Home / Rumah Tangga / Air Mata Maduku / Menangis Bukanlah Caraku

Share

Menangis Bukanlah Caraku

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2022-04-03 16:47:15

Kami semua terlonjak saat melihat Mas Dewa dan Liana keluar kamar dengan penampilan berantakan. 

Astaga! ternyata mereka ....

Jantungku seolah ingin lepas dari tempatnya. Mas Dewa semakin menjadi-jadi. Dianggap apa aku di sini? Sungguh keterlaluan mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar tetesan bening ini tak jadi turun. Karena mereka memang tak pantas ditangisi. 

Rambut Liana dan Mas Dewa sangat berantakan. Keringat tampak menetes pada wajah mereka, padahal malam ini cukup dingin. Beberapa kancing daster Liana terpasang tidak sempurna. Sementara Mas Dewa memakai kaos terbalik. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan. Entah kemana akal sehat dua manusia di hadapanku ini. 

"Astaghfirullah, Pak Dewa? Ternyata apa yang dikhawatirkan warga benar-benar terjadi." 

Wajah Pak Rt tampak gusar. Wajahnya memerah. Mungkin saat ini Pak Rt juga sedang menahan amarah.

Sontak ketiga tamu pria paruh baya itu berdiri dan menghampiri Mas Dewa. 

"Oh ... eh . .a ...a ...da Pak Rt?"

Wajah sepasang manusia itu mendadak pias. Liana menggeser tubuhnya berlindung di belakang Mas Dewa. 

Suamiku itu tampak gemetar dan cemas. Namun matanya menatap tajam padaku. Kenapa dia melihatku dengan tatapan curiga? Apa dia pikir aku yang nengundang Pak Rt ke sini?

"Pak Dewa, tolong jelaskan pada kami sekarang?" tegas Pak Rt, laki-laki paruh baya yang sangat dihormati di sekitar komplek perumahan ini. 

"Pak Rt, apa tidak bisa besok saja? Ini sudah malam." Mas Dewa mencoba bernegosiasi. Benar-benar tidak punya malu suamiku ini. Sudah jelas bersalah tapi masih mencoba berkilah.

"Tidak bisa! Beberapa warga sedang menunggu di pos keamanan."

"A-apaa? Apa maksud Pak Rt?" Mas Dewa dan Liana tampak panik. 

"Beberapa warga melihat Bapak membawa tamu wanita ke rumah. Warga tidak terima karena Pak Dewa tidak melapor dan membawa wanita itu menginap di sini. Warga mencurigai ada yang tidak wajar pada kalian berdua." Pak Rt menjelaskan panjang lebar. Tampak laki-laki itu menahan emosi yang memuncak terhadap Mas Dewa dan Liana. 

"Ini Liana, Pak. Dia calon istri kedua saya. Kami akan segera menikah, kok," jelas Mas Dewa seraya menatap lekat calon maduku itu. Hingga sepasang manusia itu tatap-tatapan mesra di depan kami. Cih, sungguh tak tau malu. 

"Pak Dewa, kalian belum menikah tapi sudah satu kamar. Nggak bener ini! Sudah, langsung aja kita arak ke pos dan nikahkan mereka malam ini juga Pak Rt!" Salah seorang keamanan lingkungan nampak sudah mulai emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa.

"Eh ... eh ... tunggu dulu! Kami memang mau menikah, kok, tapi bukan malam ini!" Mas Dewa mulai ketakutan.

"Zahra, ini semua pasti gara-gara kamu! Siapa lagi yang melapor kalau bukan kamu!" Mas Dewa membentakku dengan tatapan nyalang.

"Udahlah, Mas. Mau nikah malam ini atau nanti sama aja! Toh kalian udah tidur bareng, kan?" balasku dengan menaikkan alis.

Suamiku itu melotot padaku.

Aku berusaha setenang mungkin. Walau sebenarnya hati dan perasaanku perih bagai diiris-iris pisau tajam. 

"Bukan Mbak Zahra yang melaporkan, Pak. Tapi banyak warga yang melihat kemesraan bapak dengan wanita ini. Sedangkan warga tau wanita itu bukan istri Bapak," Beruntung Pak Rt menjelaskan kembali.

Wajah Mas Dewa kembali panik. 

"Sudah Pak Rt, kelamaan! Bisa-bisa warga menyusul kemari!" pungkas salah satu keamanan warga. Aku tak tau nama-nama mereka. Karena memang aku jarang sekali keluar rumah.

"Baiklah, silakan hubungi orang tua dari saudari Liana. Kita minta untuk datang ke sini," pinta Pak Rt.

"A-apaaa? Orang tua?" teriak Mas Dewa dan selingkuhannya itu bersamaan. Kebingungan dan kepanikan tampak dari wajah keduanya. Liana memucat seraya memandang Mas Dewa. Sepertinya mereka tidak ingin orang tua Liana mengetahui kejadian ini. 

"Ya! Kami tunggu!" tegas pak Rt lagi.

"Segera dihubungi orang tuanya, Mbk Liana! Jangan sampai warga di pos mengamuk karena menunggu lama." Salah seorang warga yang bersama pak RT mencoba mengingatkan Liana. 

Astaga! Ibu. Gegas aku melangkah cepat menuju kamar ibu Apa ibu mendengar semua ini? 

Perlahan aku membuka pintu kamar Ibu. Ternyata ibu benar terjaga. Keributan di ruang tamu tadi terdengar hingga ke kamar Ibu.

Aku menghampiri Ibu dan duduk tepat di sebelahnya 

"Ada apa, Zahra?" tanya ibu dengan suara lemah.

"A-ada Pak Rt, Bu."

Ibu diam. Matanya memandang kosong pada langit-langit kamar 

"Dewa ... Ibu kecewa sama kamu," gumam Ibu mertuaku itu.

Sepertinya Ibu sudah menduga apa yang sedang terjadi.

"Ibu mau ke depan?" 

Wanita yang tampak mulai keriput di wajahnya itu menggeleng.

"Ibu malu, Zahra. Dewa sudah mencoreng wajah Ibu. Dewa sudah mengotori muka Ibu." Wajah ibu merah padam. Matanya mulai mengembun. Emosi dan rasa malu pasti dirasakan ibu saat ini. 

"Ibu ..., Ibu tenang ya! Jangan terlalu dipikirkan."

Tubuh Ibu bergetar hebat. Ibu menangis. 

Aku hanya diam mendengar ungkapan-uangkapan kemarahan dari Ibu di sela-sela tangisnya. Sejujurnya aku pun sangat terpukul dengan perbuatan Mas Dewa. Namun, menangis bukanlah caraku. 

Aku ingin perempuan itu juga merasakan sakit yang aku rasakan saat ini. Berusaha menjadi lebih kuat dan tegar adalah pilihan tepat untukku sekarang.

Aku menemani Ibu sampai beliau merasa tenang dan kembali terlelap.

Aku terjaga menjelang subuh. Ternyata aku tertidur di sebelah ibu dengan posisi duduk di karpet dan merebahkan kepalaku di samping ibu. 

Astaga! Bukankah hari ini adalah hari pertama aku bekerja? Kembali aku melihat wajah lelah Ibu yang sedang terlelap. Sepertinya Ibu kelelahan menangis semalaman. 

Apa aku tega meninggalkan wanita yang begitu menyayangiku ini?

Bagaimana nasib pasangan yang tertangkap basah semalam? Apakah mereka jadi menikah di depan warga? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mabsus AF
Nyimak cerita ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Air Mata Maduku   Akhir yang Bahagia ( Tamat)

    Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom

  • Air Mata Maduku   Ternyata Clarissa

    "Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag

  • Air Mata Maduku   Tugas dari Clarissa

    Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "

  • Air Mata Maduku   SAH

    "Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad

  • Air Mata Maduku   Panggil Aku Mama

    Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke

  • Air Mata Maduku   Cuma Karyawan Biasa

    Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status