.
"Baiklah, silakan hubungi orang tua dari saudari Liana. Kita minta untuk datang ke sini," pinta Pak Rt.
"A-apaaa? Orang tua?" teriak Mas Dewa dan selingkuhannya itu bersamaan. Kebingungan dan kepanikan tampak dari wajah keduanya. Liana memucat seraya memandang Mas Dewa. Sepertinya mereka tidak ingin orang tua Liana mengetahui kejadian ini.
"Ya! Kami tunggu!" tegas pak Rt lagi.
"Segera dihubungi orang tuanya, Mbk Liana! Jangan sampai warga di pos mengamuk karena menunggu lama." Salah seorang warga yang bersama pak RT mencoba mengingatkan Liana.
Astaga! Ibu. Gegas aku melangkah cepat menuju kamar ibu Apa ibu mendengar semua ini?
Perlahan aku membuka pintu kamar Ibu. Ternyata ibu benar terjaga. Keributan di ruang tamu tadi terdengar hingga ke kamar Ibu.
Aku menghampiri Ibu dan duduk tepat di sebelahnya
"Ada apa, Zahra?" tanya ibu dengan suara lemah.
"A-ada Pak Rt, Bu."
Ibu diam. Matanya memandang kosong pada langit-langit kamar
"Dewa ... Ibu kecewa sama kamu," gumam Ibu mertuaku itu.
Sepertinya Ibu sudah menduga apa yang sedang terjadi.
"Ibu mau ke depan?"
Wanita yang tampak mulai keriput di wajahnya itu menggeleng.
"Ibu malu, Zahra. Dewa sudah mencoreng wajah Ibu. Dewa sudah mengotori muka Ibu." Wajah ibu merah padam. Matanya mulai mengembun. Emosi dan rasa malu pasti dirasakan ibu saat ini.
"Ibu ..., Ibu tenang ya! Jangan terlalu dipikirkan."
Tubuh Ibu bergetar hebat. Ibu menangis.
Aku hanya diam mendengar ungkapan-uangkapan kemarahan dari Ibu di sela-sela tangisnya. Sejujurnya aku pun sangat terpukul dengan perbuatan Mas Dewa. Namun, menangis bukanlah caraku. Aku ingin perempuan itu juga merasakan sakit yang aku rasakan saat ini. Berusaha menjadi lebih kuat dan tegar adalah pilihan tepat untukku sekarang.Aku menemani Ibu sampai beliau merasa tenang dan kembali terlelap.
Aku terjaga menjelang subuh. Ternyata aku tertidur di sebelah ibu dengan posisi duduk di karpet dan merebahkan kepalaku di samping ibu.
Astaga! Bukankah hari ini adalah hari pertama aku bekerja? Kembali aku melihat wajah lelah Ibu yang sedang terlelap. Sepertinya Ibu kelelahan menangis semalaman.
Apa aku tega meninggalkan wanita yang begitu menyayangiku ini?
Bagaimana nasib pasangan yang tertangkap basah semalam? Apakah mereka jadi menikah di depan warga?
Aku beranjak dari kamar Ibu, dan mengerjakan aktivitas rutin seperti biasanya. Keadaan rumah sepi. Mas Dewa dan selingkuhannya itu tidak ada. Di kamar tamu juga kosong. Kemanakah mereka? Setelah ke kamar Ibu semalam, aku tak lagi keluar kamar hingga tidak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya pada Mas Dewa.Aku beranjak melangkah ke dapur, mengambil beberapa bahan makanan untuk Ibu, segera kuracik dan memasaknya Ya, mulai hari ini aku hanya memasak untuk Ibu. Biar saja Mas Dewa dan Liana memikirkan perut mereka sendiri. Sedangkan aku nanti bisa makan di luar atau pesan online.Setelah makanan khusus untuk Ibu telah siap, aku kembali ke kamar beliau."Ibu mandi dulu, yuk!"Wanita itu mengangguk. Mata ibu agak bengkak. Wajahnya sedikit sembab. Pasti semalaman ibu menangis.Selama aku membantu ibu mandi hingga berpakaian, wanita itu tidak bicara apa-apa. Padahal aku sudah mengajaknya bicara hal lain. Namun Ibu tak menanggapi.
Aku memang lebih sering berada di kamar Ibu. Setidaknya agar Ibu tidak sulit memanggil jika membutuhkanku. Apalagi sejak ada istri baru Mas dewa di rumah ini. Rasanya sangat malas untuk keluar dari kamar ibu.Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau.Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat.Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang."Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama."Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. M
"Kamu cari apa, Mas?"Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.Ini pertanda tidak baik untukku.Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku."Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah."Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku."Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku.Mas Dewa hanya menggele
Zahra ..., ayo Aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online," sahutku seraya mencari keberadaan taksi yang sudah aku pesan. Namun setelah kulihat sekeliling, taksi itu tak kunjung datang. Kembali kubuka aplikasi taksi online di ponselku, ternyata pesananku dicancel. Segera aku memesannya kembali, mengingat hari semakin siang. Mas Dewa masih berdiri di sebelahku. Laki-laki itu masih mencuri-curi pandang padaku. Aneh, kenapa seperti sedang mencuri pandangan dengan wanita lain? Bukankah aku ini istrinya? "Zahra ... kamu ... kamu ..." Nampaknya ada sesuatu yang hendak dia tanyakan. Namun sepertinya suamiku itu ragu. "Kenapa, Mas?" "Kamu beda ..." lirihnya nyaris tak terdengar. "Apa? Kenapa? Aku nggak denger, Mas."Aku pura-pura tidak mendengar. "Kamu ..." Mas Dewa gelagapan ketika tiba-tiba Liana muncul dań dalam rumah. Laki-laki yang sebenarnya masih halal untukku itu segera masuk ke dalam mobilnya, diikuti tatapa
Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana. "Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya sudah telat, nih!" "Maaf, Mbak. Kita lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi. "Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!" Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar. Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional. Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya. Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, k
POV DEWA "Mas, Aku hamil." Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. "A-apa? Hamil?". Wanita seksi itu mengangguk cepat. Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing has
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be
"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. "Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. "Saya Zahra Fatma." "Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" Aku mengikuti langkah kaki wanita ituhingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. "Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang-barang mewah dan canggih. Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku. "Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona." Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepem